Disamping adanya kelompok-kelompok yang mengingkari akan dapat dilihatnya Allah pada hari kiamat oleh penghuni surga, ada pula kelompok yang berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di dunia ini oleh para auliya (para wali). Pendapat seperti ini diyakini oleh sebagian kaum muslimin bahwa Syaikh Abdul Qadir Jaelani telah melihat Allah di dunia ini, sebagaimana terdapat dalam buku manaqib Abdul Qadir Jaelani yang sesat dan menyesatkan.
Padahal dalil berupa ayat Al-Qur’an yang telah dibahas pada edisi yang lalu –yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk menolak hadits ru’yah—sesungguhnya merupakan dalil yang menunjukkan tidak mungkinnya Allah dilihat di dunia ini. Ayat tersebut yaitu:
ÞóÇáó ÑóÈøö ÃóÑöäöí ÃóäúÙõÑú Åöáóíúßó ÞóÇáó áóäú ÊóÑóÇäöí æóáóßöäö ÇäúÙõÑú Åöáóì ÇáúÌóÈóáö ÝóÅöäö ÇÓúÊóÞóÑøó ãóßóÇäóåõ ÝóÓóæúÝó ÊóÑóÇäöí ÝóáóãøóÇ ÊóÌóáøóì ÑóÈøõåõ áöáúÌóÈóáö ÌóÚóáóåõ ÏóßøðÇ… ]ÇáÃÚÑÇÝ: 143[
Berkata Musa: “Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Allah berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap berada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Rabb-nya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.. (al-A’raaf: 143)
Ayat ini menunjukkan bahwa gunung-pun hancur luluh ketika Allah menampakkan diri kepadanya, apalagi manusia yang sangat lemah. Dan kepada Musa Úáíå ÇáÓáÇã –hamba-Nya yang mulia dan Allah berbicara langsung kepadanya– Allah katakan: “Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku”, yakni di dunia ini. Apalagi orang-orang yang selain para nabi.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi: “Telah sepakat seluruh umat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia ini dan tidak ada perselisihan di kalangan mereka, kecuali tentang Nabi Kita Õáì Çááå Úáíå æÓáã”. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah: 196)
Apakah Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Allah ketika mi’raj?
Sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ, beliau berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã telah melihat Rabb-nya dengan mata kepalanya. Namun riwayat-riwayat dari atsar ini sebagiannya dlaif (lemah), seperti riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid dengan lafadz yang mudtharib (goncang) secara mauquf terhadap ibnu Abbas. Pada satu riwayat disebutkan Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat dengan mata kepalanya, sedangkan pada riwayat lainnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya dengan hatinya, seperti yang diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabbah. Dan banyak lagi lafadz-lafadz lainnya yang diriwayatkan dan bersumber dari Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ di atas juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Allah dengan mata kepalanya. Sebagian riwayat itu hanya menyatakan beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã “melihat dalam hatinya”, “melihat cahaya”, “melihat dalam mimpinya” dan lain-lain.
Di samping itu, mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã telah melihat Allah ketika mi’raj, berhujah dengan ayat Allah dalam surat atTak-wir:
æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö. ]ÇáÊßæíÑ:23[
Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang. (at-Tak-wir: 23)
Dan ayat Allah:
æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì. ÚöäúÏó ÓöÏúÑóÉö ÇáúãõäúÊóåóì. ]ÇáäÌã: 13-14[
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (an-Najm: 62-63)
Bantahan bagi pendapat di atas
Sebagian para shahabat lainnya seperti Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah; demikian pula sebagian ashhabul hadits dan para fuqaha lainnya, mereka berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã tidak melihat Rabb-Nya ketika beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã mi’raj. Hal itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: ”Apakah Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-Nya?” Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ menjawab:
ãóäú ÒóÚóãó Ãóäøó ãõÍóãøóÏðÇ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÑóÃóì ÑóÈøóåõ ÝóÞóÏú ÃóÚúÙóãó Úóáóì Çááøóåö ÇáúÝöÑúíóÉó. ÞóÇáó æóßõäúÊõ ãõÊøóßöÆðÇ ÝóÌóáóÓúÊõ ÝóÞõáúÊõ: íóÇ Ãõãøó ÇáúãõÄúãöäöíäó ÃóäúÙöÑöíäöí æóáÇó ÊóÚúÌóáöíäöí Ãóáóãú íóÞõáö Çááøóåõ ÚóÒøó æóÌóáøó
]æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö[ ]æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì[ ÝóÞóÇáóÊú: ÃóäóÇ Ãóæøóáõ åóÐöåö ÇúáÃõãøóÉö ÓóÃóáó Úóäú Ðóáößó ÑóÓõæáó Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó. ÝóÞóÇáó: ÅöäøóãóÇ åõæó ÌöÈúÑöíáõ áóãú ÃóÑóåõ Úóáóì ÕõæÑóÊöåö ÇáøóÊöí ÎõáöÞó ÚóáóíúåóÇ ÛóíúÑó åóÇÊóíúäö ÇáúãóÑøóÊóíúäö ÑóÃóíúÊõåõ ãõäúåóÈöØðÇ ãöäó ÇáÓøóãóÇÁö ÓóÇÏøðÇ ÚöÙóãõ ÎóáúÞöåö ãóÇ Èóíúäó ÇáÓøóãóÇÁö Åöáóì ÇúáÃóÑúÖö. ÝóÞóÇáóÊú: Ãóæó áóãú ÊóÓúãóÚú Ãóäøó Çááøóåó íóÞõæáõ ]áÇó ÊõÏúÑößõåõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑõ æóåõæó íõÏúÑößõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑó æóåõæó ÇááøóØöíÝõ ÇáúÎóÈöíÑõ[ Ãóæó áóãú ÊóÓúãóÚú Ãóäøó Çááøóåó íóÞõæáõ ]æóãóÇ ßóÇäó áöÈóÔóÑò Ãóäú íõßóáøöãóåõ Çááøóåõ ÅöáÇøó æóÍúíðÇ Ãóæú ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ãóæú íõÑúÓöáó ÑóÓõæáÇð ÝóíõæÍöíó ÈöÅöÐúäöåö ãóÇ íóÔóÇÁõ Åöäøóåõ Úóáöíøñ Íóßöíãñ[(ãÊÝÞ Úáíå)
Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah. Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: “Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-buru! Bukankah Allah telah berfirman: “[æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö] [ æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì] (“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”. (“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha”. Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã tentangnya. Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya)”. Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
[áÇó ÊõÏúÑößõåõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑõ æóåõæó íõÏúÑößõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑó æóåõæó ÇááøóØöíÝõ ÇáúÎóÈöíÑõ]? (“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”). Bukankah engkau pernah mendengar
æóãóÇ ßóÇäó áöÈóÔóÑò Ãóäú íõßóáøöãóåõ Çááøóåõ ÅöáÇøó æóÍúíðÇ Ãóæú ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ãóæú íõÑúÓöáó ÑóÓõæáÇð ÝóíõæÍöíó ÈöÅöÐúäöåö ãóÇ íóÔóÇÁõ Åöäøóåõ Úóáöíøñ Íóßöíãñ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana). (HR. Bukhari-Muslim)
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat cahaya dinukil juga dalam kitab shahih muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
Ëõãøó ÞõáúÊõ öáÃóÈöí ÐóÑøò áóæú ÑóÃóíúÊõ ÑóÓõæúáó Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó áóÓóÃóáúÊõåõ. ÝóÞóÇáó: Úóäú Ãóíøö ÔóíúÁò ßõäúÊó ÊóÓúÃóáõåõ¿ ÞóÇáó: ßõäúÊõ ÃóÓúÃóáõåõ: åóáú ÑóÃóíúÊó ÑóÈøõßó¿ ÞóÇáó ÃóÈõæú ÐóÑøò ÞóÏú ÓóÃóáúÊõ ÝóÞóÇáó: ((ÑóÃóíúÊõ äõæúÑðÇ)). (ÑæÇå ãÓáã)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?”. Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Dzar:
ÓóÃóáúÊõ ÑóÓõæúáó Çááåó åóáú ÑóÃóíúÊó ÑóÈøóßó¿ ÞóÇá: (äõæúÑñ Ãóäøóì ÃóÑóÇåõ)
Aku bertanya kepada Rasulllah Õáì Çááå Úáíå æÓáã : “Apakah engkau melihat Rabb-mu? Beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã menjawab: “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?”. (HR. Muslim)
Disebutkan oleh para ulama bahwa yang dilihat oleh Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã adalah hijab-Nya, karena hijabnya adalah cahaya sebagaimana diriwayatkan dari dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
ÞóÇãó ÝöíúäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåöö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÈöÎóãúÓö ßóáöãóÇÊò ÝóÞóÇáó: Åöäøó Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó áÇó íóäóÇãõ æóáÇó íóäúÈóÛöí áóåõ Ãóäú íóäóÇãó íóÎúÝóÖõ ÇáúÞöÓúØó æóíóÑúÝóÚõåõ. íóÑúÝóÚõ Åöáóíúåö Úóãóáó Çááøóíúáö ÞóÈúáó Úóãóáö ÇáäøóåóÇÑö æóÚóãóáó ÇáäøóåóÇÑö ÞóÈúáó Úóãóáö Çááøóíúáö ÍöÌóÇÈõåõ ÇáäøõæúÑõ. (ÑæÇå ãÓáã)
Berdiri Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)
Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bary jilid 8/708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya, berkata: “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad”.
Kemudian Ibnu Hajar ÑÍãå Çááå mengakurkan (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan: “Dengan ini kita bisa mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Allah –pent.) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya. Yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya”.
Berkata Dr. Ali bin Muhammad
bin Nashir al-Faqihi: “Jama’ dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut”. (Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå: “Tidaklah ucapan Ibnu Abbas tentang melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertentangan dengan hadits Aisyah”. Kemudian beliau ÑÍãå Çááå meriwayatkan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã per-nah malihat Rabb-nya dalam tidurnya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)
Bahkan disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’adnya bahwa Utsman bin Sa’id ad-Darimi telah menghikayatkan kesepakatan para sahabat tentang tidak melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Rabb-nya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)
Yakni dengan mata kepala beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã dalam keadaan sadar. Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat-Nya adalah dalam keadaan tidur atau dengan hatinya.
Dengan demikian, jika kita memperhatikan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã sendiri tidak melihat Rabb-nya dengan matanya secara sadar di dunia ini dalam riwayat-riwayat yang shahih, maka bagaimana mungkin bagi orang-orang selain beliau dapat melihat-Nya dengan mata kepalanya ?
Wallahu a’lam
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 48/Th. II, 24 Dzulhijjah 1425 H/4 Februari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Tak Ada yang melihat Allah di dunia”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)