4. Bahwasanya Allah Subhanahuwata’ala telah menempatkan ahli ilmu pada kedudukan yang mulia. Yaitu ketika Allah menjadikan mereka sebagai saksi atas ke EsaanNya. Allah Subhanahuwata’ala meridhai kesaksian ( dan persaksian ) mereka sebagai penghormatan bagi mereka, di samping karena mereka membawa amanah ilmu dan hidayah bagi manusia. Allah Subhahanahuwata’ala berfirman :
شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ
“ Allah mengatakan bahwasannya tidak ada sesembahan yang haq melainkan Dia, yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang – orang yang berilmu ( juga mengatakan yang demikian itu ) , “ ( Ali Imran 18 ).
Syaikh As Sa’di mengatakan :
“ dakwah mengajak manusia kembali kepada Allah harus senantiasa disertai dan berisi ilmu, sebab diantara syariat berdakwah itu adalah ilmu tentang apa yang harus disampaikan oleh seorang da’i”
Allah Ta’ala berfirman :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“ niscaya Allah akan meninggikan orang – orang yang beriman diantaramu dan orang – orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat “ ( Al Mujadilah 11 )
Dalil dan bukti – bukti ini adalah untuk mendorong para da’i yang memberi nasehat agar berbekal dengan ilmu. Oleh karena itu, semestinya da’ i mempunya ilmu tentang hal yang disyariatkan dan mana yang tidak disyariatkan. Yang dengan ilmu itu dia akan mampu memisahkan antara sunnah dan bid’ah, kebaikan dan keburukan, halal dan haram serta mengerti mana yang merupakan tauhid dan mana kesyirikan.
Syaikh Al Alamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz mengatakan :
“ Allah Subhanahuwata’ala menerangkan bahwa dakwah mengajak manusia kepada Allah di atas bashirah adalah jalan Nabi dan jalan para pengikutnya dari kalangan Ahli Ilmu , sebagaimana firman Allah Ta’la :
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ
“ Katakanlah : inilah jalan ( agama ) ku, aku dan orang – orang yang mengikutiku mengajak ( kamu ) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. “ ( Yusuf 108 )
Ketika sebagian sahabat berfatwa kepada seorang yang menderita luka dikepalanya. Yang menurut mereka tidak ada rukhshah ( keringanan ) baginya untuk bertayamum. Orang tadi mandi, kemudian mereka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka sampaikan hal itu dan beliau berkata :
“ Mereka telah membunuhnya, semoga Allah binasakan mereka. Mengapakah mereka tidak bertanya ketika mereka tidak tahu. Sesungguhnya obat kebodohan itu adalah bertanya.”
Imam Al Khathtabi menerangkan pula tentang dalalah hadist ini :
“ Dalam Hadist ini, terdapat ilmu dimana beliau mencela mereka yang berfatwa tanpa ilmu dan memasukan mereka ke dalam ancaman dengan mendoakan kejelakan bagi mereka, menempatkan mereka dalam dosa pembunuhan yang diakibatkan fatwa mereka yang salah.’
Dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“ Hendaklah seorang manusia berhati – hati dari jalan orang – orang yang zalim dan jahil, yang menyangka dirinya berjalan di jalan para ulama, banyak bicara tapi tidak ada bukti dari perbuatanya. Kamu lihat salah seorang dari mereka dalam kedudukan paling tinggi dalam keilmuan namun ternyata dia hanya mengatahui yang lahir ( saja ) dari kehidupan dunia, sama sekali tidak mempunyai ilmu yang diwarisi dari Penghulu Anak Keturunan Adam ( Rasulullah ).”
Ibnul Qayim menjelasakan pula hakekat ilmu dan pengaruhnya :
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerupakan ilmu dan hidayah yang dibawanya dengan air hujan yang turun dari langit, karena keduanya sama – sama menghasilkan kehidupan dan manfaat serta sumber makanan sebagaimana halnya hati yang menampung ilmu tersebut, dimana ilmu berbuah padanya dan semakin suci tampak jelasa berkah dan hasilnya
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan :
“ yang dimaksud dengan ilmu dalam hal ini adalah ilmu tentang syari’at yang bermanfaat untuk mengenali apa yang menjadi kewajiban seorang mukallaf ( dewasa dan berakal ) dalam urusan agamanya, baik dalam ibadah maupun muamalah ( hubungan sosialnya ) serta ilmu tentang Allah dan semua sifatNya, juga apa yang wajib baginya dalam menjalankan urusannya.
Oleh karena itu, siapapun yang berbicara tentang agama Allah tanpa hujjah yang Allah utus Rasulnya untuk membawakan, berarti dia berbicara tanpa ilmu dan dikuasai oleh Syaitan. Sebab syaitan ‘menyesatkan dan membimbingnya menuju azab yang bernyala – nyala “
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
“ Al Imu ialah semua yang dalil itu tegak diatasnya. Yang paling mulia bermanfaat di antaranya adalah yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “
Beliau uraikan pula dengan jelas jalan ahli bid’ah dalam mencari ilmu. Kata beliau :
“ bahwasannya mereka berbicara hanya menurut akal dan hawa nafsu mereka semata, dengan dusta dan pemalsuan, sehingga mereka memasukan ke dalam ajaran Islam segala sesuatu yang bukan dari islam.
