Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
MENJAUHI KEBID’AHAN DAN PELAKUNYA
al-Muzani rahimahullah menyatakan:
وَالْإِمْسَاكُ عَنْ تَكْفِيْرِ أَهْلِ الْقِبْلَةِ وَالْبَرَاءَةِ مِنْهُمْ فِيْمَا أَحْدَثُوْا مَا لَمْ يَبْتَدِعُوْا ضَلاَلاً فَمَنِ ابْتَدَعَ مِنْهُمْ ضَلاَلاً كَانَ عَلَى أَهْلِ الْقِبْلَةِ خَارِجًا وَمِنَ الدِّيْنِ مَارِقًا وَيُتَقَرَّبُ إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِالْبَرَاءَةِ مِنْهُ وَيُهْجَرُ وَيُحْتَقَرُ وَتُجْتَنَبُ غُدَّتُهُ فَهِيَ أَعْدَى مِنْ غُدَّةِ الْجَرَبِ
dan menahan diri dari mengkafirkan Ahlul Kiblat (muslim) dan berlepas diri dari mereka dari apa-apa yang diadakan, sepanjang mereka tidak melakukan kebid’ahan yang sesat. Barangsiapa yang melakukan kebid’ahan yang sesat (yang sampai pada taraf kafir), maka keluar dari Ahlul Kiblat dan agama (Islam). Dan (kita) bertaqorrub kepada Allah Azza Wa Jalla dengan berlepas diri darinya (kebid’ahan). Diboikot, dihinakan, dan dijauhi penyakitnya yang lebih menular dibandingkan penyakit kurap.
PENJELASAN:
Poin-poin penting yang disampaikan Imam al-Muzani dalam kalimat ini adalah:
- Tidak gegabah dalam mengkafirkan seseorang yang sebelumnya jelas keislamannya (hal ini sudah dibahas dalam bab Hakikat Keimanan).
- Jika seseorang melakukan kebid’ahan yang sampai pada taraf kekafiran, ia telah keluar dari Islam.
- Menjauhi kebid’ahan dan Ahlul Bid’ah.
Hal-hal lain yang perlu dijelaskan adalah:
4. Definisi bid’ah
5. Setiap bid’ah adalah sesat.
Menjauhi Kebid’ahan dan Ahlul Bid’ah
Al-Muzani menyatakan: Dan (kita) bertaqorrub kepada Allah Azza Wa Jalla dengan berlepas diri darinya (kebid’ahan).
Menjauhi kebid’ahan adalah salah satu bentuk ibadah yang dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Para Ulama’ menjelaskan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu: mufassiqoh (menyebabkan seseorang menjadi fasiq/ tidak sampai pada taraf kafir) dan mukaffiroh (menyebabkan seseorang menjadi kafir)(penjelasan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dalam arRadd alar Rifa’i wal Buuthy ala kadzbihima ala ahlissunnah (1/20)).
Pada setiap khutbah Jumat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam senantiasa memperingatkan kaum muslimin dari bahaya bid’ah, padahal saat itu belum ada satupun kebid’ahan. Beliau selalu menyatakan:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Amma Ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan. Dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R Muslim no 1435 dari Jabir bin Abdillah)
Dalam hadits Irbadh bin Sariyyah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Berhati-hatilah (jauhilah) perkara-perkara yang diada-adakan, karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Albany).
Perintah untuk menjauhi Ahlul Bid’ah juga disebutkan dalam al-Qur’an. Mari kita simak ayat berikut dan penjelasan dari al-Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya:
وقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الكِتَابِ أَنْ إذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا ويُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ إنَّ اللهَ جَامِعُ المُنَافِقِينَ والْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan dalam al-Kitab bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam (Q.S anNisaa’:140)
Al-Imam al-Qurthuby menyatakan:
Ini menunjukkan wajibnya meninggalkan para pelaku kemaksiatan jika nampak jelas kemungkaran dari mereka. Karena barangsiapa yang tidak menjauhi mereka, maka ia telah ridha dengan perbuatan mereka. Keridhaan terhadap kekufuran adalah kekufuran. Allah menyatakan: “Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka”. Setiap orang yang duduk dalam majelis maksiat dengan tidak mengingkarinya maka ia bersama mereka, sama-sama berdosa. Semestinya mengingkari mereka ketika berbicara dan berbuat kemaksiatan. Kalau tidak mampu mengingkari mereka, mestinya bangkit meninggalkan mereka, sehingga ia tidak termasuk yang disebut dalam ayat ini….Jika telah jelas (perintah) meninggalkan pelaku kemaksiatan sebagaimana yang telah kami jelaskan, maka meninggalkan Ahlul Bid’ah dan pengikut hawa nafsu adalah lebih utama (Tafsir al-Qurthuby (5/418))
Salah satu ciri Ahlul Bid’ah adalah suka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat (samar) dan meninggalkan ayat yang muhkam (jelas).
