Cara Zakat Biji-bijian dan Tumbuh-tumbuhan
Syarat-syarat zakatnya:
Mencapai nishab, yakni 5 wasaq, satu wasaq = 60 sha’, 1 sha’ = 4 mud, 1 mud = 1 cupak dua tangan yang berukuran sedang . 4 mud = kurang lebih beratnya berkisar 2 ,5 – 3 kg. Memilikinya disaat diwajibkan mengeluarkan zakat yaitu di hari panen.
Dalilnya, sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yang artinya : “Tiada zakat pada yang kurang dari lima (5) wasaq.” (HR Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Sa’id al Khudry)
Firman Allah Ta’ala (yang artinya) : yang artinya, “Dan berikanlah haknya pada hari memanennya” (Al-An’am : 141)
Kadar yang wajib dikeluarkan untuk zakat
Kadar yang wajib dikeluarkan berbeda sesuai perbedaan sarana penyiramannya maka:
· Jika disiram tanpa membutuhkan beban seperti dengan aliran sungai, hujan, dan yang menyerap sari makanan sendiri dengan akarnya, maka yang wajib dikeluarkan adalah 1/10 nya .
· Jika disiram dengan beban seperti yang disiram dari sumur maka yang wajib dikeluarkan adalah setengah 1/10 atau 1/20 nya.
Dalilnya, dalam shohih Bukhari dari hadits Ibnu Umar dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam beliau bersabda : “Pada apa yang disiram dengan hujan dan mata air atau yang menyerap dengan akar-akarnya, 1/10 nya, dan pada yang disiram setengahnya 1/10” dan dalam riwayat Muslim dari hadits Jabir : “Pada apa yang disiram dengan sungai atau hujan 1/10 nya dan pada apa yang disiram setengahnya 1/10.”
Cara Mengeluarkan Zakat Binatang Ternak
Disyaratkan selain syarat –syarat yang telah lalu dua syarat:
1. Binatang ternak tersebut adalah dipersiapkan untuk dikembangkan, diambil susunya bukan untuk dipekerjakan (Al-Mulakhos Fiqhy 1/225 oleh Al-Fauzan).
2. Binatang ternak tersebut khususnya unta dan kambing, adalah dari jenis “Sa-imah” artinya yang mencari maka sendiri, tidak diberi makan oleh pemiliknya dari makanan yang ia beli atau kumpulkan dari rerumputan atau yang selainnya, selama satu tahun atau lebih dari setengah tahun.
Khilaf (perbedaan) ulama’ sekitar masalah sa-imah
Apakah disyaratkan keadaan binatang ternak sebagai (saimah) yakni, binatang tersebut mencari makan sendiri ?
Jumhur (mayoritas) ahli fiqh mensyaratkannya, karena inilah yang difahami dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tersebut dalam surat Abu Bakr dimana beliau mengatakan yang artinya (….Dan pada zakat kambing, pada kambing yang mencari makanan sendiri, jika…). (lihat hadits secara lengkap pada pembahasan, harta yang wajib dizakati)
Imam Malik dan Rabi’ah berkata : “Tidak disyaratkan.”
Dawud ad Dzhahiry mengatakan : disyaratkan pada kambing, karena hadits tersebut, (yakni hadits abu Bakr, beliau katakan pada zakat kambing).
Lalu as Shan’any mengatakan : dan juga pada onta karena Rasulullah juga mengatakan : (Dan pada onta yang mencari makan sendiri). HR. Abu Dawud dan Nasa’i dari hadits bahz bin hakim dari ayahnya, dari kakeknya, dan dishahihkan oleh Hakim dan syekh al Albany dalam Shohih Sunan Abi dawud no : 1575 (lihat Subulussalam 2/248)
Jadi nampaknya yang kuat adalah, bahwasannya hal itu disyaratkan pada kambing dan onta, karena yang tersebut dalam hadits hanya pada dua macam ini saja.
Wallahua’lam.