Maka, selamat dari bid’ah dan penyimpangan akan terwujud dengan ilmu yang dibangun di atas pemahaman salaful ummah ( para pendahulunya ummat ini ). Hal ini ditegaskan Syaikhul Islam Ibbu Taimiyah dengan pernyataan beliau :
“ Namun, siapa saja yang ilmu dan amalanya tidak merujuk kepada yang diwarisi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengikuti syari’at nabawiyah tidak akan mungkin lepas dan selamat dari hawa nafus dan kebidahan bahkan semua ilmu dan amalnya tidak lain adalah hawa dan bid’ah.’
Dengan pernyataan yang ditegaskan oleh beliau, maka jelaslah bahwa diantara sifat – sifat ahli bid’ah ialah bergantung mereka secara hakiki kepada prinsip pokok ( ushul ) yang dijelaskan oleh para guru ( Syaikh ) mereka. Sama sekali mereka tidak ( berani ) menentang atau melanggarnya. Diperjelas pula syaikhul Islam Ibu Taimiyah dengan mengatakan :
“ Maka ketika terjadi dalam tubuh ummat ini perpecahan dan perselisihan, jadilah orang – orang yang berpecah itu berkelompok – kelompok. Pedoman mereka secara batinnya ( prinsipnya, keyakinannya) bukanlah berdasarkan Al Qur’an dan keimanan, tetapi diatas prinsip pokok yang diada – adakan oleh para guru mereka.”
Oleh karena itu, wajib setiap da’i untuk menghiasi dirinnya dengan ilmu syar’i yang dengan ilmu itu dia mengakat kebodohan yang ada pada dirinya dan dari orang lain. Hendaknya dia memahami As Sunnah, Al Bayan, Hujjah dan Burhan. Sehingga, ilmunya itu akan mengakat seorang da’i kepada Allah dari ketergelinciran dalam kubangan bid’ah dan hawa nafsu. Ketakwaan adalah hujjahnya, sehingga keadaanya tetap istiqomah ( konsisten, lurus ).”
Syaikh Abdul Hamid bin Badis menegaskan pula dalam hal ini dengan mengatakan :
“ Sesunggunya orang yang jujur dan benar akan berpedoman kepada hujjah dan burhan. Sehingga tidak akan mampu kamu temukan dalam setiap perkataannya kedustaan, pemalsuan, dan pengakuan semata. Kamu tidak akan terjatuh karena cedera cara dakwahnya kepada kehancuran, pertentangan dan kegoncangan.”
Maka dari itu, dari beberapa perkataan para ulama diatas, berbagai kesalahan sejumlah gerakan dakwah yang tersebar di selutuh penjuru dunia dengan label dakwah ilallah. Namun semua itu disertai dengan kebodohan dan kurangnya ilmu pada diri mereka sehingga akhirnya, terkumpullah sejumlah besar kaum muslimin di bawah bendera yang ditegakkan bukan diatas landasan ilmu yang shahih yang diterangi oleh cahaya Al Quran dan As Sunnah dengan pehaman para pendahulu ummat ini.
Siapa pun yang memperhatikan akan melihat pada mayoritas gerakan dakwah dan organisasi yang tesebar dewasa ini, melihat dengan pandangan bashirah yang tajam bahwa gerakan dakwah tersebut bila dikaitkan dengan ilmu dan penyebarannya dengan berbagai jenisnya, betul – betul jahil terhadap ilmu – ilmu syariat. Tidak peduli dengan usaha mendapatkannya. Sama sekali mereka tidak dihinggapi antusias besar terhadap ilmu ini dalam segenap waktu dan kehidupannya.
Tentang keadaan ini , Ibnul Qayyim menerangkan :
“ Dan inilah keadaan berbagai golongan sempalan yang muncul bersama syari’at di dalam golongan sempalan yang muncul bersama syari’at di dalam syari’at ini. Hal ini karena masing – masing golongan sempalan tadi ada yang mentakwil syari’at ini tidak dengan takwil yang digagas oleh golongan lain. Bahkan mengklaim bahwa itulah yang dimaukan oleh pembuat syari’at. Sehingga golongaan – golongan tersebut betul – betul merobek syari’at ini dan jauh dari pembahasan yang pertama.”
Oleh karena itu, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu tentang Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahan Salaful Ummah, jauh dari pemalsuan yang dikemas dengan kefasihan dan istilah – istilah mentereng, namun bukan diatas landasan ilmiah yang kokoh.
Ibnul Qayyim merangkan ;
“ Bahwasannya yang dilakukan orang yang keadaanya seperti ini hanyalah memperbanyak istilah -istilah yang dibuat mentereng, pengertian – pengertian yang rancu yang dikemas dengan berbagai bentuk kefasihan dan istilah yang menarik. Akibatnya, akal yang lemah segera menyambut dan mengangagap baik. Bahkan segera menerima dan meyakininya ( sebagai suata kebenaran ).”
Maka wajib setiap da’i yang lurus agar senantiasa mempunyai perilaku dan sifat keilmuan serta bashirah dengan pemahaman yang shahih dan sesuai dengan apa yang dihendaki oleh Allah dan RasulNya
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiya, Pustaka Al HAURA)