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
فَإِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
Jika kalian melihat orang-orang yang (suka) mengikuti ayat mutasyabihat, maka mereka itu adalah yang Allah sebut (dalam surat Ali Imran ayat 7), maka berhati-hatilah dari mereka (H.R al-Bukhari no 4183 dan Muslim no 4817).
Namun, yang harus dipahami adalah tidak setiap orang yang sekedar melakukan perbuatan kebid’ahan langsung divonis sebagai Ahlul Bid’ah. Bisa saja ia adalah orang awam yang tidak tahu apa-apa sekedar ikut-ikutan, maka hendaknya kepada mereka diajarkan tentang sunnah Nabi, didoakan hidayah, dan dibimbing.
Tampak dari penjelasan al-Imam al-Qurthuby di atas bahwa kebid’ahan adalah kemungkaran yang harus diingkari. Maka barangsiapa yang mampu mengingkarinya dengan tangan, maka lakukanlah. Jika tidak, bisa dengan lisan. Jika tidak mampu juga karena keterbatasan yang ada, maka dengan hati.
Syaikh Ubaid al-Jabiri hafidzhahullah menyatakan:
…”dan semua hal baru yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah. Jika ada seseorang muslim melakukan kebid’ahan, mengetahuinya, dan menentang, maka hendaknya (muslim lain) berlepas diri darinya dan memboikotnya jika memiliki kemampuan dalam meng-hajr (menjauhi)nya. Selama tidak ada menghasilkan mafsadah yang lebih besar dibandingkan maslahat yang diharapkan. Dalam hal ini dilihat 2 keadaan:
Yang pertama, jika Ahlussunnah kuat maka mereka menghinakan Ahlul Bid’ah dan bersikap keras dalam ucapan, mengupayakan berbagai upaya untuk mengingkari, menghinakan, dan memperingatkan (umat) dari mereka, hingga mereka terhalangi dari kaum muslimin lain dan tidak bisa membuat kerusakan pada agama mereka.
Yang kedua, jika keadaannya adalah sebaliknya. Jika kedudukan Ahlul Bid’ah kuat, maka Ahlussunnah mencukupkan diri dengan membantah kebid’ahan hingga membersihkan agama Allah, dan hingga orang yang memiliki hati dan mau menyimak dengan baik, serta Diennya hidup (bisa mengambil manfaat, pent). Diharapkan saat seseorang memperingatkan (bahaya) kebid’ahan dan menjelaskan bahwa hal itu adalah bid’ah dengan dalil alQuran dan asSunnah (orang-orang semacam itu) bisa memahami dan meninggalkan kebid’ahan dan Ahlu Bid’ah. Kadangkala seorang muslim mendapatkan ujian sehingga tidak mampu memisahkan diri dari Ahlul Bid’ah karena mereka memiliki kekuasaan, atau karena jumlahnya banyak, atau karena kekuatan, dan sebagainya, maka dalam keadaan ini Allah tidaklah membebani di atas kemampuannya. Jika ia mampu untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar, memperingatkan dari bid’ah, maka silakan dilakukan. Namun jika ia dikalahkan dalam keadaannya (dalam posisi lemah) dan tidak mampu ber-amar ma’ruf nahi munkar, maka ia mencukupkan mengingkari dengan hati, dan menghibur diri dengan ayat ini:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, wajib bagi kalian menjaga diri kalian (sendiri). Tidaklah orang – orang yang tersesat bisa menimbulkan mudharat bagi kalian jika kalian mendapat petunjuk (Q.S al-Maidah:105) (transkrip ceramah Syaikh Ubaid al-Jabiri dalam menjelaskan Syarhus Sunnah lil Muzani)
Definisi Bid’ah
Definisi bid’ah secara bahasa artinya adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam alQur’an ada penyebutan lafadz bid’ah secara bahasa tersebut, di antaranya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allahlah yang mengadakan langit dan bumi (tanpa contoh sebelumnya)(Q.S alBaqoroh:117).
Bid’ah secara syariat dijelaskan oleh al-Imam asySyathiby sebagai:
طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا اْلمبَالَغَة فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ
Jalan dalam beragama yang diada-adakan, yang menandingi syariat, tujuan menempuh jalan itu adalah berlebihan dalam ta’abbud (beribadah) kepada Allah (al-I’tishom (1/11)).
Berdasarkan penjelasan al-Imam asy-Syathiby di atas nampak jelas beberapa karakteristik sesuatu hal dikatakan sebagai bid’ah :
1) Telah menjadi sebuah ‘jalan’.
Bukan sesuatu hal yang sekedar ‘pernah’ dilakukan, tapi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan, sehingga menjadi ‘jalan’.
2) Dalam urusan Dien (bukan duniawi).
Dalam urusan duniawi dipersilakan berinovasi seluas-luasnya selama tidak ada larangan dari alQur’an maupun Sunnah Rasul shollallaahu ‘alaihi wasallam.
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
Kalian lebih tahu tentang urusan duniawi kalian (H.R Muslim)
Karena itu tidaklah disebut bid’ah berbagai piranti kemajuan teknologi seperti mobil, hp, internet, dan sebagainya.
