Ditulis Oleh Al Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin
Orang tua atau pendidik bisa menjadi teman bagi anak. Saat kedekatan secara emosional terbangun, maka pertemanan bisa terjalin. Pertemanan orang tua atau pendidik terhadap anak, terkait pada fungsi memberikan bimbingan dan arahan. Melalui kedekatan emosional yang baik, diharapkan anak tak memiliki hambatan untuk menyampaikan apa yang tersimpan dalam batinnya.
Dengan demikian orang tua atau pendidik bisa menyelami apa yang dirasa anak. Perhatian dari orang tua atau pendidik yang tulus kepada anak akan memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang kepribadian anak. Kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Umar bin Abi Salamah radhiyallahu ‘anhu bisa menjadi cermin terkait kedekatan orang tua dan anak. Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Umar bin Abi Salamah bertutur, “Saat saya masih anak-anak. Saya dalam asuhan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kala itu, tangan saya mengacak-acak (makanan) yang berada dalam nampan. Lantas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai ananda, sebutlah nama Allah (baca bismillah ketika hendak makan), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah dari sisi yang terdekat denganmu.’” Dari kisah tersebut terpetik pelajaran tentang arti sebuah pertemanan bagi anak. Dari kisah tersebut bisa dicermati betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan bimbingan kepada seorang anak yang melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan pencegahan terhadap perilaku yang salah dari seorang anak dalam bentuk teguran.
Namun, tak semata hanya memberi teguran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberikan bimbingan untuk melakukan sesuatu yang ma’ruf (baik). Dengan kata lain, beliau tak sekadar menegur dan menyalahkan, namun lebih dari itu beliau memberi solusi; apa yang harus diperbuat oleh seorang anak setelah dirinya melakukan kesalahan. Inilah bentuk irsyad wal-bayan (membimbing dan memberi penjelasan). Dari kisah itu pun terpantul pelajaran yang sangat mulia, betapa beliau teramat dekat dengan anak-anak. Mencintai anak-anak. Memahami dan menyelami jiwa anak-anak. Beliau tak menggunakan kekerasan dan sikap kasar kala memberi teguran dan bimbingan pada anak yang melakukan kesalahan. Sungguh, sikap sabar dan ta’ani (tenang) sangat diperlukan saat menghadapi masalah.
Pertemanan bagi seorang anak akan memiliki arti ketika yang menjadi “teman” sang anak berkualitas. Yaitu, ia seorang yang memiliki akidah yang sahih, berakhlak mulia (penyayang, penyabar, jujur dan lainnya), memahami jiwa anak, mencintai anak, cerdas dan kreatif. Ia memiliki cara pandang (manhaj) yang lurus dalam mengarahkan pendidikan anak. Sungguh, tak bisa dibayangkan bila yang menjadi “teman” sang anak tidak memiliki visi Islam yang benar. Saat anak (misal) makan-minum dengan tangan kiri, tak ada teguran dan bimbingan padanya. Bahkan, yang lebih menyedihkan, perbuatan makan dan minum dengan tangan kiri justru dilakukan juga oleh “teman” sang anak. Inilah bentuk pertemanan yang buruk. Yaitu, saat seorang anak duduk bersama teman yang berperilaku buruk. Keburukannya bisa menular.
Nas’alullaha as-salaamah (kita memohon keselamatan kepada Allah). Bagaimana mungkin ia akan menegur seorang anak yang melakukan kesalahan, sementara dirinya berada dalam pusaran kesalahan itu sendiri. Akankah tercapai misi mendidik anak salih? Wallahu ‘a’lam.