Lanjutan (Side B)
Saya akan menghadirkan beberapa contoh untuk menjelaskan pembicaraan ini, yang mana ini merupakan poin penting, yang mana hal itu adalah (mengikuti) manhaj Salafus Shalih. Ada sebuah pernyataan yang diriwayatkan dari Al-Faruq Umar ibn`l Khatthab Radhiyallahu`anhu, yang mengatakan: Jika orang-orang ahlul bid`ah dan ahlul ahwa` mendebatmu dengan Al-Qur`an, maka debatlah mereka dengan sunnah. Apa yang menjadikan Umar Radhiyallahu`anhu membuat pernyataan demikian, ini karena firman Allah yang mana Dia berbicara pada Nabi : “Dan Kami telah turunkan Adz-Dzikr (Sunnah) agar kamu (Wahai Muhammad) memberi penjelasan pada orang-orang terhadap apa yang telah diturunkan pada mereka dan supaya mereka memikirkan.” [An-Nahl: 44]
Apakah seorang muslim, yang mengetahui secara mendalam bahasa Arab, mengetahui tata bahasa dan aturannya, apakah orang ini mampu memahami Al-Qur`an tanpa menggunakan cara Rasul kita (Shalallahu ‘alaihi wasallam) ? Jawabannya adalah tidak. Dan jika ini bukan begitu, maka firman Allah “Supaya kamu (wahai Muhammad) memberikan penjelasan pada manusia akan apa-apa yang telah diturunkan pada mereka”, tidak akan memiliki makna apa-apa. Dan ucapan Allah hampa dari ketidakbermaknaan padanya. Maka dari itu, siapapun yang ingin memahami Al-Qur`an dengan cara selain cara Rasulullah (Shalallahu “alaihi wasallam), dia telah sesat dengan jauh.
Lebih jauh lagi, apakah orang yang sama ini (yang disebutkan di atas) mampu untuk mengerti Al-Qur`an dan As-Sunnah melalui selain cara para shahabat Rasulullah. Jawabannya adalah tidak. Ini dikarenakan, mereka (para shahabat) adalah orang-orang yang meneruskan pada kita, pertama ayat-ayat Al-Qur`an, kedua, mereka meneruskan pada kita, penjelasan Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) (terhadap Al-Qur`an), yang telah disebut di ayat yang sebelumnya sebagaimana juga pengamalan beliau terhadap Al-Qur`an Al-Karim ini.
Penjelasan Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) (terhadap Al-Qur`an) dapat dibagi menjadi 3 kategori:
1) ucapan,
2) perbuatan, dan
3) persetujuan (dengan diam).
Siapa orang-orang yang meneruskan (pada kita) ucapan beliau (Shalallahu ‘alaihi wasallam)shahabatnya. Siapa orang yang meneruskan (pada kita) perbuatan beliau (Shalallahu ‘alaihi wasallam) shahabat beliau. Siapa yang meneruskan (pada kita) persetujuan dengan diamnya beliau (Shalallahu ‘alaihi wasallam)shahabat beliau. Jadi karena itulah, tidak mungkin bagi kita untuk tergantung semata-mata pada kemampuan linguistik untuk memahami Al-Qur`an. Tapi ini bukanlah berarti kita tidak membutuhkan bahasa (Arab) dalam masalah ini, bukan.
Inilah mengapa kita yakin dengan sangat bahwa orang-orang yang berbicara dalam bahasa non-Arab, yang tidak menguasai bahasa Arab, jatuh pada banyak, banyak kesalahan. Hal ini juga terutama, mereka jatuh kepada kesalahan fundamental ini, karena tidak kembali pada Salafus Shalih dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Saya tidak memaksudkan dengan perkataan saya tadi bahwa kita tidak bisa bergantung pada bahasa (Arab) dalam menjelaskan Al-Qur`an. Bagaimana bisa karena jika kita mau memahami kata-kata bahasa Arab, maka tanpa ragu, kita harus memahami bahasa Arab. Begitu pula, untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah, seseorang harus mengetahui bahasa Arab.
Jadi kami katakan bahwa penjelasan Rasul , yang disebutkan dalam ayat sebelumnya, dibagi menjadi 3 kategori: ucapan, perbuatan, dan persetujuan dengan diam. Kami akan hadirkan satu contoh, untuk memahamkan bahwa pembagian ini adalah kenyataan yang ada, yang tidak bisa diingkari. Allah berfirman: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya “ [Al-Ma`idah: 38]”
Lihatlah sekarang bagaimana tak mungkin bagi kita menjelaskan Al-Qur`ann berdasarkan bahasa saja. Pencuri, menurut bahasa adalah seseorang yang mencuri harta benda dari tempat-tempat terlarang, tak memandang apakah benda tersebut bernilai atau tidak. Misalnya seseorang mencuri sebutir telur dan sepotong roti ini menurut bahasa (Arab) dianggap sebagai pencuri. Allah berfirman “Dan (bagi) pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya.”