Tabel Perincian zakat binatang ternak
No | Jenis Hewan | Nishab | Kewajiban Zakat |
1 | Unta | 5 | Satu ekor Kambing |
10 | Dua ekor Kambing | ||
15 | Tiga ekor Kambing | ||
20 | Empat ekor Kambing | ||
25 – 35 | Satu Bintu Makhodl/Ibnu Labun | ||
36 – 45 | Satu Bintu Labun | ||
46 – 60 | Satu Hiqoh | ||
61 – 75 |
Satu Jadz’ah | ||
76 – 90 |
Dua Bintu Labun | ||
91 – 120 |
Dua Hiqqoh | ||
120 | Pada setiap 40 ekor 1 Bintu Labun. Pada setiap 50 ekor 1 hiqqoh | ||
Maka jika lebih dari 120, pada setiap 40 ekor 1 bintu labun dan pada setiap 50 ekor 1 hiqqoh. |
|||
2 | Sapi | 30 | Satu Tabi’/Tabi’ah |
40 | Satu Musinnah | ||
> 40 | Pada tiap 30 ekor Satu Tabi’/Tabi’ah. Pada tiap 40 ekor Satu Musinnah | ||
Maka jika bertambah dari empat puluh sampai pada tujuhpuluh ekor, maka ada zakat satu tabii’ dan satu musinnah, jika mencapai delapan puluh ekor maka dua musinnah dan begitu seterusnya. |
|||
3 | Kambing | 40 – 120 | Satu Kambing |
121 – 200 | Dua Kambing | ||
201 – 300 | Tiga Kambing | ||
> 300 | Pada setiap seratus ekor satu kambing |
Keterangan :
Bintu Makhodl : Onta betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua.
Bintu labun : Onta betina yang genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Ibnu labun : Onta jantan yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hiqqoh : Onta betina yang telah genap berumur tiga tahun dan memasuki tahun keempat .
Jadz’ah : Onta betina yang telah genap berumur empat tahun dan memasuki tahun kelima .
(lihat sebagai tambahan hadits abu Bakr dalam pembahasan harta yang wajib dizakati)
Tabii’ : Sapi jantan yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Tabii’ah : Sapi betina yang telah genap berumur satu tahun dan memasuki tahun kedua .
Musinnah : Sapi betina yang telah genap berumur dua tahun dan memasuki tahun ketiga.
Hukum Auqhos
“Auqhos ” adalah bentuk jama’ dari kata “waqsh” yang artinya adalah jumlah antara dua nishab, misalnya nishab kambing yang pertama adalah 40 dan yang kedua 121 maka “aughos “ adalah jumlah 41 sampai 120, dalam syari’at Islam “auqhos” tidak ada zakatnya, jadi walaupun jumlah kambingnya 80 misalnya tetap zakatnya 1 ekor kambing . hal ini berdasarkan hadits-hadits yang telah berlalu seperti pada hadits Abu Bakr. (lihat harta yang wajib dizakati)
Kambing yang dikeluarkan untuk zakat
Jika dari jenis “dho’n” artinya “Dzatushuf” yakni yang berwoll seperti domba biri-biri dan yang semacamnya, maka yang dikeluarkan adalah “Jadz’” yakni yang berumur lengkap satu tahun.
Jika dari jenis “ ma’iz” artinya “ Dzatusya’r” yakni yang berambut seperti kambing kacang, dan kambing jawa, yang dikeluarkan adalah “ Tsany” yakni yang berumur dua tahun . penafsiran “ Jadz’” dan “Tsany” ini adalah pendapat jumhur pakar bahasa dan ulama’ (lihat Ahkamul Adhohi hal:) .
Disana ada pula pendapat lain yaitu bahwa “ Jadz’ “ adalah yang berumur 6 bulan sedang “ Tsany” adalah yang berumur satu tahun (mulakhos fiqhy 1:228)
Binatang – binatang yang tidak boleh dijadikan zakat:
· Harimah, yaitu yang berumur lanjut sampai jatuh giginya.
· Dzatu ‘awar ,yakni buta sebelah atau cacat yang nampak sehingga kalau dijadikan korban tidak sah.
· Makhidh yakni bunting.
· Rubba, yakni yang masih menyusui anaknya, atau yang dipelihara dirumah khusus untuk diambil susunya.
· Tharuqotul haml, yakni yang siap dibuntingi oleh pejantan.
· Tais, yakni pejantan, kecuali pemiliknya membolehkan.
· Karimah, yang sangat disukai/dihargai oleh pemiliknya, kecuali jika pemiliknya merelakannya.
· Akulah, yakni yang gemuk karena banyak makan dan disiapkan untuk dimakan oleh pemiliknya, atau yang mandul.
· Dzatu ‘aib, yakni semua yang memiliki cacat yang berpengaruh atau dianggap sebagai kekurangan menurut ahli binatang. (Ar Roudhurunnadiyyah 1/471) (Mulakhos Fiqhy 1/229).
