Menghidupkan malam-malam bulan Ramadlan dengan berbagai macam ibadah adalah perkara yang sangat dianjurkan. Diantaranya adalah shalat tarawih. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah mengerjakannya
di masjid dan diikuti para shahabat beliau di belakang beliau. Tatkala sudah terlalu banyak orang yang mengikuti shalat tersebut di belakang beliau, beliau masuk ke rumahnya dan tidak mengerjakannya di masjid. Hal tersebut beliau lakukan karena khawatir shalat tarawih diwajibkan atas mereka karena pada masa itu wahyu masih turun.
Diterangkan dalam hadits Abu Hurairah radliyallahu `anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam selalu memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadlan tanpa mewajibkannya. Beliau shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa menghidupkan bulan Ramadlan dengan keimanan dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosanya yang telah lewat.” Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat dalam keadaan meninggalkan shalat tarawih berjamaah. Hal ini berlangsung sampai kekhilafahan Abu Bakr serta pada awal kehilafahan Umar radliyallahu `anhu.” (HR. Bukhari 1/499, Muslim 2/177, Malik 1/113/2, Abu Dawud 1371, An-Nasa’i 1/308, At-Tirmidzi 1/153, Ad-Darimi 2/26, Ibnu Majah 1326, Ahmad 2/281, 289, 408, 423. Adapun lafadh hadits yang kedua adalah tambahan pada riwayat Muslim, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Lihat Al-Irwa’ juz 4 hal. 14)
Juga hadits `Amr bin Murah Al-Juhani, beliau berkata: “Seseorang dari Qadlafah datang kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, kemudian berkata: `Wahai Rasulullah! Bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang haq kecuali Allah dan bahwa engkau adalah utusan Allah, aku shalat yang lima, puasa di bulan Ramadlan, menghidupkan Ramadlan dan membayar zakat?’ Maka jawab Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: `Barangsiapa mati atas yang demikian, maka dia termasuk orang-orang yang shidiq dan syahid.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya dengan sanad yang shahih. Lihat tahqiq Syaikh Albani terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah 3/340/2262 dan Shahih At-Targhib 1/419/993)
Kedua hadits di atas menerangkan tentang keutamaan menghidupkan malam bulan Ramadlan dengan berbagai ibadah di antaranya shalat tarawih berjamaah.
Sholat Tarawih Berjama’ah
Tidak diragukan lagi bahwa shalat tarawih dengan berjamaah pada bulan Ramadlan sangat dianjurkan. Hal ini diketahui dengan beberapa hal berikut:
1. Penetapan Rasulullah tentang berjamaah padanya.
2. Perbuatan beliau shallallahu `alaihi wa sallam.
3. Keterangan beliau tentang fadlilah(keutamaan)nya.
Penetapan beliau tampak dalam hadits Tsa`labah bin Abi Malik
Al-Quradli, dia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada suatu malam di bulan Ramadlan keluar dan melihat sekelompok orang shalat di sebelah masjid.
Beliau bertanya: “Apa yang mereka lakukan?” Seseorang menjawab: “Wahai Rasulullah, mereka adalah orang yang tidak bisa membaca Al-Qur’an, Ubay bin Ka’b membacakannya untuk mereka dan bersama dialah mereka shalat”. Maka beliau bersabda: “Mereka telah berbuat baik”, atau “Mereka telah berbuat benar dan hal itu tidak dibenci bagi mereka.” (HR. Al-Baihaqi 2/495 dan dia berkata: “Hadits ini mursal hasan.” Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini telah diriwayatkan pula secara bersambung (maushul) dari jalan lain dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu dengan sanad la ba’sa bihi karena ada hadits-hadits pendukungnya. Hadits ini
disebutkan pula oleh Ibnu Nashr di dalam Qiyamul Lail hal. 90 dengan riwayat Abu Dawud 1/217 dan Al-Baihaqi).
Sedangkan perbuatan beliau dalam hal ini disebutkan dalam beberapa hadits, yaitu: Dari Nu`man bin Basyir radliyallahu `anhu, ia berkata: “Kami berdiri (untuk shalat tarawih) bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadlan sampai habis sepertiga malam pertama. Kemudian kami shalat bersama beliau pada malam ke 25 sampai pertengahan malam. Kemudian beliau shalat bersama kami malam ke 27 sampai kami menyangka bahwa kami tidak mendapatkan al-falah (makan sahur) sampai kami menyeru untuk sahur.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/40/2, Ibnu Nashr 89, An-Nasai 1/238, Ahmad 4/272, Al-Firyabi dalam Ar-Rabi` wal Khamis min Kitabis Shiyam 1/440 dan berkata: “Pada hadits ini ada dalil yang jelas bahwa shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin termasuk sunnah dan Ali bin Abi Thalib selalu menganjurkan Umar radliyallahu `anhu untuk mendirikan sunnah ini sampai beliau pun mendirikannya.”)
Juga hadits dari Anas radliyallahu `anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melaksanakan shalat di bulan Ramadlan. Aku datang dan berdiri di sampingnya. Kemudian datang yang lain dan yang lain sampai berjumlah lebih dari tiga orang. Tatkala Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam merasa bahwa aku ada di belakangnya, beliau meringankan (bacaan) shalat, kemudian masuk ke rumah beliau. Sesudah masuk ke rumahnya, beliau shalat di sana dan tidak shalat bersama kami. Keesokan harinya kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tadi malam mengajari kami (perkara dien)?” Maka beliau pun menjawab: “Ya, dan itulah yang menyebabkan aku berbuat.” (HR. Ahmad 3/199, 212, 291 dan Ibnu Nashr dengan dua sanad yang shahih serta At-Thabrani dalam Al-Ausath, semisalnya sebagaimana di dalam Al-Jami’ 3/173).
Juga hadits dari Aisyah radliyallahu `anha, beliau berkata: “Manusia shalat di masjid Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan dengan berkelompok-kelompok. Seseorang yang mempunyai sedikit dari (ayat) Al-Qur’an bersama lima atau enam orang atau kurang atau
lebih daripada itu. Mereka shalat bersama seorang tadi. Lalu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan pada malam itu untuk meletakkan tikar di (depan) pintu kamarku. Aku pun melaksanakannya. Kemudian Rasulullah keluar kepadanya sesudah shalat Isya yang akhir. Lalu berkumpullah manusia yang ada di masjid dan Rasulullah shalat bersama mereka sampai larut malam. Rasulullah kemudian pergi dan masuk (rumah) dengan meninggalkan tikar begitu saja (pada keadaan awal). Pada pagi harinya, manusia memperbincangkan shalat Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersama orang-orang yang ada di masjid pada malam itu. Maka jadilah masjid penuh dengan manusia. Lantas Rasulullah keluar (ke masjid) pada malam yang kedua dan mereka pun shalat bersama beliau. Jadilah manusia memperbincangkan hal itu. Setelah itu bertambah banyaklah yang menghadiri masjid (sampai penuh sesak dengan penghuninya). Pada malam yang ketiga beliaupun keluar dan manusia shalat bersama beliau. Lalu tatkala malam yang keempat masjid hampir tidak cukup. Kemudian Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya’ yang akhir bersama mereka lantas masuk masuk ke rumah beliau, sedang manusia tetap (di masjid). Rasulullah berkata kepadaku: “Wahai Aisyah, bagaimana keadaan manusia?” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, manusia mendengar tentang shalatmu bersama orang yang ada di masjid tadi malam, maka mereka berkumpul untuk itu dan meminta agar engkau
shalat bersama mereka.” Maka beliau berkata: “Lipat tikarmu, wahai Aisyah!” Aku pun melaksanakannya. Rasulullah bermalam (di rumahnya) dan tidak dalam keadaan lalai sedangkan manusia tetap pada tempat mereka. Mulailah beberapa orang dari mereka mengucapkan kata “shalat!” sampai Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam keluar untuk shalat subuh. Tatkala selesai shalat fajar, beliau menghadap kepada manusia dan bertasyahud (mengucapkan syahadat dalam khutbatul hajah), lalu bersabda: “Amma ba`du, wahai manusia, demi Allah, Alhamdulillah tidaklah aku tadi malam dalam keadaan lalai dan tidaklah keadaan kalian tersamarkan bagiku. Akan tetapi aku khawatir akan diwajibkan atas kalian (dalam riwayat lain: Akan tetapi aku khawatir shalat lail diwajibkan atas kalian) kemudian kalian lemah (untuk melaksanakannya), maka berarti kalian dibebani amal-amal yang kalian tidak mampu. Sesungguhnya Allah tidak bosan sampai kalian bosan.” Pada riwayat lain ada tambahan, Az-Zuhri berkata: “Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat, keadaannya demikian. Hal ini berlangsung sampai masa khilafah Abu Bakar dan pada awal khilafah Umar.” (HR. Bukhari 3/8-10,
4/203,205, Muslim 2/177-178-188-189, Abu Daud 1/217, An-Nasai 1/237 dan lain-lain).
