You are currently viewing MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH (5)

MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH (5)

بسم الله الرحمن الرحيم
MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH

Oleh : Luqman bin Muhamad Ba’abduh

Bagian ke-5 : Benarkah Manhaj asy-Syaikh Rabi’ Mutasyaddid?

Manhaj asy-Syaikh Rabi’ dalam penilaian saudara Firanda adalah manhaj Mutasyaddid. Hal ini sebagaimana pada tulisan dia bagian ke-4, dan ia tegaskan kembali pada tulisan terbarunya bagian ke-6, dia berkata:

“Karena kritikan saya kepada syaikh Robi’ bahwasanya beliau adalah syaikh yang mutasyaddid, dan beliau Syaikh Robi’ salah dalam manhaj dengan kesalahan yang sangat berbahaya yang mengakibatkan praktek tahdzir dan tabdi’ yang membabi buta.”

Landasan Utama Firanda Dalam Kesimpulannya di atas

Saudara Firanda melandaskan kesimpulan negatifnya terhadap asy-Syaikh Rabi’ tersebut kepada pernyataan asy-Syaikh al-Albani yang termuat dalam sebuah dialog antara beliau dengan seorang penanya yang ia nukil secara tidak lengkap dari situs (forum diskusi) Halabiyyin – dengan ‘Ali Hasan al-Halabi sendiri sebagai musyrif-nya – sebagaimana telah saya jelaskan pada bagian ke-4 yang lalu. [1]

Tentu kita semua sepakat bahwa,

– Penilaian asy-Syaikh al-Albani tersebut harus dinilai dan didudukkan secara ilmiah. Karena kita semua berkeyakinan sebagaimana asy-Syaikh Rabi’ tidak makshum – bisa benar bisa salah, boleh diterima dan boleh ditolak perkataannya – maka demikian pula ‘ulama lainnya, selama hal itu masih dalam koridor ilmiah bukan dengan ambisi menjatuhkan kredibilitasnya. Semoga saudara Firanda sepakat dengan kesimpulan ini.

– Penilaian asy-Syaikh al-Albani, bahwa asy-Syaikh Rabi’ pada pada manhajnya terdapat sikap keras manhajnya terdapat sikap keras, [2] berdasarkan penilaian beliau terhadap pernyataan asy-Syaikh Rabi’ ketika menafsirkan ucapan Sayyid Quthb “Jahiliyah” dengan “yaitu kafiroh”.

Perhatikan isi dialog tersebut (berdasarkan terjemahan saudara Firanda):

Syaikh Al-Albânî (sembari membaca buku tersebut) : “Sekarang coba Anda perhatikan, di sini beliau (Syaikh Rabî’) mengatakan : “Maka hal ini menjelaskan bagaimana ngeyel-nya Sayyid Quthb di dalam mencela para sahabat Rasulullah dan ideologi sosialisme materialistis yang dia tetapkan di bukunya ini. Juga bersikerasnya Sayyid Quthb ketika menuduh bahwa seluruh masyarakat Islami adalah masyarakat jahiliyah, yaitu masyarakat yang kafir.”

Bukankah ini termasuk sikap keras? (maksud Syaikh Al-Albânî adalah sikap Syaikh Rabî’ yang menafsirkan perkataan Sayyid Quthb “Jahiliyah” dengan “kafiroh”-pen)

Penanya : “Yang mana sikap kerasnya? Mana?”

Syaikh : “Yaitu (penafsiran Syaikh Rabî’ sebagai masyarakat) kafir.”

Kemudian asy-Syaikh al-Albani melanjutkan,

Syaikh : “Baiklah, apabila Sayyid Quthb menyifatkan masyarakatnya dengan masyarakat jahiliyah, lantas dari mana kita bisa menafsirkan dan menisbahkan kepada Sayyid Quthb bahwasanya ia telah mengkafirkan masyarakat ini??” -selesai-

Jadi kesimpulannya, bahwa asy-Syaikh Rabi’ manhaj asy-Syaikh Rabi’ dipandang keras,[3] karena menafsirkan kalimat “Jahiliyah” dengan “Kafir”, dan asy-Syaikh al-Albani mempertanyakan dari mana penafsiran tersebut bisa dinisbatkan kepada Sayyid Quthb?

