Bagian Pertama
Penjelasan tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir dalam front fisik termasuk hal yang terpenting dalam masalah jihad ini. Telah tercatat dalam sejarah dari masa ke masa, kebanyakan orang yang salah melangkah dalam masalah jihad adalah disebabkan oleh ketidakpahaman mereka tentang pembagian jihad melawan orang-orang kafir di front fisik ini. Dan ini adalah suatu ketergelinciran yang sangat besar, padahal pembagian tersebut sangatlah jelas dalam buku-buku fiqih yang menerangkan tentang masalah jihad, dan pembicaraan para ulama dalam masalah jihad semenjak dahulu hingga sekarang tidak keluar dari pembagian tersebut.
Jihad melawan orang-orang kafir secara fisik terbagi dua :
Pertama : Jihad thalab atau jihad hujum (jihad menyerang). Yaitu kaum muslimin yang memulai menyerang orang-orang kafir setelah memberikan kepada mereka tawaran masuk Islam atau membayar jizyah (upeti).
Dalil-dalil tentang hal ini jelas dari sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Yaitu tatkala beliau berada di Madinah, beliau mengirim pasukan dan bala tentara untuk menyeru manusia ke dalam Islam, dimana pengobaran peperangan dibangun di atas hal tersebut. Bahkan beliau menegaskan,
“Saya diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa “Tiada yang berhak diibadahi selain Allah dan sungguh Muhammad adalah Rasul Allah”, menegakkan sholat dan mengeluarkan zakat. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut maka terjagalah darah dan harta mereka kecuali dengan Islam dan hisab mereka disisi Allah.” [1]
Ini adalah nash yang sangat tegas tentang disyari’atkannya jihad hujum. Dan sejumlah ayat dan hadits yang telah berlalu penyebutannya, juga termasuk nash umum yang menganjurkan untuk menegakkan jihad hujum ini.
Dan jihad hujum ini hanya disyari’atkan bila terpenuhi tiga syarat [2] :
1. Dipimipin oleh seorang kepala negara.
2. Mempunyai kekuatan yang cukup.
3. Kaum muslimin mempunyai wilayah/negara kekuasaan
Adapun syarat pertama,
Telah dijelaskan dalam sejumlah dalil bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang Imam (pemimpin) muslim. Diantara dalil-dalil tersebut, adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang taat kepadaku maka sungguh ia telah taat kepada Allah, dan siapa yang bermaksiat terhadapku maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah. Dan siapa yang taat kepada pemimpin maka sungguh ia telah taat kepadaku, dan siapa yang bermaksiat kepada pemimpin maka sungguh ia telah bermaksiat kepadaku. Dan sesungguhnya seorang pemimpin adalah tameng, dilakukan peperangan dibelakangnya, dan dijadikan sebagai pelindung.” [3]
Berkata Imam An-Nawawy (w. 676 H) menjelaskan hadits di atas, “Makna “seorang pemimpin adalah tameng” yaitu bagaikan tirai (pelindung), karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin, dan menahan sebagian manusia (untuk berlaku jelek) terhadap sebahagian yang lain, dan ia menjaga kehormatan Islam, dan dia ditakuti oleh manusia, serta manusia takut terhadap kekuasaannya. Dan makna “dilakukan peperangan dibelakangnya” yaitu dilakukan peperangan bersamanya melawan orang-orang kafir, Al-Bughôt (para pembangkang terhadap penguasa), kaum khawarij dan seluruh pengekor kerusakan dan kezholiman.” [4]
Dan berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena ia menahan gangguan musuh terhadap kaum muslimin dan menahan gangguan sebahagian manusia terhadap sebahagian yang lainnya. Dan yang diinginkan dengan imam disini adalah setiap orang yang bertanggung jawab terhadap segala urusan manusia.” [5]
Dan dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Manusia bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan, saya khawatir kejelekan itu akan menimpaku, maka saya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam kejahiliyahan dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?” Beliau menjawab : “Iya.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan,” Beliau menjawab, “Iya, dan telah ada asapnya.” Saya bertanya, “Apakah asapnya?” Beliau menjawab, “Suatu kaum yang mengambil petunjuk selain dari petunjukku, ada yang engkau anggap baik dari mereka dan ada yang engkau ingkari.” Kemudian saya bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada kejelekan.” Beliau menjawab, “Iya, da’i –da’i yang menyeru ke pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menjawab seruan mereka, maka mereka akan melemparkannya ke dalamnya.” Saya berkata, “Wahai Rasulullah, sifatkanlah mereka kepada kami?” Beliau menjawab : “Mereka adalah dari kulit kita juga dan berbicara dengan lisan-lisan kita.” Saya berkata : “Apa perintahmu kepadaku jika saya mendapati hal tersebut?” Beliau bersabda : “Engkau komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.” Saya berkata : “Jika kaum muslimin tidak mempunyai jama’ah dan imam.” Beliau berkata : “Tinggalkan seluruh firqoh-firqoh (kelompok-kelompok) tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menjemputmu dan engkau di atas hal tersebut.” [6]
Hadits di atas menunjukkan bahwa seorang muslim harus komitmen terhadap jama’ah kaum muslimin dan imam mereka. Maka orang yang keluar berjihad tanpa disertai imam atau tidak mendapatkan izin dari imam kaum muslimin maka ia dianggap telah keluar dari jama’ah kaum muslimin dan imam mereka dan jihad tersebut terhitung jihad bid’ah yang tidak disyari’atkan.
Karena itulah Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ketika beliau diajak untuk melepaskan baitnya dari pemerintahan Yazîd bin Mu’awiyah dan membait Ibnu Muthi’ dan Ibnu Hanzholah, beliau menganggap perbuatan tersebut sebagai perbuatan ghodar (melanggar penjanjian) dan beliau berdalil dengan hadits,
“Diangkat bagi setiap orang yang ghodar bendera pada hari kiamat, dikatakan : “Inilah ghodarnya si fulan”.” [7]
Dan para ulama telah sepakat bahwa jihad hujum harus di bawah kepemimpinan seorang pemimpin muslim.