Al-Hafidh Ibnu Hajar mengomentari ucapan Az-Zuhri “keadaannya demikian”, maksudnya dalam keadaan shalat tarawih berjamaah ditinggalkan.
Sedangkan Syaikh Albani menyatakan: “Lebih tepat dikatakan bahwa maksudnya shalat tarawih dikerjakan dengan berkelompok-kelompok.”
Syaikh Albani mengatakan: “Hadits ini menerangkan dengan sangat jelas tentang disyariatkannya shalat tarawih berjama’ah, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya pada malam-malam tersebut. Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam meninggalkannya pada malam yang keempat (yaitu shalat tarawih berjamaah) karena khawatir akan diwajibkan atas
mereka dengan ucapan beliau: Aku khawatir (ini) diwajibkan atas kalian. Tidak diragukan lagi bahwa kekhawatiran Rasulullah hilang dengan wafatnya beliau sesudah Allah menyempurnakan syariat-Nya. Dengan ini hilanglah sebab meninggalkan jamaah dan kembali pada hukum sebelumnya yaitu disyariatkannya jamaah. Oleh karena itu Umar radliyallahu `anhu menghidupkkannya kembali.”
Hadits dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam mendirikan shalat pada suatu malam di bulan Ramadlan di kamar (yang terbuat) dari pelepah kurma. Kemudian dituangkan baginya sewadah air. Kemudian beliau berkata: “Allahu Akbar (tiga kali) Dzul malakut wal jabarut wal kibriya’ wal
`adhamah”, kemudian membaca surat Al-Baqarah. Lalu beliau ruku’ dan ruku’nya semisal lama berdirinya dan membaca pada ruku’nya: Subhana rabbiyal `adhim, Subhana rabbiyal `adhim. Kemudian beliau mengangkat kepala dari ruku’ dan lamanya berdiri seperti ruku’nya dan mengucapkan:
“Rabiyal hamdu”. Kemudian sujud dan lama sujudnya seperti berdirinya (yakni berdiri setelah ruku’) dan mengucapkan dalam sujudnya “Subhana rabbiyal a`la”. Kemudian mengangkat kepalanya dari sujud dan membaca di
antara dua sujud rabbighfirli dan duduk selama waktu sujudnya. Kemudian sujud lagi dan membaca “Subhana rabiyal a`la”. Beliau shalat empat rakaat dan di dalamnya membaca surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa, Al-Maidah dan Al-An`am sampai datang adzan untuk shalat (fajar).” (HR.
Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Ibnu Nashr hal. 89-90, An-Nasai 1/246, Ahmad 5/400, Ibnu Majah 1/291, Al-Hakim 1/271, Abu Dawud 1/139-140, At-Thahawi dalam Al-Misykah 1/308, At-Thayalisi 1/115, Al-Baihaqi 2/121-122, Ahmad 5/398, Muslim 2/186 dan lain-lain).
Adapun keterangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang keutamaan shalat tarawih berjamaah terdapat pada hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu, beliau berkata: Kami berpuasa (Ramadlan), Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak shalat bersama kami sampai tersisa tujuh hari bulan Ramadlan. Beliau berdiri (untuk shalat) sampai sepertiga malam. Beliau tidak berdiri (shalat) bersama kami pada sisa malam keenam dan berdiri bersama kami pada sisa malam kelima sampai setengah malam. Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, seandainya engkau shalat sunnah bersama
kami pada sisa malam ini.” Beliau menjawab: “Barangsiapa berdiri (untuk shalat tarawih) bersama imam sampai dia (imam) berpaling, maka dituliskan baginya shalat sepanjang malam.” Kemudian beliau tidak shalat bersama kami sampai tinggal tersisa tiga malam Ramadlan. Beliau shalat bersama kami pada sisa malam yang ketiga dan beliau memanggil
keluarga dan istrinya. Beliau shalat bersama kami sampai kami mengkhawatirkan falah. Abu Dzar radliyallahu `anhu ditanya :”Apa falah itu?” Beliau menjawab: “(Falah adalah) Sahur.” (HR Ibnu Abi Syaibah 2190/2, Abu Daud 1/217, At-Tirmidzi 2/72-73 dan dishahihkannya, An-Nasai 1/237, Ibnu Majah 11/397, Ath-Thahawi dalam Syarhu Ma`anil
Atsar 1/206, Ibnu Nashr hal 79, Al-Firyabi 71/1-82/2 dan Al-Baihaqi dan sanadnya shahih sebagaimana ungkapan syaikh Al-Albani.)
Ucapan beliau shallallahu `alaihi wa sallam “Barang siapa shalat bersama imam…” jelas menunujukkan tentang keutamaan shalat tarawih di bulan Ramadlan bersama imam. Hal ini dikuatkan oleh Abu Dawud di dalam
Al-Masa’il hal. 62, beliau berkata: “Aku mendengar Ahmad ditanya: “Mana
yang lebih engkau sukai, seorang yang shalat bersama manusia
(berjamaah) atau yang sendirian?” Beliau menjawab: “Shalat seorang
bersama manusia. Aku juga mendengar beliau berkata: “Aku kagum terhadap
seseorang yang shalat tarawih dan witir bersama imam. Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seseorang yang shalat
(tarawih) bersama imam sampai selesai, Allah akan menuliskan baginya
sisa malamnya.” Yang semisal ini juga dinyatakan oleh Ibnu Nashr hal.
91 dari Ahmad. Kemudian Abu Dawud berkata: “Seseorang berkata kepada
Ahmad: “Saya mendengar shalat tarawih diakhirkan sampai akhir malam?”
Beliau menjawab: “Tidak, sunnah kaum muslimin lebih aku sukai.”
Menurut Syaikh Al-Albani maksudnya adalah berjamaah shalat tarawih
dengan bersegera ( di awal waktu) itu lebih utama daripada sendirian,
walaupun diakhirkan sampai akhir malam. Shalat pada akhir malam
memiliki keutamaan khusus. Berjamaah lebih afdlal karena Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakannya bersama manusia di masjid
pada beberapa malam sebagaimana pada hadits Aisyah di depan. Oleh
karena itu kaum muslimin melaksanakannya (secara berjamaah) pada jaman
Umar radliyallahu `anhu sampai sekarang.” (Shalatut Tarawih hal. 15)
Jamaah Shalat Tarawih Bagi Wanita
Disyariatkan bagi wanita untuk menghadiri shalat tarawih di masjid
dengan dalil hadits Abu Dzar radliyallahu `anhu di atas yang berbunyi
“Beliau (Rasulullah) memanggil keluarganya dan para istrinya.” Bahkan
boleh disiapkan bagi mereka imam khusus selain untuk jamaah laki-laki.
Umar radliyallahu `anhu tatkala mengumpulkan manusia untuk berjamaah,
menjadikan imam bagi laki-laki Ubai bin Ka’ab dan bagi wanita Sulaiman
bin Abi Khatsmah.
Juga hadits `Arfajah Ats-Tsaqafi, ia berkata: “Ali bin Abi Thalib
radliyallahu `anhu selaalu memerintahkan manusia untuk shalat pada
bulan Ramadlan. Beliau menjadikan seorang imam bagi laki-laki dan
seorang imam bagi perempuan. Aku (`Arfajah) ketika itu sebagai imam
perempuan.”
Kedua riwayat di atas diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 2/494. Abdurrazaq
meriwayatkan hadits pertama dalam Al-Mushannaf 4/258/8722. Dikeluarkan
juga oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamur Ramadlan hal. 93. Kemudian
berargumentasi seperti di atas pada hal. 95. Hal diterangkan secara
jelas oleh Syaikh Al-Albani dalam Qiyamur Ramadlan hal. 21-22.
