Ditulis Oleh Ustadz Abu Utsman Kharisman
SIFAT-SIFAT ALLAH
Allah Tidak Sama dengan MakhlukNya
Al-Muzani menyatakan: Maha Mulya SifatNya dari keserupaan dengan sifat-sifat makhluk
Allah tidak sama dan serupa dengan makhlukNya.
…لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada yang semisal dengan-Nya suatu apapun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuura:11)
Para Ulama’ menjelaskan bahwa ada 2 hal yang tidak boleh dilakukan terkait dengan keyakinan ini, yaitu:
1. Menyerupakan Allah dengan makhluk, seperti menyatakan bahwa Tangan Allah seperti tangan makhluk, Wajah Allah seperti wajah makhluk, dan sebagainya. Ini adalah penyimpangan dalam Tauhid Asma’ WasSifaat yaitu tasybiih. Pelakunya disebut musyabbihah, dan ucapan itu adalah ucapan kekufuran.
Nu’aim bin Hammad (seorang guru al-Muzani dan al-Bukhari) menyatakan:
مَنْ شَبَّهَ اللهَ بِخَلْقِهِ، فَقَدْ كَفَرَ، وَمَنْ أَنْكَرَ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ، فَقَدْ كَفَرَ، وَلَيْسَ فِي مَا وَصَفَ اللهُ بِهِ نَفْسَهُ وَلاَ رَسُوْلُهُ تَشْبِيْهٌ
Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhlukNya maka dia kafir. Barangsiapa yang mengingkari hal-hal yang Allah Sifatkan pada DiriNya maka dia kafir. Segala hal yang Allah Sifatkan DiriNya dan yang disifatkan oleh RasulNya tidaklah mengandung tasybih (penyerupaan) (diriwayatkan oleh adz-Dzahaby dalam Siyar A’lamin Nubalaa’ (10/610)).
Ishaq bin Rahawaih (salah seorang guru Imam al-Bukhari juga) menyatakan:
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا
Tasybih adalah jika seseorang berkata Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk). Jika seseorang menyatakan: Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini adalah tasybih (penyerupaan). Namun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah: Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan dia tidak menyatakan ‘bagaimana’, tidak juga menyamakan Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini bukanlah tasybih. Itu adalah seperti yang disabdakan Allah Ta’ala dalam KitabNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya, sedangkan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuuro:11)(Sunan atTirmidzi no riwayat 598 (3/71)).
2. Menyerupakan suatu makhluk dengan Allah baik dalam Uluhiyyah, Rububiyyah, maupun Asma’ WasSifaat. Ini adalah kesyirikan.
Misalnya, meyakini bahwa ada seseorang selain Allah yang mengetahui takdir para makhluk di Lauhul Mahfudz. Keyakinan tersebut adalah keyakinan kafir karena hanya Allah saja yang tahu.
Larangan Takyiif
al-Muzani menyatakan: Kecerdasan pikiran makhluk tidak mampu mensifatkanNya (secara menyeluruh dan mendetail)
Secerdas apapun suatu makhluk, tidak akan mampu akalnya menjangkau kaifiyat Sifat Allah. Ucapan al-Muzani tersebut di atas menunjukkan larangan menanyakan atau memikirkan kaifiyat (seperti apa atau bagaimana) Sifat-Sifat Allah.
Di dalam suatu hadits dinyatakan:
تَفَكَّرُوْا فِى خَلْقِ اللهِ وَلاَ تَفَكَّرُوا فِى اللهِ
Berpikirlah tentang makhluk Allah, janganlah berfikir tentang (kaifiyat Dzat atau Sifat) Allah (H.R arRofi’i, dihasankan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)
Kadangkala bisikan Syaithan akan berhembus dalam hati seseorang, sehingga ia memikirkan sesuatu yang batil dan sangat bertentangan dengan keimanannya. Lalu, bagaimana cara mengatasinya jika terjadi was-was syaithan semacam itu yang menyelimuti hati kita?
Langkah-langkahnya telah dibimbing oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam:
1. Berkata: Aamantu billaahi wa rosuulihi (Aku beriman kepada Allah dan Rasul-RasulNya). Atau berkata: Allahu Ahad, Allaahus Shomad, Lam Yalid wa lam Yuulad wa lam yakun lahu kufwan ahad.