Untuk menjawab hal ini, maka ikutilah keterangan berikut dengan seksama, semoga kita semua terlepas dari ikatan ‘ashabiyyah (fanatik buta), [4]

Berkata Sayyid Quthb dalam kitabnya yang berjudul Ma’alim fi ath-Thariq

((وأخيراً؛ يدخل في إطار المجتمع الجاهلي تلك المجتمعات التي تزعم لنفسها أنها مسلمة!، … وإذا تعين هذا؛ فإنَّ موقف الإسلام من هذه المجتمعات الجاهلية كلها يتحدد في عبارة واحدة: إنه يرفض الاعتراف بإسلامية هذه المجتمعات كلها!

“dan yang terakhir, masuk ke dalam bingkai masyarakat jahiliyah ini, adalah masyarakat-masyarakat yang menyangka dirinya sebagai masyarakat muslim!, … jika telah pasti hal ini, sesungguhnya sikap Islam terhadap masyarakat-masyarakat jahiliyah tersebut secara keseluruhan terwujud dalam satu ungkapan: bahwasanya Islam menolak pengakuan keislaman masyarakat-masyarakat tersebut secara menyeluruh(!)”

Siapa masyarakat jahiliyah dalam pandangan Sayyid Quthb? Jawabannya adalah,

“masyarakat-masyarakat yang menyangka dirinya sebagai masyarakat muslim”

Tampak sekali Sayyid Quthb hendak menanamkan bahwa masyarakat-masyarakat yang menyangka dirinya sebagai masyarakat muslim tersebut, hanyalah sekadar sangkaan mereka saja. Pada hakekatnya mereka adalah masyarakat jahiliyah. Lalu vonis apa yang diberikan oleh Sayyid Quthb kepada masyarakat jahiliyah tersebut? Jawabannya adalah,

“Islam menolak pengakuan keislaman masyarakat-masyarakat tersebut secara menyeluruh”

Mari kita ikuti pernyataan Sayyid Quthb berikut ini, masih dalam kitab karyanya yang sama,

((والمسألة في حقيقتها مسألة كفر وإيمان، مسألة شرك وتوحيد، مسألة جاهلية وإسلام، وهذا ما ينبغي أن يكون واضحاً، إنَّ الناس ليسوا مسلمين كما يدَّعون، وهم يحيون حياة الجاهلية، وإذا كان فيهم من يريد أن يخدع نفسه، أو يخدع الآخرين، فيعتقد أنَّ الإسلام ممكن أن يستقيم مع هذه الجاهلية، فله ذلك، ولكن انخداعه أو خداعه لا يغيِّر من حقيقة الواقع شيئاً، ليس هذا إسلاماً، وليس هؤلاء مسلمين ))

“dan permasalahan ini pada hakekatnya adalah permasalahan kekufuran dan keimanan, permasalahan kesyirikan dan tauhid, permasalahan jahiliyah dan Islam, dan ini yang semestinya menjadi jelas, sesungguhnya orang-orang tersebut bukanlah muslimin sebagaimana mereka mengklaim keislaman tersebut, dan mereka hidup dalam kehidupan jahiliyah. Kalau ada di antara mereka seorang yang ingin menipu dirinya sendiri, atau menipu orang lain, dan meyakini bahwasanya Islam bisa saja tetap tegak bersama (kehidupan) jahiliyah ini, maka silakan dia lakukan itu, tetapi penipuannya itu tidaklah merubah hakekat realita tersebut sedikitpun. Ini bukan Islam, dan mereka bukan muslimin.”

Perhatikan kata-kata Sayyid Quthb yang dicetak tebal di atas,

– permasalahan jahiliyah dan Islam (!), setelah sebelumnya Sayyid Quthb mengatakan, “permasalahan kekufuran dan keimanan, permasalahan kesyirikan dan tauhid.” Jadi jahiliyah yang dimaksud oleh Sayyid Quthb adalah jahiliyah yang merupakan lawan Islam, sebagaimana kekufuran adalah lawan keimanan, dan kesyirikan adalah lawan tauhid. Hal ini dia pertegas pada ucapan(-ucapan) berikutnya,

– sesungguhnya orang-orang tersebut bukanlah muslimin (!)

– sebagaimana mereka mengklaim keislaman tersebut (!),

– dan mereka hidup dalam kehidupan jahiliyyah (!)

– Ini bukan Islam, dan mereka bukan muslimin (!!!)

