You are currently viewing Bagaimana Sikap Kita terhadap Istri yang Memusuhi Dakwah Salaf

Bagaimana Sikap Kita terhadap Istri yang Memusuhi Dakwah Salaf

Di tulis oleh al ustadz abu ustman kharisman.

Upaya istiqomah di atas Sunnah dan manhaj Salaf memang sering mendapat penentangan dari berbagai pihak. Ada yg dari pihak ayah atau ibunya, bisa juga kakek, paman, bibi, kakak, adik. Tidak sedikit juga dari istri ataupun anak.

Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ

dan Kami jadikan sebagian dari kalian menjadi fitnah (ujian) bagi sebagian (lain). Apakah kalian bisa bersabar (Q.S al-Furqan ayat 20)

Nabi dan para Sahabatnya, juga mengalami penentangan dari orang-orang dekatnya. Tapi tidak sedikit orang yg dulunya menentang, dan sangat keras penentangannya berubah dengan hidayah Allah menjadi baik keislamannya.

Abu Sufyan al-Mughiroh bin al-Harits bin Abdil Muttholib, anak paman Nabi (sepupu) yang awalnya sangat menentang dakwah Nabi, berubah menjadi muslim yang baik. Sebelumnya ia adalah salah satu fitnah bagi Nabi.

Fathimah bintu al-Khotthob telah masuk Islam. Demikian juga suaminya. Tapi mereka berdua mendapat penentangan keras dari orang dekatnya, kakak dan ipar mereka, yaitu Umar bin al-Khotthob. Tapi dalam perjalanan waktu, Allah beri hidayah pada Umar, hingga menjadi manusia terbaik setelah Nabi dan Abu Bakr.

Abu Hurairah, merasakan manisnya hidup di atas Sunnah. Namun ia mendapat penentangan dari ibunya. Hingga beliau menangis mendatangi Nabi, kemudian Nabi mendoakan ibunya, hingga masuk Islam.

Tidak sedikit pula saudara kita yg baru merasakan kenikmatan Islam dengan manhaj Salaf, awalnya mendapat penentangan dari istrinya. Namun, dengan hidayah Allah kemudian dengan sebab upayanya untuk memberi nasehat dan menyampaikan ilmu dengan sabar kepada istrinya, Alhamdulillah istrinya berbalik mendukung dan bermanhaj Salaf.

Jika sudah lama kita sebagai suami bermanhaj Salaf, namun istri kita belum, bahkan menentang, perlu dilihat penyebabnya. Sudahkah kita maksimal dlm menyampaikan dakwah ini dengan cara yg baik dan benar dgn penuh kesabaran?

Ataukah kalau kita pulang ta’lim, tak ada setetes ilmupun yg kita bagi pada istri kita baik saat sedang makan bersama, saat santai, atau saat kebersamaan lain?

Atau mungkin kita kaku dalam mendakwahkan atau menerapkan manhaj Salaf ini. Menyetel ta’lim keras-keras saat istri lagi istirahat atau kondisinya tidak mendukung. Kita juga tidak pernah selektif dalam memperdengarkan materi kajian dari para asatidzah kepada istri kita. Tidak peduli materinya sedang membahas apa, kita perdengarkan saja dengan alasan: toh dari asatidzah Ahlussunnah. Tidak peduli apakah pembahasannya tepat dan sesuai untuk kondisi dan waktu saat itu atau tidak.

Kita mungkin juga tidak selektif dalam menyajikan bacaan Islam yg tepat, runtut dan sistematis sesuai kebutuhan ilmu istri kita.

Atau mungkin kita sebagai kepala keluarga belum memberikan teladan yg baik dalam menerapkan manhaj Salaf dalam kehidupan berumah tangga?

Semua proses pengkajian ulang metode dakwah kita itu adalah sebagai upaya pemberian nasehat yg terbaik.

Memang dalam taraf tertentu, sebagai jalan terakhir, setelah semua upaya penyampaian nasehat sudah disampaikan dgn baik, tepat dan maksimal, tapi istri justru menunjukkan permusuhan yg keras bukan kepada pribadi kita tapi terhadap manhaj yg lurus ini, maka bisa jadi jalan terbaik adalah dgn melepasnya, agar mudharat yg terjadi tidak semakin meluas.

Seorang suami yg membiarkan istrinya berakhlak buruk tdk ada perubahan dan tidak mentalaknya, terancam tidak diterima doanya oleh Allah. Sebagaimana hadits riwayat al-Hakim:

ثَلَاثَةٌ يَدْعُوْنَ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ : رَجُلٌ كَانَتْ تَحْتَهُ امْرَأَةٌ سَيِّئَةُ الْخَلْقِ فَلَمْ يُطَلِّقْهَا

Ada 3 kelompok orang yang berdoa tapi tidak dikabulkan. (Salah satunya) seseorang yang memiliki istri yang akhlaknya buruk tapi tidak diceraikannya… (H.R al-Hakim, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah)

Namun, sebelum jalan terakhir itu ditempuh, harus ada upaya perbaikan dan koreksi thd upaya dakwah kita, dengan bermusyawarah dgn ustadz yg kita percaya dan kita sampaikan permasalahan kita secara runtut dan detail. Seberapa jauh kita telah menasehati, seberapa besar penentangannya,dan sebagainya. Hingga kita memutuskan yg terbaik.

Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua…