1. Definisi al-wala’ wal bara’
Wala’ adalah kata mashdar dari fi’il “waliya” yang artinya dekat. Yang dimaksud dengan wala’ di sini adalah dekat kepada kaum muslimin dengan mencintai mereka, membantu dan menolong mereka atas musuh-musuh mereka dan bertempat tinggal bersama mereka.
Sedangkan bara’ adalah mashdar dari bara’ah yang berarti memutus atau memotong. ” artinya memotong pena. Maksudnya di sini ialah memutus hubungan atau ikatan hati dengan orang-orang kafir, sehingga tidak lagi mencintai mereka, membantu dan menolong mereka serta tidak tinggal bersama mereka.
2. Kedudukan al-wala’ wal bara’ dalam islam
Di antara hak tauhid adalah mencintai ahlinya yaitu para muwahhidin, serta memutuskan hubungan dengan para musuhnya yaitu kaum musyrikin. Allah berfirman: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menu-naikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barang-siapa mengambil Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 55-56)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka men-jadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 51)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil mu-suhKu dan musuhmu menjadi teman-teman setia …” (Al-Mumtahanah: 1)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain.” (Al-Anfal: 73)
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah: 22)
Dari ayat-ayat di atas jelaslah tentang wajibnya loyalitas kepada orang-orang mukmin, dan memusuhi orang-orang kafir; serta kewajiban menjelaskan bahwa loyal kepada sesama umat Islam adalah kebajikan yang amat besar, dan loyal kepada orang kafir adalah bahaya besar.
Kedudukan al-wala’ wal bara’ dalam Islam sangatlah tinggi, karena dialah tali iman yang paling kuat. Sebagaimana sabda Rasulullah : “Tali iman paling kuat adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ibnu Jarir)
Dan dengan al-wala’ wal bara’-lah kewalian Allah dapat tergapai.
Diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu : “Siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi wala’ karena Allah dan memusuhi karena Allah maka sesungguhnya dapat diperoleh kewalian Allah hanya dengan itu. Dan seorang hamba itu tidak akan merasakan lezatnya iman, sekali pun banyak shalat dan puasanya, sehingga ia melakukan hal tersebut. Dan telah menjadi umum persaudaraan manusia berdasarkan kepentingan duniawi, yang demikian itu tidaklah bermanfaat sedikit pun bagi para pelakunya.” (HR. Thabrani dalam Al-Kabir)
Maka jelaslah bahwa menjalin wala’ atau loyalitas dan ukhuwah selain karena Allah tidak ada gunanya di sisi Allah .
3. Mudahanah dan kaitannya dengan al-wala’ wal bara’
Mudahanah artinya berpura-pura, menyerah dan meninggalkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar serta melalaikan hal tersebut karena tujuan duniawi atau ambisi pribadi. Maka berbaik hati, ber-murah hati atau berteman dengan ahli maksiat ketika mereka berada dalam kemaksiatannya, sementara ia tidak melakukan pengingkaran padahal ia mampu kelakukannya maka itulah mudahanah.
Kaitan mudahanah dengan al-wala’wal bara’ tampak dari arti dan definisi yang kita paparkan tersebut, yaitu meninggalkan pengingkaran terhadap orang-orang yang bermaksiat padahal ia mampu melaksanakannya. Bahkan sebaliknya ia menyerah kepada mereka dan berpura-pura baik kepada mereka. Hal ini berarti meninggalkan cinta karena Allah dan permusuhan karena Allah.
Bahkan ia semakin memberikan dorongan kepada para pendurhaka dan perusak.
Maka orang penjilat atau mudahin seperti ini termasuk dalam firman Allah : “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan `Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar
yang mereka per-buat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka
per-buat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan
orang-orang yang kafir (musyrik).” (Al-Ma’idah: 78-80)
4. Mudarah serta pengaruhnya terhadap al-wala’ wal bara’
Mudarah adalah menghindari mafsadah (kerusakan) dan kejaha-tan dengan ucapan yang lembut atau meninggalkan kekerasan dan sikap kasar, atau berpaling dari orang jahat jika ditakutkan kejahatannya atau terjadinya hal yang lebih besar dari kejahatan yang sedang dila-kukan. Dalam sebuah hadits disebutkan: “Sejahat-jahat kamu adalah orang-orang yang ditakuti manusia karena mereka khawatir akan kejahatannya.” (HR. Ibnu Abu Dunya dengan redaksi senada)
Dari Aisyah radhiallaahu anha bahwasanya seorang laki-laki meminta izin masuk menemui Nabi , seraya berkata, “Dia saudara yang jelek dalam keluarga”. Kemudian ketika orang itu masuk dan menghadap Nabi beliau berkata kepadanya dengan ucapan yang lembut. Maka Aisyah berkata, “Engkau tadi berkata tentang dia seperti apa yang engkau katakan”. Maka Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah membenci ‘fuhsy’ (ucapan keji) dan ‘tafahuhusy’ (berbuat keji).” (HR. Ahmmad dalam Musnad )
Nabi telah berbuat mudarah dengan orang tadi ketika dia menemui Nabi – padahal orang itu jahat – karena beliau menginginkan kemaslahatan agama. Maka hal itu menunjukkan bahwa mudarah tidak bertentangan dengan al-wala’ wal bara’, kalau memang mengandung kemaslahatan lebih banyak dalam bentuk menolak kejahatan atau menundukkan hatinya atau memperkecil dan memperingan kejahatan.
