Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Pertama, secara umum menjalankan perintah lebih utama dibandingkan menjauhi larangan. Pahala menjalankan perintah lebih besar dibandingkan pahala menjauhi larangan. Dosa tidak menjalankan perintah lebih besar dibandingkan dosa akibat menjalankan larangan. Ini kaidah secara umum.
Walaupun perintah itu bertingkat-tingkat dan larangan juga bertingkat-tingkat. Pada sebagian larangan ada yang kadarnya lebih tinggi dibandingkan kadar perintah, sehingga meninggalkan larangan dalam hal itu lebih utama dibandingkan menjalankan perintah. Contoh: menjauhi perbuatan zina lebih besar kadar pahalanya dibandingkan menjalankan perintah melakukan qiyaamul lail. Kaidah ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawa. Beliau menyatakan:
أَنَّ جِنْسَ فِعْلِ الْمَأْمُورِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ تَرْكِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ جِنْسَ تَرْكِ الْمَأْمُورِ بِهِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ فِعْلِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ وَأَنَّ مَثُوبَةَ بَنِي آدَمَ عَلَى أَدَاءِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ مَثُوبَتِهِمْ عَلَى تَرْكِ الْمُحَرَّمَاتِ وَأَنَّ عُقُوبَتَهُمْ عَلَى تَرْكِ الْوَاجِبَاتِ أَعْظَمُ مِنْ عُقُوبَتِهِمْ عَلَى فِعْلِ الْمُحَرَّمَاتِ
Jenis mengerjakan hal yang diperintahkan lebih agung dibandingkan jenis meninggalkan hal yang dilarang. Dan jenis meninggalkan hal yang diperintahkan lebih besar dibandingkan jenis mengerjakan hal yang dilarang. Pahala Anak Adam dalam mengerjakan kewajiban lebih besar dibandingkan pahala meninggalkan hal yang diharamkan. Akibat (dosa) karena meninggalkan kewajiban lebih besar dibandingkan mengerjakan hal yang diharamkan (Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah ( 20/85)).
Selanjutnya beliau menjelaskan kaidah itu dengan menyatakan bahwa ilmu dan niat itu terkait dengan sesuatu yang akan diwujudkan (amal), bukan sesuatu yang tidak ada (meninggalkan amalan). Artinya, mewujudkan sesuatu (menjalankan perbuatan) itu lebih diharapkan dibandingkan meniadakan sesuatu. Menjalankan perintah itulah asal dari tujuan syariat, sedangkan meninggalkan larangan adalah penyempurna untuk mencapai tujuan itu.
Setelah itu beliau menyebutkan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa kaidah ini benar. Tidak tanggung-tanggung beliau menjelaskan sebanyak 22 alasan (sisi pendalilan). yang setiap sisinya disebutkan dalil-dalilnya. Berikut akan disebutkan 4 alasan saja yang disarikan dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tersebut:
1.Kebaikan yang paling agung adalah iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan keburukan yang paling besar adalah kekafiran. Iman adalah suatu hal yang harus diwujudkan. Seorang tidak bisa dikatakan beriman secara dzhahir kalau dia tidak menampakkan ushul (pokok) keimanannya yaitu syahadat Laa Ilaaha Illallah. Dia tidak disebut sebagai mukmin secara batin jika tidak meyakini syahadat itu dalam hatinya dan menghilangkan keraguan itu secara lahir dan batin. Selain itu ia harus mewujudkan iman itu dengan amal sholih. Sedangkan kekafiran adalah tidak beriman, sama saja apakah kekafiran itu dalam bentuk meyakini hal yang berlawanan dengan keimanan atau mengucapkan sesuatu hal yang berlawanan dengan keyakinan, atau tidak meyakini maupun tidak mengucapkan keimanan (misalkan tidak bersyahadat).
2.Perbandingan dosa antara ayah Jin (Iblis) dengan ayah manusia (Adam). Mana yang lebih besar dan lebih dahulu dosanya? Jawabannya adalah : Iblis. Iblis tidak melaksanakan perintah karena menentang dan sombong. Ia tidak mau melaksanakan perintah untuk bersujud. Sedangkan dosa Adam adalah dosa kecil yaitu mengerjakan suatu hal yang dilarang: makan dari suatu pohon.
