Indonesia sebagai sebuah negara muslim terbesar ternyata masih menyimpan sejumlah kebudayaan yang menurut kacamata agama sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai fundamental di dalam Islam. Lihat saja seperti acara Grebeg Suro yang setiap tahunnya selalu berulang di berbagai tempat di tanah air. Acara yang selalu diisi dengan pelepasan sesaji, kapala kerbau, nasi tumpeng atau yang lainnya ini menurut banyak kalangan “hanya sebuah ritual” atau “upaya melestarikan budaya leluhur”.
Padahal apabila setiap muslim mau mengevaluasi kembali dan mencocokkannya dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menurut pemahaman yang benar (shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in), pasti mereka akan mendapati dengan jelas penyimpangan yang nyata dari acara-acara tersebut terhadap syari’at yang suci ini.
Grebeg Suro berikut acara pelepasan sesajiannya dengan maksud apa pun adalah pelanggaran yang besar terhadap ajaran Islam. Umumnya para penyelenggara dan peserta berharap kepada Sang Pencipta bahwa dengan acara ini mereka diberi keselamatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta maksud-maksud yang lainnya. Dan tidak sedikit juga -dari mereka- yang mengharapkan hal serupa dari para leluhur??! (KOMPAS 21.1.07).
Ritual lain yang tidak kalah hebat adalah upacara persembahan yang biasanya diadakan selang terjadinya suatu musibah gunung meletus, banjir, atau musibah lainnya, seperti yang terjadi beberapa waktu belakangan ini di Porong Sidoarjo. Alih-alih mencetuskan teknologi mutakhir untuk menghentikan semburan lumpur panas, yang terjadi malah mengadakan upacara pemberian sesaji, sekian ekor kerbau rencananya akan dikurbankan guna menghentikan bencana nasional ini?! Belum lagi acara serupa yang mewarnai upaya pencarian korban penumpang KM Senopati Nusantara, Pesawat Adam Air dan serentetan musibah lainnya.
Di dalam Islam tidak dibenarkan (baca: haram) memberikan ibadah apapun kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam kondisi sempit maupun lapang. Ketika seseorang dalam keadaan terjepit seperti tertimpa musibah, penyakit atau yang lainnya atau dalam keadaan senang, sehat wal a’fiat, aman dan tentram. Kalau ada yang mengatakan “acara-acara tersebut diselenggarakan bukan dalam rangka ibadah!” Ketahuilah ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i Allah apakah berupa perkataan atau perbuatan yang terlahir maupun tersembunyi. Inilah pengertian ibadah menurut Islam.
Kapan suatu perbuatan tersebut dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti ada perintah untuk mengerjakannya, diantara contohnya seperti berkurban,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah”. (QS. Al Kautsar: 2),
atau adanya pujian seperti berdoa, cemas, harap dan khusyu’ (khidmat),
ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam kebaikan dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami. (Qs. Al Anbiya’: 90)
serta indikasi lainnya yang mengisyaratkan perbuatan tersebut adalah ibadah, maka haram hukumnya diperuntukkan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
“Maka janganlah kamu beribadah kepada yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang di’azab”. (Qs. Asy-Syu’araa: 213)
ذَٰلِكَ مِمَّا أَوْحَىٰ إِلَيْكَ رَبُّكَ مِنَ الْحِكْمَةِ ۗ وَلَا تَجْعَلْ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتُلْقَىٰ فِي جَهَنَّمَ مَلُومًا مَّدْحُورًا
“Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabb kepadamu. Dan janganlah kamu mengadakan sesembahan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu dilemparkan ke dalam neraka dalam keadaan tercela lagi dijauhkan (dari rahmat Allah)”. (Qs. Al Israa’: 39)
Kembalinya kesyirikan kepada ummat seperti yang memfenomena di zaman ini persis seperti yang pernah dikabarkan Nabi yang mulia Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada salah satu sabdanya,
“Tidak akan pergi siang dan malam sampai diibadahinya kembali Latta dan Uzza”.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Rahimahullah di dalam risalahnya Al Qawaidul Arba’ dan yang lainnya menerangkan bahwa kesyirikan yang terjadi di zaman ini lebih dahsyat daripada kesyirikan yang dahulu dilakukan oleh orang-orang musyrikin generasi pertama. Alasannya –menurut beliau- ada dua:
Yang pertama kesyirikan musyrikin terdahulu hanya pada kondisi aman, tentram tapi apabila mereka terjepit karena suatu musibah atau yang lainnya mereka tidak lagi menyeru apa dan siapa pun selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata dan lenyaplah dari mereka semua yang selalu mereka seru (ibadahi) selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala nyatakan di dalam Al Qur’an pada ayatnya,
وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَن تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ ۖ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ ۚ وَكَانَ الْإِنسَانُ كَفُورًا
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (Qs. Al Israa’: 67)
فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa hanya kepada Allah semata; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah), (Qs. Al Ankabut:65)
Sedangkan orang-orang sekarang kesyirikan mereka kontinyu di saat lapang dan susah. Di saat lapang mereka biasa menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan di saat susah kesyirikan mereka semakin menjadi-jadi. Apabila ada yang sakit mereka pergi ke dukun meyembelih ayam cemani, apabila ada bencana kepala kerbau adalah syarat yang tidak boleh ditinggalkan untuk sebuah persembahan. Hasbunallahu wani’mal wakiil.
