Beberapa Faedah, Nasihat dan Adab Salafussholih

Beberapa Faedah, Nasihat dan Adab Salafussholih

Beritahu yang lain

Share on twitter
Share on telegram
Share on whatsapp

BAB 28
Beberapa Faedah, Nasihat, dan Adab

245. Yahya bin Mu’adz berkata :
[ Sejelek-jelek saudara adalah yang kamu sampai butuh mengatakan :
“Ingatlah saya dalam doamu … .”
Dan sebagian besar manusia pada hari ini hanya saling mengenal jarang ada yang berteman secara zhahir apalagi persaudaraan dan persahabatan. Ini adalah sesuatu yang telah lenyap. Maka janganlah kamu terlalu mengharapkannya. Saya tidak tahu ada seseorang yang murni bersahabat dengannya saudaranya senasab (keturunan) juga anak dan isterinya maka tinggalkanlah keinginan untuk mencari persahabatan yang murni dan tulus. Jadilah orang yang asing dan bergaullah sebagaimana bergaulnya Al Ghuraba’. Dan berhati-hatilah kamu (jangan) tertipu oleh orang yang menampakkan rasa cinta kepadamu karena sesungguhnya seiring perjalanan waktu akan tampak olehmu cacat cinta yang ditunjukkannya. Dan Al Fudlail bin Iyyadl berkata :
“Jika kamu ingin berteman dengan seseorang maka buatlah agar ia marah maka jika kamu lihat keadaannya sesuai dengan syari’at maka bertemanlah dengannya.”
Situasi saat ini sangat mengerikan sebab jika kamu membuatnya marah maka ia akan menjadi musuhmu saat itu juga. Adapun penyebab hilangnya persahabatan yang murni adalah kecintaan terhadap dunia yang menguasai hati. Sedangkan Salafus Shalih, perhatian mereka senantiasa hanya tertuju kepada akhirat maka mereka pun memurnikan niat dalam mencari saudara dan mereka bergaul dengan sesamanya karena agama bukan karena dunia. Maka jika kamu lihat berkaitan dengan masalah agama maka ujilah ketika ia marah. ] (Adabus Syari’ah 3/581)
246. Al Qadii Abu Ya’la berkata :
[ Jika kamu berjalan janganlah menoleh-noleh karena pelakunya dapat dikatakan sebagai orang yang tolol.
Syaikh Abdul Qadir berkata : “Bersiul dan bertepuk tangan adalah dua hal yang dibenci. Begitu pula bersandarnya seseorang hingga keluar dari posisi duduknya sebab hal itu adalah tindakan kesombongan dan menghina teman duduk kecuali karena uzur dan juga dibenci menggigit-gigit (permen) karet karena ini adalah perbuatan yang rendah. Juga dibenci tertawa terbahak-bahak dan meninggikan suara tanpa ada kepentingannya. Dan sepantasnya seseorang itu berjalan dengan sederhana (seimbang-tenang, pent.) tidak perlu terburu-buru sehingga menabrak orang lain dan menyusahkan diri sendiri. Jangan pula berjalan selangkah demi selangkah yang dapat menimbulkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Dan termasuk pula perkara yang dibenci adalah menangis meratap-ratap dan menyanyikan lagu-lagu kematian kecuali jika itu karena takut kepada Allah Ta’ala dan menyesal karena kehilangan waktu yang sia-sia (tanpa amal) yang juga merupakan perbuatan yang dibenci adalah membuka tutup kepala di tengah-tengah manusia dan bagian tertentu yang bukan aurat namun biasanya tertutup.” ] (Adabus Syari’ah 3/375)
247. Al Fudlail berkata :
“Saya lihat jiwaku ini ramah bergaul dengan mereka yang dinamakan teman maka saya cari dari pengalaman ternyata kebanyakan mereka adalah orang-orang yang iri (dengki) terhadap nikmat (kebahagiaan) temannya dan mereka tidak menyembunyikan kekeliruan (zallah) temannya dan senang mengabaikan hak teman duduknya juga tidak mau membantu temannya dengan harta mereka maka sebab itu (ketika) saya perhatikan perkara ini ternyata kebanyakan teman itu iri (dengki) dengan kenikmatan orang lain. Padahal Al Haq (Allah) Yang Maha Suci sangat cemburu kepada hati seorang Mukmin yang cenderung jinak dengan sesuatu (selain Allah) maka Ia keruhkan dunia dan penghuninya agar si Mukmin hanya menyenangi-Nya (jinak kepada Allah).
