Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara ma’ruf (baik/patut). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Q.S an-Nisaa’:19)
Pembahasan terkait ayat ini mencakup:
- Kebiasaan jahiliyyah dahulu, jika seseorang meninggal, istrinya juga diwarisi oleh ahli warisnya.
- Tidak boleh menyusahkan istri agar ia melakukan khulu’, kecuali jika istri melakukan perbuatan keji
- Mempergauli istri secara baik (ma’ruf)
- Jangan terburu menceraikan istri jika kita sudah tidak menyukainya lagi
Kebiasaaan Jahiliyyah Terdahulu: Mewarisi Istri
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma menjelaskan:
كَانُوا إِذَا مَاتَ الرَّجُلُ كَانَ أَوْلِيَاؤُهُ أَحَقَّ بِامْرَأَتِهِ إِنْ شَاءَ بَعْضُهُمْ تَزَوَّجَهَا وَإِنْ شَاءُوا زَوَّجُوهَا وَإِنْ شَاءُوا لَمْ يُزَوِّجُوهَا فَهُمْ أَحَقُّ بِهَا مِنْ أَهْلِهَا فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِي ذَلِكَ
Dulu (di masa Jahiliyyah) jika seorang laki-laki meninggal, maka para ahli waris laki-laki itu adalah orang yang paling berhak terhadap istrinya. Jika ahli waris itu mau, sebagian menikahinya dan jika mereka mau mereka menikahkannya (dan bagi mereka mahar wanita itu), dan jika mereka mau mereka (menahan) tidak menikahkannya (hingga sang perempuan terpaksa menyerahkan sebagian harta agar bisa menikah atau hingga meninggal dan mewarisi hartanya). Para ahli waris laki-laki itu lebih berhak terhadap istri yang ditinggalkan dibandingkan wali wanita itu. Hingga kemudian Allah turunkan ayat ini (hadits riwayat al-Bukhari).
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menjelaskan bahwa pada masa Jahiliyyah jika seorang istri meninggal, maka kerabat/ ahli waris suami lebih berhak baginya. Berbeda dengan aturan Islam selanjutnya (yang menghapus hukum jahiliyyah tersebut), bahwa jika suami meninggal, maka istri akan kembali kepada para walinya sebagaimana keadaan ketika ia belum bersuami. Ada hal-hal di masa Jahiliyyah yang dihapuskan dan dibatalkan oleh Islam dan ada pula yang tetap dibiarkan berjalan dan disempurnakan. Aturan di masa Jahiliyyah yang dibiarkan tetap ada dalam Islam contohnya adalah aturan perwalian, bahwa seorang wanita yang akan menikah harus berdasarkan persetujuan walinya (disarikan dari transkrip ceramah Syarh Sunan Abi Dawud).
Tidak Boleh Menyusahkan Istri agar Ia Melakukan Khulu’, Kecuali Jika Istri Melakukan Perbuatan Keji
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata
Seorang suami yang sudah tidak ingin bersama istrinya lagi tidak boleh menyengaja menimbulkan kesempitan dan kemudharatan bagi istri dengan tujuan agar istri tidak tahan dan kemudian melakukan khulu’ (lepas dari ikatan pernikahan dan istri menyerahkan tebusan mahar yang telah diberikan suami). Demikian dijelaskan oleh Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini (disarikan dari Tafsir atThobary).
Dalam ayat yang lain Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَاراً لِتَعْتَدُوا
Dan janganlah kalian menahan mereka (para istri) dengan memberikan kemudharatan agar kalian melampaui batas (terhadap mereka)…(Q.S
Jika seorang suami diketahui secara pasti dan meyakinkan bahwa ia telah melakukan upaya untuk menyengsarakan istri hingga terpaksa istri menggugat ke pengadilan agar pernikahan terputus (khulu’), maka sang suami tidak berhak mendapatkan tebusan. Hakim akan memaksa suami untuk menceraikan istrinya tanpa ada tebusan bagi suami.
Kecuali jika istri melakukan perbuatan keji seperti zina, maka suami boleh untuk menimbulkan mudharat kepadanya dengan tujuan istri menggugat putusnya pernikahan (khulu’) dan menyerahkan tebusan (senilai maksimal mahar yang diberikan suami).
Mempergauli Istri Secara Ma’ruf
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bergaullah dengan mereka (para isteri) secara ma’ruf (baik/patut).
Kewajiban suami terhadap istri di antaranya adalah:
- Memberikan tempat tinggal, makanan, pakaian yang layak (baik) sesuai kemampuan suami. Memberikan nafkah lahir: kecukupan finansial.
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
Berikanlah tempat tinggal bagi mereka sebagaimana kalian bertempat tinggal sesuai kemampuan kalian…(Q.S atTholaq:6)
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Maka bertakwalah kalian kepada Allah dalam hal wanita (para istri kalian). Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian halalkan farji (kemaluan) mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka adalah tidak boleh ada seorang yang kalian benci menyentuh ranjang kalian. Jika ia melakukannya, maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukai/ sangat menyakitkan. Sedangkan hak mereka atas kalian adalah kalian beri nafkah dan pakaian mereka secara ma’ruf (H.R Muslim)
- Membimbing dan mengajarkan ilmu dan adab Islam yang wajib diketahui istri. Menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai syariat Islam dalam keluarga.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا…
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari anNaar (api neraka)…(Q.S atTahriim:6)
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu menjelaskan makna ‘menjaga keluarga kita dari adzab neraka’ adalah dengan mengajari ilmu dan membimbing adab Islam kepada mereka (Tafsir atThobary).