· Darinah, yang berkudis.
· Maridhah, yang jelas sakitnya.
· Syarotul laimah, yang tidak lancar susunya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya : “Dan jangan kalian mencari yang jelek, kamu infaqkan darinya sedang kalian tidak akan mengambil kecuali dalam keadaan memicingkan mata.” Al-Baqarah:
Nabi juga bersabda : “Jauhilah olehmu (mengambil) harta-harta mereka yang berharga” . (HR Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits Abu Bakr yang telah lalu disebutkan, “….dan jangan dikeluarkan untuk zakat kambing yang sudah tua, punya cacat atau pejantan (yang diambil keturunannya) kecuali jika pemiliknya menghendakinya….” (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i)
Zakat syirkah (persekutuan) binatang ternak .
Jika binatang ternak dimiliki lebih dari satu orang maka seakan–akan itu satu pemilik, sehingga terkena hukum sebagaimana penjelasan diatas dengan syarat-syarat sebagai berikut:
· Jumlah gabungan tersebut mencapai nishab, walaupun masing-masing dari milik mereka tidak mencapai nishab.
· Pemilik binatang ternak tersebut adalah orang-orang yang berkewajiban membayar zakat, maka misalnya salah seorang dari mereka orang kafir, hukumnya menjadi masing-masing antara yang muslim dan yang kafir.
· Binatang persekutuan tersebut bergabung dalam gembalaan, lokasi kandang, lokasi tempat pemerahan dan pejantan . (Mulakhos Fiqhy 1/230)
Hal-hal terlarang pada zakat binatang persekutuan
· Dilarang menggabungkan sesuatu yang terpisah untuk menghindari zakat, contoh, dua orang yang masing-masing memiliki 40 ekor kambing, maka masing-masing terkena kewajiban zakat satu ekor kambing, karena untuk menghindari mengeluarkan 2 ekor kambing akhirnya mereka gabung, dimana dengan penggabungan ini mereka hanya terkena kewajiban 1 ekor kambing . hal yang semacam ini tidak boleh.
· Dilarang memisah yang tergabung untuk menghindari zakat. Contoh dua orang yang bersekutu dalam beternak kambing sampai mereka memiliki 40 ekor, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak satu ekor kambing, tapi untuk menghindarinya mereka pisah binatang itu, dengan dipisahnya akhirnya milik masing-masing itu tidak mencapai nishab, maka tidak terkena kewajiban zakat. Hal ini juga terlarang.
Larangan itu berdasarkan hadits Abu Bakr yang berbunyi “…dan tidak boleh menggabungkan dua kelompok kambing yang terpisah atau memisahkan yang berkelompok karena takut dari kewajiban zakat…” . (R. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i) [ lihat pada artikel harta yang wajib dizakati]
Zakat Barang Dagangan
Tidak`ada zakat pada barang dagangan dengan ukaran, nishab dan haul tertentu, yang ada hanya shadaqah yang mutlak tidak di batasi dengan nishab, haul atau kadar tertentu yang harus dikeluarkan. Hal itu karena tidak ada dalil yang menunjukan demikian sehingga kita kembali kepada bara’ah asliyyah (kebebasan asal), dan kita telah ketahui bahwa pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam perdagangan itu telah ada dengan berbagai macamnya, namun demikian tiada dalil yang shahih sampai kepada kita, yang menujukkan kewajiban mengeluarkan zakat secara khusus dari barang dagangan. Hal ini didukung oleh sabda Nabi Shallallahu’ alaihi Wasallam yang mengatakan (artinya) “Tidaklah kewajiban seorang hamba untuk mengeluarkan zakat dari hamba sahayanya dan kudanya” (H.R Bukhari dari Abu Hurairah), dimana keumuman hadits ini menunjukan tidak adanya zakat pada keduannya sama sekali dalam bentuk apapun termasuk jika menjadi barang dagangan..
Secara terperinci alasan pendapat ini adalah sebagai berikut :
· Tidak adanya dalil yang shahih dan jelas dalam masalah ini.
· Kaidah “Al bara’atul asliyyah” yakni asal tiap sesuatu itu lepas dari beban hukum.
· Adanya barang dagangan di zaman Nabi Shallallahu ’alaihi wasallam, namun demikian tidak dinukilkan kepada kita hadits yang mewajibkan kepada kita akan diwajibkanya zakat padanya.