Dari berbagai pernyataan di atas, Sayyid Quthb dengan tegas memvonis masyarakat yang adasekarang ini, hidup dalam kehidupan jahiliyah. Apa makna jahiliyah? Dia tegaskan, kehidupan jahiliyah bukan Islam dan masyarakat muslim tersebut bukan muslimin. Keislaman mereka sebatas klaim saja.

Sebenarnya dengan dua penukilan di atas, sudah cukup sebagai bukti bahwa makna “Jahiliyah” dalam pandangan Sayyid Quthb adalah “kafir”. Namun tetap akan saya tampilkan pernyataan-pernyataan Sayyid Quthb lainnya yang terdapat dalam berbagai kitab karyanya sendiri. Semoga hal ini bisa menjadi bahan renungan bagi semua pihak yang menginginkan kebaikan untuk dirinya dan umat, terlepas dari sikap ‘ashabiyyah (fanatik buta) yang dapat menghalangi seseorang dari bersikap ilmiah, mengakui kebenaran, dan rujuk dari kesalahan.

Berikut ini perkataan Sayyid Quthb dalam kitabnya “Hadhirul Islam wa Mustaqbaluhu”,

((ففي مثل هذا الأمر الخطير الذي يترتب عليه تقرير مفهوم لدين الله كما يترتب عليه الحكم بتوقف وجود الإسلام في الأرض اليوم، وإعادة النظر في دعوى مئات الملايين من الناس أنهم مسلمون ))

“maka pada permasalahan yang berbahaya seperti ini, yang muncul darinya penetapan pemahaman terhadap agama Allah, sebagaimana pula muncul darinya hukum terhadap berhentinya keberadaan Islam di muka bumi pada hari ini, dan upaya mengevaluasi ulang terhadap klaim ratusan juta manusia bahwa diri mereka adalah muslimin.”

Perhatikan kembali ucapan Sayyid Quthb yang bercetak tebal di atas, secara tegas dia mengatakan bahwa keberadaan Islam di muka bumi pada hari ini telah berhenti. Dan pengakuan ratusan juta masyarakat bahwa diri mereka muslim hanyalah sekadar klaim.

Tentu kesimpulan Sayyid Quthb di atas, dan yang sebelumnya, merupakan bukti bahwa Sayyid Quthb telah mengkafirkan berbagai masyarakat muslim di muka bumi ini.

Mari kita ikuti kembali perkataan Sayyid Quthb berikut ini dengan seksama disertai harapan mendapatkan kebenaran dan ridha Allah,

((لقد استدار الزمان كهيئته يوم جاء هذا الدين إلى البشرية بـ (لا إله إلا الله)؛ فقد ارتدت البشرية إلى عبادة العباد، وإلى جور الأديان، ونكصت عن لا إله إلا الله، وإن ظل فريق منها يردد على المآذن: لا إله إلا الله؛ دون أن يدرك مدلولها، ودون أن يعني هذا المدلول وهو يرددها، …، إلا أنَّ البشرية عادت إلى الجاهلية، وارتدت عن لا إله إلا الله، فأعطت لهؤلاء العباد خصائص الألوهية، ولم تعد توحد الله، وتخلص له الولاء…،البشرية بجملتها، بما فيها أولئك الذين يرددون على المآذن في مشارق الأرض ومغاربها كلمات لا إله إلا الله؛ بلا مدلول ولا واقع…، وهؤلاء أثقل إثماً وأشد عذاباً يوم القيامة؛ لأنهم ارتدوا إلى عبادة العباد – من بعد ما تبين لهم الهدى – ومن بعد أن كانوا في دين الله ))

“Sungguh roda zaman telah kembali berputar seperti hari ketika (awal) datangnya agama (Islam) ini kepada manusia dengan (membawa) Laa ilaha illallah. Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah, walaupun sebagian manusia tersebut mengumandangkan (kalimat) Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan, tanpa memahami dan mempedulikan maknanya dalam keadaan dia mengumandangkannya, … Namun kenyataannya umat manusia telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah dan murtad dari Laa ilaha illallah, sehingga mereka menyerahkan sifat-sifat khusus Uluhiyyah kepada para hamba tersebut dan tidak mentauhidkan Allah, tidak pula mengikhlashkan untuk-Nya al-Wala’ (loyalitas) … umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.”

Perhatikan dengan seksama perkataan Sayyid Quthb yang dicetak tebal di atas,

– Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah.

