Berqurban Sebagai Tanda Pengorbanan

Berqurban Sebagai Tanda Pengorbanan

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ

وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ

قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ

وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ

سَلَامٌ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang halim (cerdik dan bijaksana). Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Hai bapakku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’.” (Ash-Shaffat: 100-109)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

Seorang anak yang cerdik dan bijaksana. Yang dimaksud adalah di saat dia dewasa, dia memiliki sifat ini.
Para ulama berbeda pendapat tentang siapa dari anak Ibrahim ‘alaihissalam yang dimaksud dalam ayat tersebut. Sebagian mengatakan yang dimaksud adalah Ishaq. Pendapat ini diriwayatkan dari sebagian salaf seperti Ikrimah dan Qatadah. Ada juga yang menukil dari beberapa shahabat, di antaranya ‘Abbas bin Abdil Muththalib, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud, Umar bin Al-Khaththab, Jabir, dan yang lainnya radhiyallahu ‘anhum.
Sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah Isma’il ‘alaihissalam, dan ini pendapat yang dinukilkan dari Abu Hurairah dan Abu Thufail Amir bin Watsilah. Juga diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum. Dan ini pendapat Sa’id bin Musayyab, Asy-Sya’bi, Yusuf bin Mihran, dan yang lainnya. Dan pendapat ini dikuatkan oleh para ahli tahqiq seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syinqithi, dan yang lainnya rahimahumullah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, Taisir Al-Karim Arrahman, Adhwa`ul Bayan, dan Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam, 4/331-336)
Pendapat yang terkuat adalah yang kedua. Kuatnya pendapat ini ditinjau dari beberapa sisi:
Pertama: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan berita gembira kepada Ibrahim ‘alaihissalam tentang anak yang akan disembelih. Kemudian setelah menyebut kisahnya secara sempurna, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan setelahnya berita gembira tentang lahirnya Ishaq ‘alaihissalam:

“Dan Kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkahan atasnya dan atas Ishaq.” (Ash-Shaffat: 112-113)
Maka ini menunjukkan bahwa ada dua berita gembira, berita tentang anak yang akan disembelih serta anak yang bernama Ishaq.
Kedua: bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyebut tentang kisah penyembelihan kecuali pada surat Ash-Shaffat saja, sedangkan pada ayat-ayat yang lain hanya disebutkan berita gembira tentang lahirnya Ishaq secara khusus.
Ketiga: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِن وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ

“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Kalau sekiranya yang disembelih itu Ishaq, tentu Ibrahim ‘alaihissalam akan menganggap terjadinya penyalahan janji tentang munculnya Ya’qub dari keturunan Ishaq ‘alaihissalam.

وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ ۖ كُلٌّ مِّنَ الصَّابِرِينَ

“Dan (ingatlah kisah) Isma’il, Idris, dan Dzulkifli. Mereka semua termasuk orang-orang yang sabar.” (Al-Anbiya`: 85)
Dan masih ada lagi sisi penguat yang menunjukkan bahwa yang akan disembelih adalah Isma’il ‘alaihissalam, bukan Ishaq ‘alaihissalam.
Syaikhul Islam rahimahullahu menjelaskan: “Yang wajib diyakini bahwa yang dimaksud (ayat ini) adalah Isma’il. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-sunnah, serta penguat-penguat yang masyhur. Ini pula yang disebutkan dalam Kitab Taurat yang ada di tangan ahli kitab, di mana disebutkan padanya bahwa (Allah Subhanahu wa Ta’ala) berfirman kepada Ibrahim:

“Sembelihlah anakmu yang satu-satunya.”
Dalam naskah yang lain:

(anak semata wayang dari ibu yang satu).
Dan Isma’il adalah anak satu-satunya yang dari satu ibu (pada masa itu) berdasarkan kesepakatan kaum muslimin dan ahli kitab. Namun ahli kitab mengubah lalu menambah kata ‘Ishaq’, lantas dkutip oleh sebagian orang dan menyebar di sebagian kaum muslimin bahwa yang dimaksud adalah Ishaq, padahal asalnya adalah dari perubahan ahli kitab.” (Majmu’ Fatawa, 4/331-332)