· Keumuman hadits “Tidaklah ada kewajiban zakat pada budak seorang muslim dan kudanya”. Shiddiq Hasan Khan mengatakan : Dhahir hadits itu tidak ada kewajiban zakat pada harta pada semua keadaan (termasuk dagangan .pent). [ar Raudhatun Nadiyyah 1:477] Abu Dawud dan Ibnu Hazm meriwayaykan dengan sanadnya yang sampai kepada Qais bin Abi ‘Arzah ia berkata : Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wasallam melewati kami lalu beliau bersabda: “Wahai para pedagang, sungguh (pada) perdagangan itu (didapati) kata-kata yang tiada faedahnya dan sumpah-sumpah maka bersihkanlah dengan shadaqah. “[HR. Abu Dawud kitabul buyu’ bab fit tijarah yukhalituhal halif wal laghwi3/403 no: 3326 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam shahih Sunan Abi Dawud pada nomor yang sama. dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabul buyu’ bab ma ja-a fittujjar watasmiyatunnabiy iyyahum 3/514 no:1208 dan berkata Tirmidzi: hadits ini Hasan Shahih, Nasa’I dalam kitab Aiman dan Nudzur bab lagwhi wal yamin 7/200 No: 3808 dan 3809 dan Ibnu Majah dalam kitab Tijarat bab tawaqqi fil hijarat 3/9/ no: 2145 ]. Ibnu Hazm berkata: Ini adalah shadaqah yang mutlak tidak terbatas, yakni sesuai yang senangi hati mereka dan itu menjadi kaffarah (penghapus) apa yang menodai perniagaan dari sesuatu yang tidak diperbolehkan dan sesuatu yang tidak berfaedah serta permainan. [ Al Muhalla 5/235]
· Nafi’ bin al khuzy berkata: saya duduk bersama Abdurrahman bin Nafi’ maka datanglah Ziyad al Bawwab lalu beliau berkata : Sesunguhnya Amirul Mukminin – yakni Abdullah bin Zubair – berkata : kirimkanlah zakat hartamu, maka ia berdiri dan mengeluarkan 100 dirham dan berkata kepadanya : sampaikan kepadanya salam dan katakan kepadanya sesungguhnya zakat itu hanya pada “Nadh”. Nafi’ berkata maka saya bertemu Ziyad dan aku katakan kepadanya : Apakah engkau sudah sampaikan kepadanya ? ia berkata : Ya. Aku katakan : Lalu apa yang dikatakan Ibnu Zubair ? Ia menjawab : Ya benar. [ Riwayat Abdurrozzaq dalam kitab al Mushannaf 4/101/7119 dan Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla 5/ 236]. Tentang arti “Nadh”, Al Fayyumy berkata: orang-orang Hijaz menamakan dirham dan dinar dengan sebutan “nadh” atau “naadh” (dengan memanjangkan nun). [Al Mishbahul Munir hal 610 huruf nun dan dhadh bertasydid] . Abu ‘Ubaid berkata: mereka menamakan “nadh” jika telah berubah menjadi uang dari sebuah barang. [ Qamus Muhith hal 844 ]
· Ibnu Juraij berkata, ‘Amr bin Dinar berkata kepada saya: Saya tidak berpendapat adanya zakat kecuali pada al ‘ain . [al mushonnaf karya Abdurrazzaq 4/101 no: 7120]. Arti ”Al ‘ain “, Al Fayyumi menerangkan, bahwa kata ini berarti beberapa makna diantaranya, emas yang ditimpa jadi uang-uang dinar dan terkadang yang belum ditimpa juga disebut demikian] [ Mshbahul Munir hal: 440] Ibnu Hazm meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abu ‘Ubaid ia berkata : telah mengkhabarkan saya Ismail bin Ibrahim dari Qathin bahwa ia berkata : Saya melawati daerah Washith dimasa Umar bin Abdul Aziz, mereka mengatakan: surat amirul mukminin telah dibacakan kepada kami yang isinya: Jangan kalian mengambil dari keuntungan barang dagangan sedikitpun sampai melewati haul [ al muhalla 5/2360 al amwal hal 421 no: 1144].
· Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam: “Aku telah maafkan kalian dari zakat kuda.” [shahih lihat Shahih Sunan Abi Dawud kitab : shadaqah, Bab: shadaqah sa-imah no: 1573 dan1393, Shahih Sunan Tirmidzi:no:506, Shahih Sunan Ibnu Majah no: 1469 dan 1447, Shahih Jami’ no: 4375, dan Misykatul Mashabih no: 17400]. Kalau seandainya zakat perdagangan itu ada maka tentunya pada kuda itu ada zakatnya jika dijadikan barang dagangan, padahal Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam telah memaafkan !, apakah kita berani mewajibkan sesuatu yang Nabi telah maafkan ?!.
· Dari Jabir bin Abdillah ia berkata telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Tidak ada shadaqah pada perak yang kurang dari lima uqiyah, dan tidak ada shadaqah pada onta yang kurang dari lima dzaud, dan tidak ada shadaqah pada kurma yang kurang dari lima wasaq”. (HR. Ahmad dan Bukhari dari hadits Abu Sa’id)
· Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhoi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. [Syaikh Al Albany berkata: atsar ini dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih. Lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka (ini) memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul Minnah hal: 364], atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
· Berkata Atha’: tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan sesuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual.[Riwayat Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albany dalam Tamamul Minnah 365]. Syaikh Al Albany berkata: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilai, nishab dan haulnya.
Di saat yang sama kita tahu bahwa banyak diantara ahli fikih mewajibkan zakat pada barang-barang dagangan dan merekapun berdalil dengan riwayat-riwayat yang sampai kepada mereka, tapi semua dalil yang mereka pakai, tidaklah lepas dari kritikan yang menunjukkan kelemahannya diantaranya:
1. Riwayat Jabir bin Samuroh : “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari apa yang kita persiapkan untuk berniaga”. (HR. Abu Dawud, Daruquthny, dan Bazzar), hadits ini ada kelemahannya yaitu pada sanadnya ada orang yang tidak dikenal, oleh karenanya Syekh Al Albany melemahkannya dalam kitabnya Irwa’ul Ghalil No: 827. Tamamul Minnah No: 363, Silsilah Dha’ifah No: 1178. Berkata pula Ibnu hajar dalam kitab at Talkhisus Khabir 2/179 : Dalam sanadnya ada jahalah (rawi yang tidak dikenal)
2. Riwayat Imran bin Hushain secara marfu’(sampai kepada Nabi Shallallahu ’alaihi Wasallam): “pada untu ada zakatnya, pada kambing ada zakatnya dan pada pakaian (dagang) ada zakatnya”. (HR. Hakim dan Daruquthny). Al Hafidz Ibnu Hajar telah melemahkan seluruh jalan hadits ini kecuali pada salah satunya dia katakana bahwa: ini tidak apa-apa, dan keadaaan hadits yang semacam ini tidaklah bisa dipakai sebagai dalil pada masalah yang sangat umum dikalangan kaum muslimin, lebih dari itu Ibnu Daqiq Al ‘Ied (seorang ahli hadits) telah melihat pada kitab Hakim (perawi hadits ini) yang berjudul Al Mustadrok, dengan lafadz (al bur) yang berarti gandum, bukan dengan lafadz (al baz) yang berarti pakaian dagangan. Adapun Daruquthny, dialah yang jelas meriwayatkan dengan lafadz (al baz) namun dari jalan atau sanad yang lemah. Yang demikian menjadikan adanya kemungkinan dari masing-masing dua hal, maka tidaklah sempurna berdalil dengan itu. (Raudhatun Nadiyyah 1/477). Didho’ifkan oleh syekh al Albany dalam kitab Irwa’ul Ghalil no: 827 dan Tamamul Minnah hal 363)
3. Ijma’ (kesepakatan ulama’ tentang adanya zakat barang dagangan), seperti dinukilkan Ibnu Mundzir (kitab Al Ijma’ hal: 14 no 115). Kritik: Ijma’ yang beliau katakan tidak benar karena telah menyelisihinya Abdullah bin Zubair, Amr bin Dinar, Umar bin Abdul Aziz dan ‘Atha’ [lihat al Muhalla 5/236 dan Tamamul Minnah hal: 365]
4. Dari Abu ‘Amr bin Hamas dari ayahnya ia berkata : saya menjual lauk pauk dan anak panah maka Umar bin Khattab melewati saya lalu ia berkata : Tunaikanlah zakat hartamu maka saya katakan wahai amirul mukminin : itu kan hanya lauk pauk, beliau berkata hitunglah nilainya lalu keluarkan zakatnya. [HR. Syafi’i, Ahmad, Abu ‘Ubaid, Daruquthny, Baihaqi dan Abdurrozzaq]. Kritik : riwayat ini didhaifkan oleh Al Albany dalam Irwa’ul Ghalil no: 828 karena tidak dikenalnya (jahalah) Abu ‘Amr bin Hamas
5. Dari Ibnu Umar semoga Allah meridhi keduanya ia berkata : tiada zakat pada benda kecuali pada benda yang untuk berniaga. Berkata Syekh Al Albany : dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam kitab “Al Umm” dengan sanad yang shahih lalu beliau berkata : dengan keadaannya yang mauquf (perkataan sahabat) dan tidak “marfu’” (sampai kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam), tidak ada padanya keterangan nishab zakatnya, dan yang wajib dikeluarkan darinya, maka ini memungkinkan untuk diarahkan kepada zakat yang mutlaq tidak terikat dengan waktu atau kadar (tertentu), tapi hanya dengan kelegaan jiwa pemiliknya. [Tamamul minnah hal: 364]. Atsar Ibnu Umar itu juga dikeluarkan oleh Ibnu Hazm dalam kitab al Muhalla : 5/234) dan dishahihkannya.