Sayyid Quthb telah memvonis bahwa umat manusia ini telah murtad menuju kepada kekufuran yaitu dengan peribadatan kepada makhluk, dan manusia telah berpaling dari kalimat Laa ilaha illallah. Siapa yang dimaksud umat manusia oleh Sayyid Quthb? Maka dia sendiri menjawab,

– yaitu orang-orang yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan.

Subhanallah … ini sebagai penegasan bahwasanya Sayyid Quthb meyakini kekafiran masyarakat-masyarakat Islam.

– Namun kenyataannya umat manusia telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah dan murtad dari Laa ilaha illallah, sehingga mereka menyerahkan sifat-sifat khusus Uluhiyyah kepada para hamba tersebut dan tidak mentauhidkan Allah, tidak pula mengikhlashkan untuk-Nya al-Wala’ (loyalitas) …

Selanjutnya ia menegaskan bahwa umat manusia (muslimin) telah kembali kepada kehidupan Jahiliyah, dan telah murtad keluar dari Laa ilaha illallah, yang sebenarnya kalimat ini merupakan tanda keislaman seorang hamba. Namun Sayyid Quthb tidak peduli, dia tetap memvonis masyarakat muslim tersebut sebagai masyarakat jahiliyah yang murtad. Dari sini semakin jelas bahwa makna kalimat Jahiliyah dalam pandangan Sayyid Quthb adalah kafir.

Kesimpulan di atas ini, dipertegas lagi oleh Sayyid Quthb dengan ucapannya,

– umat manusia secara menyeluruh, termasuk di dalamnya mereka yang mengumandangkan kalimat Laa ilaha illallah melalui corong-corong adzan di belahan bumi bagian timur maupun barat tanpa makna dan tanpa realita … mereka itu lebih berat dosanya dan lebih dahsyat adzabnya di hari kiamat, karena mereka telah murtad kepada peribadatan makhluk – setelah tampak jelas bagi mereka kebenaran – dan juga setelah mereka dahulu berada dalam agama Allah.

Subhanallah, seluruh umat Islam di belahan bumi bagian timur maupun barat, yang mengumandangkan kalimat Lailaha illallah, mengucapkannya melalui lisan-lisan mereka, dan orang-orang yang dahulu berada dalam agama Islam ini, divonis oleh Sayyid Quthb sebagai masyarakat yang kafir. Benar-benar ini adalah aqidah khawarij yang ia tanamkan kepada umat.

Kembali Sayyid Quthb berkata,

((إنه ليس على وجه الأرض اليوم دولة مسلمة ولا مجتمع مسلم قاعدة التعامل فيه هي شريعة الله والفقه الإسلامي ))

“Sesungguhnya tidak ada di muka bumi pada zaman ini satu pun negara muslim dan tidak ada satu pun masyarakat muslim, yang kaidah muamalah padanya adalah syari’at Allah dan fiqh Islam.”

Kembali Sayyid Quthb mengatakan, sebagai penegasan yang sangat jelas bagi setiap orang yang memiliki manhaj pemahaman yang benar dan menginginkan kebaikan, yaitu

((إنَّ هذا المجتمع الجاهلي الذي نعيش فيه ليس هو المجتمع المسلم))

“Sesungguhnya masyarakat jahiliyah yang kita hidup di dalamnya ini, bukanlah masyarakat muslim. “ (Fi Zhialil Quran IV/2009)

Setelah berbagai penukilan di atas, dari ucapan-ucapan Sayyid Quthb yang sangat jelas, tegas, dengan berbagai bentuk ungkapan, masihkah ada seorang yang mengaku dirinya sebagai salafy dan mengklaim dirinya akan bersikap sportif dan ilmiah meragukan, bahwa Sayyid Quthb berpaham khawarij yang mengkafirkan masyarakat-masyarakat muslim di seluruh penjuru dunia?! Dan masihkah dia akan ragu bahwa kalimat “jahiliyah” yang berulang kali diucapkan oleh Sayyid Quthb dalam berbagai karyanya itu adalah bermakna “kafir”?!

Ketahuilah, bahwa berbagai pernyataan Sayyid Quthb yang kami nukilkan di atas hanyalah sebagian saja, masih ada berbagai pernyataan dia lainnya yang menunjukkan kepada kesimpulan bahwa penafsiran asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah terhadap kalimat “jahiliyah” dengan “kafir” adalah benar dan sesuai dengan realita Sayyid Quthb dalam berbagai karyanya.