3.Dalam madzhab Ahlussunnah: seseorang Ahlul Qiblat (muslim) tidak dikafirkan karena melakukan suatu dosa atau mengerjakan perbuatan tertentu (kemaksiatan) seperti zina, mencuri, minum khomr, selama kemaksiatan itu tidak mengandung sikap meninggalkan keimanan. Kalau itu mengandung sikap meninggalkan keimanan, maka ia kafir seperti tidak beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, para Rasul, kebangkitan setelah kematian. Termasuk kafir juga jika ia tidak meyakini wajibnya sesuatu hal yang wajib yang telah jelas dan mutawatir serta tidak meyakini haramnya sesuatu hal yang haram yang telah jelas dan mutawatir.
4.Dosa akibat menjalankan hal yang dilarang bisa dihapus dengan melakukan sesuatu yang diperintahkan, yaitu taubat dan mengiringinya dengan melakukan kebaikan-kebaikan (amal sholih). Kedua : dari sisi pelaksanaan dan hambatan di sekeliling, sering kali lebih berat meninggalkan larangan karena untuk menjalankan perintah masih ada keringanan sesuai keadaan (sebagaimana pendapat Imam Ahmad). Bagi yang tidak bisa sholat dengan berdiri bisa dengan duduk. Jika tidak bisa dengan duduk, bisa dengan berbaring. Perintah dikerjakan sesuai dengan kemampuan. Tapi meninggalkan larangan-larangan (keharaman) ada banyak tantangan dan godaan, seperti bujukan hawa nafsu dalam diri, bisikan syaithan, sebab-sebab duniawi, teman yang buruk yang mempengaruhi, keinginan meniru orang-orang sekeliling yang tidak istiqomah dalam al-haq, dan sebagainya. Kata Ibnul Qoyyim, masing-masing unsur semacam ini adalah penarik yang kuat. Bagaimana kalau semua unsur itu bergabung? Tentunya akan lebih berat penghalang meninggalkan hal yang diharamkan. Karena itu, seorang yang sangat berat godaan untuk mengerjakan kemaksiatan dan ia mampu bersabar menahan dirinya agar tidak jatuh dalam keharaman, pahalanya sangat besar dan akan mendapat ampunan dari Allah:
كُتِبَ إِلَى عُمَرَ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ رَجُلٌ لَا يَشْتَهِي الْمَعْصِيَةَ وَلَا يَعْمَلُ بِهَا أَفْضَلُ أَمْ رَجُلٌ يَشْتَهِي الْمَعْصِيَةَ وَلَا يَعْمَلُ بِهَا ؟ فَكَتَبَ عُمَر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَهُونَ الْمَعْصِيَة وَلَا يَعْمَلُونَ بِهَا ” أُولَئِكَ الَّذِينَ اِمْتَحَنَ اللَّهُ قُلُوبهمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَة وَأَجْر عَظِيم
Ditulis surat (pertanyaan) kepada Umar. (Isinya adalah) Wahai Amirul mukminin manakah yang lebih utama: (pertama) ada seseorang yang tidak ingin berbuat kemaksiatan, dan ia tidak melakukan kemaksiatan atau (Kedua) orang yang ingin berbuat maksiat dan ia tidak mengerjakannya? Maka Umar radhiyallahu anhu menulis surat (jawaban) : Sesungguhnya orang yang ingin (ada dorongan) berbuat maksiat tapi tidak ia kerjakan maksiat itu, (inilah yang lebih utama). (Firman Allah Ta’ala): << Mereka itu adalah orang-orang yang Allah uji hati mereka untuk bertaqwa, bagi mereka ampunan dan pahala yang agung (Q.S al-Hujuraat ayat 3)(riwayat Ahmad dalam az-Zuhud dengan sanad yang shahih sampai Mujahid).