2. Berta’awwudz (memohon perlindungan kepada Allah dari syaithan) dengan mengucapkan :A’udzu billahi minasy syaithoonir rojiim
3. Sedikit meludah pada arah kirinya 3 kali.
4. Berhenti dari memikirkan hal itu.
يَأْتِي الشَّيْطَانُ أَحَدَكُمْ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ كَذَا مَنْ خَلَقَ كَذَا حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ رَبَّكَ فَإِذَا بَلَغَهُ فَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ وَلْيَنْتَهِ
Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian kemudian berkata: Siapa yang menciptakan ini..siapa yang menciptakan ini.. sampai ia berkata: Siapa yang menciptakan Tuhanmu. Jika telah sampai hal itu, berlindunglah kepada Allah (taawudz) dan berhentilah (H.R alBukhari no 3034 dan Muslim no 191)
يَأْتِي الشَّيْطَانُ الْإِنْسَانَ فَيَقُولُ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ فَيَقُولُ اللَّهُ ثُمَّ يَقُولُ مَنْ خَلَقَ الْأَرْضَ فَيَقُولُ اللَّهُ حَتَّى يَقُولَ مَنْ خَلَقَ اللَّهَ فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَقُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
Syaithan mendatangi manusia kemudian berkata: Siapa yang menciptakan langit? Ia berkata: Allah. Kemudian (syaithan) berkata: Siapa yang menciptakan bumi. Ia berkata Allah. Sampai (Syaithan) berkata: Siapa yang menciptakan Allah. Jika salah seorang dari kalian mengalami hal itu, ucapkanlah: Aamantu billahi wa rosuulihi (Aku beriman kepada Allah dan RasulNya) (H.R Ahmad dan atThobarony, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)
يُوشِكُ النَّاسُ يَتَسَاءَلُونَ بَيْنَهُمْ، حَتَّى يَقُولَ قَائِلُهُمْ: هَذَا اللَّهُ خَلَقَ الْخَلْقَ، فَمَنْ خَلَقَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ؟ فَإِذَا قَالُوا ذَلِكَ، فَقُولُوا: {اللَّهُ أَحَدٌ، اللَّهُ الصَّمَدُ، لَمْ يَلِدْ، وَلَمْ يُولَدْ، وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} ، ثُمَّ لْيَتْفُلْ أَحَدُكُمْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا، وَلْيَسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
Hampir-hampir saja manusia akan saling bertanya satu sama lain, hingga ada yang berkata: Allah menciptakan makhluk. Siapakah yang menciptakan Allah Azza wa Jalla? Jika mereka berkata demikian ucapkanlah: Allahu Ahad, Allaahus shomad, lam yalid walam yuulad, wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Kemudian (sedikit) meludahlah ke kiri 3 kali dan bertaawwudz (memohon perlindungan kepada Allah) dari syaithan (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ibnussunni, Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany).
Allah Dekat Mengabulkan Permintaan
Al-Muzani menyatakan: Dia dekat mengabulkan permintaan
Pada saat perjalanan perang Khaibar, sebagian Sahabat mengeraskan dzikir takbirnya dengan mengucapkan: Allaahu Akbar Allaahu Akbar laa Ilaaha Illallah. Nabi yang mengetahui hal itu bersabda:
ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Rendahkanlah suara kalian. Sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada yang tuli atau tidak ada, sesungguhnya kalian berdoa kepada Yang Maha Mendengar Maha Dekat, dan Dia bersama kalian (H.R alBukhari no 3883 dan Muslim no 4873).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Jika hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang yang berdoa jika dia berdoa kepadaKu, maka penuhilah seruanKu, dan berimanlah kepadaKu agar mereka mendapatkan petunjuk (Q.S al-Baqoroh:186).