Dalam kesempatan ini, perlu saya ingatkan seluruh pembaca tentang sebuah permasalahan penting, yaitu bahwa penggunaan kalimat “jahiliyah” yang terdapat dalam beberapa hadits tidak dapat dan tidak boleh diartikan dengan “kafir”. Misalnya hadits,

«إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ»

“Sesungguhnya engkau adalah seseorang yang ada pada dirimu (sifat) Jahiliyah.”

« مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

“Barangsiapa yang memberontak terhadap penguasa sejengkal saja, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah“

Pada kedua hadits di atas, para ‘ulama ahlus Sunnah menegaskan bahwa kalimat “Jahiliyah” di sini bukan bermakna “kafir.”[5] Hal ini telah dijelaskan oleh banyak ‘ulama ahlus sunnah dalam kitab-kitab aqidah atau lainnya, para asatidzah Ahlus Sunnah pun sering menjelaskannya dalam berbagai pelajaran mereka.

Hal ini penting untuk saya ingatkan, karena jangan sampai saudara Firanda menyusupkan sebuah syubhat kepada pembaca sekalian di tengah-tengah pembahasan ini. Sangat berbeda penggunaan kalimat “Jahiliyah” dalam konteks dua hadits di atas atau yang semisalnya, dengan penggunaan kalimat “Jahiliyah” oleh Sayyid Quthb, karena menurut dia kalimat “jahiliyyah” adalah bermakna “kafir” sebagaimana yang tampak dari ucapan-ucapan dia sendiri dalam kitab-kitabnya yang sangat banyak, yang sebagiannya telah saya sebutkan di atas.

Persaksian Tokoh-Tokoh Senior Kelompok Ikhwanul Muslimin (IM)

Berikut ini kami akan sajikan kepada para pembaca persaksian para tokoh senior Ikhwanul Muslmin sendiri terhadap aqidah takfir (pengkafiran terhadap masyarakat muslim) yang ada pada Sayyid Quthb. Sengaja kami tampilkan persaksian mereka, untuk menegaskan bahwa kesimpulan dan penafsiran asy-Syaikh Rabi’ adalah sesuatu yang sebenarnya sudah disepakati oleh kawan maupun lawan. Semoga saudara Firanda – atau Halabiyyun lainnya – dapat mengambil pelajaran.

Persaksian Yusuf al-Qaradhawi [6], dalam kitabnya Aulawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah.

((في هذه المرحلة ظهرت كتب الشهيد (!) سيد قطب، التي تمثل المرحلة الأخيرة من تفكيره، والتي تنضح بتكفير المجتمع، …، وإعلان الجهاد الهجومي على الناس كافة، …، ويتجلى ذلك أوضح ما يكون في تفسير “في ظلال القرآن” في طبعته الثانية، وفي “معالم في الطريق”، ومعظمه مقتبس من الظلال، وفي “الإسلام ومشكلات الحضارة”، وغيرها، … ))

“Dalam tahapan ini telah tampak karya asy-Syahid (!) [7] Sayyid Quthb yang menggambarkan tahapan akhir pemikirannya, dan yang menuangkan paham pengkafiran terhadap masyarakat. … dan mengumumkan jihad ofensif (penyerangan) terhadap manusia secara menyeluruh … dan (paham) itu paling tampak didapati pada tafsir “Fi Zhilalil Qur`an” cetakan ke-2, dan (kitab) “Ma’alim fi ath-Thariq” yang mayoritasnya diambil dari kitab “Fi azh-Zhilal (Fi Zhilalil Qur`an)”, dan dalam (kitab) “al-Islam wa Musykilatil Hadharah”, dll … .”

Yusuf al-Qaradhawi juga berkata dalam salah satu artikelnya yang berjudul, “Kata Terakhir seputar Sayyid Quthb”

((هذه مرحلة جديدة تطور إليها فكر سيد قطب، يمكن أن نسميها “مرحلة الثورة الإسلامية“، الثورة على كل “الحكومات الإسلامية“، أو التي تدعي أنها إسلامية، والثورة على كل “المجتمعات الإسلامية” أو التي تدعي أنها إسلامية، فالحقيقة في نظر سيد قطب أنَّ كل المجتمعات القائمة في الأرض أصبحت مجتمعات جاهلية.