Apakah setiap orang yang mencuri harus dipotong tangannya ? Jawabnya tidak. Kenapa ? Ini karena orang yang menjelaskannya (yaitu Nabi), yang bertugas menjelaskan yang sedang dijelaskan adalah Al-Qur`an. Beliau bersabda: “Jangan potong tangan kecuali untuk (seseorang yang mencuri) seperempat dinar dan apa yang di atasnya.”
Jadi siapapun yang mencuri sesuatu yang kurang dari seperempat dinar, meskipun menurut bahasa dia disebut pencuri, tapi dia tidak dianggap pencuri menurut definisi Syar`i.
Jadi di sini, kita sampai pada realita yang berdasarkan `Ilmu, yang banyak tholabul `Ilmi tidak waspada. Pada satu sisi kita punya bahasa Arab, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Dan pada sisi lain, kita punya bahasa syar`i, yang Allah sendiri telah mengistilahkannya, dan menjelaskannya, yang orang-orang Arab berbicara dalam bahasa Al-Qur`an (yaitu bahasa Arab), dan Al-Qur`an yang diturunkan pada mereka- tidak waspada sebelumnya.
Apabila pencuri ini diterapkan menurut bahasa (Arab), ini mencakup semua pencuri. Tapi jika pencuri ini disebutkan menurut istilah syar`i, maka tak semua pencuri termasuk, melainkan hanya mereka yang mencuri apa yang setara dengan seperempat dinar dan apa-apa yang ada di atasnya.
Maka ini adalah sebuah contoh aktual yang tidak mungkin bagi kita untuk tergantung semata-mata dengan pengetahuan bahasa Arab dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini adalah kesalahan yang banyak penulis-penulis kontemporer terjatuh padanya sekarang ini.
Mereka meletakkan pengetahuan bahasa Arab di atas ayat-ayat Al-Qur`an dan hadits nabi. Jadi mereka memahami teks-teks syar`i ini dan datang dengan pemahaman bid`ah, yang ummat Islam belum pernah dengar di masa lalu.
Karena ini kami katakan, adalah kewajiban, untuk mengerti bahwa da`wah yang sebenarnya kepada Islam, berdasarkan 3 prinsip dan dasar fundamental, yaitu
1) Al-Qur`an,
2) As-Sunnah, dan
3) Jalan pemahaman Salafus Shalih.
Sehingga ayat “Dan (bagi) tiap pencuri laki-laki dan pencuri perempuan” bukan untuk dipahami menurut persyaratan bahasa, melainkan persyaratan bahasa syar`i, yang menyatakan: “Jangan potong tangan kecuali untuk (seseorang yang mencuri) seperempat dinar dan apa-apa yang ada di atasnya.”
Kalimat berikutnya dari ayat tersebut menyatakan: “Potonglah tangan-tangan mereka.” Apa itu tangan menurut bahasa” Semua ini dianggap tangan “ Dari ujung jari sampai ketiak- semua ini adalah tangan. Jadi apakah tangan tersebut harus dipotong dari sini atau dari sini atau dari sini”
Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah menjelaskan ini pada kita dengan perbuatan beliau [yaitu untuk dipotong dari pergelangan tangannya]. Kita tidak punya hadits yang secara jelas mendefinisikan dari tempat mana kita harus memotong, dari penjelasan Rasul lewat ucapan. Namun, diungkapkan penjelasan beliau lewat perbuatan aplikasi fisik beliau.
Bagaimana kita bisa tahu penerapan ini ? Yakni dari Salafus Shalih kita para shahabat nabi. Ini adalah kategori kedua, yakni penjelasan oleh perbuatan.
Yang ketiga adalah persetujuan Rasul untuk sesuatu yg tidak dia tolak atau larang. Persetujuan ini bukanlah ucapan beliau atau perbuatan yang datang dari beliau, melainkan perbuatan orang lain, yang beliau lihat dan setujui.