Syaikh Al-Albani menambahkan: “Menurutku, keadaan ini dimungkinkan bila
masjidnya luas agar manusia tidak saling terganggu.”
Jumlah Rakaatnya
Di atas telah dijelaskan tentang disyariatkannya shalat tarawih
berjamaah karena adanya penetapan, perbuatan dan anjuran Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam. Sekarang berapa sebenarnya jumlah rakat
yang rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam laksanakan. Dalam masalah
ini ada dua hadits yang menerangkan:
1. Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwa beliau bertanya kepada Aisyah radliyallahu `anha: “Bagaimana shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam di bulan Ramadlan?” Beliau menjawab: “Tidaklah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menambah (rakaat shalat) di bulan Ramadlan dan tidak pula pada bulan selainnya melebhi sebelas raka’at.
Beliau shalat empat raka’at dan jangan ditanya betapa bagus dan
panjangnya, lalu beliau shalat tiga raka’at.” (HR Bukhari 2/25, 4/205.
Muslim 2/16 Abu Uwamah 2/327 Al-Baihaqi 2/495 – 496 dan Ahmad 6/36, 37,
104)
2. Dari Jabir bin Abdullah radliyallahu `anhu berkata: “Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam shalat bersama kami pada bulan Ramadlan
delapan raka’at dan beliau berwitir. Tatkala malam berikutnya kami
berkumpul di Masjid dan berharap beliau keluar (ke masjid). Ternyata
beliau tidak kunjung datang sampai pagi. Kemudian kami masuk dan
mengatakan: “Wahai Rasulullah kami tadi malam berkumpul di masjid dan
kami mengharap engkau shalat bersama kami.” Maka beliau berkata:
“Sesungguhnya aku khawatir akan diwajibkan atas kalian.”
Di dalam riwayat Ibnu Khuzaimah, Muslim dan lain-lain yang menyebutkan
bahwa shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada bulan
Ramadlan dan selainnya di malam hari adalah 13 raka’at, termasuk
darinya dua rakaat fajar. Akan tetapi ada hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Malik 1/142 dan Bukhari 3/35 dan lain-lain dari Aisyah
radliyallahu `anha, beliau berkata: “Rasulullah biasa shalat di malam
hari 13 raka’at.” Kemudian beliau shalat dua rakaat ringan (pendek)
apabila mendengar adzan subuh.
Al-Hafidh mengkompromikan riwayat ( 13 rakaat) ini dengan riwayat
sebelumnya (11 rakaat), beliau mengatakan: “Dhahir hadits ini
menyelisihi yang telah lewat, maka dimungkinan bahwa (kelebihan) dua
rakaat (pada yang 13 rakaat) tadi adalah sunnah ba`da Isya’. Hal itu
karena memang shalat ini dilaksanakan di rumah atau sebagai pembuka
shalat malam, karena telah tsabit (tetap) dalam riwayat Muslim bahwa
Rasulullah membuka shalat lail dengan dua rakaat yang ringan/pendek.”
Syaikh Al-Albani mengatakan: “Inilah yang rajih menurutku, karena
riwayat Abi Salamah menunjukkan kekhususan/pengharusan pada 11 rakaat,
yaitu 4 rakaat, 4 rakaat kemudian 2 rakaat. Hal ini menunjukkan tidak
bertentangan dengan riwayat 2 rakaat yang ringkas.”
Kedlaifan Hadits 20 Rakaat
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata setelah menjelaskan hadits Aisyah di
atas (Al-Fath 4/205-206): “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dari hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan 20 rakaat dan
witir, sanadnya dla`if, bertentangan dengan hadits Aisyah radliyallahu
`anha yang terdapat dalam Shahihain. Aisyah adalah orang yang paling
tahu tentang keadaan nabi shallallahu `alaihi wa sallam di malam hari
atau selainnya.” Pernyataan ini semakna dengan pernyataan Al-Hafidh
Az-Zaila`i di dalam Nashbur Rayah 2/153.
Syaikh Al-Albani menegaskan: “Hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma
ini sangat dlaif sebagaimana yang dinyatakan oleh As-Suyuthi di dalam
Al-Hawi lil Fatwa 2/73 dengan alasan bahwa pada sanadnya ada Abu
Syaibah Ibrahim Ibnu Utsman. Al-Hafidh berkata di dalam At-Taqrib: Dia
matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan) dan telah kucari
sumber-sumbernya tetapi aku tidak menemukan kecuali dari jalannya. Ibnu
Abi Syaibah mengeluarkannya di dalam Al-Mushanaf 2/90/2, Abdu bin
Humaid di dalam Al-Muntakhab minal Musnad 43/1-2, At-Thabrani di dalam
Mu’jamul Kabir 3/148/2 dan di dalam Al-Ausath sebagaimana di dalam
Al-Muntaqa karya Adz-Dzahabi 2/3 dan dalam Al-Jam’i Bainahu wa Baina
Shaghir 1/219, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 1/2, Al-Khatib dalam Al-Maudlih
1/219 dan Al-Baihaqi dalam Sunannya 2/469 semuanya dari jalan Ibrahim
tersebut dari Al-Hakam dari Muqsim dari Ibnu Abbas secara marfu’.
At-Thabrani berkata: “Atsar ini tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas
kecuali dengan sanad ini”. Al-Baihaqi berkata: “Abu Syaibah infirad
(bersendirian dalam meriwayatkan) dan dia dlaif. Demikian juga yang
dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma` 3/172: “Dia dlaif, pada
hakekatnya dia dlaif sekali sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh
ucapan Al-Hafidh di depan bahwa “dia matruk”. Inilah yang benar. Ibnu
Main berkata: “Dia tidak tsiqah” Al-Jauzajani berkata: “Dia saqith
(gugur riwayatnya), Syaibah mendustakan kisah darinya”. Al-Bukhari
berkata: “Ahli hadits mendlaifkannya.”
Al-Hafidh Ibnu Katsir menyebutkan di dalam Ikhtishar Ulumul Hadits hal.
118 bahwa orang yang dikatakan oleh Al-Bukhari bahwa ahli hadits
mendiamkannya adalah derajat bagi orang tersebut yang paling rendah.
Oleh karena itu aku berpendapat bahwa haditsnya dalam hal ini maudlu`,
karena bertentangan dengan hadits Aisyah dan Jabir yang telah lewat
dari dua hafidh yaitu Az-Zaila’i dan Al-Asqalani. Al-Hafidh Adz-Dzahabi
memasukannya di dalam Manakirnya (riwayat-riwayat yang munkar).
Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami berkata dalam Al-Fatawa Al-Kubra 1/195
setelah menyebutkan hadits tersebut: “Hadits ini sangat dlaif. Ucapan
para ulama sangat keras terhadap salah satu rawinya dengan jarh dan
celaan. Termasuk darinya (kritik dan celaan) bahwa dia meriwayatkan
riwayat-riwayat maudlu’ seperti hadits “Tidaklah umat hancur binasa
kecuali pada bulan Maret” dan “Tidaklah kiamat terjadi kecuali pada
bulan Maret” dan haditsnya tentang shalat tarawih termasuk dari
riwayat-riwayatnya yang munkar. As-Subki telah menegaskan bahwa syarat
beramal dengan hadits dlaif adalah jika dlaifnya tidak terlalu.
Adz-Dzahabi berkata: “Barangsiapa diambil riwayatnya secara dusta oleh
Asy-Syaibah, maka haditsya jangan ditoleh.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Apa yang dinukilkan oleh As-Subki dari
Al-Haitami sebagai isyarat halus bahwasanya dia tidak berpendapat
beramal dengan 20 rakaat, maka pikirkanlah!”
