SYUBHAT KELIMA
PEMILU TERMASUK MASHALIH AL MURSALAH
Kami terjun ke dalam pemilu karena ia termasuk mashalih al mursalah, begitu kata mereka.
Maka jawabannya :
1. Mashalih al mursalah bukanlah salah satu pokok agama yang wajib diamalkan namun ia merupakan washilah (sarana perantara) yang bila telah terpenuhi syarat-syaratnya baru boleh diamalkan. Para ulama ushul menyebut mashalihul mursalah setelah pembahasan masalah qiyas dan saat membahas al istihsan.
2. Definisi maslahat ialah perkara yang tidak ada nasnya secara langsung berupa pengharaman atau yang mewajibkan namun berada di bawah hukum pokok yang umum. Definisi lain yang disebutkan oleh para ulama ushul, maslahat adalah suatu keadaan yang tidak ada ketetapannya dari sisi syar’i.
Para shahabat telah mengambil mashalih mursalah. Begitu pula tabi’in dan atba’ut tabi’in. Termasuk maslahat mursalah adalah mengumpulkan Al Quran hanya pada naskah yang dipilih oleh Utsman, mengarang kitab fiqih dan kitab-kitab bahasa Arab serta kitab ilmu hadits dan mencampakkan selainnya.
Sebagaimana telah disebutkan di depan bahwa mashlahat al mursalah tidak termasuk dalam hukum-hukum pokok namun ia termasuk perkara ijtihadiyah yang pendapat seseorang bisa salah dan bisa benar. Syariat secara keseluruhan datang dalam rangka merealisir kemaslahatan manusia, menghilangkan kesusahan dan kesempitan sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Miftah Darus Sa’adah (2/23).
Dari pemaparan singkat di atas dapat kita simpulkan bahwa syariat datang untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Atas dasar ini mashlahat al mursalah mempunyai syarat-syarat yang wajib dijaga apabila syarat-syaratnya terpenuhi maka boleh diambil. Maka, apakah kalian menjaga syarat-syarat tersebut? Dan akan kita bawakan syarat-syaratnya setelah menjelaskan syubhat kelima belas, Insya Allah.
Berkata Imam Asy Syathibi dalam kitabnya Al Muwafaqat (4/ 210) :
“Mengambil mashalih mursalah adalah benar dengan syarat mampu dan memaksakan.”
Mashalih mursalah adalah perkara-perkara yang tidak ada ketetapannya di sisi syariat. Di antaranya perkara-perkara yang bersifat umum dan khusus. Adapun pembahasan kita (pemilu) maka mafsadat-mafsadatnya telah lalu kita sebutkan yang mana orang berakal tidak ragu lagi menggolongkannya ke dalam mafasid al muharramah (mafsadat-mafsadat yang haram) sebagai ganti dari mashalih mursalah.
SYUBHAT KEENAM
PEMILU DAN HIZBIYYAH ADALAH PERSOALAN ARTIFISIAL BUKAN SUBSTANSIAL
Mereka mengatakan, kami tidak mendapati dalam Al Quran dan As Sunnah seujung kuku nash yang menyinggung permasalahan pemilu ini.
Kami katakan, perkataan kalian bahwa perkara ini adalah perkara artifisial dan bukan substansial adalah kesalahan yang sangat fatal.
1. Bagaimana mungkin ia merupakan perkara artifisial sementara terkandung di dalamnya penghamburan harta, pergumulan dengan musuh, masalah al wala’ wal bara dan pendekatan diri kepada Allah (politik adalah ibadah, ed.) sebagaimana yang kalian dakwakan. Juga kalian memandang diri kalian dengan pemilu tersebut sebagai para pembela kebenaran dan memandang wajib bagi kaum Muslimin untuk ikut bergabung bersama kalian di dalam hizbiyyah.
Kalau ini semua adalah perkara artifisial lantas apa yang substantif menurut kalian?