Ini adalah salah satu metode dalam berdawah kepada Allah. Termasuk di dalamnya adalah mudarah Nabi terhadap orang-orang munafik karena khawatir akan kejahatan mereka dan untuk menundukkan hati mereka dan orang lain.
5. Beberapa contoh tentang setia dan memusuhi karena Allah
a. Sikap Nabi Ibrahim alaihissalam dan pengikutnya terhadap kaumnya yang
kafir. Allah berfirman: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mutahanah: 4)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah berkata kepada hamba-hambaNya yang mukmin yang diperintahkanNya untuk memerangi, memusuhi dan menjauhi orang-orang kafir, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia”, maksudnya adalah pengikut-pengikutnya yang mukmin.
“Ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah’,” maksudnya, kami melepaskan diri dari kalian dan dari tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah.
“Kami ingkari (kekafiran) mu” , maksudnya dien-mu dan jalan-mu.
“Dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya”, maksudnya telah disyari’atkan per-musuhan dan kebencian -mulai dari sekarang- antara kami dan kalian selama kalian tetap kafir. Maka selamanya kami berlepas diri dari kalian serta membenci kalian.
“Sampai kamu beriman kepada Allah saja” , maksudnya sampai kalian mentauhidkan Allah semata, tanpa syirik dan membuang semua tuhan yang kalian sembah bersamaNya.
Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa al-wala’ wal bara’ adalah ajaran Nabi Ibrahim, yang kita diperintahkan untuk mengikutinya. Allah menceritakan hal tersebut agar kita mencontohnya. Dia berfirman, “Telah terdapat bagimu teladan yang baik.” Dan pada penutup ayat, Allah berfirman: “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada tela-dan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan bara-ngsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Mahakaya lagi terpuji.” (Al-Mumtahanah: 6)
b. Sikap orang-orang Anshar terhadap saudara-saudaranya dari kaum Muhajirin.
Allah berfirman: “Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)
Maksudnya, orang-orang yang tinggal di Darul Hijrah, yaitu Madinah, sebelum kaum Muhajirin, dan kebanyakan mereka beriman sebelum Muhajirin, mereka mencintai dan menyayangi orang-orang yang berhijrah kepada mereka, karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, dengan membagikan harta benda mereka tanpa merasa iri terhadap keutamaan yang diberikan kepada Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri juga sangat membutuhkan.
Ini adalah puncak itsar (mengutamakan saudara) dan wala’ kepada Allah terhadap para penolong Rasulullah .
c. Sikap Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap kemunafikan ayahnya yang berkata dalam salah satu pertempuran:
“Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya.” (Al-Munafiqun: 8)
Dia menginginkan al-a’azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah . Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Maka ketika hal itu didengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur, dan dia mendengar bahwa Rasulullah ingin membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa anda ingin membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin melakukannya, maka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda”. Maka Rasulullah bersabda, “Bahkan kita akan bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita.”
Maka tatkala Rasulullah dan para sahabat kembali pulang ke Madinah, Abdullah
bin Abdullah berdiri menghadang di pintu kota Madinah dengan menghunus
edangnya. Orang-orang pun berjalan melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat, ia berkata kepada ayahnya, “Mundur!” Ayahnya bertanya keheranan, “Ada apa ini, jangan kurang ajar kamu!” Maka ia menjawab, “Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan engkau adalah adz-dzalil (yang hina).” Maka ketika Rasulullah datang padahal beliau berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya kepada beliau. Anak-nya, Abdullah berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah , dia tidak boleh memasuki kota sebelum Anda mengizinkannya.” Maka Rasulullah pun mengizinkannya, lalu Abdullah berkata, “Karena Rasulullah mengizinkan maka lewatlah sekarang.”
