Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Sebutan untuk Ke-Empat Khulafaur Rasyidin
Al-Muzani menyebutkan sebutan/ gelar bagi masing-masing Khulafaur Rasyidin: Abu Bakr dengan sebutan as-Shiddiq, Umar bin al-Khoththob dengan sebutan al-Faruq, Utsman bin Affan sebagai DzunNuuroini, dan Ali bin Abi Thalib adalah pemilik kemulyaan dan ketaqwaan.
Abu Bakr disebut dengan as-Shiddiq (orang yang membenarkan dan jujur dalam keimanannya), karena Rasulullah sendiri yang memberi gelar itu. Nabi menyebut Aisyah sebagai putri as-Shiddiq (H.R atTirmidzi no 3099).
Umar bin al-Khottob disebut sebagai al-Faaruq (pembeda) dan disebut juga sebagai ‘Qornun min hadiid’ yaitu pemimpin yang tegas dalam menerapkan aturan Allah tidak peduli celaan para pencela. Sebutan tersebut sudah dikenal di kalangan para Sahabat Nabi. Abdullah bin Amr menyatakan:
أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ أَصَبْتُمُ اسْمَهُ، عُمَرُ الْفَارُوقُ قَرْنٌ مِنْ حَدِيدٍ أَصَبْتُمُ اسْمَهُ، ابْنُ عَفَّانَ ذُو النُّورِ قُتِلَ مَظْلُومًا، أُوتِيَ كِفْلَيْنِ مِنَ الرَّحْمَةِ
Abu Bakr as-Shiddiq kalian sudah benar dalam penyebutan namanya. Umar al-Faruq adalah Qornun min hadiid, kalian sudah benar dalam penyebutan namanya. (Utsman) Ibnu Affan adalah DzunNuuroini (pemilik dua cahaya) yang terbunuh secara dzhalim dan diberi dua bagian rahmat (H.R Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, dinyatakan bahwa sanadnya shahih oleh Syaikh al-Albany dalam Dzhilalul Jannah)
Para Ulama’ menjelaskan bahwa Utsman disebut sebagai Dzun Nuuroini (pemilik dua cahaya) menjadi suami bagi dua putri Nabi shollallahu alaihi wasallam yaitu Ruqoyyah dan Ummu Kultsum.
Kemudian al-Muzani menyebut Ali bin Abi Tholib sebagai pemilik kemulyaan dan ketaqwaan, dan ini adalah sebutan umum yang dibenarkan. Ada sebagian sebutan untuk Ali bin Abi Tholib yang tidak tepat dikhususkan untuk beliau, yaitu Alaihis Salaam atau Karramallaahu Wajhah.
Ibnu Katsir asy-Syafi’i menyatakan:
وقد غلب هذا في عبارة كثير من النساخ للكتب أن يفرد علي رضي الله عنه بأن يقال عليه السلام من دون سائر الصحابة أو كرم الله وجهه وهذا وإن كان معناه صحيحا لكن ينبغي أن يسوى بين الصحابة في ذلك فإن هذا من باب التعظيم والتكريم فالشيخان وأمير المؤمنين عثمان أولى بذلك منه رضي الله عنهم أجمعين
Kebanyakan para penulis kitab-kitab sering mengkhususkan penyebutan Ali radhiyallahu anhu dengan sebutan Alaihis Salam. Tidak disebutkan hal itu kepada Sahabat Nabi (yang lain). Atau sebutan Karramallahu Wajhah. Penyebutan ini meski maknanya benar, namun hendaknya disamaratakan dengan para Sahabat yang lain, karena ini dalam konteks pengagungan dan pemulyaan. Maka dua syaikh (Abu Bakr dan Umar) dan Amirul Mukminin Utsman lebih utama dengan sebutan itu. Semoga Allah meridhai mereka seluruhnya (Tafsir Ibnu Katsir (3/517) ketika menafsirkan surat al-Ahzab ayat 56).
Mencintai Semua Sahabat Nabi
Al-Muzani menyatakan: Kita memurnikan kecintaan kepada setiap di antara mereka dengan kadar kecintaan yang ditetapkan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sesuai keutamaan mereka. Kemudian (demikian juga sikap kita) kepada seluruh Sahabat beliau setelahnya semoga Allah meridhai mereka seluruhnya
Telah dibahas tentang definisi Sahabat Nabi, yaitu setiap orang yang pernah bertemu Nabi dalam keadaan beriman dan mati juga dalam keadaan beriman. Maka orang yang munafik bukanlah Sahabat Nabi.
Ada sebagian Ulama’ yang menyebutkan jumlah para Sahabat Nabi, seperti Abu Zur’ah yang mengatakan bahwa jumlahnya 114 ribu. arRofi’i menyatakan 60 ribu. Namun, al-Imam as-Suyuthy menyatakan bahwa tidak mungkin ada yang bisa menghitung secara pasti jumlah para Sahabat Nabi.