2. Bagaimana mungkin semua ini merupakan masalah yang artifisial padahal zahir keadaan kalian, baik perkataan maupun perbuatan menunjukkan bahwa ia (hizbiyyah) adalah satu-satunya manhaj dan pilihan yang tepat untuk menegakkan agama Allah? Apakah kalian telah bersikap jujur pada diri kalian sendiri? Jika kalian mengatakan ya, lantas adakah artifisialitas pada masalah terpenting dalam agama yakni mengokohkan tauhid di muka bumi?
Jika kalian mengatakan :
“Tidak, kami tidak percaya ketika kalian mengatakan hal tersebut.”
Maka cukuplah kalian sendiri yang akan menanggung akibatnya. Wallahul musta’an.
Islam seluruhnya adalah substansi yaitu akidah lurus yang menancap di dalam hati, tauhid yang uniyersal, al wala’ wal bara’ dan sikap tunduk kepada kebenaran. Tidak ada masalah-masalah kulit seluruhnya adalah isi.
3. Artifisialisme telah dicampakkan oleh Islam karena ia merupakan perbuatan orang munafik, menampakkan sesuatu yang berbeda dari apa yang mereka sembunyikan, mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang mereka perbuat, dan berbuat yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah kepada mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Munafiqun : 2)
Senjata kaum munafik adalah sikap yang tampak karena ini Allah Ta’ala berfirman tentang shalat mereka :
“Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An Nisa’ : 142)
Dan semua kegiatan agama mereka seperti ini. Inilah artifisialisme yang telah dicampakkan oleh Islam. Semua ini membahayakan pelakunya dan dapat membuatnya terperosok ke jurang neraka yang paling bawah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman.” (QS. An Nisa’ : 145)
Allah mengajak hamba-Nya untuk bersikap jujur dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, mencintai-Nya dan takut dari azab-Nya, ridha terhadap hukum-Nya dan pasrah terhadap syariat-Nya, dan waspada terhadap perintah dan larangan-Nya, tawakkal dan percaya kepada-Nya dan mendengarkan perkataan-Nya. Ini semua adalah substansi dan Islam seluruhnya mendorong kepada hal ini.
4. Tampaknya kalian banyak bergelut dengan istilah-istilah. Kalian telah siap sedia untuk memenuhi dunia ini dengan istilah-istilah serta menyibukkan masyarakat dan para penuntut ilmu dengan segala istilah itu. Lalu kalian mempopulerkannya dan kalian menipu manusia sampai batas waktu tertentu. Hukum-hukum pun telah “dipersiapkan” agar sesuai dengan sistem dan hawa nafsu kalian. Kompromi adalah hal yang masyru’ (disyariatkan), kompromi antara yang haq dan yang batil selama dalam hal itu ada kemaslahatan yang terwujud bersama hizbiyyah dalam pandangan kalian. Demi Allah kami katakan ini bukan sebagai celaan namun sangat memprihatinkan bahwa ini adalah kenyataan. Hak Muslim terhadap Muslim lainnya adalah jujur dan jelas dalam memberi nasihat dan kami telah menyinggung permasalahan ini dalam berbagai majlis.
Kami tidak melihat adanya jawaban bahkan kami melihat kalian terus menerus menyelisihi syariat dan bersungguh-sungguh dalam memojokkan Ahlus Sunnah. Maka menguatlah dorongan pada diri kami untuk mengajukan bantahan dan sanggahan ketika kalian menampakkan penyelisihan terhadap al haq.
Allah Yang Maha Mengetahui segala yang berada di balik tujuan dan Dia-lah tempat meminta tolong dan perlindungan.
SYUBHAT KETUJUH
KAMI BERNIAT BAIK
Mereka hendak mengatakan bahwa :
“Kami tidak berdosa karena niat dan tujuan kami yang baik. Keinginan kami tidak lain adalah menolong Islam.”
Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak bisa menggapainya. Kebaikan tidak akan terwujud dengan semata-mata bermodalkan niat yang baik dan mengabaikan kebenaran.
Sudah terang –laksana matahari di siang bolong– bahwa seluruh amalan tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan dua syarat yakni :
1. Ikhlas yakni seseorang beramal mencari keridhaan Allah Azza wa Jalla dan
2. Selaras dengan syariat Allah sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah.
Apabila hilang salah satu dari dua syarat di atas tidaklah diterima amalan tersebut di sisi Allah. Kami menganggap bahwa kalian memang menginginkan kebaikan. Namun itu tidaklah cukup. Amalan shalih harus sesuai dengan syariat dalam bilangan, tata cara, sifat dan bentuk, mula dan akhir, dalam pokok dan cabang hukum, serta dalam tempat dan waktu.
Dalil-dalil tentang hal itu adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru dalam urusan kami ini (agama Islam) maka ia tertolak.” (Muttafaq ‘alaihi dari Aisyah radliyallahu ‘anha)
Dan dalam Shahih Muslim :
“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang bukan dari agama kami maka itu tertolak.”
Lafazh man termasuk lafazh-lafazh yang umum. Perbuatan apapun yang mengada-ngada ini seluruhnya tertolak. Maka otomatis ibadahnya ahli bid’ah tertolak. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah bersabda :
“Sesungguhnya Allah menghalangi taubat pelaku bid’ah hingga dia meninggalkan bid’ahnya.” (Riwayat Thabrani, Baihaqi, dan Adh Dhiya dari Anas radliyallahu ‘anhu)
Ahli ibadah ini memacu jiwanya dan bersemangat dalam beribadah kepada Rabb-nya. Namun Allah tidak menerima sedikitpun amalan yang ia lakukan kendati dia sangat mengharapkan pahala dari sisi Allah. Keikhlasannya dalam beramal tidak dibarengi dengan mengkaji sumber syariat amalan tersebut.
Tiap kali dia sungguh-sungguh bertaubat, taubatnya senantiasa tertolak meski niatnya baik dan tujuannya agung. Hal ini tidak menyelamatkan pelakunya dari kesalahan-kesalahan sama sekali.
Diriwayatkan dalam Shahihain dari hadits Usamah bin Zaid, beliau mengatakan :
[ Saya pernah mengejar seorang musyrikin bersama seorang Anshar ketika kami hampir membunuhnya dia mengatakan Laa Ilaha Illallah. Temanku mengurungkan niatnya dan saya memenggalnya hingga tewas. Lantas saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal itu, beliau menjawab :
“Apakah kamu membunuhnya setelah dia mengucapkan Laa Ilaha Illallah?” Saya berkata : “Wahai Rasulullah, dia mengucapkan demikian hanya untuk berlindung diri.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam balik bertanya : “Apakah kamu telah membelah hatinya? Lantas apa yang akan kamu lakukan dengan kalimat Laa Ilaha Illallah apabila telah datang hari kiamat?”
Usamah mengatakan, beliau terus mengulang-ngulangnya sampai saya berandai-andai bahwa saya belum masuk Islam kecuali pada hari ini. ]
Lihatlah Usamah dan maksudnya yang baik untuk menolong Islam. Apakah dia bermaksud jahat? Tidak! Meski demikian, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencela perbuatannya dan tidak memaafkan dengan sebab tujuannya yang baik.
Demikian pentingnya masalah ini hingga para ulama pun telah mengarang banyak kitab yang memperingatkan umat dari bahaya bid’ah.
Adapun bid’ah adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Lihatlah kitab Al I’tisham karya Asy Syatibi. Dengan sangat baiknya beliau berbicara tentang bahaya bid’ah, jenis-jenis dan cabangnya.
Seandainya orang-orang yang mengatakan, “niatku baik dan tujuanku baik” dapat dibenarkan tentu hal ini akan menyebabkan banyak orang melakukan pembunuhan lantas berlindung di balik alasan “niatku baik”.
