Manfaat dan Keutamaan Ibadah Haji (1)
Oleh: Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr hafizhahullah (Mantan rektor Universitas Islam Madinah, dan pengajar di Masjid Nabawi)
Segala puji hanya bagi Allah, shalawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah, keluarganya dan para sahabatnya. Berikut ini adalah uraian yang terkandung padanya beberapa keutamaan dan manfaat ibadah haji. Aku katakan:
Ibadah haji merupakan sebuah ibadah dari berbagai macam ibadah yang Allah wajibkan. Allah jadikan ibadah ini sebagai salah satu dari lima pondasi (rukun) yang dengannya akan tegak agama Islam ini, dan ibadah haji ini juga merupakan sebuah ibadah yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya sebagaimana dalam hadits yang shahih:
“Islam dibangun di atas lima (rukun): (1) Persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali hanya Allah dan persaksian bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah, (2) Mendirikan shalat, (3) Menunaikan zakat, (4) Berpuasa pada bulan Ramadhan, dan (5) Menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.”
Sesungguhnya Rasulullah telah menunaikan ibadah haji bersama para shahabatnya pada tahun ke-10 Hijriyah. Dalam momen tersebut, beliau menjelaskan kepada umatnya tentang tata cara pelaksanaan ibadah ini, dan sekaligus beliau juga memberikan dorongan kepada umatnya untuk memperhatikan setiap yang diucapkan dan diamalkan oleh beliau dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Beliau bersabda :
“Ambillah oleh kalian dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian, karena barangkali aku tidak bisa lagi bertemu dengan kalian setelah tahun ini.”
Oleh sebab itulah, haji beliau tersebut disebut dengan haji wada’ (haji perpisahan).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberikan semangat kepada umatnya untuk melaksanakan ibadah haji, menjelaskan tentang keutamaannya, serta menerangkan tentang janji Allah berupa pahala yang melimpah bagi siapa saja yang menunaikan ibadah haji dengan sebaik-baiknya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji, kemudian dia tidak mengucapkan kata-kata yang keji atau kotor serta tidak berbuat kefasikan, maka dia akan kembali bersih (dari dosa-dosa) seperti hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
“Dari umrah yang satu ke umrah berikutnya adalah sebagai penghapus dosa-dosa di antara keduanya. Dan haji yang mabrur, tidaklah ada balasan baginya kecuali Al-Jannah.” [Muttafaqun ‘Alaihi, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]
Dsebutkan pula di dalam Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim) juga dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Maka beliau menjawab: ‘Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Berjihad di jalan Allah.’ Dan ditanyakan kembali kepada beliau: ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau menjawab: ‘Haji yang mabrur’.”
Dan di dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhu ketika dia masuk Islam:
“Tidakkah engkau tahu bahwasanya Islam menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan bahwasanya hijrah menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu, dan juga bahwasanya haji menghapus dosa-dosa (kejelekan) yang telah lalu.”
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Wahai Rasulullah, kami mengetahui bahwa jihad adalah amalan yang paling utama, tidakkah kami juga ikut berjihad?” Beliau menjawab: “Bukan seperti itu, akan tetapi jihad yang paling utama (bagi wanita) adalah haji yang mabrur.”
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas dan juga (dalil-dalil) yang lainnya, menjadi jelaslah bagi kita tentang keutamaan ibadah haji dan betapa besarnya pahala yang telah Allah persiapkan bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah tersebut. Dan menjadi jelas pulalah bahwa besarnya pahala yang akan diraih itu adalah hanya bagi barangsiapa yang ibadah hajinya tergolong haji yang mabrur.
Maka apakah yang dimaksud dengan kemabruran ibadah haji yang dijanjikan oleh Allah pahala yang cukup besar itu?
Sesungguhnya kemabruran ibadah haji itu akan diraih dengan beberapa hal, yaitu hendaknya seorang muslim menunaikan ibadah hajinya dengan sempurna, mengikhlaskan amalannya tersebut semata-mata untuk mengharap wajah Allah ta’ala dan ketika menunaikan (manasik)nya sesuai dengan sunnah (dan tata cara yang pernah diajarkan oleh) Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dan hendaklah dia menjaga pelaksanaan ibadah tersebut dengan mengamalkan segala yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi segala yang dilarang oleh-Nya.