Jadi jika Rasul melihat sesuatu dan beliau tetap diam tentangnya, menyetujuinya, hal itu menjadi sesuatu yang disetujui dan diizinkan. Tapi jika beliau melihat sesuatu dan menolaknya, walaupun hal ini dilakukan oleh beberapa shahabat beliau, akan secara shahih tercantum dalam teks bahwa beliau melarangnya, maka larangan ini mendahului apa yang telah beliau setujui.
Saya akan memberi contoh untuk dua hal ini, berdasarkan hadits-hadits.
`Abdullah Ibn Umar Ibn`l Khatthab radhiyallahu`anhu berkata: “Kami biasa minum ketika berdiri dan makan ketika berjalan selama hidup Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) .”
Jadi di dalam hadits ini, `Abdullah telah menginformasikan kita 2 hal:
1) Minum sambil berdiri, dan
2) Makan sambil jalan.
Dan dia menyatakan bahwa kedua hal ini dilakukan ketika masa Nabi . Jadi apa fiqih terhadap 2 masalah ini: minum sambil berdiri dan makan sambil berjalan.
Jika kita terapkan poin-poin yang telah kita sebut sebelumnya, kita mampu menurunkan hukumnya tentu saja- dengan penambahan yang diperlukan padanya, yang mana seseorang tahu tentang apa yang Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) telah larang, melalui ucapan, perbuatan, dan persetujuan (dengan diam).
Jadi jika kita kembali pada sunnah shahih, mengenai apa yang berkaitan dengan masalah pertama (minum sambil berdiri), yang banyak muslim, jika bukan mayoritasnya mereka, melakukannya sekarang ini. Dan ini berlawanan dengan ucapan Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) tentang minum sambil berdiri. Mereka minum sambil berdiri, mereka (yakni manusia) memakai emas, dan sutra. Ini adalah fakta yang tidak bisa diingkari.
Tapi apakah Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) setuju dengan semua ini ? Jawabannya adalah beliau beberapa dan melarang beberapa. Jadi apapun yang beliau larang maka jatuh pada batas kejahatan (munkar) dan apapun yang beliau setujui, maka masuk ke dalam batas kebaikan (ma`ruf). Beliau melarang minum sambil berdiri dalam banyak hadits. Dan saya tidak mau terlalu jauh dalam menyebutkan semuanya, jadi pertama-tama, kita tidak beralih dari waktu yang kita batasi bagi kita untuk mendiskusikan topik ini sehingga kita bisa menjawab beberapa pertanyaan pada akhir acara dan kedua, permasalahan ini butuh majlis khusus untuknya.
Cukup untuk menghadirkan satu hadits shahih, yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu`anhu, yang berkata: “Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) melarang minum sambil berdiri.”
Dan pada riwayat lain [dari hadits], dia berkata: “Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) melarang dari minum sambil berdiri.”
Maka dari itu, hal yang biasa dilakukan selama masa Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam), sebagaimana oleh Ibnu `Umar, adalah terabaikan dan terlarang. Jadi hal yang biasa mereka lakukan menjadi terlarang, berdasarkan pelarangan nabi terhadapnya . Tapi bagian kedua dari hadits (Ibnu `Umar), yang menyatakan bahwa mereka biasa makan sambil berdiri, kami tidak mendapatkan riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) melarangnya.
Jadi kami turunkan dari persetujuan (dengan diam) ini, sebuah fiqih (aturan syar`i). Sampai disini, kita telah menyadari kebutuhan yang sangat untuk bergantung pada jalannya Salafus Shalih untuk memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan tidak seorangpun dapat bergantung pada pengetahuannya, jika ini tidak bisa dikatakan kebodohannya, dalam memahami Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Setelah memperjelas permasalahan penting di atas manhaj Salafus Shalih ini, saya harus memberi kalian beberapa contoh. Di masa lalu, muslimin terpecah menjadi banyak sekte. Kalian dengar tentang Mu`tazilah , kalian dengar tentang Murji`ah, kalian dengar tentang Khawarij , kalian dengar tentang Zaidiyyah, belum lagi Syi`ah dan Rafidhah , dan lain-lain. Tidak ada di antara kelompok-kelompok ini, tanpa memandang seberapa dalam kesesatan mereka, bahwa tidaklah berbagi ucapan yang sama sebagaimana muslimin yang lainnya, yaitu: “Kami berada di atas Al-Qur`an dan As-Sunnah.” Tidak seorangpun di antara mereka mengatakan: “Kami tidak mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah.” Dan jika satu dari mereka mengatakannya, dia akan benar-benar keluar dari lipatan Islam.