6. Berkata ‘Atha’ : Tiada shadaqah pada mutiara, batu permata, yakut, (merah delima), mata cincin, benda dan susuatu yang tidak diperdagangkan, jika itu diperdagangkan maka padanya ada zakatnya dari harganya ketika dijual. [HR, Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq dan dishahikan oleh Syaikh Al Albany dalam tamamul minnah 365]. Berkata syekh Al Albany: Beliau (Atha) tidak menyebutkan perhitungan nilainya, nishob dan haulnya.
7. Adapun Khalid dia telah menahan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah . [HR Bukhari no : 1399 Muslim 2/676 no : 983].
8. Dari Abdurrahman bin Abdul Qari’ ia berkata saya menjadi penjaga baitul mal di zaman Umar bin Khattab, maka jika ia keluar …. Beliau mengumpulkan harta–harta para pedagang lalu menghitungnya baik yang ada dihadapan atau yang tidak, lalu beliau mengambil harta dari ….
9. Dari Abi Qilabah bahwasanya para pegawai umar berkata : wahai amirul mukminin sesungguhnya para pedagang mengeluh dari beratnya perhitungan, maka Umar menjawab : ha …ha..ringankanlah .
10. Dari Ibnu ‘ Abbas bahwasanya beliau berkata : tidak apa-apa menunggu sampai menjualnya, dan zakat wajib padanya.
11. Mereka katakan bahwa zakat itu diwajibkan pada harta yang berkembang .
Membagikan zakat kepada fakir miskin di daerah asal zakat
Pada asalnya zakat dibagikan kepada fakir miskin yang zakat tersebut berasal dari daerah mereka, karena merekalah yang paling berhak mendapatkan santunan, bantuan dan derma dari orang-orang kaya yang berada dalam satu daerah dengan mereka, lain halnya jika pada daerah asal zakat tersebut orang-orangnya sudah kecukupan maka, diperkenankan untuk memindahkannya ke daerah lain, inilah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, seperti yang diriwayatkan oleh :
Dari ‘Imron bin Hushain, bahwasanya ia dijadikan amil shadaqah , maka ketika dia pulang dikatakan kepadanya , mana harta (zakat)nya? , dia menjawab : “untuk hartakah engkau utus aku !? kami mengambil seperti halnya kami mengambil di zaman Nabi Shallallahu’alaihi wasallam dan kami meletakkannya seperti halnya kami meletakkannya di zaman Nabi Shallallahu’alaihi wasallam”). R Abu Dawud dan Ibnu majah dan disahihkan oleh al Albany dalam Sahih sunan Ibnu Majah no : 1476 dan Shohih Sunan Abi Dawud no:1625.
Ketita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman beliau mengatakan : “Dan kabarkanlah kepada mereka, bahwasanya Allah Ta’ala mewajibkan kepada mereka shadaqah/ zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang miskin mereka.”
(R. Bukhary dan Muslim (lihat : Raudhatunnadiyyah 1/491-492).
Wallahu a’lam bis shawab
Maraji’ :
1. Al Mughny 4/248
2. Majmu’ Fatawa 20/15
3. Manarus Sabil 1/257
4. Al-Umm 4/166
5. Al Amwal hal: 429
(Dikutip dari tulisan ustadz Qomar Sua’idi, Lc, yang diarsipkan eks. tim Zisonline, al akh Fikri Thalib)