Saya pernah menghadiri suatu majlis yang dihadiri oleh para da’i dan ustadz ‘salafy’ untuk mengikuti kajian dari seorang yang sebelumnya kita anggap sebagai ulama Ahlus Sunnah, yaitu Abdurrahman Abdul Khaliq. Tetapi ternyata sungguh majlis itu adalah sejelek-jelek majlis yang saya hadiri. Saya seakan-akan duduk bukan di majlis Ahlus Sunnah. Di situ dia berlebihan mengatakan bahwa Khawarij adalah orang-orang kafir. Di sisi lain dia justru mengatakan bahwa cara dakwah adalah ijtihadiyah. Setiap kelompok dapat berdakwah dengan caranya masing-masing. Dan ketika ditanya tentang penyelewengan ahlul bid’ah, dia menjawab bahwa mereka pun punya dalil. Sungguh saya gelisah ketika itu dan sangat sedih. Lebih sedih lagi ketika saya melihat ke kanan dan ke kiri barisan para da’i tersenyum-senyum seakan mendapat suatu kemenangan. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Inilah sekelumit contoh nyata bagaimana keadaan orang-orang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun memiliki kebijaksanaan yang aneh, yaitu memaklumi penyelewengan ahlul bid’ah dan toleransi kepadanya. Apakah hal seperti ini adalah manhaj dakwah Salafiyah? Sungguh tidaklah demikian.
Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi berkata : “Beberapa orang yang arif tentang Islam dan ikhlas kepada Allah telah banyak menetapkan dan menjelaskan bahwa setiap perkara yang menimpa kaum Muslimin berupa kelemahan, kerendahan, dan penyelewengan, penyebabnya adalah jauhnya mereka dari pemahaman Islam yang benar. Hal itu terjadi karena beberapa faktor berikut :
– Tersamarnya Ad Dien dengan perkara-perkara yang bukan dari Dien (bid’ah).
– Lemahnya keyakinan terhadap apa yang benar-benar dari Dien.
– Tidak diamalkannya hukum-hukum Dien.”
(Nukilan Syaikh Ali Hasan dalam bukunya Tashfiyah wa Tarbiyah)
Dari sini berarti dalam memperbaiki keadaan umat Islam kita tidak lepas dari dua amalan besar, yaitu :
Pertama, membersihkan dan memurnikan Islam dari hal-hal yang mengaburkannya seperti bid’ah-bid’ah, khurafat, dan berbagai macam pemahaman-pemahaman yang menyeleweng. Inilah yang kita maksudkan dengan TASHFIYAH.
Kedua, mendidik dan membina kaum Muslimin untuk meyakini dan mengamalkan Islam yang murni tersebut. Inilah yang dimaksudkan dengan TARBIYAH.
PENTINGNYA TASHFIYAH (Pembersihan)
Sesungguhnya Dien dibangun di atas ilmu dan amal, maka ketika ilmu tersebut tidak dalam keadaan jernih dan tidak bersih dari syubhat-syubhat dan bid’ah-bid’ah, bangunan Dien tersebut tidak seperti apa yang ada pada generasi pertamanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya menjaga ilmu ini dan memilihkan pula para pembawa-pembawa ilmu ini adalah orang-orang yang jujur dan adil yang selalu menjaga dan membersihkan ilmu tersebut dari kerancuan-kerancuan yang mengaburkannya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Ilmu (Dien) ini akan dibawa oleh orang-orang yang adil dari setiap generasi. Mereka membersihkan (ilmu tersebut) dari penyelewengan orang-orang ghuluw (melampaui batas), kedustaan orang-orang bathil, dan penafsiran orang-orang jahil.” (Hadits hasan)
Yang dimaksud ilmu dalam hadits ini adalah ilmu Dien. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Muhammad bin Sirrin rahimahullah :
Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil Dien kalian. (Atsar riwayat Muslim dalam Muqadimah Shahih-nya)
Ibnul Qayyim berkata tentang hadits ini : “Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengkabarkan bahwa ilmu yang disampaikannya akan dibawa oleh orang-orang adil dari umatnya di setiap generasi agar tidak hilang dan tidak lenyap.” (Miftah Darus Sa’adah 1/163)
Dari sini kita tahu bahwa peranan para pembawa ilmu –atau seringkali disebut dengan ulama dan para pewaris Nabi– adalah menegakkan tiga perkara :
1) Memberantas ghuluw (sikap ekstrim).
