You are currently viewing Makna serta hakikat ‘yakin’ & tawakkal

Makna serta hakikat ‘yakin’ & tawakkal

  • Post author:
  • Post category:Aqidah

Makna & Hakikat Yakin

Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menerangkan makna yakin: “Yakin dalam iman seperti kedudukan ruh dalam jasad, yang dengannya orang-orang yang ‘arif saling berunggul-unggulan, orang-orang berlomba-lomba padanya, orang-orang yang beramal berjalan kepadanya, dan suatu kaum beramal agar berada di atasnya, serta isyarat mereka seluruhnya kepadanya, dan apabila sabar bergandengan dengan yakin maka keduanya itu akan melahirkan kepemimpinan dalam agama.

Allah Ta’ala berfirman –dan dengan firman-Nya orang-orang yang mencari petunjuk akan mendapat petunjuk- :

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (As-Sajdah:24)

Allah Ta’ala mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan kemampuan mengambil manfaat terhadap ayat-ayat(Nya) dan hujjah-hujjah, Allah berfirman –dan Dialah sebenar-benar dzat yang berbicara- :

وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ

“Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (Adz-Dzaariyaat:20)

Dan Allah telah mengkhususkan orang-orang yang yakin dengan petunjuk dan kemenangan/ keberuntungan di antara seluruh alam, Allah berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ () أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah:4-5)

Maka yakin adalah ruhnya amalan-amalan hati yang (amalan-amalan hati tersebut) merupakan ruhnya amalan-amalan anggota badan, dan merupakan hakikatnya kejujuran/kebenaran serta pusatnya perkara ini.” (Madaarijus Saalikiin 2/397)

Oleh karena itu, yakin adalah ilmu yang tidak ada keraguan padanya dan i’tiqad/ keyakinan/ kepercayaan yang sesuai dengan kenyataan. Ada tiga tingkatan dalam yakin: ‘ilmul yaqiin, haqqul yaqiin, dan ‘ainul yaqiin. Adapun tingkatan pertama seperti pengetahuanmu bahwasanya di lembah ini terdapat air, sedangkan tingkatan kedua adalah kalau kamu sudah melihatnya dan tingkatan ketiga adalah kalau kamu sudah meminumnya.

Makna & Hakikat Tawakkal

Berkata Ibnu Rajab Al-Hambaliy menerangkan makna tawakkal: “Yaitu benarnya penyandaran hati kepada Allah ‘Azza wa Jalla di dalam mendapatkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan (berbagai mara bahaya) dari perkara-perkara dunia dan akhirat seluruhnya, yang seluruh perkara diserahkan kepada-Nya, dan merupakan pembuktiannya iman bahwasanya tidak ada yang memberi, tidak ada yang mencegah, tidak ada yang memberikan madharat dan tidak ada yang memberikan manfaat kecuali Dia.

Perealisasian/pembuktian tawakkal tidaklah menafikan usaha dalam mengambil sebab-sebab yang telah Allah Ta’ala tentukan terhadap makhluk-Nya dengannya dan telah berjalan sunnah-Nya pada makhluk-Nya dengan hal itu, maka sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mengambil sebab-sebab bersamaan perintah-Nya untuk bertawakkal, maka usaha dalam mengambil sebab-sebab dengan anggota badan adalah ibadah kepada-Nya sedangkan tawakkal kepada-Nya dengan hati adalah keimanan kepada-Nya.” (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam hal.628 – Al-Muntaqaa)

Berkata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah: “Yakin adalah temannya tawakkal, dan karena inilah ada yang menafsirkan tawakkal dengan kuatnya yakin, sedangkan yang benar adalah bahwa tawakkal adalah buahnya yakin dan hasilnya.” (Madaarijus Saalikiin 2/397-398, lihat Bahjatun Naazhiriin 1/148-149)

Hakikat Tawakkal & Contoh-contohnya

Sesungguhnya manusia apabila mengesakan Allah Ta’ala dengan tawakkal maka berarti dia bersandar kepada-Nya dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menghilangkan apa-apa yang tidak disukai, dan dia tidak bersandar kepada selain-Nya.
Sedangkan tawakkal itu sendiri adalah penyandaran kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan apa-apa yang diinginkan dan dalam menolak apa-apa yang tidak disukai, bersamaan adanya ketsiqahan/kepercayaan kepada-Nya dan melakukan sebab-sebab yang diperbolehkan padanya, dan inilah definisi tawakkal yang paling dekat. Sehingga mesti adanya dua perkara: yang pertama: bersandar kepada Allah dengan penyandaran yang jujur dan hakiki. Kedua: melakukan sebab-sebab yang dibolehkan padanya.

