KHUTBAH JUM’AT
2 Sya’ban 1430 H
Bersama Fadhilatul ‘Allamah Asy-Syaikh ‘Abdullah Al-Bukhari hafizhahullah
Di Masjid Ma’had Al-Anshar, Sleman – Yogyakarta
(di tengah-tengah acara Dauroh Ilmiah Asatidzah ke-5 Yogyakarta)
Khutbah I
Åä ÇáÍãÏ ááå¡ äÍãÏå ÊÚÇáì æäÓÊÛÝÑå¡ æäÚæÐ ÈÇááå ãä ÔÑæÑ ÃäÝÓäÇ æãä ÓíÆÇÊ ÃÚãÇáäÇ¡ ãä íåÏå Çááå ÝáÇ ãÖá áå æãä íÖáá ÝáÇ åÇÏí áå¡ æÃÔåÏ Ãä áÇ Åáå ÅáÇ Çááå æÍÏå áÇ ÔÑíß áå¡ æÃÔåÏ Ãä äÈíäÇ ãÍãÏÇ äÈíå æÑÓæáå Õáì Çááå Úáíå æÚáì Âáå æÕÍÈå æÓáã
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂóãóäõæÇ ÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó ÍóÞøó ÊõÞóÇÊöåö æóáóÇ ÊóãõæÊõäøó ÅöáøóÇ æóÃóäúÊõãú ãõÓúáöãõæäó (102) [Âá ÚãÑÇä/102]
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáäøóÇÓõ ÇÊøóÞõæÇ ÑóÈøóßõãõ ÇáøóÐöí ÎóáóÞóßõãú ãöäú äóÝúÓò æóÇÍöÏóÉò æóÎóáóÞó ãöäúåóÇ ÒóæúÌóåóÇ æóÈóËøó ãöäúåõãóÇ ÑöÌóÇáðÇ ßóËöíÑðÇ æóäöÓóÇÁð æóÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó ÇáøóÐöí ÊóÓóÇÁóáõæäó Èöåö æóÇáúÃóÑúÍóÇãó Åöäøó Çááøóåó ßóÇäó Úóáóíúßõãú ÑóÞöíÈðÇ (1) [ÇáäÓÇÁ/1]
íóÇ ÃóíøõåóÇ ÇáøóÐöíäó ÂóãóäõæÇ ÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó æóÞõæáõæÇ ÞóæúáðÇ ÓóÏöíÏðÇ (70) íõÕúáöÍú áóßõãú ÃóÚúãóÇáóßõãú æóíóÛúÝöÑú áóßõãú ÐõäõæÈóßõãú æóãóäú íõØöÚö Çááøóåó æóÑóÓõæáóåõ ÝóÞóÏú ÝóÇÒó ÝóæúÒðÇ ÚóÙöíãðÇ (71) [ÇáÃÍÒÇÈ/70¡ 71]
ÝÅä ÃÕÏÞ ÇáÍÏíË ßÊÇÈ Çááå ÊÚÇáì¡ æÎíÑ ÇáåÏí åÏí ãÍãÏ Õáì Çááå Úáíå æÂáå æÓáã¡ æÔÑ ÇáÃãæÑ ãÍÏËÇÊåÇ æßá ãÍÏËÉ ÈÏÚÉ¡ æßá ÈÏÚÉ ÖáÇáÉ æßá ÖáÇáÉ Ýí ÇáäÇÑ¡ æÈÚÏ :
Bertaqwalah kepada Allah wahai hamba-hamba Allah …
Dan senantiasalah kalian senantiasa merasa diawasi oleh-Nya, baik dalam kondisi sendiri ataupun di hadapan khalayak, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Karena sesungguhnya barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan menjaganya. Semakin seorang meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah niscaya bertambah hidayah terhadapnya. Seorang hamba akan senantiasa ditambah hidayahnya selama dia senantiasa menambah ketaqwaannya. Semakin dia bertaqwah, maka semakin bertambahlah hidayahnya, sebaliknya semakin ia mendapat hidayah/petunjuk, dia semakin menambah ketaqwaannya. Sehingga dia senantiasa ditambah hidayahnya selama ia menambah ketaqwaannya.
Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah wa ghafaralah
Wahai kaum mukminin, saudara-saudaraku yang mulia
Antum datang dari jarak yang jauh dari tempat yang berbeda-beda, dalam rangka menuntut ilmu, maka bergembiralah dengan kebaikan yang dijanjikan bagi orang-orang yang menuntut ilmu ikhlash karena mengharap wajah Allah Ta’ala.
Sungguh tidak tersembunyi bagi seorang yang berakal keutamaan dan kedudukan mulia ilmu syar’i dalam syari’at yang suci. Terdapat banyak nash dari al-wahyain (dua wahyu, yakni Al-Qur`an dan As-Sunnah) yang semuanya menunjukkan keutamaan ilmu dan kemuliaan para penyandangnya. Ilmu tersebut merupakan bekal yang tidak ada bekal lagi selainnya bagi seorang hamba, apabila ia ingin menempuh perjalanan ini, yakni menuju negeri akhirat.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau :
“Engkau telah menunjukkan tentang permasalahan yang besar dan agung, maka bekal apakah untuk safar/perjalanan ini, mana jalannya, dan apa kendaraannya?”
Beliau menjawab : Adapun bekalnya, adalah ilmu warisan dari khatamul anbiya’ Shallahu ‘alaihi wa Sallam yang tidak ada bekal untuk perjalanan tersebut selain bekal itu. Barangsiapa yang tidak berbekal dengannya (yakni ilmu) maka silakan duduk bersama orang-orang yang menyimpang!!”
Al-Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Manusia itu diciptakan dalam keadaan sangat zhalim dan sangat jahil. Maka kondisi asalnya adalah tidak ada ilmu dan cenderung kepada sesuatu yang disukai hawa nafsunya berupa kejelekan. Maka ia senantiasa butuh kepada ilmu mufash-shal yang dengannya kejahilannya bisa hilang, dan juga butuh pada keadilan, dalam cinta dan bencinya, dalam ridha dan murkanya, dalam perbuatan dan diamnya, dalam memberi atau tidaknya.”
Kesimpulannya, menusia membutuhkan ilmu mufash-shal yang dengannya kejahilannya bisa hilang, dan adil mufash-shal yang dengannya hawa nafsunya bisa hilang. Maka sesuai dengan jauhnya ia dari kedua hal tersebut, maka sejauh itu pula penyimpangannya dari ash-shirathal mustaqim.
Dalil-dalil dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah sangat banyak, semuanya menunjukkan tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan para penyandangnya. Dan cukup kita mengingatkan sebagiannya. Dan peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin.
Allah Jalla fi ‘Ulahu berfirman :
æóÃóäúÒóáó Çááøóåõ Úóáóíúßó ÇáúßöÊóÇÈó æóÇáúÍößúãóÉó æóÚóáøóãóßó ãóÇ áóãú Êóßõäú ÊóÚúáóãõ æóßóÇäó ÝóÖúáõ Çááøóåö Úóáóíúßó ÚóÙöíãðÇ (113) [ÇáäÓÇÁ/113]
“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan Dia telah mengajarkan kepadamu ilmu yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” [An-Nisa` : 113]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Miftah Daris Sa’adah :
“Allah menyebutkan sejumlah nikmat dan karunia-Nya terhadap hamba dan Rasul-Nya Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam , dan Allah menjadikan nikmat dan karunia terbesar-Nya terhadap beliau adalah Allah memberikan kepada beliau Al-Kitab dan Al-Hikmah serta Allah mengajarkan kepada beliau ilmu yang belum beliau ketahui.”
Allah juga berfirman :
ÅöäøóãóÇ íóÎúÔóì Çááøóåó ãöäú ÚöÈóÇÏöåö ÇáúÚõáóãóÇÁõ [ÝÇØÑ/28]
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. [Fathir : 28]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya :
“Yakni yang takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah para ‘ulama yang mengenal-Nya jalla fi ‘ulahu. Karena semakin pengenalan terhadap-Nya bertambah besar dan bertambah banyak, maka rasa takut dari-Nya juga akan semakin besar.”