Berkata Ibnu Qudamah (w. 620 H), “Dan perkara jihad kembali kepada seorang imam (pemimpin) dan ijtihadnya, dimana rakyat wajib taat kepadanya pada apa yang ia pandang dalam hal tersebut.” [8]
Dan diantara keyakinan dalam agama yang disepakati oleh para ulama dan dianggap tersesat orang yang menyimpang darinya menurut Imam Ahmad (w. 241 H), “Dan (kewajiban) berperang bersama para penguasa –yang baik maupun fajir- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidak ditinggalkan (sama sekali).” [9]
Dan Imam Ath-Thahawy (w. 321 H) menyatakan dalam penjelasan aqidah beliau yang masyhur, “Adapun haji dan jihad bersama penguasa kaum muslimin –yang baik maupun fajirnya- tetap berlanjut hingga hari kiamat, tidaklah dibatalkan oleh suatu apapun dan tidak ada yang menggugurkannya.” [10]
Juga Imam Al-Muzany (w. 264 H), murid Imam Asy-Syafi’iy, menjelaskan bahwa diantara hal yang disepakati oleh para ulama terdahulu hingga masa beliau, “Dan jihad itu bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang jahat, (demikian halnya) ibadah haji.” [11]
Dan bekata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Dan mereka (Ahlus Sunnah wal Jama’ah) berpendapat (wajibnya) menegakkan haji, jihad dan (sholat) jum’at bersama para penguasa, yang baik maupun yang fajir.” [12]
Dan berkata Imam besar dan ahli fiqih di zaman ini, Syaikh Muhammad bin Shôlih Al-‘Utsaimin (w. 1421 H), “Tidak boleh suatu pasukan mengobarkan peperangan kecuali denga izin dari imam, bagaimanapun keadaan yang terjadi. Sebab yang diperintah untuk menegakkan perang dan jihad adalah para penguasa, bukan individu manusia. Individu manusia hanyalah ikut kepada pihak yang berwenang (Ahlul halli wal ‘aqdi). Maka tidak seorangpun boleh melakukan perang tanpa seizin imam kecuali hanya dalam rangka membela diri, (yaitu) apabila musuh menyerang secara tiba-tiba, dan mereka khawatir kebinasaan karenanya, maka ketika itu mereka membela diri-diri mereka dan wajib mengobarkan peperangan.
Sesungguhnya (berperang tanpa pemimpin) tidak diperbolehkan karena perkara (jihad) tergantung pada seorang imam, maka berperang tanpa izinnya adalah melanggar dan melampaui batasan-batasannya. Andaikata dibolehkan bagi manusia untuk berperang tanpa izin imam maka akan terjadi kekacauan, siapa saja yang ingin (berperang) maka ia akan menunggangi kudanya dan berperang. Dan andaikata manusia diberi kelapangan dalam hal tersebut maka akan terjadi kerusakan-kerusakan yang besar. Mungkin akan terjadi sekelompok manusia (yang nampaknya) bersiap untuk memerangi musuh dan ternyata mereka hendak melakukan pemberontakan terhadap penguasa atau mereka hendak melakukan kesewenang-wenangan terhadap sekelompok manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujarat : 9)
Karena tiga alasan ini dan juga alasan-alasan lainnya maka tidaklah boleh melakukan perang kecuali dengan seizin imam.” [13]
Demikianlah sedikit keterangan dalam masalah ini, yang menunjukkan bahwa para ulama sama sekali tidak membenarkan penegakan jihad hujum tanpa seizin imam. Hal ini merupakan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dimana tidak pernah ternukil dalam sepotong riwayat pun bahwa para shahabat menegakkan jihad tanpa seizin Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang merupakan Imam mereka, baik di fase Makkah maupun fase Madinah.
Maka kami tegaskan disini, siapa yang keluar dari jalan ini, maka ia telah keluar dari jalan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para shahabatnya, dan bersiaplah menuai ancaman Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa` : 115)
Dan juga kami tegaskan berdasarkan keterangan-keterangan yang telah lalu bahwa “Tidak ada jihad di bawah bendera kafir” dan “Tidak ada jihad tanpa bendera seorang pemimpin muslim”.
[1] Hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 25 dan Muslim no. 22. Dan dikeluarkan pula oleh Al-Bukhary no. 1399, 2946, 6924, 7284, Muslim no. 20, 21, Abu Daud no. 1556, 2640, At-Tirmidzy no. 2611, 2612, An-Nasa`i 5/14, 6/4-5,7, 7/77-79 dan Ibnu Majah no. 71, 3927 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dan juga dikeluarkan oleh Muslim no. 21 dan Ibnu Majah no. 3928 dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, serta dikeluarkan oleh Al-Bukhary no. 392, Abu Daud no. 2641-2642, At-Tirmidzy no. 2613 dan An-Nasa`i 6/6, 7/75-76 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dan semakna dengannya hadits Thoriq bin Asy-yam radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim no. 23. Dan Al-Kattani menyebutkannya sebagai hadits mutawatir dalam Nazhmul Mutanatsir Min Al-Ahadîts Al-Mutawatir hal. 50-51.
[2] Dari kitab Mujmal Masa`il Al-Îman Al-‘Ilmiyah fii Ushul Al-‘Aqîdah As-Salafiyah hal. 31 (Penerbit Markaz Al-Imam Al-Albany, Amman, cet. pertama 1421 H / 2000 M) oleh Markaz Al-Imam Al-Albany. Dan kitab ini telah dibaca oleh sejumlah ulama, diantaranya; Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Syaikh Prof. DR. Rabî’ bin Hadi Al-Madkhaly, Syaikh Sa’ad Al-Hushoyyin, Syaikh DR. Husain alu Asy-Syaikh, Syaikh DR. Washiyyullah ‘Abbas, Syaikh DR. Muhammad bin ‘Umar Ba Zamul, Syaikh DR. ‘Abdussalam Barjis, Syaikh DR. Muhammad bin Hadi Al-Madkhly dan lain-lainnya.
