asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
Pertanyaan: BAGAIMANA MEMBANTAH KEBID’AHAN UCAPAN SESEORANG “Bila Hadits sesuai akal maka hadits tersebut shahih dan bila tidak sesuai akal maka hadits tersebut berarti tidak shahih?”
Jawaban:
Bantahannya; bahwa ini merupakan tolok ukur yang batil.
Bila kita menjadikan akal sebagai penentu terhadap keshahihan hadits niscaya kita termasuk orang-orang pengekor hawa nafsu mereka.
Dengan tolok ukur yang bagaimana kita ingin menimbang hadits-hadits? Sebab, terkadang ada orang yang melihatnya menyalahi akal sedangkan orang lain justru melihatnya sesuai dengan akal; oleh sebab itu pada semua akal itu berbeda-beda, tidak sama pendapatnya.
✔ Dan akal yang sehat serta terhindar dari syubuhat serta syahwat (hawa nafsu) adalah akal yang menerima riwayat yang shahih dari Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik ia mendapatkan hikmahnya di balik itu ataupun belum mendapatkannya.
Sedangkan siapa saja yang mengucapkan seperti ucapan tersebut maka berarti dia menyembah Allah berdasarkan hawa nafsunya, bukan diatas petunjuk-Nya.
Sumber: Majmu’ al-Fatawa al-Haram al-Makki, juz 1 hlm. 389.
Alih bahasa: Abu Utbah Miqdad hafizhahullaah.
WA Forum Riyadhul Jannah Wonogiri.