Melaksanakan segala yang diperintahkan (oleh Allah) dan meninggalkan segala yang dilarang (oleh Allah) sebenarnya merupakan kewajiban seorang muslim sepanjang hidupnya. Akan tetapi kewajiban ini lebih ditekankan lagi pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu yang memiliki keutamaan. Karena Allah menciptakan makhluk-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya, yaitu taat kepada-Nya dengan melaksanakan segala yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ
“(Allah) yang menciptakan mati dan hidup, supaya Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang lebih baik amalannya.” [Al-Mulk: 2]
Allah ta’ala juga berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Sehingga seorang muslim itu harus senantiasa berada di atas ketaatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari kemaksiatan kepada-Nya, baik di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, dan juga sebelum pelaksanaan ibadah haji ataupun setelahnya. Yang demikian ini adalah agar akhir kehidupannya ditutup dengan kesempurnaan yaitu dalam keadaan berada di atas kebaikan. Sehingga akhir hidupnya itu ditutup dalam keadaan baik dan terpuji, sebagaimana firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa, dan janganlah kalian sekali-kali mati melainkan dalam keadaan Islam.” [Ali ‘Imran: 102]
Dan juga firman Allah ta’ala:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu ‘al-yakin’ (kematian).” [Al Hijr: 99]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada akhir kehidupannya.”
Dan di antara bentuk kebaikan yang dengannya akan diraih kemabruran ibadah haji adalah hendaknya bersemangat di tengah-tengah pelaksanaan ibadah hajinya untuk merenungi rahasia-rahasia dan pelajaran-pelajaran yang terkandung dalam ibadah haji tersebut dan juga memperhatikan beberapa manfaat (haji) yang sangat banyak, baik manfaat tersebut adalah manfaat yang bisa segera dirasakan, maupun manfaat yang baru bisa dirasakan setelah beberapa waktu kemudian. Secara umum manfaat-manfaat tersebut telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya :
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Berikut ini adalah uraian beberapa manfaat dan rahasia (haji) sebagaimana yang telah isyaratkan dalam ayat di atas:
Pertama
Sesungguhnya ikatan yang terjadi antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram merupakan ikatan yang sangat kokoh. Di mana ikatan tersebut mulai tumbuh sejak ia menyatakan diri sebagai seorang muslim, dan ikatan ini akan terus menerus bersamanya selama ruh masih berada di kandung badan.
Maka seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan Islam, pertama kali yang menyentuh pendengarannya dari hal-hal yang Allah wajibkan adalah rukun Islam yang lima, yang salah satunya adalah malaksanakan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Dan seorang kafir, apabila dia (masuk Islam dan) bersaksi dengan persaksian yang benar kepada Allah tentang keesaan-Nya dan juga bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah sebagaimana persaksian yang dilakukan oleh kaum muslimin, maka yang pertama kali diwajibkan kepadanya dari kewajiban-kewajiban dalam Islam setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram.
Rukun Islam setelah dua kalimat syahadat adalah menegakkan shalat lima waktu yang Allah wajibkan kepada kaum muslimin dalam setiap harinya, dan Allah jadikan ‘menghadap ke arah Baitullah Al-Haram’ sebagai salah satu syarat dari syarat-syarat shalat. Sehingga ikatan antara seorang muslim dengan Baitullah Al-Haram adalah terus-menerus dalam setiap hari, dia menghadap ke arahnya sesuai dengan kemampuan dirinya dalam setiap shalat yang dia laksanakan, baik shalat wajib maupun shalat nafilah (sunnah), sebagaimana dia juga menghadap ke arah Baitullah ketika berdoa.
Hubungan erat yang membuahkan keterikatan antara hati seorang muslim dengan rumah Rabbnya (Baitullah) yang bersifat terus menerus ini mau tidak mau akan mendorong seorang muslim untuk selalu ingin menghadapkan diri kepada Al-Baitul ‘Atiq (Baitullah), agar dengannya ia merasakan kenikmatan melihat rumah Allah dengan pandangan matanya dan agar tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji yang telah Allah wajibkan bagi siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menunaikannya.
Maka bagi seorang muslim, kapan saja dia telah memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah haji, hendaklah ia bersegera untuk menunaikannya, sebagai kewajiban yang harus dilaksanakannya, dan dalam rangka berharap untuk dapat melihat rumah Allah yang ia menghadapkan wajah ke arahnya di setiap shalat, dan juga dalam rangka berharap agar dapat menyaksikan berbagai manfaat yang telah Allah diisyaratkan dalam firman-Nya:
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Apabila seorang muslim telah sampai di Baitullah, dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri rumah yang paling mulia dan tempat yang paling suci di muka bumi, yaitu Ka’bah Al-Musyarrafah (yang dimuliakan), sebagai tempat pertemuan bagi seluruh kaum muslimin di dalam shalat-shalat mereka, baik kaum muslimin dari belahan bumi timur maupun barat. Dia pun juga menyaksikan kaum muslimin berdiri mengitari Ka’bah membentuk formasi lingkaran tatkala melaksanakan shalat, lingkaran paling kecil adalah yang ada di sekitar (paling dekat) Ka’bah, kemudian lingkaran yang berikutnya dan seterusnya sampai lingkaran yang terbesar di ujung dunia.
Di dalam shalat-shalatnya, kaum muslimin senantiasa dalam keadaan menghadap ke arah rumah Allah, mereka seperti titik-titik yang membentuk lingkaran, baik yang kecil maupun yang besar, dengan rumah Allah (Ka’bah Al-Musyarrafah) sebagai pusatnya.
Kedua
Ketika Allah telah memudahkan bagi seorang muslim untuk berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah, dan kemudian ketika ia sampai ke miqat sebagaimana yang telah ditentukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memulai ihram, maka dia pun melepas semua pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram yaitu mengenakan sarung pada bagian bawah tubuhnya dan memakai selempang pada bagian atasnya kecuali kepala (dalam keadaan kepalanya terbuka).
Maka dalam keadaan pakaian yang demikian, semua jama’ah haji berada dalam keadaan yang sama. Tidak ada bedanya antara yang kaya dengan yang miskin, dan juga antara pemimpin dengan rakyat. Kesamaan mereka dalam keadaan seperti ini mengingatkan kepada kesamaan dalam memakai kain kafan ketika meninggal dunia. Karena ketika seorang muslim meninggal dunia, maka semua pakaiannya dilepas kemudian dibungkus dengan beberapa kain (kafan). Sehingga dalam hal ini tidak ada bedanya antara seorang yang kaya dengan yang miskin.
Apabila seorang jama’ah haji melepas pakaiannya kemudian menggantinya dengan pakaian ihram, maka hal ini mengingatkannya kepada sebuah kematian yang merupakan akhir dari kehidupannya di dunia ini untuk kemudian memulai kehidupan di akhirat. Sehingga dengan hal ini, dia akan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi kematian yang akan menjemputnya dengan berbagai amalan yang shalih dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat. Persiapan tersebut adalah sebagai bekal bagi dirinya menuju akhirat, sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” [Al-Baqarah: 197]
Oleh sebab itulah, ketika ada seseorang yang bertanya kepada Nabi: “Kapankah datangnya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”
Sebuah peringatan dari Nabi shalawatullahi wasalamuhu ‘alaihi bahwa sesuatu yang paling penting bagi diri seorang muslim adalah agar seharusnya dia senantiasa memperhatikan beberapa hal yang akan dihadapinya setelah kematian. Kemudian dia bersiap-siap menghadapinya pada setiap keadaannya dengan melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Ketiga
Kemudian apabila seorang muslim telah masuk pada pelaksanaan ibadah haji, dia akan bertalbiyah dengan mengucapkan kalimat-kalimat tauhid sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Aku sambut panggilan-Mu ya Allah, aku sambut panggilan-Mu. Aku sambut panggilan-Mu yang tidak ada sekutu bagi-Mu, aku sambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, yang tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Dia mengucapkan talbiyah ini dalam keadaan dirinya merasakan kandungan kalimat tersebut, berupa tauhid (mengesakan) Allah dalam ibadah, bahwasanya Allah adalah satu-satu Dzat yang dikhususkan pada-Nya semua bentuk peribadatan tanpa selain-Nya. Sebagaimana Dia subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya Dzat yang menciptakan dan mewujudkan makhluk, maka wajib untuk menjadikan Dia sebagai satu-satunya Dzat yang diibadahi tanpa selain-Nya, siapapun dia. Dan memalingkan (mempersembahkan) salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah merupakan bentuk kezhaliman yang paling zhalim dan kebatilan yang paling batil.
Kalimat yang diucapkan oleh seorang muslim tersebut adalah sebagai sambutan terhadap panggilan Allah kepada para hamba-Nya dalam pelaksanaan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram. Dengannya seorang muslim akan merasakan betapa agungnya kedudukan Sang Penyeru, yaitu Allah dan betapa pentingnya sesuatu yang diserukan itu. Sehingga dia berusaha untuk memenuhi panggilan tersebut sesuai dengan tata cara yang diridhai oleh Allah ta’ala, dan dia pun mengetahui bahwa inti dari ibadah haji dan juga ibadah-ibadah yang lainnya adalah
Ikhlas kepada Allah, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam kalimat tauhid yang terkandung dalam talbiyah di atas.
Mutaba’ah (mencontoh/mengikuti) petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam pelaksanaan manasik haji, beliau bersabda:
“Ambillah oleh kalian dariku (meniru tata cara manasik yang telah aku ajarkan) dalam menunaikan manasik kalian.”
Keempat
Ketika seorang muslim telah sampai di Ka’bah yang mulia, dia akan menyaksikan pelaksanaan ibadah thawaf yang ada di sekitar Ka’bah, yang mana thawaf ini tidak boleh dilaksanakan dalam syarilat Islam kecuali dikhususkan pada tempat ini saja. Semua bentuk pelaksanaan thawaf yang dilakukan pada selain tempat ini, maka itu merupakan syari’at dari setan, serta pelakunya diancam dengan firman Allah ta’ala:
“Apakah mereka mempunyai tandingan-tandingan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah?” [Asy-Syuura: 21]
Dia juga akan menyaksikan dicium dan diusapnya Hajar Aswad dan diusapnya Rukun Yamani. Tidaklah datang dari syari’at Islam yang menganjurkan untuk mencium atau mengusap batu-batuan atau bangunan kecuali pada dua tempat (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) ini saja.
Ketika Umar bin Al-Khaththab mencium Hajar Aswad, beliau menerangkan bahwa perbuatan yang beliau lakukan tersebut adalah semata-mata mengikuti contoh Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam tatkala mencium Hajar Aswad. Kemudian beliau mengatakan kepada Hajar Aswad:
“Kalaulah seandainya aku tidak melihat Nabi menciummu, niscaya aku tidak akan melakukannya.”
Kelima
Seorang jama’ah haji akan menyaksikan dalam pelaksanaan ibadah hajinya tersebut pertemuan akbar kaum muslimin, yaitu pada hari Arafah di padang Arafah, saat para jama’ah haji berwukuf secara bersama-sama di tempat itu dalam keadaan bertalbiyah dan bertahlil kepada Allah, memohon kebaikan dunia dan akhirat.
Pertemuan akbar kaum muslimin ini akan mengingatkan mereka kepada padang mahsyar di hari kiamat yang semua umat manusia dari awal (zaman) sampai akhir (zaman) bertemu dan berkumpul di tempat tersebut, menunggu keputusan Allah untuk kemudian mereka menuju tempat tujuan yang terakhir sesuai dengan amalan-amalan yang mereka kerjakan. Apabila mereka mengamalkan amalan-amalan yang baik maka akan mendapatkan balasan kebaikan, dan jika mereka mengamalkan amalan-amalan yang jelek maka akan mendapatkan balasan kejelekan.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku hamba dan utusan Allah, memintakan syafaat kepada Allah untuk mereka, agar Allah segera memberi keputusan-Nya. Maka Allah pun memberikan syafaat-Nya (kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Itulah Al-Maqamul Mahmud (kedudukan yang terpuji), yang semua umat manusia mulai dari awal (zaman) sampai akhir (zaman) memberikan pujian atas beliau. Dan Inilah yang disebut dengan Asy-Syafa’atul ‘Uzhma, yang dikhususkan hanya untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan tidak ada seorang pun yang memilikinya baik dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun para nabi yang diutus.
Dan dalam pertemuan akbar umat Islam tersebut, baik di padang Arafah maupun di tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji yang lainnya, kaum muslimin dari penjuru timur dan barat saling bertemu, mereka saling berkenalan dan memberikan nasehat, serta sebagian mereka mengetahui keadaan sebagian yang lainnya. Mereka bersama-sama dalam suasana kegembiraan dan rasa senang, sebagaimana sebagian mereka bersama-sama dengan sebagian yang lain ketika mengalami sakit, sehingga mereka menunjukkan apa yang sudah semestinya mereka lakukan kepada orang lain. Dan mereka juga saling menolong di atas kebaikan dan ketakwaan sebagaimana yang telah Allah ta’ala perintahkan.
Inilah beberapa (sebagian) manfaat yang aku sebutkan dari keseluruhan manfaat yang banyak sekali, yang secara umum telah Allah ta’ala sebutkan dalam firman-Nya:
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka.” [Al-Hajj: 28]
Manfaat terbesar bagi seorang muslim setelah dia selesai dari pelaksanaan ibadah haji adalah hendaknya ia berusaha agar ibadah hajinya tersebut diterima, dan hendaknya keadaan dirinya setelah menunaikan ibadah haji adalah lebih baik daripada sebelumnya. Sehingga dia berusaha untuk menjadikan ibadah hajinya sebagai langkah awal di dalam melakukan berbagai perubahan dirinya, baik dalam hal perilaku hidup maupun amalan-amalan kesehariannya, dia mengubah kejelekan dirinya dengan kebaikan dan mengubah dirinya dari kebaikan kepada keadaan yang lebih baik lagi.
Dan hanya kepada Allah tempat memohon semoga Dia memberikan taufiq-Nya kepada kaum muslimin agar mereka diberi kefahaman dalam urusan agama mereka dan kekokohan di atasnya, dan agar Allah mengokohkan kedudukan kaum muslimin di muka bumi, serta menolong mereka atas musuh-musuh Allah dan musuh-musuh mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penolong dan Maha Mampu atas itu semua.
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=353595
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=549#more-549)
Manfaat dan Keutamaan Ibadah Haji (2)
Segala puji bagi Allah, shalawat serta salam kita sampaikan kepada Rasulullah, keluarganya, dan para shahabatnya. Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala telah mensyari’atkan ibadah haji karena di dalamnya terkandung berbagai hikmah, rahasia yang agung, dan manfaat yang melimpah. Allah subhanahu wata’ala telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya:
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍÙÞ
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَÙß
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِÙà
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang kurus yang datang dari segenap penjuru. Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan sebagian lagi berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 27-29]
Dalam ayat-ayat di atas, Allah subhanahu wata’ala memanggil para hamba-Nya untuk menunaikan ibadah haji, agar mereka bisa menyaksikan berbagai manfaat yang ada padanya.
Kemudiaan setelah itu Allah ta’ala menyebutkan empat manfaat, yaitu:
Pertama, Allah menyebutkan pelaksanaan ibadah haji itu dilakukan pada hari-hari yang telah ditentukan yaitu 10 hari (pertama) di bulan Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq.
Adapun (manfaat) yang kedua, ketiga, dan keempat telah disebutkan dalam firman-Nya:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
“Kemudian hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka dan hendaklah mereka melakukan thawaf di sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” [Al-Hajj: 29]
Di antara manfaat yang paling agung adalah pemandangan yang bisa disaksikan oleh jama’ah haji ketika umat Islam menghadapkan hati-hati mereka kepada Allah subhanahu wata’ala, banyaknya dzikir yang dilantunkan, baik dengan mengucapkan talbiyah ataupun yang lainnya dari berbagai bentuk dzikir. Amalan seperti ini mengandung keikhlasan kepada Allah dalam peribadatan, pengagungan terhadap hak-hak Allah, dan perenungan terhadap segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dan segala sesuatu yang dapat menjauhkan dari kemurkaan-Nya.