Allah Jauh dengan Kemulyaan
al-Muzani menyatakan:… Dia (Allah) jauh dengan kemulyaan sehingga tidak bisa dijangkau oleh upaya buruk terhadapNya
Hal ini sebagaimana hadits Qudsi:
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضُرِّي فَتَضُرُّوْنِي
Wahai hamba-hambaKu, sesungguhnya kalian tidak akan bisa menyampaikan kemudharatan kepadaKu…(H.R Muslim)
Allah Tinggi di Atas ‘Arsy Terpisah dari MakhlukNya
Al-Muzani menyatakan: (Dia) Tinggi di atas Arsy-Nya terpisah dari makhlukNya. Dia ada, bukan tidak ada atau hilang
Dalam kalimat ini al-Muzani menjelaskan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhlukNya. Tidak seperti persangkaan batil bahwa Allah berada di mana-mana, atau Allah bersatu dengan hambaNya. Maha Suci Allah atas segala persangkaan batil tersebut.
Jika disebutkan bahwa Allah dekat dalam ayat maupun hadits, itu menunjukkan bahwa Allah senantiasa mengetahui segala yang dilakukan hambaNya, Allah Maha Melihat, Allah Maha Mendengar, Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu terhadap seluruh makhlukNya di manapun mereka berada.
Kaidah Iman terhadap Nama dan Sifat-Sifat Allah Secara Umum
Banyak riwayat-riwayat hadits yang shahih tentang Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah. Sikap Ahlussunnah terhadap hadits-hadits yang shahih itu adalah beriman dan menetapkan (itsbat) sesuai dengan yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan tidak memikirkan atau menanyakan tentang kaifiyatnya (‘seperti apa’ atau ‘bagaimana’), karena kaifiyatnya hanya Allah saja yang tahu. Tidak juga menyamakan dengan sifat-sifat pada makhluk. Tidak boleh kita tolak kemudian kita cari-cari alasan bahwa ‘maksudnya bukan begitu’. Janganlah menolaknya, karena hal itu adalah bagian dari iman kepada hal-hal yang ghaib. Sedangkan salah satu ciri orang yang beriman dalam surat al-Baqoroh ayat 3 adalah beriman terhadap hal yang ghaib.
Sebagai contoh, jika dalam ayat-ayat al-Quran maupun dalam hadits-hadits yang shahih dinyatakan bahwa Allah memiliki Tangan, kita beriman bahwa Allah memiliki Tangan secara hakiki sesuai dengan kesempurnaan dan kemulyaanNya. Tangan tersebut tidak sama dengan tangan makhluk manapun. Kita juga tidak boleh memikirkan atau menanyakan seperti apa atau bagaimana Tangan Allah itu. Tidak boleh kita cari-cari makna lain untuk menolak penetapan Tangan tersebut, kemudian menganggap bahwa maksud dari ‘Tangan’ dalam ayat atau hadits itu adalah ‘kekuatan’ bukan tangan yang sebenarnya.
Mari kita simak akidah dari Ulama’ Ahlul Hadits, sebagai contoh al-Imam atTirmidzi (salah seorang murid al-Imam al-Bukhari). Beliau meriwayatkan hadits berikut dalam kitab Sunan atTirmidzi no 598:
إِنَّ اللَّهَ يَقْبَلُ الصَّدَقَةَ وَيَأْخُذُهَا بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا لِأَحَدِكُمْ كَمَا يُرَبِّي أَحَدُكُمْ مُهْرَهُ حَتَّى إِنَّ اللُّقْمَةَ لَتَصِيرُ مِثْلَ أُحُدٍ وَتَصْدِيقُ ذَلِكَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ { أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ } وَ { يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ }
Sesungguhnya Allah menerima shodaqoh dengan Tangan Kanannya kemudian Allah tumbuhkan untuk salah seorang dari kalian sebagaimana kalian memelihara kuda kecil (hingga menjadi besar). Sampai-sampai (shodaqoh) sesuap (makanan) akan terus membesar hingga sebesar gunung Uhud. Bukti pembenaran hal itu dalam al-Quran adalah :
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ
Tidakkah kalian tahu bahwasanya Allah menerima taubat dari hambaNya dan mengambil shodaqoh-shodaqoh (Q.S atTaubah:104).
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
Allah membinasakan riba dan menumbuhkan shodaqoh-shodaqoh (Q.S al-Baqoroh: 276).