Allah Jalla fi ‘Ulahu juga berfirman :
æóÊöáúßó ÇáúÃóãúËóÇáõ äóÖúÑöÈõåóÇ áöáäøóÇÓö æóãóÇ íóÚúÞöáõåóÇ ÅöáøóÇ ÇáúÚóÇáöãõæäó (43) [ÇáÚäßÈæÊ/43]
Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang bisa memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
“Yakni tidaklah bisa memahami dan mentaddabburinya kecuali para ‘ulama yang kokoh dan mendalam keilmuannya.”
Kemudian beliau menyebutkan, bahwa Ibnu Abi Hatim menyebutkan dengan sanadnya dari ‘Amr bin Murrah rahimahullah bahwa beliau mengatakan : “Tidak aku melewati satu ayat dalam Al-Qur`an kemudian ternyata aku tidak bisa memahaminya kecuali hal itu pasti membuatku sedih. Karena aku mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
æóÊöáúßó ÇáúÃóãúËóÇáõ äóÖúÑöÈõåóÇ áöáäøóÇÓö æóãóÇ íóÚúÞöáõåóÇ ÅöáøóÇ ÇáúÚóÇáöãõæäó (43) [ÇáÚäßÈæÊ/43]
Dan perumpamaan-perumpamaan ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang bisa memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. [Al-‘Ankabut : 43]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
íóÓúÃóáõæäóßó ãóÇÐóÇ ÃõÍöáøó áóåõãú Þõáú ÃõÍöáøó áóßõãõ ÇáØøóíøöÈóÇÊõ æóãóÇ ÚóáøóãúÊõãú ãöäó ÇáúÌóæóÇÑöÍö ãõßóáøöÈöíäó ÊõÚóáøöãõæäóåõäøó ãöãøóÇ Úóáøóãóßõãõ Çááøóåõ ÝóßõáõæÇ ãöãøóÇ ÃóãúÓóßúäó Úóáóíúßõãú æóÇÐúßõÑõæÇ ÇÓúãó Çááøóåö Úóáóíúåö æóÇÊøóÞõæÇ Çááøóåó Åöäøó Çááøóåó ÓóÑöíÚõ ÇáúÍöÓóÇÈö (4) [ÇáãÇÆÏÉ/4]
Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajari dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. [Al-Ma`idah : 4]
Al-Imam Ibnul Qayyim berkata tentang ayat ini, beliau menjelaskan tentang keutamaan ilmu :
“Pada ayat ini terdapat dalil atas keutamaan ilmu dan kemuliaan ‘ulama, karena Allah menghalalkan hasil buruan anjing terlatih dan mengharamkan hasil buruan anjing jahil (belum terlatih). Kalau seandainya pada ilmu dan pengajaran tidak ada keutamaan, niscaya hasil buruan anjing terlatih dan yang tidak terlatih sama saja.”
Penjelasan beliau ini menunjukkan kejeliaan istinbath, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.
Dan nash-nash (dalam masalah ini) wahai para ahibbah sangat banyak. Di antaranya pula dalil yang datang dari Sayyidi Waladi Adam , yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Mu’awiyah Radhiyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah jadikan ia faqih (faham) tentang agamanya.
Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah menjelaskan :
“Pada hadits tersebut terdapat dalil tentang keutamaan ilmu dan tafaqquh fid din, serta dorongan untuknya. Sebabnya adalah, karena ilmu merupakan pengantar kepada ketaqwaan.”
Di antaranya juga, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Sahl bin Sa’d Radhiyallah ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu :
“Sungguh Allah memberi hidayah kepada satu orang melalui engkau, lebih baik bagimu daripada onta merah.”
Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits tersebut, penjelasan yang mirip juga disampaikan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah :
“Pada hadits ini terdapat keutamaan ilmu dan kemuliaan para pengembannya (para ‘ulama), karena apabila satu orang mendapatkan hidayah berkat bimbingan seorang berilmu (’ulama) maka itu lebih baik baginya (orang berilmu tersebut) daripada onta merah sekalipun, yang itu merupakan harta yang paling mahal ketika itu. Bagaimana bagaimana dengan orang berilmu yang dengan sebabnya banyak orang mendapatkan hidayah setiap harinya?”
Di antaranya juga, hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
Apabila seseorang telah meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) semua amalannya kecuali dari tiga amalan : Shadaqah Jariyah, atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakan (kebaikan) untuknya.”
Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Para ‘ulama menjelaskan makna hadits ini, bahwa seseorang itu terputus (pahala) amalannya dengan wafatnya dia, kecuali pahala dari tiga amalan. Karena ketiga amalan tersebut merupakan berkat usahanya, atau ia sebagai sebabnya. Anak merupakan wujud usahanya, ilmu yang ia tinggalkan, baik pengajaran, karya tulis, maka pahalanya akan terus mengikuti dia setelah wafatnya, atau shadaqah jariyah, yaitu waqaf.”
Dalil-dalil tersebut, wahai para ahibbah, menunjukkan dengan sangat jelas atas kemuliaan ilmu dan keutamaan para penyandangnya (para ‘ulama). Yang saya maksud dengan ilmu adalah ilmu yang diwarisi dari Sayyid Walid Adam Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wa Sallam.
Adapun penjelasan para ‘ulama salaf (tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan para penyandangnya) juga sangat banyak. Di antaranya riwayat yang disebutkan oleh Al-Hafizh An-Nawawi dalam muqaddimah Al-Majmu’ dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallah ‘anhu :
“Cukup menunjukkan kemuliaan ilmu adalah adanya klaim ilmu dari orang yang tidak bisa menyandangnya dan kebanggaan orang yang dinisbahkan kepadanya. Dan cukup menunjukkan celaan terhadap kejahilan, adalah orang-orang yang jahil berlepas diri darinya.”
Al-Hafizh Sahl bin ‘Abdillah At-Tasturi rahimahullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi,
“Tidaklah seorang berbuat atas nama ilmu sedikitpun kecuali ia akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat kelak. Kalau sesuai dengan sunnah, maka dia selamat, kalau tidak maka itu adalah kebinasaan.”
Dari Al-Hafizh Shalih bin Mihran Asy-Syaibani Radhiyallah ‘anhu :
“Setiap orang yang mempunyai keahliaan tidak akan bisa berbuat dengan keahliannya kecuali dengan alat. Dan alat Islam adalah ilmu.” (Tahdzibul Kamal)
ÈÇÑß Çááå áí æáßã Ýí ÇáÞÑÂä æÇáÓäÉ¡ æäÝÚäÇ ÌãíÚÇ ÈãÇ ÝíåãÇ ãä ÇáÂíÇÊ æÇáÍßãÉ¡ Åäå ÌæÇÏ ßÑíã
Khutbah II
ÇáÍãÏ ááå ÇáÚáí ÇáÃÚáì¡ æÇáÕáÇÉ æÇáÓáÇã ÇáÃÊãÇä ÇáÃßáãáÇä Úáì ãÍãÏ Õáì Çááå Úáíå æÂáå æÓáã¡ æÈÚÏ
Wahai saudara-saudaraku yang mulia
Dalil-dalil yang telah kita dengar dan kita konsentrasikan pendengaran terhadapnya dari nash Al-Wahyain (Al-Qur`an dan As-Sunnah), dan pernyataan yang terucap dari lisan sebagian para ‘ulama salaf, maka hendaknya seorang hamba berbangga jika dia termasuk orang yang menempuh jalan dalam menuntut ilmu agama ini, dan dalam merealisasikannya dia senantiasa ikhlas karena Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, maka hendaknya dia bergembira bahwa dirinya akan sampai kepada tingkat tersebut, karena ia dijanjikan dengan kebaikan, kesuksesan, keselamatan, dan kebahagiaan di akhirat dan di dunia.
Kita harus tahu, bahwa ilmu yang kita pelajari ini, dan terdapat banyak dalil yang mendorong untuk mempelajarinya, ilmu tersebut harus ada zakatnya. Zakatnya ilmu adalah mengamalkannya.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :
“Ilmu itu dituntut untuk diamalkan, sebagaimana amalan itu dilaksanakan demi keselamatan. Kalau seandainya ilmu itu bisa bermanfaat tanpa amal, niscaya Allah tidak akan mencela para rahib ahlul kitab, kalau seandainya amalan itu bermanfaat tanpa ikhlash niscaya Allah tidak akan mencela orang-orang munafiq.”