Menahan diri dari berbuat maksiat menjadikan seseorang sebagai orang yang paling beribadah kepada Allah:
اتَّقِ الْمَحَارِمَ تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ
Berhati-hatilah (jangan terjerumus) ke dalam hal-hal yang diharamkan, niscaya engkau termasuk manusia yang paling beribadah (kepada Allah)(H.R atTirmidzi, dihasankan al-Albaniy)
Menahan diri dari berbuat maksiat itu lebih utama dibandingkan beribu-ribu kali memperbanyak amal ibadah yang nafilah. Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu anhu menyatakan:
لرد دانق من حرام أفضل من مائة ألف تنفق في سبيل الله
Mengembalikan satu Daniq (1/6 dirham) yang haram itu lebih utama dibandingkan berinfaq 100 ribu (dirham) di jalan Allah Seperti perkataan Abdullah bin al-Mubarok (salah seorang atbaut Tabiin):
لَأَنْ أَرُدَّ دِرْهَمًا مِنْ شُبْهَةٍ أَحَبُّ إلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِمِائَةِ أَلْفٍ وَمِائَةِ أَلْفِ وَمِائَةِ أَلْفٍ حَتَّى بَلَغَ سِتُّمِائَةِ أَلْفٍ
Seandainya saya mengembalikan satu dirham dari syubhat (meragukan kehalalannya) itu lebih aku sukai dibandingkan saya bershodaqoh sebanyak 100 ribu, 100 ribu, 100 ribu,…sampai 600 ribu (dirham)(riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Wara’) Seorang yang menjaga diri untuk tidak terjatuh ke dalam riba atau penghasilan yang haram sebesar seribu rupiah, itu lebih baik dan lebih utama dibandingkan ia bershodaqoh sebesar 600 juta rupiah! Maimun bin Mihron –seorang tabi’i salah satu murid Sahabat Ibnu Abbas– berkata:
الذكر ذكران ذكر الله باللسان حسن وأفضل من ذلك أن يذكر الله العبد عند المعصية فيمسك عنها
Dzikir itu ada 2 macam. Dzikir (mengingat) Allah dengan lisan adalah baik. Tapi yang lebih utama dari itu adalah seorang mengingat Allah ketika akan berbuat maksiat kemudian dia menahan diri dari hal itu (riwayat Ibnu Abid Dunya dalam al-Wara’) Umar bin Abdil ‘Aziz –seorang Tabi’i- menyatakan:
ليس تقوى الله بصيام النهار ولا بقيام الليل والتخليط فيما بين ذلك ولكن تقوى الله ترك ما حرم الله وأداء ما افترض الله فمن رزق بعد ذلك خيرا فهو خير إلى خير
Bukanlah dinamakan taqwa kepada Allah dengan puasa siang hari dan qiyaamul lail di malam hari serta mencampurkan kedua hal itu. Akan tetapi taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan menjalankan hal yang diwajibkan Allah. Barangsiapa yang diberi rezeki untuk beramal kebaikan lebih dari itu, maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan (riwayat al-Baihaqy dalam az-Zuhud, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq).
KESIMPULAN Dari penjabaran di atas, kita bisa mengambil faidah kesimpulan dari pernyataan Ibnu Rojab al-Hanbaliy rahimahullah:
والظاهر أن ما ورد من تفضيل ترك المحرمات على فعل الطاعات إنما أريد به على نوافل الطاعات وإلا فجنس الأعمال الواجبات أفضل من جنس ترك المحرمات لأن الأعمال مقصودة لذاتها والمحارم مطلوب عدمها ولذلك لا تحتاج إلى نية بخلاف الأعمال وكذلك كان جنس ترك الأعمال قد تكون كفرا كترك التوحيد وكترك أركان الإسلام أو بعضها على ما سبق بخلاف ارتكاب المنهيات فإنه لا يقتضي الكفر Y
ang nampak jelas adalah : bahwa meninggalkan hal yang diharamkan lebih utama dibandingkan mengerjakan ketaatan itu berlaku hanya untuk ketaatan yang nafilah (sunnah). Kalau dari sisi jenis, mengerjakan amal kewajiban lebih utama dari meninggalkan hal yang diharamkan. Karena amalan-amalan itu dimaksudkan secara dzatnya. Sedangkan hal-hal yang diharamkan, diharapkan ketiadaannya. Yang demikian tidak membutuhkan niat. Berbeda dengan melakukan perbuatan (membutuhkan niat, pent). Demikian juga, meninggalkan suatu amalan, kadangkala mengakibatkan kekufuran. Seperti meninggalkan tauhid dan meninggalkan rukun-rukun Islam atau sebagiannya –sebagaimana yang telah disebut sebelumnya-. Berbeda dengan melakukan hal yang dilarang, yang tidak sampai menyebabkan kekufuran (Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/96))
Ibnu Rojab rahimahullah juga menyatakan:
وحاصل كلامهم يدل على اجتناب المحرمات وإن قلت فهي أفضل من الإكثار من نوافل الطاعات فإن ذلك فرض وهذا نفل
Kesimpulan ucapan mereka (para Ulama) menunjukkan bahwa meninggalkan hal-hal yang diharamkan meski sedikit itu lebih utama dibandingkan memperbanyak mengerjakan ketaatan yang sunnah (nafilah). Karena yang itu (meninggalkan yang haram) adalah wajib sedangkan yang ini adalah nafilah (Jaami’ul Uluum wal Hikaam (1/96)) Demikianlah rangkuman dan tambahan penjelasan yang mayoritas diambil dari 3 referensi utama: Majmu’ Fataawa Ibn Taimiyyah, Thoriqul hijrotayn karya Ibnul Qoyyim, dan Jaami’ul Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rojab al-Hanbaliy. Wallaahu A’lam.