Seluruh Sahabat Nabi itu wajib untuk kita cintai. Kita mencintai mereka karena Allah. Mereka adalah orang-orang yang Allah pilih untuk menjadi Sahabat NabiNya, menjadi penolong agama Allah di masa-masa awal Islam, dan menjadi penyebar ilmu dari Nabi ke umat Islam setelahnya. Merekalah orang-orang yang pertama dan paling layak untuk menyandang gelar ‘muslimun’ (kaum muslimin) atau al-mukminun (kaum beriman). Apa yang dipandang baik oleh mereka, maka itu baik di sisi Allah. Apa yang dipandang buruk oleh mereka, maka itu buruk di sisi Allah.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyatakan:
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
Sesungguhnya Allah melihat pada hati para hamba. Kemudian Dia mendapati hati Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah hati terbaik di antara hambaNya. Maka Allah pilih untuk DiriNya, Allah utus beliau dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat pada hati para hamba (yang lain) setelah hati (Nabi) Muhammad. Allah mendapati hati-hati para Sahabatnya adalah sebaik-baik hati para hambaNya. Maka Allah jadikan mereka sebagai menteri (penolong) Nabinya, yang berperang di atas agamaNya. Maka apa yang dilihat oleh kaum muslimin (para Sahabat Nabi) sebagai kebaikan, maka itu adalah kebaikan di sisi Allah, dan apa yang mereka lihat sebagai keburukan, maka itu buruk di sisi Allah (H.R Ahmad no 3600, alBazzar no 1816 dihasankan oleh Syaikh al-Albany).
Banyak sekali ayat-ayat dalam alQuran yang berisi pujian kepada para Sahabat Nabi, di antaranya surat al-Fath ayat 29, atTaubah ayat 100, atTaubah ayat 88, atTahrim ayat 8, al-Hasyr ayat 7 dan 8, al-Hadid ayat 10, dan masih banyak lagi yang lain.
Janganlah mencela salah seorang dari para Sahabat Nabi:
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Barangsiapa yang mencela para Sahabatku, maka baginya laknat Allah, Malaikat, dan manusia seluruhnya (H.R atThobarony, dihasankan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’).
Di antara seorang Sahabat Nabi yang sering mendapat cercaan dan celaan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Padahal beliau juga Sahabat Nabi, penulis wahyu, dan yang didoakan oleh Nabi:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِياً مَهْدِيّاً وَاهْدِهِ وَاهْدِ بِهِ
Ya Allah jadikanlah dia sebagai pemberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk. Berilah ia petunjuk dan jadikan petunjuk dengannya (H.R alBukhari dalam Tarikhul Kabiir dinyatakan sanadnya shahih oleh Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithy).
Ali bin Abi Tholib menyatakan setelah pulang dari perang Shiffiin:
لا تكرهوا إمارة معاوية فوالله لئن فقدتموه لترون رؤوساً تندر عن كواهلها كأنها الحنظل
Janganlah kalian membenci kepemimpinan Muawiyah. Demi Allah jika kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala-kepala terlepas dari bagian atas punggung bagaikan al-handzhal (sejenis labu)(al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir (8/140)).
Abdullah bin al-Mubarak (salah seorang guru al-Bukhari) menyatakan:
معاوية عندنا مِحْنة، فمن رأيناه ينظر إليه شزَراً اتهمناه على القوم
Muawiyah di sisi kami adalah ujian. Barangsiapa yang kami lihat memandang Muawiyah dengan kemarahan, kami curigai (sikapnya) terhadap para Sahabat Nabi.
Abdullah bin al-Mubarok ditanya oleh seseorang tentang Muawiyah, kemudian beliau menyatakan:
ما أقول في رجل قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سمع الله لمن حمده. فقال خلفه : ربَّنا ولك الحمد
Apa yang aku akan katakan terhadap seseorang yang Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, kemudian dia mengucapkan di belakang beliau: “Robbanaa wa lakal hamdu”
Beliau ditanya juga tentang siapa yang lebih utama Umar bin Abdil Aziz atau Muawiyah?
Abdullah bin al-Mubarok menjawab:
لتراب في منخري معاوية مع رسول الله صلى الله عليه وسلم خير وأفضل من عمر بن عبد العزيز
Sungguh satu debu pada hidung Muawiyah saat bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam lebih baik dan lebih utama dibandingkan Umar bin Abdil Aziz (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (8/148)).
arRabi’ bin Nafi’ (salah seorang guru Abu Dawud dan adDaarimi) menyatakan:
معاوية ابن أبي سفيان ستر أصحاب رسول الله فإذا كَشف الرَّجلُ السِّتْرَ اجترأ على ما وراءه
Muawiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi para Sahabat Rasulullah. Jika seseorang menyingkap tirai itu, maka ia akan bersikap lancang terhadap para Sahabat lain yang berada di balik tirai itu (riwayat al-Khothib alBaghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/209)