2) Membantah kebathilan.
3) Mengentaskan kebodohan.
Al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan ketika menjelaskan hadits ini mengatakan : “Yang dimaksud adalah ilmu kitab dan sunnah yang akan dibawa dari setiap generasi yang datang setelah Salaf oleh orang-orang yang adil dari mereka yaitu para perawinya.”
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hafidhahullah berkata :
– Tahriful Ghalin adalah perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dalam masalah Dien. Sedangkan tahrif adalah merubah hak dengan kebathilan dengan cara merubah lafadz atau maknanya.
– Intihalul Mubthilin adalah kedustaan ahlul bathil. Sedangkan intihal adalah mengaku sesuatu ucapan atau syair-syair bagi dirinya dengan dusta padahal itu hasil karya orang lain. Dalam hadits ini, kalimat tersebut sebagai ungkapan kedustaan.
– Ta’wilul Jahilin yaitu menakwilkan tanpa ilmu dan pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits serta memalingkan dari makna dhahirnya.
Hadits ini sebagai dalil yang jelas tentang pujian (ta’dil) terhadap Ahlul Hadits melalui lisan Rasulullah Nabiyurrahmah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.” (Tashfiyah wa Tarbiyah halaman 25-26)
Maka kita katakan bahwa hadits ini juga merupakan dalil yang jelas terhadap manhaj tashfiyah. Berarti tashfiyah ini merupakan jalan dan metode dakwah Ahlil Hadits sebagaimana dikatakan oleh beliau dalam kitab tersebut. Para ulama Ahlul Hadits tetap istiqamah dalam sunnah dan tetap membersihkan dan memurnikan Islam dari berbagai macam bid’ah walaupun mereka mendapatkan tantangan dan ujian-ujian yang berat.
Kita lihat Imam Ahmad bin Hanbal istiqamah dalam membantah fitnah khalqul Qur’an (anggapan bahwa Al Qur’an itu makhluk) sehingga beliau dipenjara dan disiksa. Tapi ketika Al Marwazi, salah seorang muridnya masuk menemui beliau dan berkata : “Wahai ustadz, bukankah Allah berfirman :
Dan janganlah kalian bunuh diri-diri kalian. (An Nisa’ : 29)
Kita paham bahwa ucapan Marwazi ini mengharapkan agar Imam Ahmad mengalah dan beliau tidak binasa. Tapi apa jawaban Imam Ahmad rahimahullah? Beliau berkata : “Wahai Marwazi, keluarlah dan perhatikanlah apa yang engkau lihat!” Marwazi berkata : “Lalu aku keluar di sekitar istana khalifah, maka aku melihat manusia yang tidak dapat dihitung jumlahnya kecuali oleh Allah. Di tangan mereka terdapat pena dan lembaran-lembaran serta tinta.” Maka aku bertanya kepada mereka : “Apa yang kalian kerjakan?” Mereka menjawab : “Kami menunggu apa yang akan diucapkan imam untuk kami tulis.” Aku katakan kepada mereka : “Tetaplah ditempat kalian.” Maka beliau segera masuk menemui Imam Ahmad bin Hanbal kemudian berkata kepadanya : “Aku melihat orang-orang dengan kertas dan pena di tangan mereka menunggu apa yang akan engkau ucapkan untuk mereka tulis.” Berkata Imam Ahmad : “Wahai Marwazi, apakah aku akan menyesatkan semuanya?! Tidak! Biarlah aku binasa tanpa menyesatkan mereka.” (Manaqibul Imam Ahmad halaman 330, lihat Tashfiyah wat Tarbiyah Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 13)
Demikianlah ketegaran beliau dalam membersihkan atau mentashfiyah Al Islam dari penyelewengan-penyelewengan walaupun diri beliau sebagai taruhannya. Oleh karena itu ketika ada seseorang yang berkata kepadanya : “Semoga Allah menghidupkan engkau di atas Islam.” Beliau menjawab : “Dan sunnah.” Yang demikian karena beliau mengerti bahwa umat Islam telah berpecah dalam berbagai firqah. Maka beliau melengkapi doanya dengan kata-kata : “Dan sunnah.” Maksudnya di atas Islam dan sunnah yang tidak dicampuri oleh berbagai macam bid’ah.