Orang yang mengkonsumsi minuman keras akan berkata “niatku baik”. Yang seperti ini banyak dan kerap terjadi karena menyangkut aktifitas hati. Kita tidak mampu untuk menetapkannya dan kita tidak bisa mengambil faidah kecuali dengan dalil yang menyertainya dari luar (hati).
Allah telah membimbing kita untuk mengambil lahiriah berbagai perkara dan Allah-lah yang menguasai urusan yang tersembunyi. Oleh karena inilah Umar berkata sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan lainnya :
“Sesungguhnya wahyu telah terhenti dan sesungguhnya kami menghukumi kalian dengan hal-hal yang tampak bagi kami dari perbuatan kalian. Barangsiapa yang nampak bagi kami kebaikannya maka kami berikan keamanan dan rahasianya bukanlah urusan kami sedikitpun. Allah yang akan menghisab rahasia-rahasia mereka. Barangsiapa yang nampak bagi kami kejahatannya, kami tidak akan memberikan jaminan keamanan dan tidak akan mempercayainya meski dia mengatakan :
‘Sesungguhnya hatiku berniat baik.’
Sesungguhnya kami tidak bersedia untuk menerima orang yang mengaku hatinya baik. Kami memiliki dalil-dalil yang menunjukkan bahwa zhahir yang baik adalah bukti atas batin yang baik dan rusaknya zhahir merupakan bukti atas rusaknya batin.
Rasulullah bersabda :
‘Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh jasad, bila ia rusak maka rusaklah seluruh jasad.’” (Muttafaq ‘alaihi dari Nu’man bin Basyir)
Orang yang sudah diketahui kebaikannya lalu terjadi padanya kekeliruan dalam perkataan maupun perbuatan maka mungkin kekeliruan tersebut dilakukan atas dasar tujuannya yang baik. Dan mestinya dia diingatkan dari perkara-perkara yang keliru. Adapun orang yang sudah diketahui sebagai orang yang menyimpang dari syariah dan tidak mau menerima kebenaran maka kekeliruannya tidak mungkin ditolerir. Yang saya pahami, sebagian tokoh pergerakan Islam telah mengetahui bahwa pemilu adalah haram. Namun mereka terus ikut serta apapun keadaannya. Dan kami berbaik sangka bahwa mayoritas mereka menginginkan hal itu dalam rangka menolong Islam. Akan tetapi “betapa banyak orang yang mencari kebenaran tidak bisa menggapainya”. Bila memang benar kita ingin menolong agama Islam maka sebaik-baik petunjuk adalah petuniuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Seperti kata Imam Malik :
“Umat terakhir tidak akan bisa baik kecuali dengan sesuatu yang telah membuat baik umat pertama.”
Wallahu musta’an.
SYUBHAT KEDELAPAN
MENDIRIKAN NEGARA ISLAM
Para pemikir Islam mengatakan :
“Kami terjun dalam pemilu dalam rangka mendirikan negara Islam.”
Persoalannya adalah bagaimana mungkin orang yang di awal langkahnva menginjak-nginjak Islam dapat menegakkan negara Islam dan menerapkan hukum syariat sementara dia sendiri adalah orang yang pertama kali mengalah dalam perkara syariat? Bukankah undang-undang pemilu adalah bagian dari UU sekuler yang diimpor dari Eropa?
Jawabnya :
Tentu sebagaimana telah lalu.
Bila mereka benar-benar ingin menegakkan negara Islam sesuai dengan ucapan mereka, kenapa mereka tidak memulainya dengan menolak pemilihan umum? Dan mengatakan, kami tidak menerima pemilu karena ia adalah sistem thaghut. Kami tidak pernah mendengar seorang pun dari mereka membantah bencana ini. Bahkan dengan tunduknya mereka kepada UU (barat) dalam perkara pemilu berarti mereka telah siap untuk berkompromi setiap kali mereka hendak memperbaiki hukum-hukum demokrasi. Bagaimana mungkin mereka ridha diatur oleh hukum ala barat lalu mengatakan, kami akan menegakkan hukum Allah? Ini semua hanya slogan kosong belaka.
