Khuruj / Bepergian Di Jalan Allah
Penanya : Apabila sekelompok manusia melakukan khuruj (keluar), sementara di antara mereka ada yang berilmu ataupun penuntut ilmu lalu selebihnya adalah orang-orang awam yang bodoh maupun pelaku kemaksiatan, namun mereka ingin mengambil manfaat, baik berupa ilmu, penyucian jiwa maupun menambah keimanan. Maka apakah, kita mengatakan bahwa perkara ini tidak diperbolehkan? Atau, apa yang mesti kita katakan mengenai hal itu?
Al Albani : Apabila Anda berada pada batas-batas pertanyaan sebagai respon dari realita, maka itu ada jawaban tersendiri. Namun apabila yang Anda maksudkan dengan pertanyaan ini untuk melegitimasi realita, maka terdapat jawaban yang lain pula. Lalu mana yang anda maksudkan?
Penanya : Perkataan Syaikh belum jelas bagiku.
Al Albani : Aktivitas khuruj (keluar) yang dikenal jaman (sekarang) ini, di mana seseorang keluar dari India atau Cina misanya dan aku tidak tahu hendak ke mana dan untuk apa mereka datang ke negeri-negeri Islam yang lain, apakah itu yang Anda tanyakan ataukah sekedar khuruj (keluar) yang biasa terjadi?
Penanya : Inilah yang aku maksudkan.
Al Albani : Khuruj dalam pengertian yang terakhir ini?
Penanya : Benar!
Al Albani : Inilah yang aku tanyakan
kepadamu. Untuk itu aku katakan, tidak. Sesungguhnya khuruj dalam pengertian yang kedua senantiasa ada di setiap masa dan di segala tempat. Bukankah benar demikian?
Penanya : Benar!
Al Albani : Oleh sebab itu, terjadi perbedaan antara permasalahan yang anda tanyakan, yang mana jawabannya adalah boleh. Aku katakan kepadamu bahwa praktik seperti itu telah ada dan disyariatkan. Namun, praktik yang benar ini tidak dapat kita jadikan alasan untuk membenarkan khuruj yang sekarang kita kenal dan perbincangkan..
Mengapa demikian? Karena kita berdua telah sepakat bahwa khuruj dalam pengertain terakhir –yang telah kita sepakati kebolehannya—telah ada sebagaimana telah aku katakan terdahulu, yaitu terdapat di setiap jaman dan di segala tempat. Akan tetapi, khuruj seperti yang kita kenal saat ini tidak memiliki sumber pada semua periode (abad-abad) Islam yang lampau. Jika demikian, maka tidak diperbolehkan.
Penanya : Mengapa kita tidak mengatakan bahwa khuruj yang telah kita sepakati kebolehannya, merupakan sumber bagi lahirnya khuruj yang kita kenal saat ini?
Al Albani : Tidak sama sekali … Subhanallah! Demikianlah yang sering mereka katakan. Oleh karena itu, aku akan mengajakmu memperhatikan duduk persoalannya. Perkataan seperti itulah yang telah melandasi munculnya bid’ah di setiap jaman ini ataupun sebelumnya. Mereka senantiasa menghadapakan kepadamu dalil-dalil yang bersifat umum, di mana dalil-dalil yang bersifat umum tersebut tidak mencakup kejadian-kejadian khusus ini. Untuk itu, marilah kita ambil satu contoh sangat sederhana mengenai hal ini.
Mereka berkata, “Mengapa kalian mengingkari shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai adzan, bukankah shalawat kepada RAsulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selesai adzan itu tercakup di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, ‘bershalawatlah kalian kepadanya dan ucapkanlah salam sejahtera’ (QS. Al Ahzab : 52) Atau bukankah perbuatan itu tercakup dalam sabdanya, ‘Barangsiapa yang bershaawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali’.”
Jawabannya tentu saja tidak wahai saudaraku, sebab adzan adalah sesuatu yang disyariatkan. Lalu telah disertakan padanya sesuatu yang tidak pernah dipraktikan pada masa-masa sebelum kita, yang diakui sebagai masa penuh kebaikan.
Demikian pula berdalil dengan sebagian nash yang bersifat umum terhadap praktik yang sedang marak saat ini, ini merupakan suatu kesalahan fatal. Namun, mengapa demikian?
Khuruj yang kita temukan saat ini pastilah tidak ada seorangpun yang masih memiliki akal mengatakan bahwa hal itu ada pada abad-abad terdahulu. Bukan hanya tidak terdapat pada tiga generasi pertama, bahkan tidak ditemukan sepanjang abad perjalanan Islam.