Jadi kenapa mereka berpecah belah selama mereka berpegang pada Al-Qur`an dan As-Sunnah dan saya bersaksi bahwa mereka bersandar pada Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pendukung. Tapi bagaimana penyandaran ini dilakukan ? Penyandaran ini dilakukan tanpa bersandar pada dasar ketiga, yang para Salafus Shalih ada di atasnya.
Dan ada poin tambahan lain yang perlu dicatat di sini dan itu adalah bahwa As-Sunnah sangat berbeda dari Al-Qur`an Al-Karim dalam hal bahwa Al-Qur`an Al-Karim berupa mushaf, dan ini seperti yang dikenal baik oleh semua orang. Dalam masalah sunnah, maka untuk banyak bagiannya, tersebar dalam ratusan, kalau bukan ribuan buku, di antaranya berada dalam bagian yang paling banyak yang tetap tersembunyi manuskrip yang tidak tercetak.
Lebih jauh lagi, bahkan buku-buku dari mereka ini yang dicetak sekarang ini, ada hadits-hadits yang shahih dan lemah. Jadi siapa yang berpegang pada As-Sunnah sebagai penyokong, baik mereka yang menisbatkan diri pada Ahlus Sunnah wal Jama`ah dan metodologi Salafus Shalih atau mereka dari kelompok lain kebanyakan mereka tidak bisa membedakan hadits shahih dari yang lemah. Mereka terjatuh kepada pertentangan dan kontradiksi Al-Qur`an dan As-Sunnah karena penyandaran mereka pada hadits-hadits lemah dan palsu. Intinya bahwa kelompok ini yang baru saja kita sebutkan, menolak arti literal yang tercantum dalam Al-Qur`an dan Hadits Nabawy, di masa lalu dan juga masa kini.
[Sebagai contoh] Al-Qur`an menetapkan dan memberikan pahala pada orang-orang mukmin dari nikmat yang sangat besar yang akan mereka terima di surga, yaitu Robb semesta alam akan memperlihatkan DiriNya pada mereka dan mereka akan melihatNya.
Sebagaimana dinyatakan seorang Ulama Salaf: “Orang-orang mukmin akan melihatNya, (kami percaya ini) tanpa berkata bagaimana itu bisa dilakukan atau membuat permisalannya atau memberi contohnya.”
Bukti-bukti tekstual dari Al-Qur`an dan As-Sunnah menyatakannya. Jadi bagaimana beberapa firqoh masa lalu dan sekarang ini, mengingkari berkah yang besar ini ? Dan untuk kelompok-kelompok di masa lalu yang menolak melihat (Allah) ini, adalah mu`tazilah.
Sekarang ini, menurut apa yang saya ketahui, tidak ditemukan kelompok apapun di muka bumi ini yang berkata “Kami adalah mu`tazilah, kami mengikuti iman mu`tazilah.” Bagaimanapun, saya melihat seorang bodoh yang mengumumkan bahwa dialah mu`tazily. Dan dia menolak banyak fakta-fakta yang ada dari agama karena dia tergesa-gesa. Jadi mu`tazilah ini menolak berkah terbesar ini dan mereka berkata dengan akal mereka yang lemah: “Tidak mungkin Allah dapat dilihat!” Jadi apa yang mereka lakukan” Apakah mereka menolak Al-Qur`an Allah berfirman dalam Al-Qur`an : “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat.” [Al-Qiyamah: 22-23]
Apakah mereka menolak ayat ini ? Tidak, mereka tidak menolaknya atau mengingkarinya atau tida mempercayainya.
Sampai sekarang, aturan Ahlus Sunnah sejati adalah bahwa mu`tazilah berada di atas kesesatan tapi tidak menyebabkan mereka keluar dari Islam. Ini karena tidak menolak ayat ini, tapi mereka menolak makna sebenarnya, yang mana penjelasannya telah dinyatakan dalam As-Sunnah, jika kita ingat. Allah berfirman tentang orang-orang mukmin yang akan memmasuki surga: “Wajah-wajah (orang orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya-lah mereka melihat.”
Kemudian mereka mengubah maknanya mereka percaya pada perkataan ayat tapi mengingkari maknanya. Dan perkataan, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama, adalah pembentuk makna. Jadi kita percaya pada perkataan tapi tidak percaya pada maknanya, maka Iman yang seperti ini tidak mengenyangkan terhadap rasa lapar [yakni tidak memberi bermanfaat].