Inilah barangkali yang dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam kunjungan beliau ke Indonesia bahwa hidayah ada dua macam, yaitu :
– Hidayah ila (kepada) Islam.
– Hidayah fi (di dalam) Islam.
Seorang yang mendapatkan hidayah ke dalam Islam belum tentu mendapatkan hidayah di dalam Islam. Untuk lebih jelasnya kita contohkan sebagai berikut, kalau seorang kafir mendapatkan hidayah kemudian masuk Islam, belum tentu dia mendapatkan hidayah di dalam Islam kepada sunnah. Seringkali mereka justru mengikuti aliran-aliran sesat dan pemahaman-pemahaman yang bid’ah. Maka Imam Ahmad seringkali berdoa dengan doa :
Ya Allah, matikanlah kami di atas Islam dan Sunnah.
Coba kita simak kembali ucapan Abdurrahman Abdul Khaliq di atas, kemudian kita bandingkan dengan sikap Imam Ahmad dan para Ahlul Hadits. Kita betul-betul melihat perbedaan yang sangat jelas. Imam Ahmad dan Ahlil Hadits menerapkan manhaj tashfiyah, sedangkan Abdurrahman dan para muqallid-nya menebarkan fitnah pengkaburan dan penipuan. Hal itu ditunjukkan oleh syubhat ucapan mereka terhadap kebid’ahan ahlil bid’ah bahwa : “Mereka pun punya dalil.” Yang membawa orang awam kepada kebingungan dan ketidakjelasan. Ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain ucapan tersebut merupakan kedustaan yang nyata. Karena pada hakikatnya ayat yang diselewengkan, hadits yang disalahgunakan, atau hadits-hadits dlaif dan palsu tidaklah dikatakan sebagai dalil. Atsar yang kita sebut di atas menunjukkan bahwa para Ahlil Hadits pembawa ilmu ini justru membersihkan ilmu Dien ini dari semua itu.
Kalau demikian maka :
– Riwayat-riwayat yang diselewengkan oleh beberapa kelompok dakwah untuk membaiat pemimpin mereka juga bukan merupakan dalil.
– Ayat-ayat yang ditakwilkan oleh para Khawarij Gaya Baru untuk mengkafirkan kaum Muslimin tidaklah dikatakan dalil.
– Kedustaan-kedustaan dan hadits-hadits palsu yang dibuat oleh orang-orang Syiah dan yang sejenisnya sama sekali tidak pantas dikatakan dalil.
Dari sini kita ketahui betapa besar bahaya ucapan mereka tadi yang secara sadar atau tidak mereka telah menipu orang-orang awam. Juga dari sini kita tahu betapa pentingnya manhaj tashfiyah yang dengannya akan menjadi jelas dan terang mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, sehingga setelah itu atau bersamaan dengan itu tarbiyah (pendidikan) kepada umat dilaksanakan di atas kejelasan.
TASHFIYAH DALAM SEGALA BIDANG
Dien ini telah sampai kepada kita melalui dua wahyu, Al Kitab dan As Sunnah. Keduanya datang dalam keadaan jernih, bersih dari kotoran kesyirikan, kebathilan, dan kebid’ahan. Namun ketika manusia bertambah jauh dari jalan Ahlul Hadits dalam memahami keduanya, mereka terjatuh ke dalam berbagai macam kebathilan.
Dalam masalah akidah, sebagian mereka terjatuh dalam penyelewengan asma’ dan sifat-sifat Allah, menolak atau menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan sebagian mereka mewajibkan ta’wil. Di antara ucapan bathil mereka :
Semua nash (ayat ataupun hadits) yang mengesankan penyerupaan (Allah dengan makhluk-Nya) TA’WILKANLAH atau TAFWIDLKANLAH. Dan tujukanlah sebagai pensucian.
Ta’wil yang dimaksud adalah memalingkan sesuatu dari makna sebenarnya. Sedangkan tafwidl adalah menyerahkan makna sesuatu kepada Allah (hanya Allah yang mengetahuinya), padahal Al Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab untuk dapat dipahami.