3) Diada-adakan, tidak ada dalilnya.
Tidak ada dalil shahih yang menjadi landasannya. Jika ada dalil, bisa berupa hadits lemah atau hadits palsu, atau ayat yang ditafsirkan tidak pada tempatnya.
4) Menandingi syariat
Tidaklah seseorang melakukan sesuatu bid’ah kecuali Sunnah yang semisalnya akan mati.
Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِثْلُهَا مِنَ السُّنَّةِ
Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah, kecuali akan terangkat Sunnah yang semisal dengannya (H.R Ahmad dari Ghudhaif bin al-Haarits, dan Ibnu Hajar menyatakan bahwa sanad hadits ini jayyid (baik) dalam Fathul Baari (13/253))
Contoh: bacaan-bacaan setelah selesai sholat fardlu banyak disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Namun, ada seseorang yang karena merasa mendapatkan ijazah bacaan dari gurunya (meski tidak ada dalilnya dari hadits Nabi), selalu mengulang-ulang bacaan yang diajarkan tersebut setelah selesai sholat. Misalkan, membaca Laa Ilaaha Illallaah 333 kali, disertai keyakinan keutamaan-keutamaannya (memperlancar rezeki, kewibawaan, dsb). Akibatnya, ia akan tersibukkan dengan amalan dari gurunya tersebut dan meninggalkan Sunnah Nabi yang sebenarnya.
Tidaklah disebut sebagai bid’ah, jika hal itu tidak menandingi syariat, namun justru sebagai sarana yang mendukungnya. Hal – hal ini disebut oleh para Ulama’ sebagai al-mashalihul mursalah seperti pembukuan al-Quran, penyusunan ilmu nahwu, pembangunan madrasah, dan semisalnya.
5) Niat melakukannya adalah sebagaimana orang berniat dalam melakukan syariat (untuk mendekatkan diri kepada Allah).
(Penjelasan ini disarikan dari Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalusy Syaikh dalam Syarh Arbain anNawawiyyah).
Setiap Bid’ah adalah Sesat
Jika kita telah memahami definisi bid’ah (secara syariat), maka kita akan membenarkan sabda Nabi yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat.
Kalaupun ada pernyataan yang mengesankan bahwa bid’ah itu ada yang tidak sesat dari para Ulama’, maka itu adalah definisi secara bahasa. Pembagian definisi bid’ah secara syariat dan secara bahasa ini dijelaskan oleh al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:
والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه
Bid’ah itu terbagi dua. Kadangkala berupa bid’ah syar’iyyah, seperti sabda Nabi: “Sesungguhnya setiap hal-hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”. Kadangkala bid’ah secara bahasa. Seperti ucapan Amirul Mukminin Umar bin al-Khotthob radhiyallahu anhu tentang menggabungkan manusia dalam sholat tarawih dan dilakukan terus menerus, beliau menyatakan: sebaik-baik bid’ah adalah ini (Tafsir Ibnu Katsir (1/398) ketika menafsirkan surat alBaqoroh ayat 117).
Silakan disimak ucapan para Sahabat Nabi yang memperjelas Sabda Nabi yang menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah sesat:
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridlainya- berkata:
اتبَّعِوُا وَلاَ تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيْتُمْ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Ikutilah (Sunnah Nabi) janganlah melakukan bid’ah, karena sesungguhnya kalian telah dicukupi, dan seluruh bid’ah adalah sesat (diriwayatkan oleh Abu Khoytsam dalam Kitabul Ilm dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
Ibnu Umar –semoga Allah meridlainya- berkata:
كلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
Semua bid’ah adalah sesat sekalipun manusia memandangnya baik (diriwayatkan oleh alBaihaqy dalam al-Madkhal dan Muhammad bin Nashr alMarwazy dalam as-Sunnah)
Muadz bin Jabal –semoga Allah meridlainya- berkata:
فَإِياَّكُمْ وَمَا يُبْتَدَعُ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَة
Berhati-hatilah kalian dari perkara yang diada-adakan, karena perkara yang diada-adakan (dalam Dien) adalah sesat (Hilyatul Awliyaa’ (1/233)).
Ucapan-ucapan para Sahabat Nabi di atas jelas sekali menunjukkan bahwa semua bid’ah adalah sesat.
Berikut ini adalah ucapan-ucapan lain dari para Sahabat Nabi tentang perintah menjauhi kebid’ahan dan amal ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi dan para Sahabatnya:
Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
Ibnu Abbas –semoga Allah meridlainya-berkata:Hendaknya engkau bertakwa kepada Allah dan istiqomah, ikutilah (Sunnah Nabi) jangan berbuat kebid’ahan (diriwayatkan oleh ad-Daarimi).
Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya- berkata:
الْإِقْتِصَادُ فِي السُّنَّةِ أَحْسَنُ مِنَ الْاِجْتِهَادِ فِي الْبِدْعَةِ
Sederhana di dalam Sunnah lebih baik dibandingkan bersungguh-sungguh di dalam bid’ah (riwayat al-Hakim)