Kemudian As-Suyuthi setelah menyebutkan hadits Jabir dari riwayat Ibnu
Hibban berkata: “Maka kesimpulannya bahwa 20 rakaat tidak tsabit
amalannya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Apa yang ada
pada Shahih Ibnu Hibban adalah sebagai puncak madzhab kami dan kami
memegang erat apa yang ada pada riwayat Bukhari dari Aisyah
radliyallahu `anha bahwasanya Rasulullah tidak menambah dalam Ramadlan
dan selainnya atas sebelas rakaat. Hal ini sesuai dari sisi bahwasanya
Rasulullah shalat tarawih 8 rakaat kemudian witir 3 rakaat. Maka
jumlahnya 11 rakaat. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila
mengamalkan suatu amal beliau akan melanggengkannya. Sebagaimana
kelanggengannya pada dua rakaat yang beliau qadla’ setelah ashar.
Padahal shalat pada waktu itu terlarang. Kalau beliau melaksanakan 20
rakaat walaupun satu kali saja, niscaya beliau tidak akan
meninggalkannya selamanya. Kalau hal yang demikian terjadi maka hal itu
tidak akan tersamar bagi Aisyah sehingga beliau mengucapkan seperti di
atas.”
Syaikh Al-Albani mengatakan: “Di dalam ucapannya ada isyarat yang kuat
tentang pilihan beliau terhadap sebelas rakaat dan membuang 20 rakaat
yang tersebut di dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma karena
sangat dlaif. Pencukupan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
terhadap 11 rakaat menunjukkan tidak bolehnya menambah jumlah
rakaatnya. Di atas sudah dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam terus menerus menjalankan shalat tarawih di bulan
Ramadlan atau selainnya sebanyak 11 rakaat. Hal ini terus berlangsung
selama hidup beliau dan beliau tidak menambahnya. Oleh karena itu
marilah kita perhatikan pada sunnah-sunnah rawatib, shalat istisqa’,
khusyuf dan lain-lain. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam juga terus
menerus menjalankannya dengan jumlah tertentu. Hal ini menunjukkan
tidak bolehnya menambah rakaatnya sebagaimana yang diterima oleh para
ulama. Maka demikian juga shalat tarawih tidak boleh ditambah karena
ada persamaan dengan shalat-shalat yang telah disebutkan bahwa
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam terus menerus melakukannya
dengan tidak menambahnya. Maka barangsiapa menganggap bahwa ada
perbedaan dalam hal shalat tarawih, dia wajib membawakan dalil.
Shalat tarawih bukanlah shalat-shalat sunnah yang mutlak sehingga
seorang yang shalat boleh memilih bilangan mana yang ia suka. Shalat
tarawih adalah sunnah muakkadah yang menyerupai shalat-shalat fardlu
dari segi disyariatkan jamaah padanya sebagaimana yang dinyatakan oleh
madzhab Syafi’i. Maka dari segi ini lebih pantas untuk tidak ditambah.”
Imam Ibnu Khuzaimah setelah menyebutkan hadits-hadits shahih tentang
jumlah rakaat shalat lail dari sembilan sampai sebelas rakaat, beliau
berkata di dalam Shahihnya 2/1947: “Ikhtilaf ini dibolehkan, boleh bagi
seseorang untuk shalat berjamaah pada rakaat yang dia sukai.
Sebagaimana yang teriwayatkan dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa
sallam bahwa beliau shallallahu `alaihi wa sallam shalat dengan
bilangan-bilangan tersebut dan sesuai dengan sifat shalat yang
dilaksanakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Tidak dilarang bagi
seseorang sesuatu apapun.”
Ucapan ini dikomentari oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah
hal. 225-226: “Ucapannya yang berbunyi `sebagaimana yang teriwayatkan
dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam…’ jelas menunjukkan
bahwa tidak boleh menambah atas apa yang telah diriwayatkan dari
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Dan di antara penguat apa
yang telah beliau nyatakan adalah pernyataan beliau pada kitab
Shahihnya 3/341 dalam masalah shalat tarawih tentang penyebutan bab
Shalat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam di Malam Bulan Ramadlan dan
dalil tentang tidak mungkin ditambah pada bulan Ramadlan atas jumlah
rakaat yang dilakukan Rasulullah di luar bulan Ramadlan.” Kemudian
beliau membawakan hadits Aisyah dengan dua lafadh, di antaranya:
“Shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat, di
antaranya dua rakaat fajar.”
Umar Menghidupkan Sunnah Shalat Tarawih Berjamaah dan Perintah Beliau Sebanyak 11 Rakaat
Telah diterangkan bahwasanya manusia setelah wafatnya Rasulullah mereka
terus menerus melaksanakan shalat tarawih di masjid dengan
berkelompok-kelompok di belakang beberapa imam, yang demikian terjadi
pada khilafah Abu Bakar dan awal khilafah Umar radliyallahu `anhu.
Kemudian Umar mengumpulkan mereka di belakang satu imam. Abdurrahman
bin Abdul Qari’ berkata:
Aku keluar ke masjid bersama Umar bin Khattab pada malam bulan
Ramadlan, maka tiba-tiba manusia berkelompok. Ada yang shalat sendiri,
ada yang shalat bersama beberapa orang. Maka beliau berkata:
“Sesungguhnya aku berpendapat kalau aku mengumpulkan mereka pada satu
imam niscaya lebih baik.” Kemudian beliau bertekad keras dan
mengumpulkan mereka kepada Ubai bin Ka’ab. Kemudian aku (Abdurrahman)
keluar bersama beliau pada malam yang lain, sedang manusia shalat
bersama satu imam. Maka Umar berkata: “Sebaik-baik bid`ah adalah ini
dan orang yang tidur lebih utama daripada orang-orang yang shalat
karena menginginkan akhir malam sedangkan manusia shalat pada awal
malam.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’ 1/136-137, Al-Bukhari 4/203,
Al-Firyabi 2/73, 74/2-1, Ibnu Abi Syaibah 2/91/1.
Orang sekarang berdalil dengan ucapan Umar “Sebaik-baik bid`ah adalah
ini” atas dua perkara:
1. Bahwasanya shalat tarawih berjamaah adalah bid’ah, tidak ada pada
jaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Ucapan ini jelas-jelas batil
dengan adanya hadits-hadits yang telah lewat.
2. Adanya bid`ah yang dipuji (bid’ah hasanah) dan mereka mengkhususkan
keumuman sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang berbunyi
“Setiap bid’ah itu sesat’ dan yang semisalnya. Hal ini juga batil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan hal ini dalam Al-Iqtidla’
2/591: “Ketika jaman khilafah Umar radliyallahu `anhu beliau
mengumpulkan manusia pada satu imam dan menerangi masjid. Maka jadilah
dalam keadaan yang demikian –yakni jamaah di masjid dalam keadaan
terang atas satu imam– suatu amalan yang sebelumnya tidak mereka
laksanakan. Hal ini dinamakan bid’ah karena secara bahasa memang
demikian dan bukan bid’ah secara syariat. Sunnah menghendaki bahwasanya
hal itu adalah amal shalih kalaulah tidak karena khawatir diwajibkan.
Sedangkan kekhawatiran sudah hilang dengan wafatnya Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam sehingga hilang pulalah halangannya.”
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa 31/36: “Hukum asal shalat
tarawih adalah sunnah dan perbuatan Umar radliyallahu `anhu dalam
rangka menghidupkan sunnah ini dimutlakan sebagai bid’ah secara bahasa,
bukan syariat.”
Jadi bid’ah di sini dilihat dari sisi bahasa bukan menurut syariat.
Adapun menurut syariat bid`ah berarti membuat-buat perkara baru dalam
agama yang tidak ada contohnya dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.
Lafadh atsar di atas “Orang-orang tidur darinya lebih utama
daripada…” dikomentari oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar sebagai berikut:
“Hal ini adalah keterangan yang jelas bahwa shalat tarawih di akhir
malam lebih afdlal daripada di awalnya. Akan tetapi shalat tarawih
sendirian itu tidaklah lebih utama daripada berjamaah.”