Demikian pula kalau kita bertanya kepada orang-orang yang telah terjun sebagai juru dakwah apalagi orang-orang awam dengan pertanyaan : “Di manakah Allah?” Kita akan mendapatkan jawaban sebagian mereka : “Di mana-mana, di hatiku, dan tidak di mana-mana.” Atau bahkan dengan marah menyalahkan pertanyaan tersebut. Sedikit sekali yang menjawab dengan benar bahwa Allah berada di langit di atas ‘Arsy-Nya.
Saudaraku para pembaca, kejadian ini menunjukkan betapa jauhnya mereka dari pemahaman akidah yang benar dan sekaligus menunjukkan bahwa pemikiran mereka terkotori oleh keyakinan-keyakinan bid’ah yang dimasukkan ke dalam Islam.
Dalam masalah As Sunnah (kita telah paham bahwa) telah sampai kepada kita riwayat-riwayat melalui sanad-sanad (rantai para rawi) dalam kitab-kitab yang telah dikenal, baik dalam bentuk musnad (yang disusun berdasarkan sanad), sunan (yang disusun berdasarkan masalah-masalah fiqh), shahih (yang telah dipisahkan hadits-hadits dlaif darinya), dan bentuk kitab-kitab hadits lainnya.
Para ulama Ahlul Hadits telah berjasa besar dalam masalah ini. Generasi pertama mereka mengumpulkan semua ucapan-ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kemudian mencatatnya. Seperti lembaran-lembaran catatan para shahabat yang kemudian generasi berikutnya mengumpulkannya dari para shahabat, baik secara langsung ataupun dengan melalui catatan mereka. Kemudian generasi selanjutnya mengumpulkan semua ucapan dengan sanadnya, baik yang marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) ataupun yang mauquf (berhenti sampai ucapan para shahabat). Inilah yang sering diistilahkan dengan kitab-kitab jami’. Kemudian mulai disusun berdasarkan nama-nama shahabat yang meriwayatkan ataupun berdasarkan bab-bab fiqh dengan tetap dicantumkan silsilah para perawinya. Semua itu untuk memudahkan kaum Muslimin melihat kebenaran hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Setelah itu muncul para ulama yang berusaha memeriksa siapa para perawi tersebut dan bagaimana kejujurannya, agamanya, hapalannya, dan lain-lain. Kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab khusus yaitu kitab-kitab Rijalul Hadits. Juga bermunculan para ulama yang berusaha mengumpulkan hadits-hadits yang shahih dan dikhususkan dalam kitab-kitab shahih seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Demikianlah mereka berusaha mentashfiyah dengan mengkaji, meneliti, kemudian memisahkan mana hadits-hadits yang benar-benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan mana yang bukan, mana yang shahih, hasan, dlaif, atau palsu.
Sungguh upaya mereka ini merupakan amal yang besar karena berkaitan dengan semua bidang yang lain dalam Dien ini. Penyelewengan yang terjadi dalam masalah akidah seringkali disebabkan oleh penggunaan riwayat-riwayat yang lemah dan palsu. Demikian pula bid’ah-bid’ah yang terjadi dalam hukum-hukum syariat yang faktor utamanya adalah hadits-hadits yang bukan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Di dalam tafsir Al Qur’an pun banyak dijumpai penafsiran-penafsiran yang menyeleweng dan keliru karena bersandarkan kepada kisah-kisah Israiliyat dan riwayat-riwayat yang lemah.
Termasuk juga tashfiyah terhadap sunnah adalah membantah bid’ah-bid’ah yang muncul yang sudah dianggap sebagai sunnah karena bid’ah-bid’ah inilah yang menjadikan sunnah terlihat keruh dan kabur. Para Salafiyun (penerus jejak Salafus Shalih) –alhamdulillah– terus memperingatkan umat dari bid’ah-bid’ah dan menjelaskan kepada umat perkara-perkara yang dianggap sunnah, ternyata dia adalah tambahan ide-ide manusia. Mereka berulang-ulang menjelaskan bahwa syariat Islam telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan atau pun perubahan apalagi pengganti. Mereka terus berjalan di atas keyakinan terhadap ucapan Allah :
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku sempurnakan pula nikmat-Ku atasmu serta Aku ridlai Islam sebagai agamamu. (Al Maidah : 3)
Bahkan para da’i Ahlus Sunnah, Salafiyun, sejak dahulu selalu membuka majlis-majlis mereka khususnya dalam khutbah Jum’at dengan pembukaan yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang di antara kalimatnya berbunyi :
Wajib atas kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk sesudahku. Peganglah dan gigitlah dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah dengan perkara baru yang diada-adakan karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan (dalam Dien, pent.) adalah bid’ah.