تكوَّن هذا الفكر الثوري الرافض لكل من حوله وما حوله، والذي ينضح بتكفير المجتمع، وتكفير الناس عامة؛ لأنهم “أسقطوا حاكمية الله تعالى” ورضوا بغيره حكماً، واحتكموا إلى أنظمة بشرية، … فبماذا يوصف هؤلاء إلا بالردة عن دين الإسلام؟!

بل الواقع عنده أنهم لم يدخلوا الإسلام قط حتى يحكم عليهم بالردة، …

“Ini adalah tahapan baru yang berkembang padanya paham Sayyid Quthb. Mungkin kita menamakannya sebagai “Tahapan Revolusi (Pemberontakan) Islam”, yaitu pemberontakan terhadap setiap pemerintahan-pemerintahan Islam atau pemerintah yang mengklaim bahwa dia adalah pemerintah Islam, juga pemberontakan terhadap seluruh masyarakat-masyarakat Islam atau masyarakat yang mengklaim bahwa dirinya adalah masyarakat Islam. Maka kenyataannya dalam pandangan Sayyid Quthb bahwa seluruh masyarakat di muka bumi ini telah menjadi masyarakat jahiliyyah. Paham revolusi (pemberontakan) ini menolak siapa saja dan apa saja yang ada di sekitarnya, yang menuangkan paham pengkafiran terhadap masyarakat, dan pengkafiran terhadap seluruh manusia. Alasannya adalah karena mereka telah menggugurkan otoritas hukum Allah, dan mereka rela kepada selain Allah sebagai penentu hukum, serta mereka berhukum kepada peraturan-peraturan buatan manusia … maka dengan apa mereka akan divonis, kalau bukan vonis murtad dari agama Islam?! Bahkan realitanya dalam pandangan dia (Sayyid Quthb) bahwasanya mereka (masyarakat) Islam tersebut belum masuk sama sekali ke dalam agama Islam, sehingga mereka layak divonis dengan vonis murtad.”

Perhatikan baik-baik pernyataan Yusuf al-Qaradhawi, salah satu tokoh paling senior dalam kelompok IM ini, dan tentunya dia termasuk orang yang paling tahu siapa dan bagaimana pemikiran Sayyid Quthb. Dia mengatakan,

– dalam pandangan Sayyid Quthb bahwa seluruh masyarakat di muka bumi ini telah menjadi masyarakat jahiliyah.

– yang menuangkan paham pengkafiran terhadap masyarakat, dan pengkafiran terhadap seluruh manusia.

– maka dengan apa mereka akan divonis, kalau bukan dengan vonis murtad dari agama Islam?!

– Bahkan realitanya dalam pandangan dia (Sayyid Quthb) bahwasanya mereka (masyarakat) Islam tersebut belum masuk sama sekali ke dalam agama Islam, sehingga mereka layak divonis dengan vonis murtad.

Saya yakin tanpa ada penjelasan apapun, pernyataan Yusuf al-Qaradhawi di atas sudah sangat jelas bahwa Sayyid Quthb mengkafirkan masyarakat muslim dan bahwa makna masyarakat jahiliyyah dalam pandangannya adalah masyarakat kafir.

Kemudian al-Qaradhawi kembali berkata,

وأخطر ما تحتويه التوجهات الجديدة في هذه المرحلة لسيد قطب، هو ركونه إلى فكرة “التكفير” والتوسع فيه، بحيث يفهم قارئه من ظاهر كلامه في مواضع كثيرة ومتفرقة من “الظلال” ومما أفرغه في كتابه “معالم في الطريق“: أنَّ المجتمعات كلها قد أصبحت “جاهلية“. وهو لا يقصد بـ “الجاهلية” جاهلية العمل والسلوك فقط، بل “جاهلية العقيدة” إنها الشرك والكفر بالله، حيث لم ترضَ بحاكميته تعالى، وأشركت معه آلهة أخرى، استوردت من عندهم الأنظمة والقوانين))