Syaikh Al-Albani menambahkan: “Bahkan jamaah di awal waktu lebih utama
daripada shalat di akhir malam sendirian.” (Shalat Tarawih hal. 42)
Tentang perintah Umar radliyallahu `anhu untuk shalat sebelas rakaat
adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Muwaththa’ 1/137 no. 248 dari
Muhammad bin Yusuf dari As-Saib bin Yazid, dia berkata:
Umar memerintahkan Ubai bin Ka`ab dan Tamim Ad-Dari agar shalat bersama
manusia sebanyak 11 rakaat.” Dia (perawi) berkata: “Ada imam yang
membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya
berdiri dan tidaklah kami selesai kecuali pada terbitnya fajar.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya sangat shahih karena Muhammad bin
Yusuf yakni Syaikh (guru) Imam Malik adalah tsiqah secara sepakat dan
Bukhari serta Muslim berhujah dengannya. Sedangkan As-Saib adalah
shahabat Nabi yang pernah menunaikan haji bersama Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam dalam keadaan masih kecil. Dari jalan
Malik ini dikeluarkan oleh Abu Bakr An-Naisaburi di dalam Al-Fawaid
1/135, Al-Firyabi (1/76-2/75) dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra
1/496. Dapat dilihat keterangan keshahihan atsar ini dalam kitab
Shalatut Tarawih”.
Sedangkan riwayat yang menerangkan bahwa Umar shalat dan menyuruh
shalat tarawih sebanyak 20 rakaat adalah tidak shahih. Atsar tentag hal
ini diriwayatkan oleh Abdurrazaq dari jalan lain dari Muhammad bin
Yusuf. Lafadh ini (20 rakaat) memiliki dua kesalahan:
1. Menyelisihi riwayat yang lebih tsiqah yakni 11 rakaat.
2. Abdurrazaq menyendiri (infirad) dalam meriwayatkan lafadh ini,
walaupun riwayat tersebut selamat di antara dia dan Muhammad bin Yusuf.
Maka `ilat (cacat)nya pada Abdurrazaq. Walaupun dia tsiqah, hafidh,
pengarang yang masyhur, akan tetapi di akhir umurnya beliau buta dan
berubah hapalannya sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh dalam
At-Taqrib. Dia digolongkan para perawi yang mukhtalith (bercampur
hapalannya), yakni setelah akhir umurnya. (Lihat Mukadimah Ulumil
Hadits hal. 407)
Riwayat perawi seperti ini dapat diambil sebelum mukhtalith dan tidak
boleh diambil setelah bercampur hapalannya atau dalam keadaan yang
sulit sehingga seorang perawi tidak tahu apakah dia mengambil dari
orang yang mukhtalith tadi sebelum atau sesudah bercampur hapalannya
(Mukadimah Ulumil Hadits hal. 391).
Syaikh Al-Albani mengatakan: “Atsar ini termasuk jenis yang ketiga
yakni tidak diketahui apakah dia (Abdurrazaq) meriwayatkan sebelum atau
sesudah bercampur hapalannya. Riwayat semacam ini tidak diterima,
walaupun diterima termasuk riwayat yang syadz (asing) dan menyelisihi.
Maka bagaimana mau diterima?! Begitu juga atsar beliau yang menerangkan
jumlah rakaatnya 23 didlaifkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 4/33
dan beliau berkata: “Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, akan tetapi mursal
karena Yazin (perawi hadits) tidak bertemu dengan Umar. Juga didlaifkan
oleh Al-`Aini dengan beralasan bahwa sanadnya munqathi`. Imam Syafi’i
dan Imam Tirmidzi juga mendlaifkan atsar Umar yang berjumlah 20 rakaat.
Beliau berdua dalam membawakan atsar-atsar ini dengan lafadh (konteks)
dengan sighat tamridl (bentuk yang mengandung cacat), misalnya: ruwiya
“diriwayatkan”, ukhbira “diceritakan” atau “dikisahkan”, dan
sebagainya. Lihat ucapan atau riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa
Imam Syafi’i mendlaifkannya dalam Mukhtashar karya Al-Muzani 1/107.”
Adapun atsar dari shahabat selain Umar seperti Ali, Ubai bin Ka`ab,
Abdullah bin Mas`ud radliyallahu `anhum tentang 20 atau 23 rakaat
semuanya dlaif. Lihat dalam buku Shalat Tarawih. Hal tersebut
diterangkan pada buku tersebut oleh para ulama.
Oleh karena itu tidak ada ijma’ yang menyatakan 20 rakaat sebagaimana
anggapan sebagian orang bahwa para shahabat ijma’ atas shalat tarawih
20 rakaat. Ijma’ ini tidak dianggap karena dibangun di atas kedlaifan.
Sesuatu yang dibangun di atas kedlaifan maka ia dlaif pula. Oleh karena
itu Al-Mubarakafuri menegaskan di dalam At-Tuhfah 2/76 bahwa hal ini
adalah ijma’ penguat yang bathil.
Pengingkaran Ulama Terhadap Tambahan 11 Rakaat
Imam Suyuthi berkata di dalam Al-Mashabih fi Shalati Tarawih 2/77:
“Dikatakan oleh Al-Ajuri —dari rekan-rekan kami– bahwa Imam Malik
menyatakan: Umar mengumpulkan manusia atas 11 rakaat lebih aku sukai.
Ia adalah shalat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.”
Al-Imam Ibnul `Arabi di dalam Syarah Tirmidzi 4/19 setelah menjelaskan
riwayat-riwayat yang disumberkan dari Umar, beliau berkata: “Yang benar
shalat tarawih Nabi sebanyak 11 rakaat. Adapun selain jumlah ini, maka
tidak ada asalnya dan nashnya. Kalau mengharuskan adanya batasan, maka
batasannya adalah shalat Nabi. Nabi tidak menambah pada Ramadlan dan
selainnya di atas 11 rakaat. Inilah shalat tarawih/shalat lail, maka
wajib meniru Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.”
Demikian juga yang ditegaskan oleh Imam As-Shan’ani dalam Subulus Salam
bahwasanya jumlah shalat tarawih 20 rakaat adalah bid’ah dan beliau
berkata: “Tidak ada bid’ah yang dipuji, bahkan semua bid’ah itu sesat.”
(Subulus Salam 1/11-12)
Dengan keterangan-keterangan di atas, maka wajib bagi kita memegang
erat-erat sunnah Rasul dan para shahabatnya, yaitu sebelas rakaat,
tidak menambahnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku, dia
akan melihat banyak ikhtilaf. Maka wajib atas kalian sunnahku dan
sunnah khulafaur rasyidin (para shahabat). Peganglah erat-erat dan
gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dengan perkara
yang baru. Sesungguhnya setiap perkara yang baru adalah bid’ah, setiap
bid’ah sesat dan setiap kesesatan dalam neraka.” (HR. Ahmad 4/126-127
Abu Daud 2/261 At-Tirmidzi 3/377-378, Ibnu Majah 1/19-21 dan Al-Hakim
1/95-97).
Kalau memang tambahan di atas sebelas rakaat itu tsabit dari salah
seorang khulafa’ur rasyidin atau dari kalangan fuqaha’ selain mereka,
kami akan mengatakan tentang bolehnya karena kita mengetahui keutamaan
dan pemahaman fikih mereka serta jauhnya mereka dari membuat bid’ah di
dalam agama. Akan tetapi kalau tidak tsabit maka kita hanya berpegang
dengan yang tsabit dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam.
Kendati ada ikhtilaf ulama tentang jumlahnya yaitu ada yang mengatakan
jumlahnya 42, 36, 34, 28, 24, 20, dan 11, maka sebaiknya kita
kembalikan ikhtilaf ini kepada Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Shalatlah sebagaimana aku
shalat.” (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Kalau kita amati orang-orang yang shalat tarawih lebih dari 11 rakaat,
mereka sering meninggalkan rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban shalat
seperti tuma’ninah, lamanya berdiri, tartil dalam bacaan dan lain-lain.
Oleh karena itu tidak selayaknya bagi orang-orang yang tunduk
meninggalkan sunnah ini dan memilih pendapat yang dlaif.
QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Imam Malik berpendapat bahwa qunut witir dilaksanakan hanya pada
pertengahan atau setengah akhir bulan Ramadhan. Hal ini juga dinyatakan
oleh Az-Zuhri, Imam Malik dan Imam Ahmad dengan membawakan dalil
riwayat Abu Dawud:
Umar Ibnul Khatab radliyallahu `anhu mengumpulkan (manusia) kepada Ubai
bin Ka`ab dan dia shalat bersama mereka pada malam ke 20. Dia tidak
qunut kecuali pada pertengahan akhir bulan Ramadlan. (HR. Abu Dawud
dalam Sunannya 2/65)
Berikutnya adalah hadits Anas radliyallahu `anhu:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada setengah akhir
bulan Ramadlan ….