Dan merupakan sesuatu yang telah diketahui, bahwa pokok, pondasi, serta penyangga agama ini, yang juga merupakan inti dari amalan-amalan hamba adalah merealisasikan makna laa ilaaha illallah wa anna muhammadan rasulullah (persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah) baik dengan ucapan, amalan, maupun keyakinan.
Syahadah (persaksian) yang pertama,
yaitu wajibnya memurnikan peribadatan hanya kepada Allah semata dan mengkhususkan peribadatan hanya kepada-Nya, di antaranya do’a, khauf (rasa takut), raja’ (berharap), tawakkal, shalat, puasa, menyembelih, nadzar, dan berbagai macam ibadah yang lainnya. Karena berbagai bentuk ibadah tersebut merupakan hak Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, baik dari kalangan Malaikat yang dekat (dengan Allah), maupun dari para Nabi yang diutus, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla:
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ
“Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kamu jangan beribadah kecuali hanya kepada-Nya.” [Al-Israa: 23]
Dan juga firman Allah ta’ala:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar beribadah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya.” [Al-Bayyinah: 5]
Dan juga firman Allah ta’ala:
فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Maka berdoalah kepada Allah dalam keadaan mengikhlaskan agama bagi-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak menyukainya.” [Ghafir: 14]
Arti dari ‘agama‘ di sini adalah ibadah, yaitu mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya ‘alaihish shalatu wassalam dengan cara melaksanakan perintah keduanya dan menjauhi larangannya, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikhlaskan peribadatan hanya kepada Allah, serta membenarkan semua yang diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan mengharapkan pahala dan takut dari adzab-Nya.
Ini adalah makna kalimat laa ilaaha illallah, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali hanya Allah, maksudnya adalah meniadakan semua bentuk peribadatan (yakni Al-Uluhiyyah dan semua makna yang terkandung di dalamnya) dari selain Allah subhanahu wata’ala, kemudian menetapkan peribadatan (dan semua makna yang terkandung di dalamnya) khusus hanya kepada Allah ta’ala saja. Semua yang diibadahi oleh manusia selain Allah dari kalangan para Nabi, Malaikat, jin, atau yang lainnya, maka itu semua adalah sesembahan yang diibadahi dengan cara yang bathil, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla:
ذَٰلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Ilah) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain dari Allah, itulah yang batil.” [Al-Hajj: 62]
Oleh karena agungnya permasalahan (ibadah) tersebut, maka Allah ta’ala menciptakan jin dan manusia, dan Allah ta’ala memerintahkan mereka untuk beribadah hanya kepada-Nya. Allah ‘azza wajalla berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” [Adz-Dzariyat: 56]
Dan firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, beribadahlah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” [Al-Baqarah: 21]
Ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala adalah dengan cara mentauhidkan Allah dalam hal Rububiyah-Nya, Uluhiyah-Nya serta Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya, mentaati segala yang diperintahkan-Nya dan meninggalkan semua yang dilarang oleh-Nya, berupa keimanan (kepada-Nya), membenarkan (setiap apa yang dikabarkan-Nya), berharap, dan takut kepada-Nya sebagaimana telah lalu penjelasannya. Allah subhanahu wata’ala menamakan agama-Nya dengan Ibadah. Karena seorang hamba ketika melaksanakan agama tersebut, dia melaksanakannya dengan penuh kerendahan dan kehinaan di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Disebutkan dalam sebuah istilah (ungkapan) Arab:
Thariq Mu’abbad, maksudnya adalah jalan yang sering dilalui oleh orang dan telah diinjak oleh banyak kaki.