Praktik seperti ini tidak lain hanya muncul di jaman itu, dan itu tidak diragukan lagi. Dari sini, maka berdalil dengan persoalan-persoalan yang bersifat khusus terdapat persoalan-persoalan yang bersifat umum merupakan suatu kesalahan. Janganlah melupakan standar penilaian, “Segala kebaikan hanya terdapat pada mengikuti kaum Salaf”.
Mungkin Anda masih ingat apa yang telah aku katakan terdahulu, bahwasanya khuruj di jalan Allah ta’ala tidak diragukan telah ada sejak dahulu, namun yang perlu dipertanyakaan adalah, “Apakah praktik khuruj di jalan Allah ta’ala seperti yang kita kenal saat ini juga ada sebelum kita?”
Penanya : Dalam bentuk yang seperti kita kenal saat ini, apakah memang belum ada sebelumnya?
Al Albani : Demikianlah kenyataannya.
Penanya : Kita qiyaskan kepada asasnya. Yakni aku ingin menanyakan kepadamu suatu pertanyaan, “Apakah para shahabat Radliyallahu anhum, seperti Ibnu Abbas yang dikenal sebagai penulis serta ahli di bidang tafsir, pernah duduk seperti keadaan Anda sekarang di perpustakaan ini?
Al Albani : Demi Allah, tentu saja tidak pernah. Anda telah menghabiskan sekian waktu hanya untuk memaksakan diri melegitimasi khuruj, mengapa demikian? Untuk itu aku katakan, janganlah Anda menerima begitu saja, akan tetapi cermati setiap dalil yang ada. Keluarnya seseorang dalam rangka melarikan diri dari negeri orang-orang fasik lagi bermaksiat kepada negeri yang dihuni oleh orang-orang shalih, apakah kita mengqiyaskan (analogi) dengan keluarnya kaum Muslimin dari negeri mereka yang baik ke negeri orang-orang fasik lagi berbuat dosa, seperti Amerika atau Inggris? Apakah kedua hal itu dapat diqiyaskan? Subhanallah!
Ibnu Hazm –seorang pembesar ulama Andalusia—biasa diberi gelar Azh Zhahiri disebabkan beliau berpatokan pada makna-makna lahir suatu nash dengan cara yang sangat kaku. (Akan tetapi saat ini kita bukan hendak membahas hal itu). Disebabkan oleh sikapnya yang kaku, maka beliau mengingkari qiyas dan menyalahi pandangan mayoritas ulama lain. Padahal, qiyas hakikatnya adalah sumber hukum keempat. Mungkin Anda masih ingat bahwa sumber hukum itu adalah ; Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Sumber hukum yang paling rumit di antara keempat sumber hukum tersebut adalah qiyas karena permasalahannya sangat kompleks. Tidak semua orang mampu untuk melakukan qiyas. Aku katakan kepadamu secara terbuka, bahwa aku telah hidup disepanjang jaman kita ini; khususnya bersama saudara-saudaraku yang kudapati pada mereka keikhlasan di mana Anda adalah salah seorang di antara mereka, Insya Allah.
Aku katakan kepadamu, aku tidak mendukungmu melakukan qiyas. Bagi seseorang yang ingin melakukan qiyas, maka caranya tidak seperti ini. Perkataanmu tadi bukan berasal dari dirimu, akan tetapi muncul dari selainmu. Oleh sebab itu, hendaklah engkau berfikir!.
Sebagai bukti rumitnya masalah qiyas, maka para ulama menempatkannya pada urutan yang keempat, sementara Ibnu Hazm mengingkarinya secara total. Akan tetapi, yang menarik bagiku adalah ungkapan beliau saat mnanggapi orang-orang yang membolehkan qiyas. Tampak beliau menanggapi dengan ungkapan yang berindikasi pembenaran. Beliau mengatakan, “Qiyas bukan ditempatkan sebagai timbangan dan ukuran”.
Qiyas sangatlah jauh dari kebenaran. Sebagai contoh; misalnya aku tumbuh dalam lingkungan madzhab Hanafi. Dalam madzhab ini terdapat pendapat bahwa jika seseorang berbicara saat shalat secara tidak sengaja, maka shalatnya dianggap batal. Adapun dalilnya adalah diqiyaskan dengan orang yang berbicara secara sengaja saat shalat. Allahu Akbar! Sungguh ini adalah qiyas suatu perkara dengan sesuatu yang menjadi lawannya, di mana orang yang melakukan dengan sengaja disamakan hukumnya dengan orang yang melakukan secara tidak sengaja.