Akan tetapi dalil yang mereka bawakan ini dlaif dari beberapa sisi:
Pertama, pada sanad riwayat dari Umar ada inqitha’ (putus sanad) yakni Al-Hasan dari Umar, sedang Al-Hasan tidak bertemu Umar.
Kedua, pada sanad riwayat dari Anas yang meriwayatkan dari beliau adalah Abul Atikah. Dia dlaif sebagaimana kata Ibnul Qayim Al-Jauziyahdi dalam Aunul Ma’bud: “Abu Atikah dlaif.” Juga kata Al-Baihaqi: “Tidak shahih sanadnya (lihat halaman ini pada rujuk Imam Malik dalam syarah
Az-Zarqani terhadap Al-Muwatha’ 1/216 dan rujuk Imam Ahmad dalam Masail
Ibnu Hani 1/100 no. 500. Demikian pula keterangan Syaikh Masyhur Hasan
Salman dan beliau berkata: “Benar, qunut witir pada pertengahan akhir
Ramadlan mempunyai keadaan yang khusus yang diterangkan oleh atsar yang
terdapat dalam Shahih Ibnu Khuzaimah 2/155-156 dengan sanad yang
shahih. Akan tetapi qunut witir tidak dikhususkan dan terbatas pada
waktu ini, tetapi ia syariatkan di seluruh tahun (Al-Qaulul Mubin hal
133-134). Demikian juga yang dinyatakan oleh Sayid Sabiq dalam Fiqhus
Sunnah 1/165 dan lain-lain. Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkan
pendapat di atas sebagai kesalahan.
Mengenai tempat qunut, ada beberapa pendapat yaitu:
Pertama, sesudah ruku`, sebagaimana pendapat Imam As-Syafi’i dan Ahmad
Kedua, sebelum ruku` menurut pendapat Imam Malik
Ketiga, boleh sesudah ruku` dan sebelum ruku, menurut salah satu
pendapat Imam Malik. (lihat Al-Istidzkar 6/201)
Dalam ikhtilaf semacam ini, maka kita kembalikan kepada nash yang
shahih yaitu hadits dari Ubai bin Ka`ab radliyallahu `anhu, dia
berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam qunut pada rakaat witir dan
meletakkannya sebelum ruku`.” (HR. Ibnu Abi Syaibah 12/41/1, Abu Dawud,
An-Nasa’i di dalam Sunan Al-Kubra 218/1-2, Ahmad, At-Thabrani,
Al-Baihaqi dan Ibnu Asakir dengan sanad yang shahih. Demikian penilaian
Syaikh Albani).
Hadits shahih ini mendukung pendapat yang kedua.
Syaikh Masyhur berkata: “Qunut witir diletakkan sebelum ruku` sedangkan
qunut nazilah sesudah ruku`. Kecuali apabila terjadi nazilah
(kegentingan) di kalangan kaum muslimin sebagaimana pada atsar yang
diriwayatkan Ibnu Khuzaimah (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Kemudian tatacaranya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sayid
Sabiq: “Apabila qunut setelah ruku`, dengan mengangkat tangan dan
takbir setelah selesai qunut. Yang demikian diriwayatkan dari sebagian
shahabat. Sebagian ulama menyunahkannya dan sebagian lain tidak.”
(Fiqhus Sunnah 1/166)
Adapun masalah mengusapkan kedua tangan ke muka setelah qunut Imam
Al-Baihaqi mengatakan: “Lebih utama tidak dilakukan dan cukup dengan
apa yang dilaksanakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam,
yakni mengangkat tangan tanpa mengusapkannya ke muka.”
Al-`Izz bin Abdis Salam berkata: “Tidaklah mengusapkan kedua tangan ke
muka setelah doa qunut kecuali orang bodoh/jahil.” (Al-Fatawa hal. 47).
Oleh karena itu Syaikh Masyhur memasukkannya ke dalam kesalahan dalam
shalat di dalam kitab beliau Al-Qaulul Mubin fi Akhta’il Mushalin
(keterangan yang jelas tentang kesalahan orang-orang yang shalat) hal
133.
Doa Qunut
Al-Hasan bin Ali diajari oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
kalau selesai dari dalam shalat witir, agar mengucapkan doa: “Allahummah dinii fiiman hadaita, wa ‘aafinii fiiman ‘aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiimaa a’thoita, waqinii syarro maa qodhoita, fainnaka taqdii wa laa yuqdhoo ‘alaika, wainnahu laa yadzillu man waalaita, walaa ya’izzuman ‘aadaita, tabaarokta robbanaa wa ta’aa laita, laa manja minka illa ilaika.” Artinya : “Ya Allah, tunjukkilah aku sebagaimana orang yang Engkau tunjuki. Selamatkanlah aku sebagaimana orang yang Engkau beri keselamatan. Kasihilah aku sebagaimana orang yang Engkau kasihi. Berkahilah bagiku
apa-apa yang Engkau berikan. Selamatkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau takdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menentukan dan tidak ada yang menentukan diri-Mu. Sesungguhnya tidak akan hina orang yang Engkau kasihi dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau Rabb kami dan Maha Tinggi. Tidak ada keselamatan dari-Mu kecuali berlindung kepada-Mu.” (HR. Ibnu Khuzaimah 1/911 dan Ibnu Abi Syaibah)
Syaikh Masyhur mengatakan: “Doa ini tidak boleh ditambah seperti yang
dilakukan kebanyakan imam shalat dengan tambahan “falakal hamdu `alaa
maa qadlait astaghfiruka wa atuubu ilaik.” Adapun shalawat kepada Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam telah tsabit pada hadits Ubai bin Ka`ab
yang mengimami manusia pada shalat tarawih di jaman Umar radliyallahu
`anhu. Perbuataan ini termasuk amal kaum salaf walaupun atsar ini
didlaifkan oleh Ibnu Hajar. (Al-Qaulul Mubin hal. 134)
Demikianlah pembahasan tarawih dan hukum-hukum yang berkaitan
dengannya. Semoga bermanfaat dan marilah kita berusaha untuk
menjalankannya. Kesempurnaan hanyalah milik Allah.
Wallahu `alam bisshawab.
Maraji’:
1. Shalatut Tarawih, Syaikh Nashirudin Al-Albani
2. Qiyamul Lail, Syaikh Nashirudin Al-Albani
3. Tamamul Minah, Syaikh Nashirudin Al-Albani
4. Irwa’ul Ghalil, Syaikh Nashirudin Al-Albani
5. Shifatu Shalatin Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, Syaikh
Nashirudin Al-Albani
6. Al-Qaulul Mubin fi Akhta’il Mushalin, Syaikh Masyhur Hasan Salman
7. Zadul Ma`ad, Imam Ibnu Qayim Al-Jauziah
8. Al-Istidzkar, Imam Ibnu Abdil Barr
9. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq
10. Ilmu Ushulil Bida`, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
(Dikutip dari majalah Salafy Edisi XXII/1418/1997, penulis asli ustadz Zuhair Syarif, judul asli “Sholat Tarawih”, hal 22-32)
Beberapa Cara Shalat Malam yang dikerjakan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Dari hadits-hadits dan riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan shalat malam dan witir lengkap berbagai cara:
Pertama.
Shalat 13 rakaat dan dimulai dengan 2 rakaat yang ringan.