[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 2957 (konteks di atas milik Al-Bukhary), Muslim no. 1835, 1841, Abu Daud no. 2757 dan An-Nasa`i 7/155.
[4] Syarah Muslim 12/230.
[5] Fathul Bari 6/136.
[6] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 3606 dan Muslim no. 1847.
[7] Telah berlalu takhrijnya pada hal. .
[8] Al-Mughny 13/16.
[9] Ushulul Sunnah.
[10] Al-‘Aqîdah Ath-Thahawiyah hal. 437 -dengan syarh Ibnu Abil ‘Izzi dan tahqîq Al-Albany-.
[11] Syarhus Sunnah karya Al-Muzany hal. 88.
[12] Majmu’ Al-Fatawa 3/158.
[13] Syarhul Mumti’ 8/25-26.
(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik.html)
Bagian Kedua
Adapun syarat kedua, yaitu mempunyai kekuatan,
Hal tersebut merupakan perkara yang telah dimaklumi dalam nash-nash Al-Qur`ân dan As-Sunnah. Sebagaimana dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انفِرُوا جَمِيعًا
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (QS. An-Nisâ` : 71)
Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan :
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ وَمِن رِّبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِن دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah dan (yang juga) musuh kalian serta orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. Al-Anfâl : 60)
Hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
“Saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam dan beliau berada di atas mimbar membaca (ayat) “Dan siapkanlah kekuatan yang kalian punyai untuk menghadapi mereka.” (beliau berkata) : “Ingatlah kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik, kekuatan itu adalah membidik.” [1]
Beberapa dalil di atas menunjukkan bahwa disyaratkan adanya kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad. Kapan syarat ini tidak terpenuhi, maka gugurlah kewajiban jihad tersebut terhadap kaum muslim hingga mereka mempunyai kekuatan.
Keharusan memiliki kemampuan dalam menjalankan suatu ‘ibadah merupakan kaidah yang dimaklumi dalam syari’at dan telah menjadi dasar wajib untuk ditegakkannya suatu ‘ibadah.
Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
لَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ
“Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya.” (QS. Ath-Tholâq : 7)
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda :
“Apabila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah (sesuatu tersebut), dan apabila aku memerintah kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah hal itu sesuai dengan kemampuan kalian.” [2]
Berdasarkan nash-nash ini, telah digugurkan atas kaum muslimin kewajiban menghadapi musuh kalau jumlah mereka tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah kaum muslimin, sebagaimana yang telah dijelaskan. Maka dalam keadaan tersebut tidak diwajibkan terhadap kaum muslimin untuk menghadapi musuh, karena sifat jihadnya adalah jihad hujûm.
Adapun kejadian pada perang Uhud dan perang Khandaq, dimana kaum muslimin menghadapi kaum kuffar dengan jumlah yang jauh lebih besar dan berlipat ganda, hal tersebut bukanlah jihad hujûm yang merupakan kehendak mereka, tapi jihad tersebut adalah jihad membela diri yang sifatnya darurat untuk menghadapi serangan musuh yang ingin menghancurkan kaum muslimin di negara mereka.[3] Dan jihad seperti ini adalah jihad mudâfa’ah yang akan datang uraian dan penjelasannya.
Kemudian diantara dalil akan gugurnya kewajiban jihad bila tidak ada kemampuan, adalah hadits An-Nawwâs bin Sam’ân radhiyallâhu ‘anhu tentang kisah Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm membunuh Dajjal…, kemudian disebutkan keluarnya Ya`jûj dan Ma`jûj,
“…Dan tatkala (Nabi ‘Isâ) dalam keadaan demikian, maka Allah mewahyukan kepada (Nabi) ‘Isâ, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan sekelompok hamba yang tiada tangan (baca: kekuatan) bagi seorangpun untuk memerangi mereka, maka bawalah hamba-hamba-Ku berlindung ke (bukit) Thûr.” Kemudian Allah mengeluarkan Ya`jûj dan Ma`jûj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi….” [4]
Perhatikan hadits ini, tatkala kekuatan Nabi ‘Isâ ‘alaissalâm dan kaum muslimin yang bersama beliau waktu itu lemah untuk menghadapi Ya`jûj dan Ma`jûj, maka Allah tidak memerintah mereka untuk mengobarkan peperangan dan menegakkan jihad bahkan mereka diperintah untuk berlindung ke bukit Thûr.
Bertolak dari syarat harusnya ada kemampuan dan kekuatan dalam menegakkan jihad, para ulama dari masa ke masa memberi fatwa di atas hal tersebut.
Berkata Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Dan beliau (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) diperintah untuk menahan (tangan) dari memerangi mereka karena ketidakmampuan beliau dan kaum muslimin untuk menegakkan hal tersebut. Tatkala beliau hijrah ke Madinah dan mempunyai orang-orang yang menguatkan beliau, maka beliaupun diizinkan untuk berjihad. Kemudian tatkala beliau lebih kuat maka diwajibkanlah perang terhadap mereka walaupun belum diwajibkan atas mereka memerangi orang-orang yang mereka (kaum muslimin) terkait perdamaian dengannya, karena mereka belum mampu untuk memerangi seluruh orang kafir. Kemudian tatkala Allah menjadikan Makkah takluk terhadap mereka dan telah terputus perlawanan orang-orang Quraisy, sementara itu raja-raja Arab serta berbagai utusan (kabilah-kabilah) Arab berdatangan untuk masuk Islam, maka beliau diperintah untuk memerangi seluruh orang kafir kecuali yang ada perjajian damai sementara, dan beliau diperintah untuk melepas seluruh perdamaian mutlak. Maka yang beliau angkat dan beliau hapuskan adalah meninggal perang.” [5]
Dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya perintah untuk memerangi kelompok bughôt disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemapanan. Memerangi mereka tidaklah lebih pantas dari memerangi kaum musyrikin dan kuffar. Dan sudah dimaklumi bahwa hal tersebut disyaratkan dengan adanya kemampuan dan kemungkinan. Dan kadang yang menjadi mashlahat syar’iy adalah melembutkan hati mereka dengan harta, perdamaian dan perjanjian tidak saling perang, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi (shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam) berulang kali.” [6]
Dan Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’dy rahimahullâh ketika menafsirkan ayat 190-193 dari surah Al-Baqarah, beliau berkata, “Ayat-ayat ini terkandung di dalamnya perintah untuk berperang di jalan Allah. Dan hal ini setelah hijrah ke Madinah, tatkala kaum muslimin telah memiliki kekuatan untuk berperang, maka Allah memerintah mereka dengannya, yang sebelumnya mereka diperintah untuk menahan tangan-tangan mereka.”