Lalu, apa komentar Ibnu Hazm menghadapi pandangan dan pendapat demikian? Beliau mengatakan, “Qiyas semuanya adalah bathil. Andaikata ada yang benar, maka itu juga merupakan bukti kebathilan qiyas itu sendiri”. Artinya wahai saudaraku, qiyas sama sekali bukanlah perkara yang mudah.
Para ulama Nejd adalah ulama terhormat dan merupakan ulama terbaik yang ditemukan saat ini di seluruh negeri kaum Muslimin. Meski demikian, terdapat beberapa pendapat mereka yang tidak sejalan dengan pandangan kami. Sebagai contoh, Anda telah mengetahui bahwa mereka meletakkan tangan kanan mereka di atas dada setelah berdiri dari ruku’. Apakah hujjah mereka dalam hal itu? Tentu saja mereka memiliki hujjah.
Mereka mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bila berdiri saat shalat, maka beliau biasa meletakkan tangannya yang kanan di atas kanan kiri. Pernyataan “bila berdiri saat shalat” merupakan perkataan yang benar. Lalu, bagaimana pandanganku? Aku katakan, dalil yang mereka kemukakan tidak dapat dijadikan alasan, meski aku setuju dengan mereka bahwa hadits tersebut derajatnya shahih. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam apabila shalat biasa meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri. Benarlah demikian, dan ini adalah hadits shahih.
Akan tetapi berdiri setelah bangkit dari ruku’, adalah dalil yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meletakkan pula tangan kanannya di atas tangan kirinya? sebab, dalil yang dikemukakan di atas pertama kali di tujukan untuk menerangkan keadaan berdiri sebelum ruku’. Aku rasa, hingga di sini cukup jelas.
Lalu seseorang tidak dapat berkomentar, “Wahai saudaraku, dalil di atas merupakan keterangan yang bersifat umum, mencakup keadaan berdiri sebelum ruku’ dan mencakup pula keadaan berdiri setelah ruku”.
Sebab kami mengatakan, “Telah dinukil sejumlah keterangan yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri pada saat berdiri sebelum ruku’. Maka, adalah suatu dalil mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga meletakkan tangan kannya di atas tangan kiri saat berdiri setelah ruku?” Dalil mengenai hal itu tidak ada sama sekali. Jika demikian, dalil yang bersifat umum tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dalil bagi amalan khusus tadi.
Aku akan menyederhanakan persoalan dengan suatu contoh yang belum terjadi namun aku khawatir kelak akan menjadi kenyataan. Apabila sekelompok orang masuk Masjid pada waktu dhuhur. Salah seorang di antara mereka hendak shalat sunnah di bagian timur Masjid, yang seorang lagi di bagian barat Masjid, dan seterusnya. Lalu seseorang di antara mereka berseru, “Wahai saudara-saudaraku, mari kita laksanakan shalat sunnah ini secara berjamaah, Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah bersabda : ” Tangan Allah bersama jamaah “. Berdasarkan hadits ini, maka biarlah kita melakukan shalat sunnah qabliyah secara berjamaah. Mungkin saja orang ini akan memperkuat pendapatnya dengan hadits kedua, “shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri dengan dua puluh lima atau dua puluh tujuh kali derajat”. Atau mungkin diiringi lagi dengan hadits ketiga, “shalat dua orang lebih baik daripada shalat sendirian, dan shalat tiga orang lebih baik daripada shalat dua orang dan seterusnya. Hadits-hadits tersebut derajatnya shahih, akan tetapi cara penetapan hukum darinya tidaklah benar.
Tapi, bagaimanakah kita harus membantah argumentasi mereka wahai ustadz? Yaitu mereka yang mengajak melakukan shalat sunnah secara berjamaah. Tidak ada pada kita satu hadits pun yang mengatakan, “janganlah kalian shalat sunnah qabliyah secara berjamaah.” Memang benar hadits seperti itu tidak ada pada kita. Namun, apakah yang menjadi landasan kita? Mari kita perhatikan baik-baik.
Penanya : Apakah para shahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah melakukan yang demikian?
Al Albani : Jawabannya, tentu tidak pernah.
Penanya : Lalu, apakah para shahabat memahami hadits-hadits tadi dengan pemahaman yang benar?
Al Albani : Jawabannya, pasti mereka telah pahami dengan sebenarnya.
Penanya : JIka demikian, apakah pemahaman mereka sama dengan pemahaman Anda?
Al Albani : Tidak. Sebab Andai jawaban di sini adalah “ya!”, masih dapat disusul dengan pertanyaan berikutnya, “apakah mereka tidak menerapkan apa yang mereka pahami, hingga Anda muncul melengkapi apa yang telah kurang dari mereka. Sebab, di sini Anda telah sama dalam pemahaman namun melebihi mereka dalam hal pengamalan”.