Dan ini kami anggap sebagai sikap merendahkan diri dan memang mereka selalu mengalah. Sekedar contoh, mereka mengatakan :
“Kami akan menegakkan negara Islam.”
Dan mereka terus menggembar-gemborkan kalimat ini dalam beberapa masa kemudian kita tidak mendengar apapun melainkan mereka telah memiliki slogan baru yakni :
“Sesungguhnya kami tidaklah menginginkan kecuali perbaikan sesuai dengan kadar kemampuan.”
Mereka mengalah dari rencana menegakkan negara sampai akhirnya menghendaki perbaikan menurut kadar kemampuan mereka. Padahal tidak diragukan lagi bahwa wajib bagi tiap kaum Muslimin untuk memperbaiki apa yang mereka mampu. Ayat ini adalah ucapan Nabiyullah Syuaib Alaihis Salam pada asalnya. Lantas mereka menjadikan agama dan ayat semata-mata hanya sebagai kumpulan slogan omong kosong.
Slogan terakhir yang mereka serukan merupakan bukti dari sekian banyak sikap mengalah mereka. Bisa diambil kesimpulan bahwa mereka telah gagal dalam memberikan gambaran yang lemah sekitar penegakkan daulah Islam. Dan mereka terus meniti tangga-tangga untuk mengalah. Kami sangat khawatir mereka akan menghilangkan yang masih tersisa pada mereka yakni Islam karena penyimpangan-penyimpangan dimulai sedikit demi sedikit hingga lepas semua. Maha Benar Allah yang telah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langka` setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar.” (QS. An Nur : 21)
Perhatikanlah akhir dari “orang yang menginginkan perbaikan menurut kemampuannya”, ia memerintahkan untuk menyelisihi syariat dengan dalih kemaslahatan. Dan dia mengalah dari satu kebenaran merupakan sebab diturunkannya azab Allah di dunia dan di akhirat.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.
Dan kalau Kami tidak memperkuat(hati)mu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka, kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.” (QS. Al Isra : 73-75)
Kalau begitu, apa artinya mengalah dan manfaat apa yang bisa diambil bila sikap mengalah ini mendatangkan azab Allah yang buruk di dunia dan di akhirat?
Firman Allah Azza wa Jalla :
“Dan pastilah azab di akhirat lebih pedih dan lebih kekal.” (QS. Thaha : 127)
Juga firman Allah lainnya :
“Dan sesungguhnya azab di akhirat lebih hina sedangkan mereka tidaklah ditolong.” (QS. Fushilat : 16)
Orang-orang kafir di sini tidak menuntut kepada Nabi kita agar meninggalkan agamanya karena mereka tahu bahwa Nabi tidak akan melakukan hal itu. Namun mereka menuntut Nabi agar mengalah (memberi konsesi) meski dalam sebagian kecil kebenaran. Rabb kita telah menganugerahkan kepada Nabi kita dengan anugerah kebaikan dan pemahaman yang lurus serta ketegaran dan perlindungan ketika menghadapi orang-orang musyrik. Ayat ini memberikan faidah bahwa menggaet tokoh pimpinan dan penguasa agar mereka menjadi pelopor terdepan dalam barisan dakwah dalam takaran dakwah kepada Allah tidaklah diperbolehkan karena mengalah dalam perkara agama ini walau dengan dalih untuk mewujudkan kemaslahatan dakwah tidaklah diperbolehkan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Al Maidah : 49-50)
Al Quran Al Karim telah memperingatkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari sikap mengalah kepada siapapun dan kekuasaan manapun, baik di bawah kendali orang-orang yahudi maupun musyrik. Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam diminta untuk tidak keluar dan tidak goyah berhukum dengan hukum Allah Azza wa Jalla bahkan Allah mengancam Nabi-Nya dengan ancaman yang sangat keras dan siksa yang sangat menyakitkan apabila terjadi padanya kelancangan dalam menisbatkan hukum yang tidak difirmankan dan disyariatkan oleh-Nya.