Dan Al-Lajnah Ad-Dâ`imah mengeluarkan fatwa dengan nash, “Jihad adalah untuk meninggikan kalimat Allah dan penjagaan terhadap Islam, serta untuk memapankan penyampaian, penyebaran dan penjagaan terhadap kehormatan (Islam). (Ia) wajib bagi siapa yang mapan untuk hal tersebut dan kuat untuk (menegakkannya). Akan tetapi (jihad ini) butuh pengiriman pasukan dan pengaturan. Karena kekhawatiran munculnya kekacauan dan terjadinya hal-hal yang tidak terpuji akibatnya, maka permulaan (jihad itu) dan awal memasukinya adalah merupakan urusan penguasa kaum muslimin. Maka diwajibkan bagi ulama untuk membangkitkan semangat (penguasa) untuk (menegakkan) jihad tersebut. Apabila (penguasa) telah memulai dan menyeru kaum muslimin, maka wajib bagi siapa-siapa yang punya kemampuan untuk memenuhi seruan tersebut dengan mengikhlashkan wajahnya hanya untuk Allah, dengan harapan ia menolong kebenaran dan menjaga Islam. Siapa yang tidak hadir sedangkan telah ada seruan dan tidak memiliki udzur maka ia adalah seorang yang berdosa.” [7]
Dan berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh, “Dalam (jihad) harus ada suatu syarat, yaitu hendaknya kaum muslimin mempunyai kemampuan dan kekuatan yang dengannya mereka mampu menegakkan perang. Kalau mereka tidak mempunyai kemampuan maka menerjunkan diri mereka dalam peperangan adalah melemparkan diri kepada kebinasaan. Karena itu, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ tidak mewajibkan terhadap kaum muslimin untuk berperang ketika mereka masih berada di Makkah, karena mereka tidak mampu lagi lemah. Tatkala mereka hijrah ke Madinah dan mereka menegakkan negara Islam dan mereka telah memiliki kekuatan, merekapun diperintah untuk berperang. Karena syarat merupakan sesuatu yang harus ada. (Kalau tidak terpenuhi) maka gugurlah kewajiban atas mereka sebagaimana halnya seluruh kewajiban (lain). Karena seluruh kewajiban disyaratkan padanya kemampuan berdasarkan firman-Nya Ta’âlâ,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. At-Taghôbun : 16)
Dan firman-Nya,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286).” [8]
Dan diantara hal yang sangat penting yang harus kami ingatkan disini, bahwa selain dari menyiapkan kekuatan fisik, kaum muslimin juga harus menyiapkan kekuatan iman dalam menegakkan jihad tersebut.
Mempersiapkan kekuatan batin adalah dengan membersihkan diri dari segala noda kesyirikan dan menanamkan benih-benih tauhid serta mengikhlaskan segala jenis peribadatan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Bagaimana mungkin kaum muslimin mengharapkan pertolongan dari Allah dalam jihad mereka, sedang mereka berlumpur dengan noda-noda kesyirikan?
Sedang Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah menyatakan kepada Nabi-Nya,
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar : 65)
Bagaimana mungkin mengharapkan kemulian dan kejayaan sedang mereka bergelimang dengan dosa dan maksiat?
Cermatilah pelajaran yang diabadikan dalam Al-Qur`ân tentang sebab kekalahan kaum muslimin di perang Uhud,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Âli ‘Imrân : 165)
Berkata Ibnu Jarîr Ath-Thobary (w. 310 H) rahimahullâh, “(Firman-Nya) “kalian berkata: Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” yaitu kalian berkata tatkala kalian tertimpa musibah di perang Uhud “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” (yaitu) dari sisi mana kekalahan ini, dan dari mana terjadinya apa yang menimpa kami, sedang kami adalah muslimun dan mereka itu orang-orang musyrikun, sedangkan pada kami ada Nabi Allah shollallâhu ‘alaihi wa sallam yang mendapat wahyu dari langit dan musuh kami adalah pengikut kekufuran dan kesyirikan kepada Allah? Maka katakan wahai Muhammad kepada orang-orang yang beriman bersamamu dari kalangan shahabatmu “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”, katakan kepada mereka, bahwa musibah yang menimpa kalian adalah dari kesalahan diri-diri kalian karena kalian menyelisihi perintahku dan kalian meninggalkan ketaatan kepadaku, (musibah tersebut) bukan dari selain kalian, dan bukan dari seorangpun selain kalian.” [9]
Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh, “Kapan orang-orang kafir memperoleh kemenangan, maka hal tersebut hanyalah karena dosa-dosa kaum muslimin yang berakibat kurangnya keimanan mereka. Kemudian kalau mereka bertaubat dengan menyempurnakan keimanan mereka, maka Allah akan menolong mereka, sebagaimana dalam firman-Nya Ta’âlâ,
وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Janganlah kalian bersikap lemah, dan janganlah (pula) kalian bersedih hati, padahal kalianlah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kalian orang-orang yang beriman.” (QS. Âli ‘Imrân : 139)
Dan (Allah) berfirman,
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ
“Dan mengapa ketika kalian ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kalian telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar) kalian berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) diri kalian sendiri”.” (QS. Âli ‘Imrân : 165).” [10]
Dan berkata Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullâh, “Dan demikian pula pertolongan dan kekuatan yang sempurna, hal tersebut hanyalah untuk pemilik keimanan yang sempurna. (Allah) Ta’âlâ berfirman,
إِنَّا لَنَنصُرُ رُسُلَنَا وَالَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ يَقُومُ الْأَشْهَادُ
“Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (QS. Ghôfir : 51)
Dan (Allah) berfirman,
فَأَيَّدْنَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَىٰ عَدُوِّهِمْ فَأَصْبَحُوا ظَاهِرِينَ
“Maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang menang.” (QS. Ash-Shoff : 14)
Maka siapa yang kurang keimanannya, akan kurang bagiannya dari pertolongan dan kekuatan (itu). Karena itu apabila seorang hamba mendapatkan musibah pada dirinya, keluarganya, atau musuhnya dimenangkan atasnya, maka hal tersebut semata karena dosanya, apakah karena meninggalkan kewajiban atau melakukan suatu hal yang diharamkan, dan itu termasuk kekurangan iman.” [11]
[1] Hadits riwayat Muslim no. 1917, Abu Dâud no. 2514, At-Tirmidzy no. 3092 dan Ibnu Mâjah no. 2813 dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir radhiyallâhu ‘anhu.
