Ditulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Hadits mengadzani bayi setelah lahir memiliki 3 jalur periwayatan utama.
Riwayat jalur pertama:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan Fathimah, dengan (adzan) sholat (H.R Ahmad, atTirmidzi, dan lainnya).
Jalur riwayat ini memiliki perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah. Dia adalah perawi yang lemah menurut para Ulama. Abu Zur’ah dan Abu Hatim menyatakan dia adalah munkarul hadits. Sufyan bin Uyainah menyatakan: para syaikh menghindari hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Namun, Syu’bah bin al-Hajjaj meriwayatkan hadits darinya. Syu’bah bin al-Hajjaj dikenal sebagai seorang yang sangat selektif dalam mengambil periwayatan hadits. Al-Imam Malik heran dengan sikap Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengambil periwayatan dari ‘Ashim bin Ubaidillah padahal dia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia lemah karena lemahnya hafalannya sehingga banyak salah. Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia meski lemah, namun haditsnya ditulis (untuk dicari jalur penguat lainnya, pent). Al-‘Ijliy menyatakan bahwa ia tidak mengapa. Dimaklumi bahwa al-‘Ijliy termasuk Ulama yang bermudah-mudahan dalam penilaian terhadap perawi.
Riwayat jalur kedua:
عَنْ حُسَيْنٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Dari Husain beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang anak, kemudian dia mengadzani di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri, maka tidak akan memudhorotkannya Ummus Shibyaan (Jin yang mengikutinya atau hembusan angin)(H.R Abu Ya’la)
Di dalam sanad riwayat ini terdapat perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghiffary yang dinyatakan matruk (ditinggalkan) oleh al-Haytsamiy dalam Majmauz Zawaaid. Ibnu Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim tentang Marwan bin Salim al-Ghiffariy ini. Abu Hatim menyatakan: munkarul hadits jiddan, dhaiful hadits. Maka Ibnu Abi Hatim bertanya: Apakah haditsnya ditinggalkan? Abu Hatim menyatakan : Tidak. Tapi haditsnya ditulis (sebagai pertimbangan jika ada jalur penguat lain, pent)(al-Jarh wat Ta’diil (8/275)).
Riwayat jalur ketiga:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri (H.R al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman dan beliau menyatakan bahwa sanad hadits ini lemah)
Jalur periwayatan ini memiliki perawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy. Ibnu Hibban menyatakannya sebagai pemalsu hadits. Demikian juga Abu Dawud mengkategorikannya sebagai pendusta. Sedangkan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy adalah dikenal baik dan haditsnya baik. Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy (Tahdziibut Tahdziib karya al-Hafidz Ibn Hajar (9/476)). Sedangkan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy dikenal sebagai pendusta.
Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya lemah. Namun yang menjadi perbedaan pendapat para Ulama adalah : bisakah ketiga jalur itu saling menguatkan sehingga paling tidak sampai derajat hasan? Syaikh al-Albaniy awalnya menghasankan hadits itu dalam Sunan atTirmidzi, namun setelah beliau mengkaji ulang beliau menilai bahwa riwayat Abu Rofi’ (jalur riwayat pertama) tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain karena perawi-perawi yang pendusta. Beliau kemudian melemahkannya dalam Silsilah ad-Dhaifah. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad sepertinya cenderung pada pendapat Syaikh al-Albany yang terakhir ini dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Sedangkan sebagian Ulama’ menyatakan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir bisa diamalkan. Jalur – jalur periwayatan yang ada bisa menguatkan.
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya: atTirmidzi, al-Hakim, anNawawiy, Ibnu Qudamah, Ibnul Qoyyim, al-Mubarokfuriy penulis Tuhfatul Ahwadzi, asy-Syaukaaniy dalam Tuhfatudz Dzaakiriin, Syaikh Muhammad bin Ibrohim (mufti Saudi terdahulu), Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz bin ‘Aqiil, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz arRaajihiy.
Sepertinya pendapat para Ulama ini adalah pendapat yang rajih, karena memang jalur-jalur periwayatan tersebut bisa menguatkan. Jalur riwayat pertama lemah, karena adanya perawi yg lemah hafalannya. Namun diharapkan bisa dikuatkan dgn jalur riwayat kedua. Perawi Marwan bin Saalim al-Ghiffariy masuk kategori perawi yg bisa ditulis haditsnya sambil dicari jalur penguat lain, menurut Abu Hatim. Sedangkan jalur periwayatan yg ketiga jika kita membaca penjelasan al-Hafidz Ibn Hajar dlm Tahdziibut Tahdziib, maka bisa jadi kita akan berkesimpulan bahwa al-Kudaimiy bukanlah pendusta secara mutlak.
Belum lagi jika kita melihat adanya riwayat perbuatan seorang Tabi’i yg mulya yaitu Umar bin Abdil Aziz dalam riwayat Abdurrozzaq.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam salah satu fatwanya berpendapat bahwa adzan di telinga bayi adalah sunnah, sedangkan iqomat tidak. Beliau menyatakan:
الأذان عند ولادة المولود سنة وأما الإقامة فحديثها ضعيف فليست بسنة ولكن هذا الأذان يكون أول ما يسمع المولود وأما إذا فات وقت الولادة فهي سنة فات محلها فلا تقضى
Adzan ketika kelahiran anak adalah sunnah sedangkan iqomat haditsnya lemah, bukan sunnah. Akan tetapi adzan ini adalah pertama kali yang didengar oleh anak yang dilahirkan. Adapun jika terlewat waktu kelahirannya, sunnah tersebut tidaklah diqodho’ (diganti di waktu lain) (Fataawa Nuurun Alad Darb (228/9)).
Wallaahu A’lam.