Bagian dari upaya menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka adalah dengan sikap siap diingatkan dan diluruskan jika bertentangan dengan ajaran Islam. Karena kita seharusnya ingin agar kehidupan keluarga kita berjalan di atas tuntunan alQuran dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam dengan pemahaman para Sahabat Nabi.
- Memberikan nafkah batin, paling tidak sekali dalam 4 bulan jika istri memintanya(kisah percakapan Umar dengan puterinya Hafshah, dan pendapat yang dipilih al-Imam Ahmad).
- Tidak memukul dengan pukulan yang melukai atau memukul wajah.
- Tidak boleh mendiamkan (tidak mengajak bicara) dan menjauhi istri kecuali dalam rumah saja, dan itupun maksimal hanya 3 hari.
- Tidak boleh menjelek-jelekkannya.
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا حَقُّ الْمَرْأَةِ عَلَى الزَّوْجِ قَالَ أَنْ يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلَا يَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا يُقَبِّحْ وَلَا يَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
dari Hakim bin Muawiyah dari ayahnya bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam: Apa hak wanita terhadap suaminya? Nabi bersabda: engkau beri ia makan jika iamakan, memberikan padanya pakaian saat ia butuh pakaian, dan janganlah memukul wajah, jangan menjelek-jelekkannya, dan jangan meninggalkan/ mendiamkannya kecuali di dalam rumah (saja)(H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan al-Albany)
- Jika memiliki lebih dari satu istri bersikap adil terhadap pembagian nafkah lahir dan giliran menginap di tempat tinggal mereka.
- Memperlakukan istri sebagaimana dirinya suka diperlakukan demikian.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan bagi mereka (para istri) berhak mendapatkan perlakuan yang baik (ma’ruf) sebagaimana kewajibannya (untuk bersikap baik)(Q.S al-Baqoroh:228).
Tidak bersikeras menuntut haknya sebagai suami dan melupakan kewajiban. Semoga kita tidak menjadi kelompok al-Muthoffifiin (orang yang curang dalam ‘timbangan’: giliran haknya dikurangi ia marah besar, saat hak orang lain harus ditunaikan, ia kurangi).
- Tidak membebani istri dengan hal-hal yang memberatkannya atau di luar kemampuannya. Membantunya jika tidak menyulitkan.
- Bersikap lapang dada, mudah memaafkan, dan sabar terhadap kekurangan duniawi yang ada pada istri.
- Menjadi teman dan sahabat yang menyenangkan bagi istri, pendengar setia. Sebagaimana Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sangat sabar mendengarkan cerita Aisyah yang sangat panjang.
- Menutupi aib/ kekurangan istri.
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Mereka (para istri) adalah pakaian bagi kalian (para suami) dan kalian (para suami) adalah pakaian bagi mereka (para istri)(Q.S al-Baqoroh:187)
Jangan Terburu Menceraikan Istri Jika Sudah Tidak Menyukainya Lagi
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak
Mungkin seorang suami sudah tidak menyukai istrinya lagi. Berjalan waktu perasaan terasa hambar. Ketertarikan fisik tidak seperti dulu lagi. Tapi hendaknya suami bersabar jika mendapati hal itu. Bisa jadi ada hal-hal terbaik yang Allah persiapkan untuknya melalui kebersamaannya dengan istri tersebut. Salah satu kebaikan yang banyak yang bisa didapatkan adalah lahirnya anak yang sholeh/ sholehah, sebagaimana dijelaskan para Ulama’ tafsir.
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
Janganlah seorang mukmin laki-laki membenci mukmin wanita (istrinya), bisa jadi ia membenci suatu perangai darinya, tapi ia menyukai perangai yang lain (H.R Muslim)
Perceraian adalah sesuatu hal yang secara asal dibenci oleh Allah dan disukai oleh Iblis. Bahkan Iblis dan bara tentaranya sangat berusaha agar bisa memisahkan suami muslim dengan istrinya.
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِيءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ قَالَ فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian mengutus bala tentara-bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling bisa menimbulkan fitnah. Sebagian tentara Iblis itu datang kemudian berkata: saya telah berbuat demikian dan demikian. Iblis mengatakan: Kamu belum berbuat apa-apa. Kemudian datang tentara Iblis yang lain dan mengatakan: saya tidaklah meninggalkan ia (manusia) kecuali aku pisahkan antara ia dengan istrinya. Iblis kemudian mendekatkan kedudukan tentara itu dan mengatakan : Engkau adalah yang terbaik (H.R Muslim)
<< Materi kajian di masjid atTaqwa Perum YTL Paiton pada 1 Dzulqa’dah 1435 H/ 26 Agustus 2014 ba’da Maghrib >>