[2] Hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry no. 7288, Muslim no. 1337, An-Nasâ`i 5/110 dan Ibnu Mâjah no. 1, 2.
[3] Baca keterangan Ibnul Qayyim rahimahullâh dalam Al-Furûsiyah hal. 97.
[4] Hadits riwayat Muslim no. 2937 dan Ibnu Majah no. 4075.
[5] Al-Jawâb Ash-Shohîh 1/237.
[6] Majmû’ Al-Fatâwâ 4/442.
[7] Fatâwâ Lajnah 12/12 dengan ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Bâz sebagai ketua dan Syaikh ‘Abdurrazzâq ‘Afîfy sebagai wakil serta Syaikh ‘Abdulllah bin Qu’ûd dan Syaikh Abdullah bin Ghodayyân sebagai anggota.
[8] Syarhul Mumti’ 8/9-10.
[9] Jâmi’ul Bayân fii Tafsîrul Qur`ân 4/108.
[10] Al-Jawâb Ash-Shohîh 6/450.
[11] Ighôtstul Luhfân 2/182.
(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik-2.html)
Bagian Ketiga
Adapun syarat ketiga, yaitu harus ada negara atau wilayah kekuasaan,
Hal ini nampak dari beberapa keterangan yang telah lalu bahwa kewajiban jihad secara fisik terhadap kaum muslimin adalah setelah terbentuknya negara Islam di Madinah dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam adalah pemimpin mereka.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, “Awal disyariatkannya jihad adalah setelah hijrahnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam ke Madinah menurut kesepakatan para ulama.”[1]
Kemudian di akhir penjelasan tentang jihad hujum ini, kami ingin mengingatkan bahwa menyeru umat untuk menegakkan jihad hujum pada zaman ini berarti ia telah menyeru manusia ke dalam lembah kebinasaan dan jurang kehancuran. Ini tentunya dipahami oleh orang-orang yang memang merupakan juru nasehat umat yang mengetahui keadaan umat kita saat ini, walaupun pengetahuan tentang keadaan umat hanya sedikit.
Hanya kepada Allah kita mengadukan keadaan umat kita yang jauh dari agama mereka sehingga mengakibatkan lemahnya kekuatan mereka. Bendera-bendera kesyirikan dikibarkan di berbagai tempat, baik berupa berdoa kepada wali-wali, mengagungkan kuburan, meminta tolong kepada jin, dedemit dan lain-lain.
Demikian pula bid’ah dan pemahaman bid’ah bertebaran di mana-mana.
Demikian pula perpecahan dan dakwah kepada berbagai kelompok, partai dan jama’ah telah merusak umat dan mencentangperenangkan urusan mereka.
Sedangkan generasi muda umat banyak diantara mereka yang larut dalam kerusan akhlak dan berkiblat kepada budaya dan kebiasaan orang-orang kafir.
Maka kita dari sisi kekuatan keimanan ada kelemahan, dan dari sisi kekuatan fisik dan materi juga ada kelemahan.
Karena itu, kembali kami harus menegaskan disini, bahwa orang-orang yang menyeru manusia untuk menegakkan jihad hujum terhadap orang kafir pada saat ini adalah upaya untuk membinasakan umat tanpa mereka sadari.
Berkata Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah, “Karena itu kalau ada yang bertanya kepada kami “Kenapa kita tidak memerangi Amerika, Rusia, Prancis dan Inggris?” (Jawabannya) karena tidak ada kemampuan. Persenjataan yang telah ketinggalan zaman menurut mereka itulah yang berada di tangan-tangan kita. Dan persenjataan tersebut dihadapan persenjataan mereka bagaikan pisau-pisau menyala dihadapan rudal-rudal, sama sekali tidak memberi manfaat. Maka bagaimana mungkin kita memerangi mereka? Karena itu, saya tegaskan bahwa adalah termasuk kedunguan orang yang berkata, “wajib atas kita untuk memerangi Amerika, Prancis, Inggris dan Rusia”. Bagaimana kita menegakkan perang? Hal ini ditolak oleh hikmah Allah ‘Azza wa Jalla dan ditolok oleh syari’at-Nya. Akan tetapi yang menjadi kewajiban atas kita adalah melaksanakan apa yang Allah ‘Azza wa Jalla perintah dengannya,
وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi.” (QS. Al-Anfal : 60)
Ini yang wajib atas kita, yaitu menyiapkan segenap kemampuan yang kita sanggupi. Dan kekuataan yang paling penting untuk kita siapkan adalah keimanan dan ketakwaan…” [2]
Dan berkata Syaikh Al-Albany rahimahullah, “Karena itu saya tidak hanya berkata seperti yang saya katakan tadi, bahwa saya tidak menganggap ada jihad (sekarang), bahkan saya mentahdzir dari jihad. Karena sarana-sarana jiwa dan materi tidaklah membantu kaum muslimin untuk menegakkan suatu jihad pun, di manapun tempatnya…” [3]
[1] Lihat Fathul Bari 6/4-5 dan Nailul Authar 7/246-247.