Maka barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada sebab-sebab itu lebih banyak maka berkuranglah tawakkalnya kepada Allah, dan jadilah dia orang yang menodai dalam masalah pencukupan Allah (terhadap hamba-Nya), maka seakan-akan dia menjadikan sebab semata (tanpa tawakkal-pent) yaitu bersandar terhadap apa-apa yang dia condong kepadanya dari mendapatkan hal-hal yang diinginkan dan menghilangkan hal-hal yang tidak disukai.

Dan sebaliknya barangsiapa yang menjadikan penyandarannya kepada Allah tetapi melalaikan/tidak mengambil sebab-sebab, maka sungguh dia telah mencela dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah telah menjadikan bagi segala sesuatu itu ada sebabnya, maka barangsiapa yang bersandar kepada Allah dengan penyandaran semata, maka dia adalah orang yang menodai dalam masalah hikmahnya Allah, karena sesungguhnya Allah adalah Hakim, yang mengaitkan sebab-sebab dengan akibat-akibatnya. Contohnya seperti orang yang bersandar/tawakkal kepada Allah dalam mendapatkan anak tetapi dia tidak menikah, dan contoh lainnya sangat banyak.

Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri adalah orang yang paling bertawakkal di antara orang-orang yang bertawakkal, akan tetapi bersamaan dengan itu beliau tetap mengambil sebab-sebab. Maka ketika safar beliau membawa bekal, dan ketika keluar ke Uhud (untuk perang) beliau memakai dua baju besi (HR. Abu Dawud no.2590). Dan ketika keluar untuk hijrah (ke Madinah) beliau mengambil seseorang untuk menunjukkan jalan (HR. Al-Bukhari no.2263), dan beliau tidak mengatakan: “Saya akan pergi berhijrah dan bertawakkal kepada Allah serta saya tidak akan ditemani oleh orang yang akan menunjukiku jalan.” Beliau juga berlindung dari panas dan dingin, akan tetapi semuanya itu tidaklah mengurangi tawakkalnya.

Pernah disebutkan kepada ‘Umar bahwasanya ada sekelompok manusia dari penduduk Yaman datang untuk berhaji tetapi tidak membawa bekal, maka mereka didatangkan kepada ‘Umar, lalu ‘Umar menanyai mereka, maka mereka pun menjawab: “Kami adalah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah.” Maka ‘Umar pun membantah: “Kalian bukan orang-orang yang bertawakkal, bahkan kalian adalah orang-orang yang pura-pura bertawakkal.”

Urgensinya Tawakkal

Tawakkal adalah setengah agama, dan karena inilah kita mengatakan dalam shalat kita:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Al-Faatihah:5)

Maka kita meminta kepada Allah pertolongan dengan bersandar kepada-Nya bahwasanya Dia akan menolong kita terhadap peribadahan kita kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman:

..فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ..

“Maka beribadahlah kepada-Nya, dan bertawakkallah kepada-Nya.” (Huud:123)

عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Hanya kepada Allah-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Huud:88)

Dan tidak mungkin akan terealisasi suatu ibadah kecuali dengan tawakkal, karena sesungguhnya manusia seandainya diserahkan kepada dirinya, maka ini berarti diserahkan kepada kelemahan dan ketidakberdayaan, dan dia tidak akan mampu untuk melaksanakan ibadah. Maka jika manusia itu ketika beribadah kepada Allah, dia merasakan bahwasanya dia bertawakkal kepada Allah, maka dengan itu dia akan mendapatkan pahala ibadah dan pahala tawakkal.

Akan tetapi secara umum kita mempunyai tawakkal yang lemah, sehingga kita tidak merasakan adanya tawakkal kepada Allah dan bersandar kepada-Nya ketika melaksanakan ibadah ataupun kegiatan lainnya, bahkan secara umum kita bersandar kepada sebab-sebab yang zhahir dan melupakan sesuatu di balik itu (yaitu tawakkal kepada Allah-pent), maka kita kehilangan pahala yang besar yaitu pahala tawakkal.

Sebagaimana kita tidak diberi kemudahan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan sebagaimana ini banyak terjadi, sama saja apakah kita mendapatkan penghalang-penghalang yang mengharuskan terputusnya ibadah/kegiatan yang kita lakukan ataupun penghalang-penghalang yang mengharuskan berkurangnya ibadah/kegiatan tersebut.