Berkenaan dengan ini ada beberapa riwayat:
a. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya berkata: “Aku perhatikan shalat malam Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam. Yaitu (ia) shalat dua rakaat yang ringan kemudian ia shalat dua rakaat yang panjang sekali. Kemudian shalat dua rakaat, dan dua rakaat ini tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya, kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian shalat dua rakaat (tidak sepanjang dua rakaat sebelumnya), kemudian witir satu rakaat, yang demikian adalah tiga belas rakaat.” (Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr)
b. Hadits Ibnu Abbas, ia berkata: “Saya pernah bermalam di kediaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam suatu malam, waktu itu beliau di rumah Maimunah radliyallahu anha. Beliau bangun dan waktu itu telah habis dua pertiga atau setengah malam, kemudian beliau pergi ke tempat yang ada padanya air, aku ikut berwudlu bersamanya, kemudian beliau berdiri dan aku berdiri di sebelah kirinya maka beliau pindahkan aku ke sebelah kanannya. Kemudian meletakkan tangannya di atas kepalaku seakan-akan beliau memegang telingaku, seakan-akan membangunkanku, kemudian beliau shalat dua rakaat yang ringan. Beliau membaca Ummul Qur’an pada kedua rakaat itu, kemudian beliau memberi salam kemudian beliau shalat hingga sebelas rakaat dengan witir, kemudian tidur. Bilal datang dan berkata: Shalat Ya Rasulullah! Maka beliau bangun dan shalat dua rakaat, kemudian shalat mengimami orang-orang. (HR. Abu Dawud dan Abu `Awanah dalam kitab Shahihnya. Dan asalnya di Shahihain)
Ibnul Qayim juga menyebutkan hadits ini di Zadul Ma`ad 1:121 tetapi Ibnu Abbas tidak menyebut bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan sebagaimana yang disebutkan Aisyah.
c. Hadits Aisyah, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam apabila bangun malam, memulai shalatnya dengan dua rakaat yang ringan, kemudian shalat delapan kemudian berwitir. Pada lafadh lain: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat Isya, kemudian menambah dengan dua rakaat, aku telah siapkan siwak dan air wudhunya dan berwudlu kemudian shalat dua rakaat, kemudian bangkit dan shalat delapan rakaat, beliau menyamakan bacaan antara rakaat-rakaat itu, kemudian berwitir pada rakaat yang ke sembilan. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam sudah berusia lanjut dan gemuk, beliau jadikan yang delapan rakaat itu menjadi enam rakaat kemudian ia berwitir pada rakaat yang ketujuh, kemudian beliau shalat dua rakaat dengan duduk, beliau membaca pada dua rakaat itu “Qul ya ayyuhal kafirun” dan “Idza zulzilat.”
Penjelasan.
Dikeluarkan oleh Thahawi 1/156 dengan dua sanad yang shahih. Bagian pertama dari lafadh yang pertama juga dikeluarkan oleh Muslim 11/184; Abu Awanah 1/304, semuanya diriwayatkan melalui jalan Hasan Al-Bashri dengan mu`an`an, tetapi Nasai meriwayatkannya (1:250) dan juga Ahmad V:168 dengan tahdits. Lafadh kedua ini menurut Thahawi jelas menunjukan bahwa jumlah rakaatnya 13, ini menunjukan bahwa perkataannya di lafadh yang pertama : “kemudian ia berwitir” maksudnya tiga rakaat. Memahami seperti ini gunanya agar tidak timbul perbedaan jumlah rakaat antara riwayat Ibnu Abbas dan Aisyah.
Kalau kita perhatikan lafadh kedua, maka di sana Aisyah menyebutkan dua rakaat yang ringan setelah shalat Isya’nya, tetapi tidak menyebutkan adanya shalat ba’diyah Isya. Ini mendukung kesimpulan penulis pada uraian terdahulu bahwa dua rakaat yang ringan itu adalah sunnah ba`diyah Isya.
Kedua
Shalat 13 rakaat, yaitu 8 rakaat (memberi salam setiap dua rakaat) ditambah lima rakaat witir, yang tidak duduk kecuali pada rakaat terakhir (kelima).
Tentang ini ada riwayat dari Aisyah sebagai berikut: Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidur, ketika bangun beliau bersiwak kemudian berwudhu, kemudian shalat delapan rakat, duduk setiap dua rakaat dan memberi salam, kemudian berwitir dengan lima rakaat, tidak duduk kecuali ada rakaat kelima, dan tidak memberi salam kecuali pada rakaat yang kelima. Maka ketika muadzin beradzan, beliau bangkit dan shalat dua rakaat yang ringan.
Penjelasan :
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad II:123, 130, sanadnya shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim. Dikeluarkan juga oleh Muslim II:166; Abu Awanah II:325, Abu Daud 1:210; Tirmidzi II:321 dan beliau mengesahkannya. Juga oleh Ad-Daarimi 1:371, Ibnu Nashr pada halaman 120-121; Baihaqi III:27; Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla III:42-43.
Semua mereka ini meriwayatkan dengan singkat, tidak disebut padanya tentang memberi salam pada tiap dua rakaat, sedangkan Syafi’i 1:1/109, At-Thayalisi 1:120 dan Hakim 1:305 hanya meriwayatkan tentang witir lima rakaat saja.
Hadits ini juga mempunyai syahid dari Ibnu Abbas, diriwayatkan oleh Abu Dawud 1:214 daan Baihaqi III:29, sanad keduanya shahih. Kalau kita lihat sepintas lalu, seakan-akan riwayat Ahmad ini bertentangan dengan riwayat Aisyah yang membatas bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas rakaat, sebab pada riwayat ini jumlah yang dikerjakan Nabi shallallahu `alaihi wa sallam adalah 13 rakaat ditambah 2 rakaat qabliyah Shubuh. Tetapi sebenarnya kedua riwayat ini tidak bertentangan dan dapat dijama’ seperti pad uraian yang lalu. Kesimpulannya dari 13 rakaat itu, masuk di dalamnya 2 rakaat Iftitah atau 2 rakaat ba’diyah Isya.
Ketiga.
Shalat 11 rakaat, dengan salam setiap dua rakaat dan berwitir 1 rakaat.
Dasarnya hadits Aisyah berikut ini: “Adalah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam shalat pada waktu antara selesai shalat Isya, biasa juga orang menamakan shalat `atamah hingga waktu fajar, sebanyak 11 rakaat, beliau memberi salam setiap dua rakaat dan berwitir satu rakaat, beliau berhenti pada waktu sujudnya selama seseorang membaca 50 ayat sebelum mengangkat kepalanya”.
Penjelasan:
Diriwayatkan oleh Muslim II:155 dan Abu Awanah II:326; Abu Dawud I:209; Thahawi I:167; Ahmad II:215, 248. Abu Awanah dan Muslim juga meriwayatkan dari hadits Ibnu Umar, sedangkan Abu Awanah juga dari Ibnu Abbas.
Mendukung riwayat ini adalah Ibnu Umar juga: Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tentang shalat malam, maka sabdanya: Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Kalau seseorang daripada kamu khawatir masuk waktu Shubuh, cukup dia shalat satu rakaat guna menggajilkan jumlah rakaat yang ia telah kerjakan.
Riwayat Malik I:144, Abu Awanah II:330-331, Bukhari II:382,385, MuslimII:172. Ia menambahkan (Abu Awanah): “Maka Ibnu Umar ditanya: Apa yang dimaksud dua rakaat – dua rakaat itu? Ia menjawab: Bahwasanya memberi salam di tiap dua rakaat.”
Keempat.
Shalat 11 rakaat yaitu sholat 4 rakaat dengan 1 salam, empat rakaat salam lagi, kemudian tiga rakaat.
Haditsnya adalah riwayat Bukhari Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Menurut dhahir haditsnya, beliau duduk di tiap-tiap dua rakaat tetapi tidak memberi salam, demikianlah penafsiran Imam Nawawi. Yang seperti ini telah diriwayatkan dalam beberapa hadits dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak memberi salam antara dua rakaat dan witir, namun riwayat-riwayat itu lemah, demikianlah yang disebutkan oleh Al-Hafidh Ibnu Nashr, Baihaqi dan Nawawi.
Kelima
Shalat 11 rakaat dengan perincian 8 rakaat yang beliau tidak duduk kecuali pada rakaat kedelapan tersebut, maka beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, selanjutnya beliau witir satu rakaat, kemudian memberi salam (maka genap 9 raka’at). Kemudian Nabi sholat 2 raka’at sambil duduk.