” kandungan pemikiran Sayyid Quthb pada tahapan baru ini yang paling berbahaya adalah bersandarnya dia pada paham takfir dan berlebihan dalam paham takfir tersebut. Sehingga orang yang membacanya dapat memahami dari teks perkataannya di berbagai tempat yang banyak dan terpisah-pisah dalam (kitab) “azh-Zhilal (yaitu Fi Zhilalil Qur`an)”, dan apa yang ia tuangkan dalam kitabnya “Ma’alim fi ath-Thariq” bahwasanya masyarakat-masyarakat yang ada seluruhnya telah menjadi “jahiliyah”, dan dia (Sayyid Quthb) tidaklah memaksudkan dengan (kalimat) “al-jahiliyyah” sebagai bentuk jahiliyah dalam hal amal dan budi pekerti saja, bahkan (dia memaksudkan) jahiliyah dalam hal aqidah, yang sesungguhnya itu adalah kesyirikan dan kekafiran kepada Allah. Karena masyarakat tersebut tidak ridha terhadap otoritas hukum Allah Ta’ala dan telah menyekutukan Allah dengan tuhan-tuhan lain, mengimpor peraturan dan perundang-undangan dari mereka … “

Dari berbagai penukilan perkataan Yusuf al-Qaradhawi di atas, sangat jelas bahwa kalimat “jahiliyah” yang dimaukan oleh Sayyid Quthb dalam beberapa pernyataannya yang tersebar pada karya-karyanya, adalah bermakna “kafir”. [8]

Sungguh telah benar asy-Syaikh al-‘Allamah Rabi’ al-Madkhali hafizhahullah dalam kesimpulan beliau tentang permasalahan ini. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk masih mengatakan bahwa asy-Syaikh Rabi’ mutasyaddid berlandaskan ucapan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

Sekaligus ini semua sebagai jawaban atas pertanyaan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam dialog beliau yang dinukil secara sepotong oleh saudara Firanda, yaitu ketika beliau mengatakan , “lantas dari mana kita bisa menafsirkan dan menisbahkan kepada Sayyid Quthb bahwasanya ia telah mengkafirkan masyarakat ini??”

Maka jawabannya adalah:

– Dari penafsiran Sayyid Quthb sendiri dalam kitab-kitabnya.

– danDari persaksian tokoh-tokoh senior IM sendiri.

– Bahkan dari persaksian Ali Hasan Al-Halabi “era lama”.

Kami cukupkan tulisan bagian ke-5 ini sampai di sini. Untuk kelanjutan persaksian tokoh-tokoh senior IM lainnya, termasuk persaksian Ali al-Halabi “era lama”, silakan ikuti pada bagian berikutnya insya Allah.

(bersambung insya Allah)

al-Faqir ila ‘afwi wa ‘auni rabbihi

Luqman Muhammad Ba’abduh

Jember, 21 Dzulhijjah 1434 H / 25 Oktober 2013 M

[1] Landasan berikutnya adalah metode hajr asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah yang dinilai oleh saudara Firanda membabi-buta . Insya Allah kami akan menyajikan kepada para pembaca pembahasan khusus tentangnya.

[2] Sudah saya jelaskan pada tulisan bagian ke-4 lalu, bahwa sebenarnya yang dikritik oleh asy-Syaikh al-Albani adalah uslub (cara) asy-Syaikh Rabi’, bukan manhajnya. Namun di sini saya tulis demikian meminjam ucapan saudara Firanda, karena akan saya buktikan bahwa tuduhan saudara Firanda adalah tidak benar.

[3] Sekali lagi sebenarnya yang dinilai oleh asy-Syaikh al-Albani adalah uslub (cara), bukan manhaj.

[4] Berbagai ucapan Sayyid Quthb yang akan kami nukilkan ini, sudah dinukil oleh asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dalam kitabnya yang berjudul Sayyid Quthb Huwa Mashdar Takfir al-Mujtama’at al-Islamiyyah. Sebenarnya berbagai karya asy-Syaikh Rabi’ sangat mudah didapati bagi yang memiliki kemauan untuk membacanya.

Terkait saudara Firanda dalam perkiraan kami ada beberapa kemungkinan,

Pertama, dia tidak mengetahui keberadaan berbagai karya asy-Syaikh Rabi’ dalam membantah beragam Ahlul Bid’ah. Jika kemungkinan ini yang terjadi, maka sangat disayangkan bagaimana seorang pelajar di Universitas Islam Madinah, yang katanya sedang berupaya meraih gelar “doktor”, tidak mengetahui kitab-kitab asy-Syaikh Rabi’ yang telah banyak dipuji dan didukung oleh para ‘ulama kibar, bahkan para ‘ulama tersebut menasehatkan para pelajar dan umat untuk mengambil faidah ilmiah darinya.

