Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya,
“Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah Al-Haramain (Makkah dan Madinah –pent)?
Maka beliau menjawab,
Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.
Sebagai contoh: Apabila hilal telah nampak di Kota Makkah, dan sekarang adalah hari ke sembilan (di Makkah), hilal juga terlihat di negeri yang lain satu hari lebih cepat daripada Makkah sehingga hari Arafah (di Makkah) adalah hari kesepuluh bagi mereka. Maka mereka tidak boleh berpuasa karena hari tersebut adalah hari raya.
Demikian pula sebaliknya, jika di suatu negeri ru’yahnya lebih lambat daripada Makkah maka tanggal sembilan di Makkah merupakan tanggal delapan bagi mereka. Maka mereka berpuasa pada hari ke sembilan (menurut negeri mereka) bersamaan dengan tanggal sepuluh di Makkah. Ini merupakan pendapat yang kuat. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah” (Dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari Kitab Ash-Shaum, Bab Hal Yuqal Ramadhan (1900) dan Muslim di Kitab Ash-Shiyam, Bab Wujubus Shaum (20)(1081)).
Orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian.
(Fatawa Ahkamis Shiam no. 405. Diterjemahkan oleh Abu Umar Al-Bankawy, muraja’ah Al-Ustadz Abdul Mu’thi Al-Maidani)