Maka sepantasnya kamu menganggap semua makhluk itu sebagai kenalan dan jangan kamu tampakkan rahasiamu kepada mereka. Jangan kamu anggap sahabat orang yang tidak cocok untuk digauli tetapi pergaulilah mereka secara zhahir. Jangan bercampur dengan mereka kecuali dalam keadaan darurat dan itupun sejenak saja kemudian tinggalkanlah mereka. Setelah itu hadapilah urusanmu sambil berserah diri kepada Penciptamu (Allah) sebab sesungguhnya tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan selain Allah dan tidak ada yang dapat menolak kejelekan kecuali Dia.” (Al I’tisham 1/158)
248. Ia juga berkata :
“Apabila terjadi kekasaran di antara kamu dan seseorang maka berhati-hatilah kamu darinya jangan kamu harapkan persahabatan yang murni dan mempercayainya sebab sesungguhnya dia akan selalu memperhatikan tindak-tandukmu sedangkan kedengkiannya tersembunyi. Adapun orang yang awam maka menjauh dari mereka merupakan keharusan. Karena mereka tidak termasuk jenismu maka jika kamu terpaksa duduk bersama dalam majelis mereka maka (lakukanlah) sesaat saja dan jagalah kewibawaan dan kewaspadaanmu sebab bisa jadi kau mengucapkan satu kata dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang keji. Jangan kau menyuguhkan ilmu kepada orang yang jahil dan (jangan pula) kamu suguhkan orang-orang yang lalai (suka bermain-main) dengan fiqih dan orang yang dungu dengan keterangan (Al Bayan) tapi perhatikanlah apa yang menyelamatkan mereka dengan lemah-lembut dan berwibawa. Jangan meremehkan musuh-musuhmu karena mereka mempunyai tipu daya yang tersembunyi dan kewajibanmu hanyalah bergaul dan berbuat baik kepada mereka secara zhahir. Dan termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang dengki maka tidak pantas mereka mengetahui nikmat yang kamu dapatkan. Dan sesungguhnya Al Ain itu haq sedangkan bergaul dengan mereka secara zhahir itu harus.” (Al Hujjah 1/304)
249. Asy Syathibi berkata :
“Asal kerusakan ini –yaitu mencerca Salafus Shalih– datang dari Khawarij merekalah yang pertama melaknat Salafus Shalih bahkan mengkafirkan shahabat –radliyallahu anhum ajmaiin– dan perbuatan yang seperti ini semuanya menimbulkan permusuhan dan kebencian.” (Al I’tisham 1/158)
250. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Tidak ada seorangpun yang berhak menjadikan orang tertentu sebagai panutan lalu mengajak manusia ke jalan (madzhabnya), bersikap loyal dan memusuhi di atas jalan itu selain Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tidak pula ada yang berhak melahirkan ucapan yang dijadikan pegangan (pedoman) untuk bersikap loyal dan memusuhi selain Kalam Allah dan ucapan Rasul-Nya dan apa yang telah disepakati oleh ummat (shahabat). Sebab hal itu tidak lain merupakan perbuatan ahli bid’ah yang senang mengangkat orang tertentu dan melontarkan suatu perkataan yang justru pada akhirnya memecah belah ummat. Mereka menyerahkan loyalitasnya demi pendapat tersebut atau yang mereka nisbatkan (sandarkan) diri mereka kepadanya dan memusuhi orang lain demi membela pendapat dan penisbatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa 20/164)
251. Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Jika kamu lihat satu kaum berbisik-bisik dengan satu urusan tanpa diikuti (diketahui) oleh khalayak ramai berarti mereka di atas landasan kesesatan.” (Ad Darimy 1/103 nomor 307)
252. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Adapun jika mereka berpindah dari satu madzhab ke madzhab lainnya karena perintah agama misalnya telah jelas baginya keterangan yang lebih kuat lalu ia kembali berpegang dengan pendapat yang ia pandang lebih dekat kepada apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya maka ia diberi pahala dengan sikap yang demikian akan tetapi wajib bagi setiap orang untuk tidak menyimpang atau mengikuti siapapun yang menyelisihi hukum Allah dan Rasul-Nya apabila telah jelas baginya ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah mewajibkan ketaatan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di atas ketaatan kepada siapapun dan dalam keadaan bagaimanapun.” (Fatawa Al Kubra 5/96)
253. Umar bin Al Khaththab berkata :
“Sesungguhnya saya benci kepada orang yang berjalan sia-sia yaitu tidak karena urusan dunia dan tidak pula akhirat.” (Adabus Syariah 3/588)
254. Ibnu Mas’ud berkata :
“Sungguh saya benar-benar membenci orang yang kosong tidak beramal untuk dunia dan tidak pula untuk akhirat.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf halaman 38)
255. Ibnul Atsir berkata :
“Sesungguhnya meninggalkan ahli ahwa dan ahli bid’ah terus berlangsung seiring perjalanan masa selama mereka tidak menampakkan taubat dan kembali kepada yang haq.” (An Nihayah 5/245)
256. Ibnu Umar berkata :
“Saya tidak mengetahui satu perkara di dalam Islam ini yang menurutku lebih utama daripada selamatnya hatiku dari hawa nafsu yang suka berselisih ini.” (Al Hujjah fi Bayanil Mahajjah 1/304)
Abu Abdillah Jamal bin Farihan berkata :
“Saya pun tidak mengetahui satu perkara di dalam agama Islam ini yang menurutku lebih utama daripada aku diselamatkan Allah dari sikap fanatik golongan yang sangat dibenci ini yang menelan kurban dari kalangan pemuda dan sebagian para dai di masa kini dan fanatisme itu juga telah mengotori pikiran mereka dan menghalangi mereka dari manhaj Salafus Shalih.”
257. Ayyub bin Al Qariyyah berkata :
“Orang yang paling berhak mendapatkan penghormatan ada tiga yaitu ulama, saudara (sesama Mukmin), dan para penguasa maka siapa yang meremehkan ulama berarti ia merusak kepribadiannya sendiri dan siapa meremehkan penguasa berarti ia merusak dunianya dan orang yang berakal itu tidak akan meremehkan siapapun, adapun yang disebut sebagai orang yang berakal adalah orang yang menjadikan agama itu sebagai dasar syariatnya dan kesantunan adalah wataknya sedangkan logika yang baik adalah pembawaannya.” (Jami’ Bayanil Ilmi Ibnu Abdil Barr 231)
258. Diriwayatkan dari Aly bin Abi Thalib bahwa ia berkata :
[ Di antara hak-hak orang yang berilmu yang harus kamu penuhi adalah jika kamu mendatanginya berilah salam khusus untuknya lalu untuk seluruhnya kemudian duduklah di hadapannya dan jangan memberi isyarat dengan tanganmu dan jangan memandangnya dengan remeh dan jangan berkata :
“Si Fulan mengatakan pendapat yang berbeda dengan pendapat Anda!”
Dan jangan menarik pakaiannya, jangan mendesak dalam bertanya karena sesungguhnya kedudukannya bagaikan kurma yang masih basah yang akan selalu jatuh kepadamu. ] (Ibid)
259. Imam An Nawawi berkata :
“Dalam hadits ini [sikap Ibnul Mughaffal yang meninggalkan shahabatnya yang menolak (tetap melempar) sesudah dilarangnya padahal telah disampaikannya sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam] terdapat pelajaran tentang bolehnya meninggalkan ahli bid’ah dan kefasikan serta orang-orang yang menolak As Sunnah padahal ia telah mengetahuinya. Bahkan sesungguhnya boleh pula meninggalkan (menjauhi)nya selama-lamanya.” (Syarh Shahih Muslim 13/106)