Dan juga istilah:
Ba’ir Mu’abbad, maksudnya adalah onta yang ditundukkan yang telah diikat sampai menjadi hina.[1]
Permasalahan ini, yaitu permasalahan tauhid dan ikhlas kepada Allah ta’ala, serta mengkhususkan peribadatan hanya kepada-Nya saja tanpa selain-Nya, merupakan permasalahan yang paling penting dan paling agung. Dan pada permasalahan inilah terjadinya perselisihan antara para rasul dan kaumnya, kaum ‘Aad mengatakan kepada Nabi Hud ‘alaihissalam:
قَالُوا أَجِئْتَنَا لِنَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ وَنَذَرَ مَا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا ۖ
“Mereka berkata: “Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan segala sesuatu yang biasa diibadahi oleh bapak-bapak kami?” [Al-A’raf: 70]
Demikian pula dengan kaum Quraisy yang mengatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau memerintahkan kepada mereka untuk mentauhidkan Allah :
أَجَعَلَ الْآلِهَةَ إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan itu sesembahan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar perkara yang sangat mengherankan.” [Shaad: 5]
Mereka (Quraisy) juga mengatakan sebagaimana yang telah Allah ta’ala sebutkan kisah mereka dalam surat Ash-Shaffat:
“Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?” [Ash-Shaffat: 36]
Setelah sebelumnya Allah ta’ala mengatakan tentang mereka:
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ
“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada satupun yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.” [Ash-Shaffat: 35]
Maka dari ayat-ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang semakna dengannya, dapat diketahui bahwasanya orang-orang musyrikin mengingkari dakwah tauhid dan bersikap sombong (dan tidak mau) untuk berpegang teguh dengannya. Karena memang mereka telah terbiasa melakukan perbuatan yang mereka wariskan dari nenek moyang mereka, yaitu kesyirikan kepada Allah dan beribadah kepada selain-Nya.
Sehingga wajib bagi seorang yang berilmu dan beriman, dan juga seorang da’i di jalan Allah, untuk mencurahkan perhatiannya terhadap masalah ini, serta wajib atas mereka untuk menjelaskan hakikat tauhid dan syirik kepada manusia dengan penjelasan yang sempurna. Karena masalah ini merupakan dasar (pokok) yang merupakan inti penentu baik atau buruk, dan diterima atau ditolaknya berbagai amalan, sebagaimana firman-Nya ‘azza wajalla:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” [Az-Zumar: 65]
Dan firman Allah ta’ala:
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُم مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An‘am: 88]
Adapun syahadah (persaksian) yang kedua,
yaitu persaksian bahwasanya Muhammad adalah Rasulullah. Ini adalah dasar (pokok) kedua yang akan menentukan diterima atau benarnya berbagai amalan. Persaksian ini memberikan konsekuensi untuk wajib mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mencintainya, membenarkan berita-beritanya, mentaati perintah-perintahnya, serta meninggalkan larangan-larangannya, kemudian tidaklah beribadah kepada Allah kecuali dengan bentuk dan tata cara ibadah yang telah disyari’atkan oleh Rasulullah ‘alaihish shalatu wassalam, sebagaimana firman Allah ‘azza wajalla:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” [Al-Hasyr: 7]
Dan juga firman-Nya ta’ala:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” [Ali ‘Imran: 31]
Tidak ada hidayah (petunjuk) menuju Ash-Shirathal Mustaqim kecuali dengan mengikuti Rasulullah dan berpegang teguh dengan petunjuk (bimbingan)nya, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” [An-Nuur: 54]
Dan firman-Nya ‘azza wajalla:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” [Al-A’raf: 158]
Telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda:
“Setiap umatku akan masuk ke dalam Jannah kecuali orang yang enggan. Ditanyakan kepada beliau: ‘Siapakah yang enggan wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang taat kepadaku ia akan masuk Jannah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh ia telah enggan.” [HR. Al-Bukhari]
Menunjukkan makna hadits ini adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُØÚ
وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌØÛ
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam jannah yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisa’: 13-14]
Ayat-ayat yang semakna dengan hal ini dalam Al-Qur’an banyak sekali.