Pembagian Tawakkal

Tawakkal terbagi menjadi empat macam:

a. Pertama: Tawakkal ibadah dan ketundukan, yaitu ketundukan yang muthlaq kepada Dzat yang ditawakkali sehingga dia yakin bahwasanya di tangan-Nya-lah perolehan manfaat dan penolakan madharat, maka dia bersandar kepada-Nya dengan penyandaran yang sempurna, dalam keadaan dia merasakan akan butuhnya dia kepada-Nya, maka jenis tawakkal ini wajib hanya diberikan untuk Allah Ta’ala. Dan barangsiapa yang memalingkannya untuk selain Allah, maka dia musyrik, yaitu orang yang melakukan syirik akbar seperti orang-orang yang bersandar kepada orang-orang shalih dari kalangan orang-orang yang sudah mati dan orang-orang yang ghaib/tidak hadir, dan hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwa orang-orang ini (yang sudah mati dan yang ghaib) mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam, lalu dia bersandar kepada mereka dalam mendapatkan kemanfaatan-kemanfaatan dan menolak kemadharatan-kemadharatan.

b. Kedua: Tawakkal tersembunyi yaitu bersandar kepada mayit atau orang yang ghaib dalam mendapatkan manfaat atau menolak bahaya, maka ini adalah syirik akbar. Karena sesungguhnya hal ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang berkeyakinan bahwasanya mayit atau orang ghaib ini mempunyai andil yang tersembunyi dalam (pengaturan) alam dan tidak ada bedanya apakah mayit/orang ghaib itu nabi atau wali ataupun thaghut musuh Allah Ta’ala.

c. Ketiga: Tawakkal kepada orang lain dalam hal-hal yang orang tersebut punya andil padanya bersamaan adanya perasaan akan tingginya kedudukan orang yang ditawakkali dan rendahnya orang yang bertawakkal, seperti bersandar/tawakkal kepada seseorang dalam rizkinya, penghidupannya dan yang lainnya atau seperti penyandaran kebanyakan manusia kepada pekerjaannya dalam mendapatkan rizkinya, maka ini termasuk syirik ashghar karena kuatnya keterikatan hati dengannya dan kuatnya penyandaran kepadanya dan sebagian ‘ulama memasukkannya dalam syirik khafiy (yang tersembunyi).

Dan karena inilah engkau akan mendapati orang tersebut merasakan dalam dirinya bahwasanya dia bersandar kepada hal ini dengan penyandarannya orang yang membutuhkan, maka engkau akan mendapatkan dalam dirinya kecondongan kepada orang yang rizki dia ada di sisinya (melalui perantaraannya-pent), inilah yang nampak pada orang tersebut, maka dia tidak meyakini bahwasanya orang tersebut/pekerjaannya semata-mata sebagai sebab saja, bahkan dia menjadikannya di atas sebab.

Adapun jika dia bersandar kepadanya dengan meyakini bahwasanya hal itu (orang/pekerjaan) hanya sebab saja dan bahwasanya Allah-lah yang menentukan rizki atau yang lainnya melalui tangan orang tersebut maka hal ini tidak mengapa apabila orang yang dia bersandar kepadanya mempunyai usaha yang dibenarkan syari’at dalam mendapatkan rizki atau yang lainnya.

d. Keempat: Bersandar kepada seseorang dalam hal-hal yang diserahkan kepadanya suatu urusan untuk dilakukan/diselesaikan, istilah lainnya adalah al-wikaalah (mewakilkan sesuatu), maka ini boleh berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’. Contohnya: ucapan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya:

يَا بَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ

“Hai anak-anakku, pergilah kalian, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya.” (Yuusuf:87).

Contoh lainnya: seperti kalau engkau mewakilkan kepada seseorang dalam masalah jual-beli sesuatu, hal ini tidak mengapa, karena sesungguhnya dia bersandar kepadanya dalam keadaan dia merasa bahwasanya kedudukan yang tinggi itu milik dia dan dia di atasnya, karena sesungguhnya dia menjadikannya sebagai wakil dari dia.
Dan sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewakilkan kepada ‘Ali bin Abi Thalib agar menyembelih sisa hewan qurbannya (di waktu haji); beliau mewakilkan Abu Hurairah untuk menjaga zakat; dan beliau juga mewakilkan ‘Urwah bin Al-Ja’d agar membeli hewan qurban untuknya.

Dari keterangan yang telah lalu maka akan jelas bahwa tawakkal itu termasuk di antara kedudukan-kedudukan yang tertinggi dan sesungguhnya wajib atas manusia agar selalu bersama tawakkal dalam seluruh perkaranya. Wallaahu A’lam.

(Lihat Al-Qaulul Mufiid 2/28-29 tahqiiq Hani Al-Hajj dan Syarh Tsalaatsatil Ushuul hal.59)

(Dikutip dari Bulletin Al Wala’ wa Bara’, Edisi ke-2 Tahun ke-3 / 03 Desember 2004 M / 20 Syawwal 1425 H, judul asli Hakikat Yakin dan Tawakkal. Penulis al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=2&th=3)