260. Dikatakan kepada Imam Al Mizzy : “Si Fulan membencimu!”
Ia menjawab : “Dekat kepadanya bukanlah keramahan dan jauh darinya bukanlah sesuatu yang menakutkan.” (Adabus Syari’ah 3/575)
261. Al Ashma’i berkata, Abu Amru bin Al Ala’ berkata kepadaku :
“Wahai Abdul Malik, berhati-hatilah kamu terhadap orang yang mulia jika kamu menghinanya dan terhadap si pencela jika kamu memuliakannya, serta waspadalah terhadap orang yang berakal jika kamu menyulitkannya, juga terhadap orang yang tolol jika kamu bergurau dengannya. Dan berhati-hatilah kamu terhadap orang yang jahat jika kamu bergaul dengannya dan bukanlah termasuk adab (akhlak yang baik, ed.) menjawab orang yang tidak menanyaimu atau kamu bertanya pada orang yang tidak dapat menjawab atau kamu berbicara dengan orang yang tidak mau diam memperhatikan (ucapan)mu.” (Ibid)
262. Umar bin Abdul Aziz berkata :
“Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu (Salafus Shalih) itu berhenti di atas dasar ilmu dengan bashirah yang tajam (menembus) mereka, menahan (dirinya), dan mereka lebih mampu dalam membahas sesuatu jika mereka ingin membahasnya.” (Bayan Fadlli Ilmis Salaf 38)
Ibnu Rajab berkata :
“Dan sungguh orang yang datang belakangan lebih banyak terfitnah dalam perkara ini. Mereka menyangka bahwa orang yang banyak ucapannya, debatnya ataupun bantahannya dalam masalah agama adalah orang yang paling berilmu dibanding orang yang tidak seperti itu maka ini sesungguhnya benar-benar kebodohan yang murni, coba perhatikan para pembesar shahabat dan ulama mereka seperti Abu Bakr, Umar, Aly, Mu’adz, Ibnu Mas’ud, dan Zaid bin Tsabit radliyallahu anhum, bagaimana keadaan mereka padahal ucapan mereka lebih ringkas dari ucapan Ibnu Abbas dan mereka jelas lebih alim dibanding Ibnu Abbas. Begitu pula dengan para tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para shahabat sedangkan para shahabat lebih alim dibandingkan mereka juga para tabi’ut tabi’in, ucapan mereka lebih banyak daripada ucapan para tabi’in namun para tabi’in lebih alim (berilmu) dari mereka. Jadi jelaslah bahwa ilmu tidak diukur dengan banyaknya periwayatan apalagi pendapat akan tetapi ilmu itu adalah cahaya yang diletakkan Allah di dalam hati seorang hamba sehingga ia dapat mengenal yang haq dan membedakannya dari yang bathil serta mampu menerangkan yang haq itu dengan ungkapan-ungkapan yang ringkas dan tepat menurut tujuannya.” (Ibid)
Begitu pula para ulama Rabbani seperti Syaikh Al Allamah Abdul Aziz bin Baaz, Al Albani, Al Utsaimin, dan Syaikh Shalih Al Fauzan. Ucapan mereka lebih ringkas dibandingkan ucapan orang-orang yang menjuluki diri sendiri sebagai dai padahal mereka memenuhi isi kaset ceramah mereka dengan berbagai ungkapan yang panjang lebar (bertele-tele, pent.) sedangkan beliau-beliau ini jauh lebih alim daripada mereka.
263. Ibnu Rajab berkata :
[ Maka wajib diyakini bahwa tidaklah setiap orang yang luas pembahasan dan perkataannya dalam masalah ilmu lebih alim dari orang yang tidak demikian keadaannya. Dan sungguh kita pernah diuji dengan kebodohan sebagian manusia yang meyakini bahwa luasnya pembahasan orang-orang yang datang belakangan menunjukkan mereka lebih berilmu daripada orang-orang yang terdahulu. [Seperti ungkapan mereka : “Perkataan Khalaf (orang-orang yang datang belakangan itu lebih berhikmah (ahkam), berilmu (a’lam) dan lebih selamat (aslam). Tidakkah mereka tahu apa bedanya bintang tsurayya dan apa yang di bawah (tahta) ats tsara?? Setiap kebaikan (hanya) dengan mengikuti Salaf, pent.] ] (Ibid)
264. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :
“Bukan suatu aib bagi seseorang untuk menampakkan madzhab Salafus Shalih, menisbatkan diri dan bersandar kepadanya bahkan wajib menerimanya dengan (menurut) kesepakatan para ulama karena sesungguhnya madzhab Salafus Shalih itu tidak lain hanyalah kebenaran.” (Al Fatawa 4/149)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)