6. Menyayangi dan memusuhi para ahli maksiat
Penjelasan di atas adalah tentang pemberian wala’ kepada sesama mukmin sejati dan permusuhan kepada kafir sejati. Adapun golongan ketiga yaitu orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad . Bagaimana hukumnya dalam hal ini?!
Jawabannya adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala’) dan mu’adah (dimusuhi). Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemungkaran dan mengucilkannya bilamana pengucilan itu memang membuatnya jera dan malu.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid’ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka ber-kumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemulia-an dan mengharuskan penghinaan. Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya karena mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang bisa mencukupinya. Ini-lah hukum asal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, ber-beda dengan Khawarij, Mu’tazilah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala saja atau mendapat siksa saja.” Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.
7. Menyambut dan ikut merayakan hari raya atau pesta orang-orang kafir serta Berbelasungkawa dalam hari duka mereka
A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir ialah menjauhi syi’ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi’ar (perayaan) mereka yang paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.
Ada seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi menyatakan kepadanya : “Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala orang Jahiliyah yang disembah?” Dia menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya, “Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya mereka?” Dia menjawab, “Tidak”. Maka Nabi bersabda, “Tepatilah nadzarmu, karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam.” (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti mereka dan menolong mereka di dalam menga-gungkan syi’ar-syi’ar mereka atau menjadi wasilah yang menghantarkan kepada syirik. Begitupula ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala’ kepada mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka.
Di antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan dengan hari raya mereka. Dan di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu para saha-bat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak
diperbolehkan karena dua alasan:
Pertama: Bersifat umum, sepertti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat me-nyelisihi mereka. Bahkan seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari’atkan adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa mengikuti mereka, dia telah kehi-langan maslahat ini sekali pun tidak melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia melakukannya.
Alasan kedua: karena hal itu adalah bid’ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya me-nyerupai mereka dalam hal itu.”
Beliau juga mengatakan, “Tidak halal bagi kaum muslimin bertasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin, meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang lain-nya. Tidak halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau men-jual barang-barang yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan anak-anak atau pun yang lainnya melakukan per mainan pada hari itu, juga tidak boleh menampakkan perhiasan.
Ringkasnya, tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi’ar mereka pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf menganggapnya makruh . Sedangkan pengkhususan seperti yang tersebut di atas
maka tidak ada perbedaan di antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap
kafir orang yang melakukan hal ter-sebut, karena dia telah mengagungkan
syi’ar-syi’ar kekufuran. Segolongan ulama mengatakan, “Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka (demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi.” Abdullah bin Amr bin Ash berkata, “Siapa yang mengikuti negara-negara ‘ajam (non-Islam) dan melakukan perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka pada Hari Kiamat.”
B. Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka
Dengan Hal-hal yang Mubah serta Berta’ziyah pada Musibah Mereka.
Tidak boleh memberi ucapan selamat (tahni’ah ) atau ucapan bela-sungkawa (ta’ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala’ dan mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti pengagungan (penghormatan) terhadap mereka. Maka hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaima-na haram mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan ba-gi mereka.
Ibnul Qayyim berkata, “Hendaklah berhati-hati jangan sampai terjerumus sebagaimana orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, “Semoga Allah membahagiakan kamu dengan agamamu”, atau “memberkatimu dalam agamamu”, atau berkata, “Semoga Allah memuliakanmu”. Kecuali jika berkata, “Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam”, atau yang senada dengan itu. Itu semua tahni’ah dengan perkara-perkara umum. Tetapi jika tahni’ah dengan syi’ar-syi’ar kufur yang khusus milik mereka seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, “Selamat hari raya Natal” umpamanya atau “Berbahagialah dengan hari raya ini” atau yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman. Sebab itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka
kepada salib; bahkan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau berzina atau yang sebangsanya.
Banyak sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada seseorang yang melakukan bid’ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia telah menantang murka Allah. Para ulama wira’i (sangat menjauhi yang makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni’ah kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka Allah dan laknatNya.”
Dari uraian tersebut jelaslah, memberi tahni’ah kepada orang-orang kafir atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan tahni’ah atas hari-hari raya mereka atau syi’ar-syi’ar mereka adalah haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
(Dinukil dari Kitab Al Wala dan Al Bara, karya Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Mufti Lembaga Tetap Kajian Ilmiyah dan Fatwa Saudi Arabia. )