Seakan-akan kalimat-kalimat ini adalah syi’ar dan ciri khas Ahlus Sunnah di sepanjang masa.
TASHFIYAH DALAM BIDANG TAFSIR
Tafsir adalah ilmu yang luas yang tidak pantas untuk dimasuki kecuali oleh orang yang mengerti Al Kitab dan As Sunnah, paham bahasa Arab, mengetahui nasikh dan mansukhnya, serta mengerti adab Al Qur’an dan hukum-hukumnya. Tetapi kenyataan yang kita lihat sekarang ini seperti ucapan Syaikhul Islam rahimahullah : “Di dalam buku-buku yang dinamakan oleh kebanyakan orang tafsir ini terdapat banyak sekali nukilan-nukilan yang mengatasnamakan Salaf dengan dusta dan ucapan atas nama Allah dan Rasul-Nya padahal semata-mata pendapatnya. Bahkan ternyata hanya syubhat dari qiyas atau syubhat sastra … (hingga ucapan beliau) … telah diketahui pula bahwa di dalam buku-buku tafsir banyak sekali nukilan-nukilan dari Ibnu Abbas yang ternyata dusta dari riwayat Al Kalbi dari Abi Shalih dan lainnya. Maka harus ada pembenaran nukilan agar hujjah menjadi tegak.” (Majmu’ Fatawa 6/389)
Kita berikan contoh satu kisah yang hampir semua kitab tafsir memuatnya, yaitu kisah seorang shahabat yang mulia, Tsa’labah bin Hatib. Mereka menyebutkan bahwa dia seorang shahabat yang berjanji kepada Allah jika dia mendapatkan rizki akan berinfaq di jalan Allah. Kemudian Allah memberikan kepadanya harta, tetapi dia tidak menunaikan janjinya dan tidak mau membayar zakat hartanya. Maka para shahabat lain mensifatinya dengan kemunafikan karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak mau menerima zakatnya, tidak pula Umar dan Abu Bakar hingga dia meninggal di masa khalifah Utsman bin Affan radliyallahu ‘anhu.
Tidak samar lagi bahwa kisah ini merupakan pelecehan terhadap seorang shahabat yang ikut perang Badar. Sedangkan kita mengetahui bagaimana jaminan Allah terhadap Ahli Badr (Lihat pembahasan “Shahabat Bukan Munafik”, SALAFY IV tahun I rubrik Akidah).
Hal tersebut terjadi karena penukilan riwayat yang lemah dan tidak jelas. Para pakar Ahlul Hadits telah menjelaskan kelemahan riwayat kisah ini seperti Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/266, Al ‘Iraqi dalam Takhrij Al Ihya’ 3/366, Al Manawi dalam Al Faidlul Qadir 4/527, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 11/207, Ibnu Hamzah dalam Al Bayan wat Ta’rif 3/66, dan Syaikh Al Albani dalam Dla’iful Jami’ 4/125, dan lain-lain. Demikian sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ali Hasan dalam Tashfiyah-nya. Bahkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali menulis dalam buku khusus dengan judul Asy Syihabuts Tsaqib fidz Dzabbi ‘Anis Shahabi Tsa’labah bin Hatib yang maknanya kurang lebih : “Meteor Yang Tsaqib (menembus) Dalam Membela Shahabat Tsa’labah Bin Hatib.” Bukunya telah dicetak.
Di sini terlihat betapa perlunya tashhih (pembenaran) dan tashfiyah dalam bidang tafsir sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam di atas. Juga terlihat betapa perlunya kita terhadap bimbingan para ulama Ahlul Hadits di setiap jaman.
Demikianlah manhaj dakwah Salafiyah yang selalu menerapkan secara bersama tarbiyah dan tashfiyah dalam segala bidang. Seperti tashfiyah dalam bidang fiqh dari ta’ashub dan fanatik madzhab, taqlid, dan lain-lain. Tashfiyah dalam bidang pemikiran dari pemikiran-pemikiran yang asing yang bersumber dari agama lain atau hasil olah filsafat yang merusak akal kaum Muslimin. Demikian pula tashfiyah dalam berhukum dan seterusnya.
