Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Setan yang selalu mengintai tak henti-hentinya memancing kekeruhan di antara manusia. Dia mulai menyalakan kebencian dan menancapkan akar-akar perselisihan di tubuh kaum muslimin. Akan tetapi, Allah Subhanahuwata’ala tidak menginginkan kecuali tetap menyempurnakan cahaya-Nya dan meninggikan Kalimat-Nya serta menepati janji-Nya.
Berita wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terdengar pula oleh penduduk Makkah. Sebagian mereka sempat berkeinginan untuk kembali ke agama nenek moyang mereka. Melihat keadaan ini, sahabat Anshar, ‘Attab bin Usaid, radhiyallahu’anhu yang ditugasi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari warga Makkah, mulai merasa khawatir atas dirinya. Akhirnya dia bersembunyi selama beberapa hari.
Beberapa sahabat lain dari kalangan pembesar Quraisy sempat merasa khawatir melihat perkembangan ini. Akhirnya, bangkitlah Suhail bin ‘Amr berpidato di hadapan masyarakat Makkah. Setelah memuji Allah dan bertasyahhud, dia menerangkan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian, “…Siapa yang ilahnya (sesembahan yang ditujunya dengan semua jenis ibadah –ed) adalah Muhammad ( Shallallahu ‘alaihi wasallam), maka sesungguhnya Muhammad ( Shallallahu ‘alaihi wasallam) sudah meninggal dunia, sedangkan (yang ilahnya adalah) Allah, maka Dia Mahahidup, tidak akan mati. Kejadian ini tidak menambah apapun bagi Islam selain kekuatan, maka siapa yang membuat kami ragu terhadapnya, akan kami tebas lehernya.”
Sebagian orang yang datang ke Makkah ketika berita duka tentang wafatnya Rasulullah n tiba di Makkah, melihat Suhail bin ‘Amr berpidato di hadapan masyarakat Makkah. Dia menyampaikan khutbah seperti yang disampaikan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu seolah-olah dia hadir ketika Abu Bakr berbicara mengingatkan kaum muslimin akan wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
‘Umar yang mendengar berita gembira ini, berseru, “Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan (Rasul) Allah dan apa yang dibawa beliau adalah haq (pasti benar). Inilah yang diberitakan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam kepadaku (ketika ingin mematahkan gigi Suhail dalam peristiwa Hudaibiyah).”
Sesudah itu, mereka tidak jadi berbalik kepada agama nenek moyang mereka dan ‘Attab pun keluar dari persembunyiannya.
Lain halnya dengan suku Thayyi’, keluarga ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu .
Ketika sampai berita wafat Rasulullah n kepada mereka, timbullah perselisihan. Di antara mereka ada yang kembali (murtad), ada pula yang tetap dalam Islam menunaikan kewajibannya kepada Abu Bakr sebagai khalifah baru, termasuk ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu .
Di tangan ‘Adi ada seekor unta yang berasal dari zakat masyarakat Thayyi’. Setelah beberapa suku ‘Arab lain murtad—Bani Asad tetangga mereka—, para pemuka Thayyi’ menemui ‘Adi dan berkata, “Pria ini (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) sudah meninggal dunia, dan sudah banyak orang yang murtad sepeninggalnya. Sebagian suku menahan zakat yang pernah mereka tunaikan, sedangkan kami lebih berhak terhadap harta kami dari segelintir orang.”
Kata ‘Adi, “Bukankah kalian telah menyepakati perjanjian, suka rela ataupun terpaksa?”
“Betul,” jawab mereka, “Tetapi, ada peristiwa lain terjadi, dan orang banyak berbuat demikian (menolak zakat, murtad).”
‘Adi mulai berang dan berkata, “Demi Yang jiwa ‘Adi di Tangan-Nya, saya tidak akan melanggar perjanjian itu selama-lamanya. Kalau kalian menolak, demi Allah, aku pasti memerangi kalian. Biarlah ‘Adi bin Hatim jadi orang yang pertama terbunuh demi menepati perjanjian itu, atau menyerahkannya. Karena itu, janganlah kalian ambisi mencela Hatim di kuburnya, sedangkan ‘Adi adalah putranya. Janganlah menyeret kalian perbuatan orang yang melanggar perjanjian itu hingga kalian ikut melanggarnya. Sesungguhnya setan selalu mengintai setiap kali seorang nabi meninggal dunia agar menjerumuskan orang-orang yang jahil dan mengusung mereka ke dalam fitnah.
Itulah kebengkokan, tidak ada keteguhan padanya. Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai pengganti yang mengatur urusan ini. Dan agama Allah ini ada tokoh-tokohnya yang akan mendukungnya dan memperjuangkannya, sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kalau kalian lakukan juga, pasti akan dihancurkan harta dan istri-istri kalian setelah ‘Adi terbunuh dan kalian melanggar janji. Kalau sudah begitu, jadi apakah kalian?”
Melihat keseriusan ‘Adi, mereka pun menahan diri dan tunduk kepadanya.
Kelak, di zaman ‘Umar, ketika ‘Adi melihat kekasaran ‘Umar, dia berkata kepada ‘Umar, “Agaknya Anda tidak mengenal saya?”
Kata ‘Umar, “Bahkan, demi Allah. Allah di langit mengenalmu, saya juga demi Allah mengenalmu. Engkau masuk Islam pada saat mereka ingkar, dan memenuhi perjanjian ketika mereka melanggarnya, dan datang ketika mereka berbalik. Demi Allah, saya mengenal Anda.”
Peristiwa selanjutnya baik yang terkait dengan orang-orang yang murtad maupun yang lainnya disajikan dalam kisah selanjutnya, yaitu al-Khulafa ar-Rasyidin. Kita akan mulai tentang Abu Bakr ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu , insya Allah.