Contoh ini –semoga Allah memberkahimu—memberi penjelasan bahwa segala perkumpulan yang tidak pernah dipraktikan kaum Salaf di masa-masa terbaik, (maka hal itu tidaklah benar). Sama seperti orang tadi yang telah menyebutkan tiga jalur periwayatan dengan tiga hadits. Akan tetapi cara penetapan dalil dari hadits-hadits tersebut tidaklah benar, sebab kaum Salaf tidak pernah melakukannya.
Sesungguhnya mengqiyaskan satu keadaan dengan keadaan lain merupakan perkara yang sangat sulit, khususnya bila berbenturan dengan kehidupan masyarakata Islam generasi pertama. Sebab, di sana terdapat hal-hal yang telah berubah sejak berlalunya tiga generasi pertama. Akan tetapi –alhamdulillah—di sana terdapat pula beberapa perkara yang masih saja kita pelihara dengan baik, di mana tidak ada perbedaan antara kita dengan kaum Salaf dalam masalah itu.
Sebagai contoh, pelaksanaan shalat lima waktu di masjid-masjid. Perbuatan ini telah diterima kaum Muslimin dengan cara diwarisi dari generasi pertama. Namun di sana terdapat pula beberapa perbuatan yang dilakukan oleh generasi penerus (khalaf) yang tidak pernah dikerjakan oleh generasi terdahulu (Salaf).
Dari sini, maka aku ingin menekankan pada permasalahan ini sebagai berikut : Berdalil dengan nash-nash, dengan tidak mengikuti sebagaimana yang dipraktikan oleh kaum salaf, merupakan kesalahan yang telah membuka dihadapan kita bid’ah yang sangat banyak dan kitapun sepakat mengingkarinya. Kemudian para pendukungnya menghadapkan dalil kepada kita, sama seperti dalil yang kita jadikan landasan bagi apa yang kita lakukan. Demikian pula persoalan khuruj atau keluar dijalan Allah, seperti kita kenal disaat ini.
Akan tetapi terkadang seseorang mengatakan ” Wahai Ustazd apakah anda tidak sependapat denganku bahwa kita kembali kepada satu perkara yang kita sepakati, dimana anda telah menyebutkannya dan kamipun tidak mengingkarinya ; yaitu kenyataan bahwa banyak manusia yang merubah kehidupannya menjadi lebih baik karena pengaruh dari khuruj tersebut ?”
Sebagai tangggapan, aku akan mengajakmu memperhatikan kenyataan lain, yaitu dimana terdapat sejumlah manusia- baik sebagai ahli ilmu maupu selain mereka- yang keadaan mereka demikian baik tanpa pengaruh khuruj yang anda maksudkan. Apakah anda tidak sependapat pula denganku, bahwa salah seorang dari mereka-yang umumnya adalah orang awam- harus keluar. Atau dengan ibarat yang lebih jelas, sebagian mereka harus menjauh dari negri serta keluarga dan seterusnya. Bukankah lebih baik bagi mereka untuk tetap dinegri mereka sebagai suatu jamaah, lalu berkumpul dalam suatu majelis di mesjid-mesjid untuk mempelajari alqur’an dan fiqh. Bukankah yang demikian itu jauh lebih baik dari pada khuruj?
Penanya : ini adalah pendapat yang baik.
Al Albany : oleh sebab itu, aku menasihatkan kepada mereka yang khuruj, dimana aku mengetahui dengan baik bahwa mayoritas mereka tidak menginginkan balasan aatau pamrih. Akan tetapi seperti dikatakan :
Sa’ad menuntunnya sedang ia berselimutkan kain
Bukan demikian wahai Sa’ad cara menuntun Unta
Kepada mereka yang ikhlas itu kami hadapkan ucapan ini, dan juga kepada semua jemaah yang bersama mereka. Orang-orang yang ikhlas itu hendaknya saling menyeru untuk mendapatkan seseorang yang mengajari mereka alqur’an, misalnya imu tajwid dengan diselanggarakan di masjid masjid yang merupakan rumah-rumah Allah. Sebagaiman yang disabdakan oleh Rosulullah, ” Tidaklah berkumpul suatu kaum disalah satu rumah diantara rumah rumah Allah, dengan membeca alqur’an dan, mempelajarinya diantara mereka, melainkan akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat dan dikelilingi oleh malaikat serta disebut oleh Allah dihadapan mereka yang berada dihadirat-Nya”.