Di antara berbagai manfaat dan faidah yang agung dari ibadah haji adalah bahwasanya dengan melaksanakan ibadah haji, akan mengingatkan seseorang pada akhirat dan berkumpulnya hamba-hamba Allah di hadapan Rabb merekaa nanti pada hari kiamat, karena di Al-Masya’ir (tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji), manusia dari berbagai bangsa dan suku terkumpul pada satu tempat, dalam keadaan kepala terbuka, berdzikir kepada Allah dan menyambut panggilan-Nya. Pemandangan seperti ini serupa dengan berkumpulnya manusia di hadapan Allah pada hari kiamat nanti pada satu tanah lapang yang luas dalam keadaan tidak bersandal, tidak memakai busana, dan belum berkhitan, dalam keadaan takut dan berharap. Dan yang demikian termasuk dari hal-hal yang dapat membangkitkan pada diri jama’ah haji perasaan takut kepada Allah, merasa diawasi oleh-Nya dan membangkitkan keikhlaskan dalam beramal hanya untuk Allah, sebagaimana mereka juga berdo’a kepada Allah, memohon untuk difahamkan tentang agama ini dan memohon kepada-Nya jalan keluar dari kesulitan-kesulitan yang menimpanya, sampai seseorang akan beribadah kepada Rabbnya di atas ilmu, dan akan menuai hasil berupa bimbingan yang dia berikan kepada orang yang berada di bawah tanggung jawabnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta berpegang teguh dengan kebenaran. Sehingga dia akan kembali ke negerinya dalam keadaan telah mendapatkan bekal kebaikan dan faidah ilmu yang banyak.
Tidak diragukan lagi bahwa ini merupakan manfaat yang paling agung dan sempurna. Apalagi bagi mereka yang mengikuti majelis-majelis ilmu yang diadakan di masjid Al-Haram, masjid An-Nabawi, dan di tempat-tempat lain. Kemudian ia mendengarkan dengan seksama ceramah yang disampaikan oleh para da’i dan bersemangat untuk bisa mengambil faidah dari nasehat-nasehat serta arahan-arahan yang diberikan oleh para da’i.
Masih banyak faidah dan berbagai manfaat yang lain baik secara khusus maupun umum, yang seandainya dirinci, maka akan panjang sekali penjelasannya. Di antaranya adalah:
Pelaksanaan thawaf di Ka’bah, melakukan sa’i antara Shafa dan Marwa, shalat di masjid Al-Haram, melempar Jumrah, Wukuf di ‘Arafah dan Muzdalifah, banyak berdzikir kepada Allah, berdo’a dan beristighfar kepada-Nya di tempat-tempat tersebut.
Dalam ibadah tersebut terdapat banyak manfaat, faidah, kebaikan yang banyak, dan pahala yang besar, serta dihapusnya berbagai dosa yang tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali hanya Allah, itu semua akan bisa diperoleh hanya bagi mereka yang mengikhlaskan amalan tersebut semata-mata kepada Allah saja dan bersikap jujur di dalam mengikuti Rasulullah sahallallahu ‘alaihi wasallam, berpegang teguh dengan petunjuk beliau, serta berjalan di atas sunnah beliau.
Dalam sebuah hadits, disebutkan bahwasanya beliau ‘alaihish shalatu wassalam bersabda:
“Sesungguhnya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa, serta melempar jumrah dijadikan sebagai momen dalam rangka mengingat Allah.” [HR. Ahmad dalam ‘Baqi Musnad Al-Anshar‘, yaitu Musnad ‘Aisyah no. 24557, Abu Dawud dalam Kitab Al-Manasik bab Fi Ar-Raml no. 1888]
Aku memohon kepada Allah ‘azza wajalla agar Dia memperbaiki keadaan segenap kaum muslimin, menganugerahkan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya, menerima amalan kita dan mereka, serta memilihkan kepada kaum muslimin seorang pemimpin terbaik di kalangan mereka, yang akan memperbaiki hati dan amalan mereka, yang akan menolong agama-Nya, dan menghinakan musuh-musuh-Nya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.
Diterjemahkan dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=362907 dengan tambahan catatan kaki dari tim redaksi.
[1] Sebagaimana sesuatu yang sering diinjak itu menunjukkan hinanya sesuatu tersebut. Maka ‘ibadah‘ yang satu asal kata dengan ‘mu’abbad‘ menunjukkan bahwa pelaku ibadah tersebut merendahkan dan menghinakan diri di hadapan Allah ta’ala.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=551)