Allah berfirman :
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (QS. Al Haqqah : 44-46)
Sungguh rugi orang yang menyangka bahwa dia akan hidup dengan selamat sementara pada saat yang sama dia banyak mengalah dalam perkara-perkara yang berkait dengan Islam. Padahal dia menempati kedudukan sebagai da’i, ulama, dan figur yang diteladani. Dan mereka belum juga berhenti dan terus menerus mengalah dalam berbagai perkara keislaman. Kepada Allah-lah tempat mengadu.
SYUBHAT KESEMBILAN
MENEGAKKAN SYARIAT SECARA BERTAHAP
Terhadap orang yang mengatakan kepada mereka : “Kalian tidak merealisasikan apapun selama ini.”
Maka mereka menjawab –dalam rangka pembelaan diri– : “Menegakkan syariah itu harus dengan cara bertahap.”
Ucapan ini tidak benar karena beberapa hal.
1. Menegakkan syariat bisa dilakukan secara bertahap dengan jalan yang syar’i bukan dengan sistem barat.
2. Perkataan ini diucapkan oleh muballigh-muballigh propagandis pemilu dengan tujuan agar manusia mau menerima pemilu dan berkecimpung di dalamnya tanpa ada beban sedikitpun. Sedangkan para anggota majelis perwakilan dari kalangan kaum Muslimin bukanlah orang-orang yang berupaya menegakkan Islam secara bertahap dan tidak juga dengan cara lainnya. Sebagai bukti, tiap kali ada hukum (dari luar Islam) yang datang kepada mereka pasti mereka setujui kecuali orang-orang yang dirahmati Allah Azza wa Jalla meskipun di dalamnya terdapat begitu banyak penyimpangan syar’i. Ini apabila mereka dimintai pendapatnya maka bagaimana apabila hukum tersebut diputuskan tanpa mereka? Alangkah miripnya keadaan mereka dengan orang yang dikatakan oleh seorang penyair :
Urusan tuntas tatkala kekacauan telah hilang
Mereka tidak dimintai izin padahal mereka para saksi
3. Kenapa kalian tidak memaparkan secara bertahap ini? Bahkan kalian meninggalkannya secara terbuka. Tujuannya kalau nanti ada yang mempersoalkan hal ini maka kalian bisa menjawab : “Kami berpendirian bahwa penerapan syariah itu harus dilakukan secara bertahap.”
Kuat sangkaan saya dan Allah Yang Maha Mengetahui bahwa kalian akan senantiasa berkata begini. Sampai kiamat kalian tidak akan menerapkan kaidah ini.
Kalian tidak memiliki satu pun hukum yang terealisir kecuali yang berasal dari orang-orang sekuler. Kalian tidak memiliki apa-apa walau jumlah kalian banyak. Janganlah berkhayal karena kalian menguasai undang-undang yang “mengekang” kalian sendiri. Bertakwalah kepada Allah! Jadilah orang-orang yang jujur! Atas dasar ini, klaim kalian bahwa kalian akan menegakkan syariah secara bertahap adalah omong kosong belaka tidak ada hakikat dan buktinya. Demi Allah, saya khawatir kebaikan-kebaikan yang masih tersisa pada mereka malah mereka sia-siakan dengan dalih bahwa mereka sedang meniti tahapan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash Shaff : 2-3)
(Dikutip dari buku, judul Indonesia :” Menggugat Demokrasi dan Pemilu, Menyingkap Borok-borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya”. Karya Ulama dari Yaman, Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam, pengantar Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i Rahimahullah, Ulama Yaman. Judul asli Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat. Penerbit : Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber http://www.assunnah.cjb.net.)