Maka seorang hamba Ahlus Sunnah, yang konsisten dengan ittiba’ dan ilmu yang benar, dia harus tahu bahwa wajib atasnya untuk menzakati ilmu yang ia pelajari, yaitu dengan cara mengamalkan ilmu tersebut, menyebarkannya di tengah-tengah umat dengan cara yang terbaik demi sesuatu yang lebih baik. Maka hendaknya ia mengajarkan kebaikan, menyebarkannya di tengah-tengah umat, berdakwah ke jalan-Nya, mengajari umat dengan perbuatan dan ucapannya semuanya. Karena tujuan besarnya adalah hamba mendapatkan hidayah.
Al-Imam Ibnu Taimiyyah dalam Ar-Radd ‘alal Bakri :
“Seorang mukmin yang mengikut Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, ahlus sunnah, dia berbuat baik kepada makhluk, dan mengharap pahala dari Al-Khaliq. Dengan demikian ia telah menunaikan hak Allah dan hak hamba-hamba-Nya.”
Al-Imam Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad yang shahih dari Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah :
“Ulama itu adalah tiga jenis :
– Seorang yang hidup dengan ilmunya, dan umat juga hidup bersamanya dengan ilmu tersebut.
– Seorang yang hidup dengan ilmunya, namun tidak ada yang hidup bersamanya seorang pun selain dirinya.
– Umat bisa hidup dengan ilmunya, namun dia sendiri tidak bisa hidup dengan ilmunya tersebut.
Jenis pertama adalah seorang yang berilmu dan mengamalkannya sekaligus, dan mengajari orang lain. Adapun yang kedua adalah seorang yang berilmu dan mengamalkannya namun tidak mengajarkan ilmunya. Adapun yang ketiga adalah orang yang berilmu, mengajari orang lain, namun dia tidak mengamalkan ilmunya.”
Tidak diragukan, yang pertama adalah yang terbaik dari ketiga jenis tersebut. sedangkan yang ketiga adalah yang paling rendah dan paling tercela. Wal’iyyadzu billah.
Maka waspadalah wahai hamba-hamba Allah! Agar jangan sampai engkau termasuk orang jenis ketiga.
Waspada dan hati-hatilah dari kemaksiatan. Karena kemaksiatan bisa menghilangkan kenikmatan.
Al-Imam Ad-Darimi Rahimahullah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari shahabat ‘Abdillah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhu bahwa beliau berkata :
“Sungguh aku menganggap seseorang itu melupakan ilmu yang telah ia pelajari karena dosa yang ia perbuat.” Dalam riwayat lain : “Karena kesalahan yang ia perbuat.”
Ibnu Abi Syaibah rahimahullah meriwayatkan dalam Mushannaf-nya dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah serta Al-Khathib dalam Iqtidha`il ‘Ilmil ‘Amal dari shahabat ‘Abdillah bin Mas’ud Radhiyallah ‘anhu bahwa beliau mengatakan :
“Belajarlah kalian, jika kalian telah berilmu maka amalkanlah!!”
Oleh karena itu kita katakan : harus beramal dengan amalan yang sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam, yaitu seorang hamba mengumpulkan dalam amalannya ikhlash dan ittiba’, serta berbaik sangka terhadap Rabbnya.
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam mushannaf-nya, beliau berkata :
“Seorang mukmin itu berbaik sangka terhadap Rabbnya, sehingga ia pun membaikkan amalan. Adapun orang munafiq berburuk sangka terhadap Rabbnya, maka ia pun memburukkan amalan.”
ÈÇÑß Çááå áí æáßã Ýí ÇáÞÑÂä æÇáÓäÉ¡ æäÝÚäÇ ÌãíÚÇ ÈãÇ ÝíåãÇ ãä ÇáÂíÇÊ æÇáÍßãÉ¡ ÓÈÍÇä ÑÈß ÑÈ ÇáÚÒÉ ÚãÇ íÕÝæä æÓáÇã Úáì ÇáãÑÓáíä æÇáÍãÏ ááå ÑÈ ÇáÚÇáãíä.
(http://dammajhabibah.wordpress.com/2009/07/25/dauroh-ilmiah-asatidzah-ke-5-yogyakarta/)