(H.R atTirmidzi no 598)
Selanjutnya, al-Imam atTirmidzi menyatakan:
وَقَدْ قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا يُشْبِهُ هَذَا مِنْ الرِّوَايَاتِ مِنْ الصِّفَاتِ وَنُزُولِ الرَّبِّ تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا قَالُوا قَدْ تَثْبُتُ الرِّوَايَاتُ فِي هَذَا وَيُؤْمَنُ بِهَا وَلَا يُتَوَهَّمُ وَلَا يُقَالُ كَيْفَ هَكَذَا رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ وَسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ أَنَّهُمْ قَالُوا فِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ أَمِرُّوهَا بِلَا كَيْفٍ وَهَكَذَا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ وَأَمَّا الْجَهْمِيَّةُ فَأَنْكَرَتْ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ وَقَالُوا هَذَا تَشْبِيهٌ وَقَدْ ذَكَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي غَيْرِ مَوْضِعٍ مِنْ كِتَابهِ الْيَدَ وَالسَّمْعَ وَالْبَصَرَ فَتَأَوَّلَتْ الْجَهْمِيَّةُ هَذِهِ الْآيَاتِ فَفَسَّرُوهَا عَلَى غَيْرِ مَا فَسَّرَ أَهْلُ الْعِلْمِ وَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَخْلُقْ آدَمَ بِيَدِهِ وَقَالُوا إِنَّ مَعْنَى الْيَدِ هَاهُنَا الْقُوَّةُ و قَالَ إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
Lebih dari 1 Ulama menyikapi hadits ini maupun hadits lain yang semisal dengan ini berupa periwayatan tentang Sifat-Sifat dan Turunnya Allah Ta’ala pada tiap malam ke langit dunia, mereka berkata: Riwayat-riwayat tentang ini adalah sah, wajib diimani, tidak boleh dipersangkakan atau dikatakan : ‘Bagaimana?’. Demikianlah yang diriwayatkan dari Malik, Sufyan bin Uyainah, Abdullah bin alMubarok, bahwasanya mereka menyatakan tentang hadits-hadits semacam ini: Tetapkanlah tanpa bertanya ‘bagaimana’. Demikian juga ucapan para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah. Adapun al-Jahmiyyah, mereka mengingkari riwayat-riwayat ini dan berkata: Ini adalah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk). Padahal Allah telah menyebutkan tidak hanya di satu tempat dalam KitabNya (tentang) Tangan, Pendengaran, Penglihatan. Al-Jahmiyyah menakwilkan ayat-ayat ini kemudian menafsirkan dengan penafsiran yang berbeda dengan penafsiran para Ulama. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya Allah tidaklah menciptakan Adam dengan TanganNya. Mereka (al-Jahmiyyah) berkata: Sesungguhnya makna ‘tangan’ di sini adalah ‘kekuatan’. Ishaq bin Ibrahim (salah seorang guru al-Bukhari) menyatakan: Tasybih adalah jika seseorang berkata Tangan (Allah) seperti tangan (makhluk), Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk). Jika seseorang menyatakan: Pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka ini adalah tasybih (penyerupaan). Namun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah: Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan dia tidak menyatakan ‘bagaimana’, tidak juga menyamakan Pendengaran (Alla) seperti pendengaran (makhluk), maka ini bukanlah tasybih. Itu adalah seperti yang disabdakan Allah Ta’ala dalam KitabNya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatupun yang semisal denganNya, sedangkan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q.S asy-Syuuro:11)(Sunan atTirmidzi no riwayat 598 (3/71)).
Al-Imam Malik pernah ditanya oleh seseorang tentang bagaimana/ seperti apa Allah istiwa’ di atas ‘Arsy. Maka al-Imam Malik menyatakan:
الاستواء منه معلوم، والكيف منه غير معقول، والسؤال عن هذا بدعة، والايمان به واجب
Al-Istiwa’ (maknanya) sudah diketahui, kaifiyatnya adalah sesuatu yang tidak di terjangkau akal, bertanya tentangnya adalah bid’ah, dan beriman terhadapnya adalah wajib (Siyar A’lamin Nubalaa’ karya adz-Dzahaby (8/106-107))
Perkataan al-Imam Malik tersebut menunjukkan bahwa makna ayat tentang Sifat Allah itu sudah jelas. Kaifiyatnya ada namun tidaklah diketahui kecuali oleh Allah. Sehingga tidak diperbolehkan bagi kita untuk menanyakan ‘seperti apa’ atau ‘bagaimana’. Beriman terhadap apa yang dikabarkan oleh Allah adalah wajib.