Dasarnya adalah hadits Aisyah radliallahu `anha, diriwayatkan oleh Sa’ad bin Hisyam bin Amir. Bahwasanya ia mendatangi Ibnu Abbas dan menanyakan kepadanya tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam maka Ibnu Abbas berkata: Maukah aku tunjukan kepada kamu orang yang paling mengetahui dari seluruh penduduk bumi tentang witirnya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam: Ia bertanya siapa dia? Ia berkata: Aisyah radlillahu anha, maka datangilah ia dan Tanya kepadanya: Maka aku pergi kepadnya, ia berkata: Aku bertanya; Hai Ummul mukminin khabarkan kepadaku tentang witir Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, Ia menjawab: Kami biasa menyiapkan siwak dan air wudlunya, maka ia bersiwak dan berwudlu dan shalat sembilan rakaat tidak duduk padanya kecuali pada rakaat yang kedelapan, maka ia mengingat Allah dan memuji-Nya dan bershalawat kepada nabi-Nya dan berdoa, kemudian bangkit dan tidak memberi salam, kemudian berdiri dan shalat (rakaat) yang kesembilan, kemudian beliau duduk dan mengingat Allah dan memujinya (at tahiyat) dan bershalawat atas nabi-Nya shallallahu `alaihi wa sallam dan berdoa, kemudian memberi salam dengan salam yang diperdengarkan kepada kami, kemudian shalat dua rakat setelah beliau memberi salam, dan beliau dalam keadaan duduk, maka yang demikian jumlahnya sebelas. Wahai anakku, maka ketika Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menjadi gemuk, beliau berwitir tujuh rakaat, beliau mengerjakan di dua rakaat sebagaimana yang beliau kerjakan (dengan duduk). Yang demikian jumlahnya sembilan rakaat wahai anakku.
Penjelasan
Diriwayatkan oleh Muslim II:169-170, Abu Awanah II:321-325, Abu Dawud
I:210-211, Nasai I/244-250, Ibnu Nashr halaman 49, Baihaqi III:30 dan
Ahmad VI:53,54,168.
Keenam.
Shalat 9 rakaat, dari jumlah ini, 6 rakaat beliau kerjakan tanpa duduk (tasyahud) kecuali pada rakaat yang keenam tersebut, beliau bertasyahud dan bershalawat atas Nabi shallallahu `alaihi wa sallam kemudian beliau bangkit dan tidak memberi salam sedangkan beliau dalam keadaan duduk.
Yang menjadi dasar adalah hadits Aisyah radiyallahu anha seperti telah
disebutkan pada cara yang kelima.
Itulah cara-cara shalat malam dan witir yng pernah dikerjakan Rasulullah, cara yang lain dari itu bisa juga ditambahkan yang penting tidak melebihi sebelas rakaat. Adapun kurang dari jumlah itu tidak dianggap menyalahi karena yang demikian memang dibolehkan, bahkan berwitir satu rakaatpun juga boleh sebagaimana sabdanya yang lalu:
“….Maka barang siapa ingin maka ia boleh berwitir 5 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir 3 rakaat, dan barangsiapa ingin ia boleh berwitir dengan satu rakaat.”
Hadits di atas merupakan nash boleh ia berwitir dengan salah satu dari rakaat-rakaat tersebut, hanya saja seperti yang dinyatakan hadits Aisyah bahwasaya beliau tidk berwitir kurang dari 7 rakaat.
Tentang witir yang lima rakaat dan tiga rakaat dapat dilakukan dengan berbagai cara:
a. Dengan sekali duduk dan sekali salam
b. Duduk at tahiyat setiap dua rakaat
c. Memberi salam setiap dua rakaat
Al-Hafidh Muhammad bin Nashr al-Maruzi dalam kitab Qiyamul Lail halaman
119 mengatakan: Cara yang kami pilih untuk mengerjakan shalat malam, baik Ramadlan atau lainnya adalah dengan memberi salam setiap dua rakaat. Kalau seorang ingin mengerjakan tiga rakaat, maka di rakaat pertama hendaknya membaca surah “Sabbihisma Rabbikal A’la” dan pada rakaat kedua membaca surah “Al-Kafirun”, dan bertasyahud dirakaat kedua kemudian memberi salam. Selanjutya bangkit lagi dan shalat satu rakaat, pada rakaat ini dibaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash, Mu`awwidzatain (Al-Falaq dan An-Naas), setelah itu beliau (Muhammad bin Nashr) menyebutkan cara-cara yang telah diuraikan terdahulu.
Semua cara-cara tersebut boleh dilakukan, hanya saja kami pilih cara yang disebutkan di atas karen didasarkan pada jawaban Nabi shallallahu `alaihi wa sallam ketika beliau ditanya tentang shalat malam, maka beliau menjawab: bahwa shalat malam itu dua rakaat dua rakaat, jadi kami memilih cara seperti yang beliau pilih.
Adapun tentang witir yang tiga rakaat, tidak kami dapatkan keterangan yang pasti dan terperinci dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bahwasanya beliau tidak memberi salam kecuali pada rakat yang ketiga, seperti yang disebutkan tentang Witir lima rakaat, tujuh dan sembilan rakaat. Yang kami dapati adalah bahwa beliau berwitir tiga rakaat dengan
tidak disebutkan tentang salam sedangkan tidak disebutkan itu tidak dapat diartikan bahwa beliau tidak mengerjakan, bahkan mungkin beliau melakukannya.
Yang jelas tentang pelaksanaan yang tiga rakaat ini mengandung beberapa ihtimaalat
(kemungkinan), diantaranya kemungkinan beliau justru memberi salam, karena demikialah yang kami tafsirkan dari shalat beliau yang sepuluh rakaat, meskipun di sana tidak diceritakan tentang adanya salam setiap dua rakaat, tapi berdasar keumuman sabdanya bahwa asal shalat malam atau siang itu adalah dua rakaat, dua rakaat.
Sedangkan hadits Ubay bin Ka’ab yang sering dijadikan dasar tidak adanya salam kecuali pada rakaat yang ketiga (laa yusallimu illa fii akhirihinna), ternyata tambahan ini tidak dapat dipakai, karena Abdul Aziz bin Khalid bersendiri dengan tambahan tersebut, sedangkan Abdul Aziz ini, tidak dianggap tsiqah oleh ulama Hadits. Dalam at-Taqrib dinyatakan bahwa dia maqbul apabila ada mutaba’ah (hadits lain yang mengiringi), kalau tidak ia termasuk Layyinul Hadits. Di samping itu tambahan riwayatnya menyalahi riwayat dari Sa’id bin Abi Urubah yang tanpa tambahan tersebut. Ibnu Nashr, Nasai dan Daruqutni juga meriwayatkan tanpa tambahan. Dengan ini, jelas bahwa tambahan tersebut adalah munkar dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Tapi walaupun demikian diriwayatkan bahwa shahabat-shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam mengerjakan witir tiga rakaat dengan tanpa memberi salam kecuali pada rakaat yang terakhir dan ittiba’ kepada mereka ini lebih baik baik daripada mengerjakan yang tidak dicontohkan.
Dari sisi lain perlu juga diketengahkan bahwa terdapat banyak riwayat baik dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam, para shahabat ataupun tabi’in yaang menunjukan tidak disukainya shalat witir tiga rakaat, diantaranya: “Janganlah engkau mengerjakan witir tiga rakaat yang menyerupai Maghrib, tetapi hendaklah engkau berwitir lima rakaat.” (HR. Al-Baihaqi, At Thohawi dan Daruquthny dan selain keduanya, lihat Sholatut Tarawih hal 99-110).
Hadits ini tidak dapat dipakai karena mempunyai kelemahan pada sanadnya, tapi Thahawi meriwayatkan hadits ini melalui jalan lain dengan sanad yang shahih. Adapun maksudnya adalah melarang witir tiga rakaat apabila menyerupai Maghrib yaitu dengan dua tasyahud, namun kalau witir tiga rakaat dengan tidak pakai tasyahud awwal, maka yang demikian tidak dapat dikatakan menyerupai. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari II:385 dan dianggap baik oleh Shan’aani dalam Subulus Salam II:8.
Kesimpulan dari yang kami uraikan di atas bahwa semua cara witir yang disebutkan di atas adalah baik, hanya perlu dinyatakan bahwa witir tiga rakaat dengan dua kali tasyahhud, tidak pernah ada contohnya dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bahkan yang demikian tidak luput dari kesalahan, oleh karenanya kami memilih untuk tidak duduk di rakaat genap (kedua), kalau duduk berarti memberi salam, dan cara ini adalah yang lebih utama.
(Dikutip dari tulisan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, judul asli Sholatut Tarawih, edisi Indonesia Kelemahan Riwayat Tarawih 20 Rakaat.)