[2] Syarah Kitabul Jihad dari Bulughul Maram kaset pertama side A.
[3] Kaset Silsilah Al-Huda wan Nur kaset no. 353 side A. Dan baca catatan kaki Madarikun Nazhor hal. 345 (cet. Kedua).
(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik-3.html)
Bagian Keempat
Jihad melawan orang-orang kafir jenis kedua : Jihad mudafa’ah atau jihad daf’iy (jihad membela atau melindungi diri).
Yaitu apabila kaum kuffar menyerang kaum muslimin atau mengepung negeri kaum muslimin. Maka wajib atas kaum muslimin untuk membela diri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa 28/358-359 mengatakan, “Apabila musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menghadapi mereka adalah wajib atas orang-orang yang diserang langsung, dan juga wajib atas orang yang belum diserang untuk membantu saudara mereka, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ
“Jika (saudara-saudara) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72).”
Dan telah dimaklumi bahwa membantu sesama muslim dalam kebaikan dan ketakwaan adalah perkara yang terpuji, sebagaimana dalam firman-Nya,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma`idah : 2)
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hubungan kasih sayang, rahmat dan berlemah lembut di antara mereka bagaikan satu jasad. Apabila salah satu anggota tubuhnya berkeluh, maka seluruh jasad merasakannya dengan tidak tidur dan rasa panas”. [1]
Dan juga Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan,
“Seorang mukmin pada mukmin lainnya bagaikan satu bangunan yang sebagiannya menguatkan bahagian yang lainnya”. [2]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Adapun jihad daf’iy, dia yang paling wajib di antara seluruh bentuk menahan musuh yang membahayakan kehormatan dan agama, (karena itu) ia adalah wajib menurut kesepakatan (para ulama). Tidak sesuatu yang lebih wajib setelah keimanan dari menolak musuh berbahaya yang akan merusak agama dan dunia. Maka tidak disyaratkan syarat apapun dalam menegakkan (jihad daf’iy) itu bahkan ia membela diri sesuai kemampuan.” [3]
Dan berkata Ibnul Qayyim rahimahullah, “Perlombaan/pertandingan disyari’atkan adalah agar seorang mukmin mempelajari cara berperang, membiasakan dan melatih diri dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa seorang mujahid (orang yang berjihad) kadang ia menghendaki untuk mengusir musuh bila sang mujahid adalah pihak yang diserang dan musuh adalah pihak yang menyerang, dan kadang (seorang mujahid) menghendaki kemenangan terhadap musuh dari permulaannya bila (sang mujahid) merupakan pihak yang menyerang dan musuh adalah pihak yang diserang, dan kadang (seorang mujahid) menghendaki semua dari dua perkara (tersebut). Dalam tiga keadaan tersebut, seorang mukmin diperintah untuk berjihad. Dan jihad daf’iy lebih sulit dari jihad tholab, karena jihad daf’iy mirip dengan bentuk mengusir musuh yang berbahaya. Karena itu, dibolehkan bagi orang yang dizholimi untuk membela dirinya, sebagaimana dalam firman (Allah) Ta’ala,
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.” (QS. Al-Hajj : 39)
Dan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang terbunuh karena ia membela hartanya, maka ia dianggap mati syahid dan siapa yang terbunuh karena ia membela darahnya, maka ia dianggap mati syahid.” [4]
Karena mengusir musuh yang berbahaya terhadap agama adalah terhitung jihad dan qurbah (hal yang mendekatkan diri kepada Allah,-pent.), dan mengusir musuh yang berbahaya terhadap harta dan jiwa adalah hal yang boleh dan ada keringanan, kalau ia terbunuh kerenanya maka ia terhitung mati syahid. Maka jihad daf’iy lebih luas dari jihad tholab dan lebih wajib. Karena itu wajib atas setiap orang untuk menegakkan dan berjihad dengannya, (atas) seorang budak seizin tuannya maupun tidak, anak tanpa izin kedua orang tuanya dan orang yang berhutang tanpa izin dari pemiliknya. Dan ini seperti keadaan jihad kaum muslimin di (perang) Uhud dan Khandaq. Dan tidak disyaratkan dalam jihad jenis ini musuh hanya sejumlah dua kali lipat kaum muslimin atan kurang, karena (jumlah) musuh di perang Uhud dan Khandaq berlipat ganda di atas kaum muslimin dan jihad tetap wajib atas mereka karena waktu itu adalah jihad darurat dan membela diri, bukan jihad alternatif (jihad tholab, pent.)…” [5]
Kemudian kami perlu mengingatkan kepada para pembaca beberapa perkara :
Satu : Ada dua cara dalam menegakkan Jihad Daf’iy :
1. Apabila keadaan memungkinkan untuk menyerahkan urusan kepada penguasa dalam menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan untuk menghadapi musuh, maka mereka wajib meminta pertimbangan kepada penguasa dalam hal tersebut, karena asal jihad itu adalah dengan izin penguasa sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya dan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslimin dimasa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam di perang Khandaq.
2. Apabila musuh telah menyerang mereka dan mereka tidak mampu mengatur urusan dengan menghimpun pasukan dan mempersiapkan peperangan bersama penguasa, maka hendaknya setiap orang berperang membela dirinya sesuai dengan kemampuannya. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa dan lain-lainya. Sebagaimana sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Dan siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia dianggap mati syahid.” [6]
Dan sabda beliau yang lain.
