Tanya: Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh. Beberapa hari yang lalu, selepas sholat Jum’at di masjid dekat rumah saya, tiba-tiba diumumkan bahwasanya ada salah seorang yang meninggal dunia. Kemudian dilakukan sholat Ghoib. Pertanyaannya, apa dan bagaimana sholat Ghoib itu? Apa syarat-syaratnya? Bagaimana pula hukumnya? Jazakallahu khoiron katsiron.
Jawab: Wa ‘alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh. Sebenarnya tidak ada definisi khusus tentang sholat Ghoib, namun agar sudara lebih memahami, maka gambaran sederhananya ialah: kita mensholatkan seseorang yang telah diketahui meninggal dunia di suatu daerah, sedang jenazahnya tidak hadir di hadapan kita / tidak hadir di tempat kita. Kemudian, sholat Ghoib dilakukan sama seperti halnya sholat jenazah biasa.
Asal munculnya istilah sholat Ghoib adalah berdasarkan satu hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian raja Najasyi pada harinya kemudian keluar bersama para sahabatnya menuju lapangan lalu membuat shaf dan bertakbir empat kali. (HR Bukhori Muslim dari sahabat Abu Hurairoh).
Adapun mengenai hukumnya, para ahli ilmu berselisih hingga tiga pendapat yang masyhur.
Pertama: bahwa sholat ghoib disyariatkan dan ia adalah sunnah, ini pendapatnya Syafi’i dan Ahmad, berdalil dengan hadits di atas.
Kedua: hukum ini berlaku khusus bagi jenazahnya raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya, ini pendapatnya Malik dan Abu Hanifah dengan dalil bahwa peristiwa sholat Ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.
Ketiga: mengkompromikan / menjamak antara dalil-dalil, yakni apabila seseorang meninggal dunia di suatu daerah / negeri dan belum / tidak ada yang mensholatkannya, maka dilakukan sholat Ghoib, seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas raja Najasyi karena ia meninggal di lingkungan / tempat orang-orang kafir dan belum disholatkan. Adapun jika telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat Ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dirajihkan oleh Al Khattabi, serta Abu Dawud membuat bab tentangnya dalam Sunannya, dikuatkan pula oleh Al Albany dan Muqbil bin Hadi Al Wadi’i -semoga Allah merahmati semuanya-.
Di antara pendapat-pendapat ini yang kami lihat lebih kuat dan menurut kami lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang ketiga. Wal ‘ilmu ‘indallah.