Penjelasan Ayat
As-Sa’di rahimahullahu ketika menjelaskan ayat-ayat ini mengatakan: “(Ibrahim berkata): ‘Wahai Rabb-ku, berikanlah aku seorang anak yang termasuk dari kalangan orang-orang yang shalih’. Beliau mengucapkan itu tatkala ia telah putus asa dari kaumnya di mana beliau tidak melihat kebaikan pada mereka. Beliau pun berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberikan karunia kepadanya seorang anak yang shalih, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi manfaat baginya dalam kehidupan dan setelah kematiannya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mengabulkannya dan berfirman: ‘Maka Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan lahirnya seorang anak yang cerdik dan bijaksana’, dan tidak ada keraguan bahwa dialah Isma’il ‘alaihissalam. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan berita gembira setelahnya dengan lahirnya Ishaq ‘alaihissalam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang berita gembira lahirnya Ishaq ‘alaihissalam dengan firman-Nya:

“Dan istrinya berdiri (di balik tirai) lalu dia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishaq dan dari Ishaq (akan lahir putranya) Ya’qub.” (Hud: 71)
Sehingga ini menunjukkan bahwa Ishaq bukanlah yang akan disembelih. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi sifat Isma’il dengan kebijaksanaan, yang mengandung kesabaran, akhlak yang baik, lapang dada, serta memaafkan orang yang bersalah. Tatkala anak tersebut telah mencapai waktu untuk bisa bekerja bersama ayahnya dan biasanya hal itu di saat mencapai usia baligh, dia pun senang untuk melakukan yang terbaik untuk kedua orangtuanya, telah hilang kesulitannya dan telah terasa manfaatnya. Maka Ibrahim ‘alaihissalam berkata kepadanya: ‘Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,’ yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkanku untuk menyembelihmu. Karena mimpi para nabi adalah wahyu, maka perhatikanlah apa pendapatmu, sesungguhnya perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala harus dijalankan.
Maka Isma’il ‘alaihissalam yang senantiasa bersabar dan mengharap keridhaan Rabbnya serta berbakti kepada ayahnya berkata: ‘Wahai ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau akan mendapatiku –insya Allah- termasuk di antara orang-orang yang bersabar.’
Dia mengabarkan kepada ayahnya bahwa dia telah menetapkan dirinya di atas kesabaran dan menggandengkan hal tersebut dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab tidaklah terjadi sesuatu tanpa kehendak-Nya. Tatkala keduanya telah berserah diri, yaitu Ibrahim dan Isma’il anaknya, dalam keadaan dia telah menetapkan untuk membunuh anak sekaligus buah hatinya, sebagai wujud menaati perintah Rabbnya dan takut dari siksaan-Nya, sedangkan sang anak telah menetapkan dirinya di atas kesabaran, dan Ibrahim telah meletakkan Isma’il dengan membelakangi wajahnya dan tengkuknya berada di atas, ia menidurkannya dan akan menyembelihnya, wajahnya dibalik agar dia tidak melihat ke wajahnya di saat penyembelihan. Kamipun memanggilnya dalam kondisi yang menegangkan dan keadaan yang sangat mencekam itu: ‘Wahai Ibrahim,’ engkau telah membenarkan dan melakukan apa yang diperintahkan kepadamu. Sesungguhnya engkau telah menetapkan dirimu di atas hal tersebut, dan engkau telah melakukan semua sebab, serta tidak ada yang tersisa kecuali melewatkan pisau di atas tenggorokannya. Sesungguhnya Kami dengan itu membalas orang-orang yang berbuat kebaikan dalam beribadah kepada Kami, yang lebih mengutamakan keridhaan Kami daripada hawa nafsunya.
Sesungguhnya ujian yang kami berikan kepada Ibrahim ini benar-benar merupakan ujian yang nyata, yang menjelaskan ketulusan Ibrahim, dan kesempurnaan cintanya kepada Rabbnya serta menjadi khalil-Nya. Karena tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan karunia Isma’il ‘alaihissalam kepada Ibrahim ‘alaihissalam, dia pun sangat mencintainya. Padahal beliau adalah Khalilullah di mana khalil merupakan tingkatan kecintaan yang tertinggi, dan itu harus murni dan tidak menerima adanya penyetaraan, serta menghendaki agar seluruh unsur kecintaan tersebut benar-benar terpaut kepada yang dicintai.
Tatkala ada satu unsur dari hati Ibrahim yang melekat pada diri Isma’il, Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak memurnikan kecintaan Ibrahim kepada-Nya dan menguji khalil-Nya. Maka Dia memerintahkan untuk menyembelih orang yang kecintaannya telah mengusik kecintaan kepada Rabbnya. Tatkala Ibrahim lebih mengutamakan kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan lebih mendahulukannya di atas hawa nafsunya, serta bertekad untuk menyembelihnya, hilanglah sesuatu yang mengusik dalam hatinya tersebut, sehingga penyembelihan pun tidak berfaedah lagi.
Oleh karenanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya benar-benar ini merupakan ujian yang nyata, dan Kami menebusnya dengan sembelihan yang agung,’ yaitu diganti dengan sembelihan berupa kambing yang agung yang disembelih Ibrahim. Keagungan kambing tersebut dari sisi bahwa itu adalah tebusan dari Isma’il ‘alaihissalam di mana itu termasuk di antara ibadah yang agung. Dan dari sisi bahwa hal itu menjadi ibadah qurban dan sunnah hingga hari kiamat. Dan kami meninggalkan untuknya pujian yang benar pada orang-orang belakangan sebagaimana orang-orang terdahulu. Sehingga setiap yang datang setelah Ibrahim ‘alaihissalam, senantiasa mencintai, mengagungkan, dan memuji, ‘keselamatan atas Ibrahim’ yaitu penghormatan atasnya. Seperti firman-Nya:

“Katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya. Apakah Allah yang lebih baik ataukah apa yang mereka persekutukan dengan Dia?’.” (An-Naml: 59) [lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman]
Telah diriwayatkan oleh Abu Thufail dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Tatkala Ibrahim ‘alaihissalam diperintah untuk menyembelih anaknya, setan pun berusaha menggodanya ketika berada di tempat sa’i, lalu berusaha mendahului Ibrahim. Namun Ibrahim berhasil mendahuluinya. Jibril lantas membawa Ibrahim menuju jamratul ‘aqabah. Setan pun kembali menggodanya. Beliau pun melemparnya dengan tujuh kerikil, hingga setan itu pergi lalu menggodanya kembali di jamratul wustha. Ibrahim pun melemparnya dengan tujuh kerikil. Dan di sanalah Isma’il dibaringkan, dalam keadaan Isma’il memakai gamis berwarna putih. Lalu ia (Ismail) berkata: ‘Wahai ayahku, aku tidak memiliki baju yang mengafaniku selain ini, maka lepaslah agar ia menjadi kain kafanku.’ Ketika beliau hendak melepasnya, terdengarlah panggilan dari belakangnya: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah menjalankan mimpimu.’ Ibrahim pun berbalik, ternyata ada seekor domba putih, bertanduk, dan bermata lebar. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Sungguh kami pernah menjual jenis domba seperti ini’.” (HR. Ahmad, 1/297, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 1/638, Al-Baihaqi, 5/153, At-Thabari dalam Tafsir-nya, 23/80. Al-Hakim menyatakan: “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim; dan keduanya tidak mengeluarkannya.” Dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahih At-Targhib Wat-Tarhib: 2, no. 1156)

Berqurban, Sebagai Bukti Pengorbanan
Ayat yang mulia ini menjelaskan betapa beratnya cobaan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada Ibrahim ‘alaihissalam serta betapa besarnya pengorbanannya sebagai bentuk pembuktian dirinya sebagai hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berserah diri sepenuhnya, dan sebagai khalilullah yang memurnikan kecintaannya hanya untuk-Nya. Dan ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan cobaan kepada hamba-hamba-Nya dengan berbagai jenis cobaan, untuk membuktikan keimanan hamba tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا يَأْتِيهِم مِّن ذِكْرٍ مِّن رَّبِّهِم مُّحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ

لَاهِيَةً قُلُوبُهُمْ ۗ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَٰذَا إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ ۖ أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ

“Tidaklah datang kepada mereka suatu ayat Al-Qur`an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi) hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang dzalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (juga) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?’.” (Al-Anbiya`: 2-3)

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Ibrahim ‘alaihissalam akhirnya memang tidak melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian tersebut bukan dalam rangka mewujudkan penyembelihan terhadap anaknya tersebut, namun semata-mata untuk membuktikan kecintaan Ibrahim ‘alaihissalam yang murni hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini mirip dengan kisah yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tiga orang dari kalangan Bani Israil: orang yang berpenyakit sopak, si botak, dan si buta.
Allah Subhanahu wa Ta’ala hendak menguji mereka dengan mengutus seorang malaikat, lalu mendatangi orang yang berpenyakit sopak, lalu bertanya: “Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan hilang penyakit yang karenanya manusia merasa jijik dariku.” Maka malaikat itu pun mengusapnya, hingga hilanglah penyakit tersebut dan ia diberi warna kulit yang indah. Lalu dikatakan kepadanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” ia menjawab: “Unta.” Maka ia pun diberi unta betina yang sedang bunting, dan dikatakan kepadanya: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si botak dan bertanya: “Apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Rambut yang indah dan hilangnya apa yang membuat manusia merasa jijik dariku.” Malaikat itu pun mengusapnya sehingga hilanglah botaknya dan dia diberi rambut yang indah. Lalu dia ditanya: “Harta apa yang paling engkau sukai?” Ia menjawab: “Sapi.” Maka ia pun diberi sapi betina yang bunting. Lalu dikatakan kepadanya: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi berkah untukmu.”
Lalu malaikat itu mendatangi si buta, dan berkata seperti yang diucapkan kepada yang sebelumnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan penglihatannya dan diberi seekor kambing yang bunting.
Tidak lama kemudian harta mereka berkembang biak. Sehingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Lalu datanglah malaikat tersebut kepada orang yang pernah berpenyakit sopak, dalam bentuk dan keadaannya yang dulu lalu berkata: “Aku orang miskin. Aku sudah tidak punya bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang dapat melanjutkan perjalananku kecuali karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian karena engkau. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah memberikan kepadamu warna kulit yang indah, kulit yang bagus, dan harta, agar engkau berikan aku seekor unta sehingga aku dapat melanjutkan perjalananku.” Ia menjawab: “Banyak hak-hak manusia yang harus ditunaikan.” Si miskin berkata: “Sepertinya aku mengenalmu, bukankah dahulu engkau berpenyakit sopak dan manusia merasa jijik darimu, miskin, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan ini semua kepadamu?” Ia menjawab: “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku yang mulia secara turun-temurun.” Maka si miskin berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikanmu seperti dulu. ”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si botak dan berkata kepadanya seperti yang dikatakan kepada sebelumnya, dan si botak pun menjawab seperti jawaban orang sebelumnya (yang berpenyakit sopak). Maka ia (malaikat) berkata: “Jika engkau berdusta, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan engkau seperti dulu.”
Lalu ia (malaikat) mendatangi si buta dalam bentuk dan keadaannya (yang dahulu), kemudian berkata: “Aku orang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalananku. Tidak ada yang menyampaikanku hari ini kecuali dengan bantuan Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bantuanmu. Aku meminta kepadamu dengan nama Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu agar engkau berikan aku seekor kambing yang dapat menyampaikanku dalam perjalananku.” Maka ia menjawab: “Dahulu aku buta, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah harta mana yang engkau inginkan dan tinggalkan yang mana yang engkau mau. Demi Allah, aku tidak merasa berat padamu pada hari ini dengan sesuatu yang engkau mengambilnya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menjawab: “Jagalah hartamu, sesungguhnya kalian hanyalah diuji. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meridhaimu, dan murka terhadap dua temanmu.” (Muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini menunjukkan bahwa malaikat tersebut tidak berkeinginan untuk mengambil harta si buta, namun hanya sekedar memberi ujian terhadap kebenaran imannya. Dan hal tersebut telah terbukti. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah pengorbanan Ibrahim ‘alaihissalam ini.
Wabillahit taufiq.

(Sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=578)