Yang kedua, kalau dahulu kesyirikan musyrikin generasi pertama hanya dalam perkara ibadah (uluhiyyah) saja dan untuk urusan rububiyyah (penciptaan, kepemilikan dan pengaturan) mereka memurnikannya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ ال
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi”, niscaya mereka menjawab:”Allah”. (Qs. Az-Zumar: 38)
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ ۖ فَأَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (Qs. Al Ankabuut: 61)
Sedangkan orang-orang sekarang kesyirikan mereka lengkap, dalam perkara uluhiyyah dan rububiyyah. Dalam perkara ibadah (uluhiyyah) mereka menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan dalam perkara rububiyyah mereka juga menyekutukan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sehingga kita mengenal ditengah-tengah mereka istilah “penguasa laut selatan”, “penunggu merapi” serta istilah lainnya yang menandakan kesyirikan mereka yang sampai kepada taraf rububiyyah, padahal Abu Jahal dan orang-orang musyrikin terdahulu tidak pernah sampai terjatuh ke dalamnya.
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا فِيهِنَّ ۚ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Al Maidah: 120)
Banyak orang mulai menyadari bahwa musibah dan bencana yang silih berganti menimpa belakangan ini berkaitan erat dengan semakin maraknya kemaksiatan di berbagai tempat di tanah air, apa pun alasannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنبِهِ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُم مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُم مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُم مَّنْ أَغْرَقْنَا ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَٰكِن كَانُوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka diantara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan diantara mereka ada yang ditimpa suara keras yang menguntur, dan diantara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan diantara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”. (Qs. Al Ankabut: 40)
Sehingga banyak orang mulai mengingkari perzinaan, prostitusi, pornografi, korupsi, kolusi, judi, serta kemaksiatan lainnya. Tapi tragisnya sedikit saja yang mengingkari kesyirikan yang merebak di tengah-tengah ummat Islam, pemujaan-pemujaan kepada jin, kepercayaan-kepercayaan kepada dukun, tukang tenung, paranormal dan “orang pintar”.
Hal ini terjadi akibat rusaknya standar keimanan kebanyakan ummat Islam sehingga hatinya tidak lagi berfungsi dalam menilai sebuah penyimpangan. Sekedar contoh apabila kita membaca sebuah headline di surat kabar: “Seorang Anak Berzina dengan Ibu Kandungnya”, badan serasa bergetar dan hati menjadi kaget mengingkari kemaksiatan tersebut. Tapi apabila kita membaca pada sebuah kolom di salah satu harian yang beredar, “Mbah Marijan Memimpin Ritual Ke Puncak Merapi”, kebanyakan kita membacanya sebagai sebuah informasi yang menghibur. Padahal kesyirikan adalah dosa yang paling besar, pelaku kesyirikan terancam kekal di neraka jahannam dan dengan kesyirikan amalan ibadah sepanjang umur menjadi gugur serta kerugian-kerugian lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ ۖ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:”Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (Qs. Lugman: 13)
إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (Qs. Al Maidah: 72)
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelummu:”Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (Qs. Az-Zumar: 65)
Apalagi ternyata kesyirikan adalah sumber utama terjadinya berbagai macam bencana. Bukankah bencana-bencana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala timpakan kepada ummat terdahulu adalah akibat dari penolakan mereka untuk meninggalkan kesyirikan?!
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَىٰ ۖ كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَّسُولُهَا كَذَّبُوهُ ۚ فَأَتْبَعْنَا بَعْضَهُم بَعْضًا وَجَعَلْنَاهُمْ أَحَادِيثَ ۚ فَبُعْدًا لِّقَوْمٍ لَّا يُؤْمِنُونَ
“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya, maka Kami perikutkan sebagian mereka dengan sebagian yang lain (kami binasakan mereka sebagaimana yang lain). Dan Kami jadikan mereka buah tutur (manusia), maka kebinasaanlah bagi orang-orang yang tidak beriman. (Qs. Al Mu’minun: 44)
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا
أَن دَعَوْا لِلرَّحْمَٰنِ وَلَدًا
“Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. (Qs. Maryam: 90-91)
Apabila kita telah mengetahui ini semua, masih pantaskah seorang muslim menganggap remeh dosa yang seperti ini ancaman dan akibatnya?! Dengan mengatakan “Sebagai upaya menjaga warisan leluhur”, atau “Ini adalah sumber devisa dalam bidang pariwisata”. Ketahuilah ini semua bukan sekedar ritual semata!! Tapi ritual yang akan berujung kepada kesengsaraan dunia dan akhirat kita. Wallahua’lam bis Shawab.
(Dikutip dari email Tim Ahlussunnah Jakarta, judul asli Bukan Sekedar Ritual, tulisan Al Ustadz Ja’far Shalih, Jakarta)