Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq

  • Post author:
  • Post category:Manhaj

BAB 15
Ahli Bid’ah Lebih Jahat Dari Orang Yang Fasiq

134. Abu Musa berkata :
“Bertetangga dengan yahudi dan nashrani lebih aku sukai daripada bertetangga dengan pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) karena ini menyebabkan hatiku berpenyakit.” (Al Ibanah 2/468 nomor 469)
135. Yunus bin Ubaid berkata kepada anaknya :
“Saya larang kamu berzina, mencuri, dan minum khomer namun seandainya kamu bertemu Allah Azza wa Jalla dengan (masih) berbuat ini lebih saya sukai daripada kamu bertemu Allah membawa pemikiran Amru bin Ubaid dan shahabat-shahabatnya.” (Al Ibanah 2/466 nomor 464)
136. Abul Jauza berkata :
[ Seandainya tetanggaku kera dan babi itu lebih aku sukai daripada seorang dari ahli ahwa menjadi tetanggaku dan sungguh mereka termasuk yang disebut dalam ayat :
Dan jika mereka bertemu kamu, mereka berkata : “Kami beriman.” Dan jika mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jarinya lantaran marah dan benci kepadamu. Katakanlah : “Matilah kamu karena kemarahanmu itu.” Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. Ali Imran : 119) (Al Ibanah 2/467 nomor 466-467) ]
137. Al Awwam bin Hausyab berkata mengenai anaknya, Isa :
“Demi Allah, sungguh jika aku lihat Isa duduk dengan tukang musik dan peminum khomer dan orang yang bicara sia-sia lebih aku sukai daripada aku melihatnya duduk dengan tukang debat ahli bid’ah.” (Al Bida’ 56)
138. Yahya bin Ubaid berkata :
Seorang Mu’tazili menemuiku ingin bicara. Lalu saya berdiri dan berkata :
“Kamu yang pergi dari sini atau saya karena sesungguhnya saya berjalan dengan nashrani lebih saya sukai daripada berjalan bersamamu.” (Al Bida’ 59)
139. Arthaah bin Al Mundzir berkata :
“Seandainya anakku termasuk salah satu dari orang yang fasiq lebih aku sukai daripada dia menjadi seorang pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah).” (Asy Syarhu wal Ibanah Ibnu Baththah 132 nomor 87)
140. Sa’id bin Jubair berkata :
“Seandainya anakku berteman dengan orang fasiq licik tapi sunniy lebih aku cintai daripada ia berteman dengan ahli ibadah namun mubtadi’.” (Ibid nomor 89)
141. Ketika dikatakan kepada Malik bin Mighwal bahwa anaknya bermain-main dengan burung, ia berkata:
“Alangkah baiknya apa yang menyibukkannya dari berteman dengan mubtadi’.” (Ibid 133 nomor 90)
142. Imam Al Barbahary berkata :
“Jika kamu dapati seorang sunniy yang jelek thariqah dan madzhabnya, fasiq dan fajir (durhaka), ahli maksiat sesat namun ia berpegang dengan sunnah, bertemanlah dengannya, duduklah bersamanya sebab kemaksiatannya tidak akan membahayakanmu. Dan jika kamu lihat seseorang giat beribadah, meninggalkan kesenangan dunia, bersemangat dalam ibadah, pengekor hawa nafsu (ahli bid’ah) maka jangan bermajelis atau duduk bersamanya dan jangan pula dengarkan ucapannya serta jangan berjalan bersamanya di suatu jalan karena saya tidak merasa aman kalau kamu merasa senang berjalan dengannya lalu kamu celaka bersamanya.” (Syarhus Sunnah 124 nomor 149)
143. Abu Hatim berkata, saya mendengar Ahmad bin Sinan mengatakan :
“Seandainya bertetangga denganku pemusik tetap lebih aku sukai daripada ahli bid’ah yang jadi jiranku. Karena pemusik itu mungkin dapat untuk saya larang dan saya hancurkan musiknya (tamburnya) sedang mubtadi’ ia merusak semua manusia, tetangga maupun para pemuda (tanpa disadari, ed.)” (Al Ibanah 2/469 nomor 473)
144. Imam Asy Syafi’iy –rahimahullah– berkata :
“Jika seorang hamba menghadap Allah dengan segenap dosa kecuali syirik jauh lebih baik (lebih ringan dosanya, ed.) daripada ia menghadap Allah membawa sesuatu berupa hawa nafsu (bid’ah).” (Syarhus Sunnah halaman 124, disandarkan kepada Al Baihaqy dalam I’tiqad 158)
145. Imam Ahmad berkata :
“Kuburan Ahli Sunnah pelaku dosa besar bagaikan taman sedang kuburnya ahli bid’ah biarpun ahli zuhud adalah jurang (neraka). Orang fasiq di kalangan Ahli Sunnah termasuk wali-wali Allah sedang orang-orang zuhud (ahli ibadah) dari kalangan ahli bid’ah adalah musuh-musuh Allah.” (Thabaqat Hanabilah 1/184)

(Sumber : Kilauan Mutiara Hikmah Dari Nasihat Salaful Ummah, terjemah dari kitab Lamudduril Mantsur minal Qaulil Ma’tsur, karya Syaikh Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsi. Diterjemahkan oleh Ustadz Idral Harits, Pengantar Ustadz Muhammad Umar As Sewwed. Diambil dari www.assunnah.cjb.net.)