“Siapa yang terbunuh karena membela agamanya, maka ia dianggap mati syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela darahnya, maka ia dianggap mati syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia dianggap mati syahid, dan siapa yang terbunuh karena membela keluarganya, maka ia dianggap mati syahid.” [7]
Berkata Abdullah bin Imam Ahmad (w. 290 H) rahimahumallah, saya mendengar ayahku berkata, “Apabila imam (penguasa) mengizinkan dan rakyat mendapat seruan berjihad maka tidak apa-apa mereka keluar (untuk berjihad).” Saya berkata kepada ayahku, “Kalau mereka keluar tanpa seizin imam?” Beliau menjawab, “Tidak (boleh), kecuali imam mengizinkan, kecuali ada serangan tiba-tiba dari musuh terhadap mereka dan tidak memungkinkan mereka untuk meminta izin dari imam, maka saya berharap perbuatan tersebut termasuk membela kaum muslimin (jihad daf’iy,-pen.).” [8]
Dan berkata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Urusan perang adalah kembali kepada (penguasa). Dia lebih mengetahui jumlah musuh, (cara) memerangi mereka, rahasia-rahasia dan makar mereka. Maka seharusnya kembali kepada pendapatnya, ia lebih berhati-hati terhadap kaum muslimin. Kecuali kalau tidak memungkinkan untuk minta izin darinya dimana musuh yang menyerang mereka secara tiba-tiba, maka tidak wajib untuk meminta izin darinya, karena mashlahat mengharuskan untuk memerangi mereka dan keluar menghadapi mereka serta pasti terjadi kerusakan kalau musuh tidak diperangi. Karena itulah, tatkala orang-orang kafir dengan diam-diam mengambil ternak-ternak Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka ditemui oleh Salamah bin Al-Akwa’ yang sedang keluar dari Madinah, lalu dia mengikuti mereka lalu membunuh mereka tanpa izin. Kemudian Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memuji beliau seraya berkata, “Sebaik-baik pasukan kami adalah Salamah bin Al-Akwa’.” Dan beliau memberikanya jatah (yang didapatkan oleh) seorang prajurit penunggang kuda dan pejalan kaki.” [9]
Dua : Boleh mengadakan perjanjian damai dengan musuh kalau kaum muslimin belum mampu menegakkan jihad daf’iy melawan musuh, kalau pimpinan memandang ada mashlahat dalam hal tersebut.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada perjanjian Hudaibiyah. Dimana beliau tidak memerangi kaum kuffar Makkah untuk membela kaum muslimin dan harta mereka yang masih berada di Makkah.
Tiga : Kalau sama sekali tidak mampu menghadapi musuh, maka boleh untuk tidak memerangai mereka sama sekali.
Hal ini sebagaimana yang telah lalu tentang Nabi ‘Isa ‘alaihissalam yang diperintah untuk berlindung ke bukit Thur karena mereka tidak akan mampu menghadapi Yu`juj dan Ma`juj.
Empat : Kewajiban kaum muslimin menegakkan Jihad Daf’iy untuk membela saudara mereka dari serangan musuh disyari’atkan bila tidak ada perjanjian antara kaum muslimin dengan musuh tersebut.
Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya,
وَإِنِ اسْتَنصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقٌ ۗ
“Jika (saudara-saudaranya) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72)
Berkata Ibnu Kastir rahimahullah menafsirkan ayat di atas, “(Allah) Ta’ala berfirman, kalau mereka orang-orang Arab yang belum berhijrah itu meminta pertolongan kepada kalian dalam perang agama terhadap musuh mereka, maka tolonglah mereka. Sesungguhnya wajib atas kalian untuk menolongnya, karena mereka adalah saudara-saudara kalian seagama, kecuali kalau mereka meminta pertolongan kepada kalian terhadap sekelompok kaum kafir “yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka”, yaitu perjanjian perdamaian hingga waktu (tertentu), maka jangan kalian merusak janji kalian dan jangan kalian membatalkan sumpah yang kalian berjanji dengannya. Dan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.”
Berkata Al-Qurthuby (w. 671 H) rahimahullah, “Kecuali mereka meminta pertolongan kepada kalian terhadap kaum kuffar yang telah ada antara kalian dan mereka perjanjian, maka jangan kalian menolong mereka terhadap musuhnya dan jangan kalian membatalkan janji kalian hingga sempurna waktu (yang telah disepakati).” [10]
Bertolak dari keterangan di atas, bila sebuah negeri Islam telah mengadakan perjanjian damai dengan negeri kafir, maka bila negeri kafir tersebut menzholimi negeri Islam yang lain maka tidaklah benar bila negeri Islam pertama membantu saudaranya. Kecuali kalau yang membantu mereka negeri Islam lain yang tidak terikat perjanjian damai, maka hal tersebut diperbolehkan sebagaimana dalam kisah Abu Bashir, Abu Jandal dan kaum muslimin yang lainnya, dimana mereka tidak terikat dengan perjanjian Hudaibiyah dan juga tidak bergabung dengan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada saat itu.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan kandungan faedah kisah perjanjian Hudaibiyah, “Penjanjian yang terjadi antara Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin, bukanlah perjanjian antara Abu Bashir dan teman-temannya dengan mereka. Dibangun di atas ini bila ada perjanjian antara sebagian raja kaum muslimin dan sebagian Ahludz Dzimmah dari kalangan Nasharô dan selainnya, maka boleh bagi raja kaum muslimin yang lain untuk memerangi mereka dan mengambil ghanimah (harta rampasan perang) dari mereka bila tidak ada perjanjian antara raja tersebut dengan mereka. Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam (Ibnu Taimiyah, pent.) tentang Nasharô Mulathyah dan menawam mereka, berdalilkan kisah Abu Bashir (menyerang) kaum musyrikin.”[11]
Lima : Dari seluruh keterangan di atas, nampaklah bahwa kalimat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah “Tidak ditetapkan syarat apapun dalam menegakkan (jihad daf’iy) bahkan ia membela diri sesuai kemampuan” tidak berlaku secara mutlak sebagaimana sangkaan sebagian orang yang salah menempatkan ucapan beliau ini, sehingga mereka kadang mengobarkan Jihad Daf’iy tanpa mempertimbangkan mashlahat dan mafsadat-nya, tanpa menjaga ketentuan untuk tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar, tanpa membedakan antara kafir yang terjalin perjanjian damai dengannya atau tidak. Mereka lupa bahwa Syaikhul Ibnu Taimiyah adalah orang yang sangat menjaga ketentuan dalam hal-hal tersebut. Dan kisah beliau sangatlah masyhur ketika beliau menasehati penguasa agar mengobarkan perang menghadapi tentara Tatar yang akan menyerang Negeri Syam waktu itu.