Kedua, kemungkinan saudara Firanda sudah mendengar atau tahu keberadaan karya-karya ilmiah tersebut, namun tidak ada minat dan kemauan untuk membacanya, bahkan mungkin dia gerah melihatnya. Besar kemungkinan, berbagai pandangan negatif saudara Firanda terhadap asy-Syaikh Rabi’ menjadi penghalang besar baginya untuk berminat membacanya.

Jika ternyata kemungkinan kedua ini yang terjadi, maka sungguh sangat memprihatinkan di satu sisi, dan di sisi lain menguatkan keyakinan saya bahwa saudara Firanda telah menaruh kebencian kepada asy-Syaikh Rabi’ sejak lama. Keadaan ini mengingatkan saya kepada kondisi sebagian da’i hizbiyyin di negeri ini antara tahun 1995 – 2000 M yang sangat getol menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’ dan sangat anti pati untuk mengambil faidah ilmiah dari karya-karya beliau. Disebabkan pada tahun-tahun itu, asy-Syaikh Rabi’ sedang aktif membantah paham Sayyid Quthb (Quthbiyyah), ‘Abdurrahman ‘Abdul Khaliq, Ihya’ut Turats, dll. Di antara para da’i tersebut saudara Abu Nida’ Chomsaha Shofwan Pembina Yayasan Turots Islami, yang saudara Firanda memiliki hubungan sangat dekat dengannya, sebagaimana dalam salah satu ucapannya, “… selama hampir 13 tahun bergaul dengan ustadz Abu Nidaa … “.

Sehingga tidak menutup kemungkinan, sikap-sikap saudara Firanda terhadap asy-Syaikh Rabi’ sangat diwarnai oleh Abu Nida’, di samping tokoh-tokoh lain semisalnya.

Ketiga, untuk kemungkinan ketiga ini, lebih-lebih semoga tidak terjadi. Yaitu saudara Firanda pada hakekatnya telah mengetahui berbagai ucapan Sayyid Quthb yang mengandung pengkafiran terhadap masyarakat muslim dan menamakannya sebagai masyarakat jahiliyah, baik ia tahu hal itu melalui karya asy-Syaikh Rabi’ atau pun yang lainnya. Namun dia sangat khawatir bila hal ini diketahui oleh para pembaca akan menghalangi misinya menghantam asy-Syaikh Rabi’ dengan perkataan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Semoga Allah menjaga para ‘ulama sunnah dan kita semua dari makar ahlul bid’ah dan hizbiyyah.

[5] – Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud (mati dalam keadaan mati jahiliyah) adalah keadaan matinya seperti matinya orang jahiliyah, yakni di atas kesesatan tidak punya imam yang ditaati, karena mereka dahulu tidak mengetahui yang demikian. Bukan yang dimaksud ia mati kafir, bahkan (maksudnya) mati dalam keadaan bermaksiat…” (Fathul Bari 13/7)

– Asy-Syaikh As-Sindi rahimahullah berkata, “Yang dimaksud seperti matinya orang-orang jahiliyah adalah di atas kesesatan bukan di atas kekafiran.” (Hasyiyah Sunan an-Nasa`i 7-8/139)

[6] Tokoh besar IM yang telah ma’ruf kesesatannya dan telah dibantah oleh banyak ulama sunnah, juga asatidzah (dengan menukil dari para ‘ulama tersebut).

[7] Penyematan gelar Syahid seperti ini sering digunakan oleh kelompok IM dan kelompok khawarij lainnya untuk tokoh-tokoh mereka. Penggunaan gelar seperti ini adalah tidak boleh berdasarkan dalil-dalil yang telah ma’ruf. Sebagaimana telah banyak dijelaskan oleh para ‘ulama ahlus sunnah dan dinukilkan oleh para asatidzah di negeri ini.

[8] Atau jika saudara Firanda mempunyai penafsiran lain dari perkataan Sayyid Quthb bahwa kalimat “jahiliyyah” bukanlah bermakna “kafir” maka silahkan saudara Firanda menunjukkan dan membuktikannya secara ilmiyah!!

Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS. Al Baqarah:111)

http://dammajhabibah.net/2013/10/25/menepis-tipu-daya-firanda-membela-ulama-sunnah-5/