TARBIYAH (Pengajaran)
Kata tarbiyah sudah sangat tenar di kalangan remaja masjid dan para pemuda yang tergabung dalam kelompok-kelompok dakwah. Bahkan terkadang mereka menjuluki teman-teman sekelompoknya dengan istilah ‘anak tarbiyah’ dan menjuluki pembimbingnya dengan ‘murabbi’ dan seterusnya.
Tetapi sayangnya di samping mereka mendidik atau mentarbiyah beberapa perkara syar’i, mereka juga memasukkan kaidah-kaidah yang meruntuhkan perkara-perkara syar’i tadi dalam tarbiyahnya. Seperti kaidah ‘maslahat dakwah’ (demi kepentingan dakwah) yang mereka pahami bahwa setiap yang mengganggu kepentingan ‘kelompoknya’ dapat dirubah hukumnya. Tidakkah mereka melihat riwayat-riwayat para ulama Ahlus Sunnah, seperti riwayat Imam Ahmad yang kita sebut di awal tulisan yang ucapannya patut dicatat dengan tinta emas : “Lebih baik aku binasa tanpa menyesatkan mereka.” Dan tidak kemudian mengalah dan mengatakan : “Tidak apa demi maslahah dakwah?” Padahal sebenarnya maslahah pribadi atau keluarga.
Baiklah kita lihat apa yang dimaksud dengan tarbiyah. Kita nukilkan keterangan Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid sebagai berikut : “Di antara makna tarbiyah dalam bahasa Arab adalah Taghdziyah yang berarti memenuhi kebutuhan manusia dari makanan atau minuman hingga menjadi sempurna perkembangan tubuhnya, dapat menikmati kesehatan dan keselamatan, serta mampu untuk berusaha di muka bumi, menggali, dan mengeluarkan kebaikan-kebaikan darinya. Juga berusaha menyingkap rahasia-rahasianya kemudian mengeluarkan harta yang tersimpan di dalamnya yang tidak terhitung jumlahnya. Kemudian kata tarbiyah ini dipakai juga untuk mengungkapkan pensuplaian kepada akal, indera, ruh, dan perasaan yang menjadikan manusia tumbuh dan memiliki keistimewaan, kebiasaan, dan prinsip yang terpelihara.
Maka tarbiyah yang kita maksudkan adalah mendidik generasi yang baru tumbuh dengan ilmu-ilmu Islam yang telah ditashfiyah dan dimurnikan dari segala yang telah kita sebut di atas dengan cara pendidikan yang benar dan Islami sejak masih lunak kukunya tanpa dipengaruhi oleh tarbiyah-tarbiyah yang asing dan kafir.
Allah berfirman :
Jadilah kalian rabbaniyin dengan kitab yang kalian ajarkan dan dengan apa-apa yang kalian pelajari. (Ali Imran : 79)
Rabbani adalah orang yang mendidik manusia dengan kurikulum dari Allah dan mengikuti tahapan-tahapan sampai mereka mencapai tingkatan yang tinggi yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (At Tashfiyah cetakan 1 halaman 42-43)
Sehingga kurang lebih makna tarbiyah adalah menyampaikan ilmu sedikit demi sedikit kepada umat dan dilatih untuk meyakini dan mengamalkan ilmu tersebut sehingga umat ini tumbuh di atas Islam yang murni. Kita dengar ucapan Salaf ketika mempelajari Al Qur’an dari para shahabat : “Sesungguhnya kami mengambil Al Qur’an dari suatu kaum yang mengabarkan bahwa mereka jika belajar sepuluh ayat tidak akan melampauinya kepada sepuluh ayat yang lain hingga mereka mengerti apa yang ada di dalamnya. Maka kami mempelajari Al Qur’an dan amal (prakteknya).” (Atsar riwayat Ibnu Sa’ad 6/172 dengan sanad yang shahih)
Berarti jalan tarbiyah ini panjang. Mungkin ada yang berkata cara seperti ini terlalu lama sedangkan umat dalam keadaan terpecah belah dan harus segera diselamatkan. Maka kita katakan sebagaimana perkataan Syaikh Ali Hasan : “Ya, memang umat terpecah belah. Tapi bukankah kalian telah mencoba sekian tahun dengan manhaj-manhaj perbaikan lain yang dianggap ‘cepat’, ‘segera’, dan ‘semangat’? Bukankah kalian telah mempraktekan itu semua? Tentunya demi Allah kalian telah melakukannya. Tetapi kalian –dengan sangat disesalkan– tetap di tempat kalian dalam keadaan ragu tanpa ada kemajuan atau perkembangan. Mengapa?” (Cetakan I halaman 47)
Tentunya kita tahu apa jawabannya. Sesungguhnya jalan yang akan menyampaikan umat manusia kepada keselamatan dunia dan akhirat dan jalan yang membawa kepada tegaknya Islam dan syariat Islam adalah satu, yaitu jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam walaupun terasa lambat sesuai dengan lambatnya pertumbuhan manusia.