Wallahu Ta’ala A’lam.
[1] Hadits An-Nu’man bin Al-Basyir radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 6011 dan Muslim no. 2586.
[2] Hadits Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary no. 481, 2446, 6026, Muslim no. 2585, At-Tirmidzy no. 1933 dan An-Nasa`i 5/79.
[3] Al-Ikhtiyarat Al-Fiqhiyah hal. 532 dan Al-Fatawa Al-Kubrô 4/608.
[4] Akan datang takhrijnya.
[5] Al-Furusiyah hal. 187-189.
[6] Hadits ‘Abdullah bin ‘Amru radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 2480, Muslim no. 141, Abu Daud no. 4771, At-Tirmidzy no. 1423-1424 dan An-Nasa`i 7/114-115.
[7] Diriwayatkan oleh Ahmad 1/187, 189, 190, Ath-Thayalisi no. 233, 239, Abu Daud no. 4772, At-Tirmidzy no. 1422, 1425, An-Nasa`i 7/115-116, Ibnu Majah no. 2580, Al-Bazzar no. 1259, 1260, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 3194, 4790, Ath-Thabarany 1/no. 352-354, dan lain-lainnya, sebagaian meriwayatkan secara lengkap dan ada yang hanya meriwayatkan sebagian konteks saja. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Irwa’ 3/164 no 708.
[8] Al-Masa`il dari riwayat ‘Abdullah 2/258.
[9] AL-Mughni 13/33-34, penerbit Hajar, cetakan kedua tahun 1413H/1992M.
[10] Al-Jami’ Li Ahkamil Qur`an 8/57.
[11] Baca Zadul Ma’ad 3/309.
(http://jihadbukankenistaan.com/menyelami-jihad/pembagian-jihad-melawan-kafir-secara-fisik-4.html)
Pembagian Orang Kafir dalam Islam
Melihat berbagai peristiwa teror yang terjadi di berbagai negara, apalagi hal tersebut dituduhkan identik dengan syari’at yang mulia nan suci, melihat banyaknya kebingungan di kalangan kaum muslimin akibat syubhat (kerancuan) dan racun yang disusupkan oleh musuh-musuh Islam tentang terorisme dan melihat salah “terjemah” terhadap kalimat terorisme dan salah menempatkannya. Maka kami mengangkat fatwa-fatwa para ulama besar yang merupakan lentera di tengah gulita dan kelompok yang terus-menerus menampakkan kebenaran di setiap zaman sebagaimana dalam hadits yang mutawatir, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
“Terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mereka tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari kiamat) dan mereka dalam keadaan seperti itu”.
Tulisan ini juga sebagai penjelasan hakikat syari’at Islam yang mulia dan agung.
Dan tulisan ini juga sebagai bantahan terhadap orang-orang yang penuh dengan nista pemikiran sesat dan bergelimang dengan lumpur penyimpangan yang menodai nama Islam dengan ulah terorismenya.
Dan sebagai bantahan terhadap orang-orang jahil dan bodoh yang menampilkan dirinya sebagai ahli fatwa yang berani mengucapkan statement yang mengidentikkan Islam dengan terorisme.
Dan yang lebih aneh lagi ucapan kotor ini keluar dari orang yang mengaku dirinya Ahlus Sunnah. Simak kalimatnya yang menyanjung pelaku peledakan gedung WTC dan Pentagon pada tanggal 11 September 2001 : “Serangan berani penuh kepahlawanan dari para pemuda yang kecewa dengan kecongkakan Amerika Serikat” dan simak ucapannya yang lain “Kalau ditanya kepada kami :Bagaimana serangan terhadap Amerika itu, maka kami mengatakan bahwa cara itu tidak benar menurut pandangan syari’at. Kemungkinan besar memang Usamah berada di belakang penyerangan terhadap WTC dan Pentagon. Walaupun cara bunuh diri itu salah, bagi kami sasarannya benar. Kami memberi “applaus” kepada sasaran seperti itu”.
Kami angkat tulisan ini dengan harapan mengembalikan kaum muslimin kepada agama yang lurus dan mengangkat derajat mereka di dunia dan di akhirat. Amin.
Orang kafir dalam syari’at Islam ada empat macam :
Pertama : Kafir Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti ini tidak boleh dibunuh selama ia masih menaati peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka.
Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim :
قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS. At-Taubah : 29).
Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda :
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata : “Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil (mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan kepada Allah kemudian perangi mereka”.
Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata :
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.
Kedua : Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah dibuat.
Allah Jalla Dzikruhu berfirman :
فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
Dan Allah berfirman :
إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدتُّم مِّنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi dari kalian sesuatu pun (dari isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 4).
dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan dalam firman-Nya :
وَإِن نَّكَثُوا أَيْمَانَهُم مِّن بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنتَهُونَ
“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. At-Taubah : 12).
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr riwayat Bukhary :
“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.
Ketiga : Kafir Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh dibunuh sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
وَإِنْ أَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah : 6).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan :
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. (HSR. Bukhary-Muslim).
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.
Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata :
“Wahai Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka bahwa ia boleh membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.
Keempat : Kafir Harby, yaitu kafir selain tiga di atas. Kafir jenis inilah yang disyari’atkan untuk diperangi dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam syari’at Islam.
Demikianlah pembagian orang kafir oleh para ulama seperti syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy, syeikh Ibnu ‘Utsaimin, ‘Abdullah Al-Bassam dan lain-lainnya. Dan bagi yang menelaah buku-buku fiqih dari berbagai madzhab akan menemukan benarnya pembagian ini. Wallahul Musta’an.
(http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=Aqidah&article=76)