HUBUNGAN ANTARA TASHFIYAH DAN TARBIYAH
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak memisahkan antara tashfiyah dan tarbiyah. Tashfiyah beliau sekaligus merupakan tarbiyah kepada para shahabatnya radliyallahu ‘anhum. Sebagaimana dalam riwayat seorang shahabat yang berkata di hadapan beliau : “Masya Allahu wa Syi’ta (atas kehendak Allah dan kamu).” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam segera membantahnya dengan ucapan :
Apakah engkau menjadikan aku sekutu bagi Allah? Bahkan semua itu atas kehendak Allah semata. (HR. Ahmad 1/214 dan 224, Bukhari dalam Adabul Mufrad 783, Ibnu Majah 2117, Al Baihaqi 3/217, dalam sanadnya ada Ajlah bin Abdillah dan dia shaduq sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidh. Maka hadits ini hasan). Demikian takhrij Syaikh Ali Hasan.
Teguran tegas beliau ini merupakan tashfiyah sekaligus merupakan tarbiyah bagi shahabat itu sendiri dan para shahabat yang lain. Demikian pula riwayat Adi bin Hatim ketika seseorang berkhutbah di sisi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Di antara ucapannya : “Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dia telah lurus dan barangsiapa yang bermaksiat kepada keduanya, maka dia menyeleweng.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berkata dalam rangka mentashfiyah akidah dan meluruskan lidahnya (yang artinya) : “Sejelek-jelek khatib adalah kamu. Ucapkan : Barangsiapa bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Muslim 870, Abu Dawud 4960, An Nasa’i 6/90, Baihaqi 3/216, Ahmad 4/256, 379, Thabrani dalam Mu’jamul Kabir 17/98. Demikian takhrij Syaikh Ali Hasan dalam Tarbiyah)
Di sini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam meluruskan lidah orang tersebut ketika keliru mensejajarkan Allah dan Rasul-Nya dengan kata-kata ‘keduanya’. Teguran keras ini adalah tarbiyah bagi para shahabat dan bagi kita semua bahwa permasalahan ini bukan permasalahan kecil.
Ketahuilah sesungguhnya tidak akan tegak dakwah dengan sebenar-benarnya kecuali jika terwujud tashfiyah dan tarbiyah ini. Dan inilah dakwah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan tugas beliau yang Allah terangkan dalam ayat-Nya :
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah dan sesungguhnya mereka dahulu benar-benar dalam kesesatan yang nyata. (Ali Imran : 164)
Syaikh Ali Hasan dalam bukunya berkata bahwa : “Tidak akan sempurna tazkiyah (pembersihan) kecuali dengan tarbiyah dan tidak akan sempurna ilmu kecuali dengan tashfiyah.”
Demikianlah tidak akan dipisahkan antara keduanya dan tidak akan sempurna dakwah tanpa keduanya. Maka wajib bagi para ulama dan para pencari ilmu serta para da’i untuk menghadapkan perhatian mereka pada tashfiyah dan tarbiyah terhadap umat ini. Menjelaskan kepada mereka jalan yang benar agar perahu kita ini tidak tenggelam karena sesungguhnya yang penting adalah kualitas, bukan kuantitas.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
(Dinukil dari kitab At Tashfiyah wat Tarbiyah cetakan 1 dan 2. Karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid)
(Dinukil dari [SALAFY XIX/1418/1997/MABHATS], Ustadz Muhammad Umar As Sewed)