Jadi kenapa orang-orang ini menolak melihat Allah Pikiran mereka tersempitkan dari pembayangan dan penggambaran bahwa hamba ini, yang diciptakan dan terbatas, mampu melihat Allah secara terang-terangan, sama dengan ketika Yahudi meminta Mussa (untuk melihat Allah), sehingga Allah mencegah mereka, sebagaimana ditemukan di dalam kisah yang terkenal [lihat surat Al-Baqoroh: 55-59, Allah berfirman pada Musa] : “Lihatlah kepada bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala), niscaya kamu dapat melihatKu.” [Al-A`rof: 143]
Akal mereka tersempitkan sehingga mereka merasa harus bermain-main dengan teks Qur`any dan mengubah maknanya. Kenapa (?) karena iman mereka terhadap yang ghaib itu lemah dan iman mereka terhadap akal mereka lebih kuat daripada iman mereka terhadap yang ghaib yang mana mereka diperintahkan untuk beriman padanya, di permulaan surat Al-Baqoroh: “Alif Lam Mim. Ini adalah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa “(siapa mereka”)- Mereka yang beriman pada yang ghaib.” [Al-Baqoroh: 1-3]
Allah itu ghaib, jadi kapanpun Robb kita berkata tentang DiriNya, kita harus menegaskan bahwa itu benar dan kita harus percaya padanya, karena akal kita sangat terbatas.
Mu`tazilah tidak mengakui poin ini, sehingga itulah kenapa mereka mengingkari dan menolak banyak fakta yang ada dalam agama, seperti firman Allah: wajah-wajah pada hari itu akan cerah, memandang Robb mereka.
Ini juga sama untuk ayat lain, yang lebih tidak jelas dengan orang-orang ini daripada ayat pertama, dan ini adalah perkataan Allah: “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (Al-Husna) dan tambahannya (Az-Ziyadah).” [Yunus: 26]
Al-Husna di sini merujuk pada surga, dan ziyadah di sini berarti, melihat Allah di hari akhir. Inilah apa yang dinyatakan dalam hadits yang diriwayatkan dari shahih Muslim, dengan isnad yang shahih dari Sa`id Ibn Abi Waqqash radhiyallahu`anhu, yang berkata: Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Untuk mereka yang melakukan kebaikan, mereka akan menerima Al-Husna (berarti) surga- dan ziyadah (berarti) melihat Allah.”
Mu`tazilah dan juga syi`ah, yang mu`tazilah dalam aqidahnya, menolak bahwa Allah akan dilihat, yang telah ditegaskan pada ayat pertama dan dijelaskan oleh Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) di ayat kedua. Dan ada banyak hadits (mencapai tingkatan mutawatir) dari Nabi tentang ini.
Tamtsil (pengalihan makna sebenarnya) mereka dari Al-Qur`an telah membawa mereka kepada menolak hadits-hadits shahih dari Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) .
Jadi mereka meninggalkan dari batasan-batasan untuk dianggap sebagai Firqoh Najiyah “yang aku dan shahabatku ada di atasnya. Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) percaya dan memiliki keimanan yang kokoh bahwa mukminin akan melihat Rabb mereka, karena diriwayatkan dalam 2 shahih dari riwayat banyak shahabat, seperti Abu Sa`id Al-Khudry, Anas bin Malik dan di luar 2 shahih- ada Abu Bakr Ash-Shiddiq dan seterusnya. Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat Robb kalian di hari pembalasan, seperti kalian melihat bulan di langit (yang cerah) yang mana bulan purnama kalian tidak akan kesulitan melihatnya.”
Apa yang dimaksud di sini adalah kalian tidak akan kesulitan melihat Allah sebagaimana tidak kesulitan melihat bulan pada malam cerah yang mana ada bulan purnama, tanpa awan. Mereka menolak hadits-hadits ini berdasarkan akal-akal mereka, sehingga mereka memiliki iman yang lemah.
Inilah satu contoh dari perkara-perkara yang beberapa firqoh di masa lalu terjatuh padanya juga. Dari tingkatan mereka adalah Ibadiyyah yang sekarang ini aktif menyeru orang-orang kepada kesesatan mereka. Mereka memiliki artikel-artikel dan risalah-risalah yang disebarkan dan dibagikan, yang mana mereka menghidupkan kembali banyak kesesatan, yang khawarij diketahui karena (melakukan)nya di masa lalu, seperti penolakan mereka bahwa Allah akan nampak di surga .
Sekarang kami akan menghadirkan kalian dengan contoh masa kini, yaitu Qadiyany . Mungkin kalian pernah mendengar mereka. Orang-orang ini mengatakan sebagaimana kita berkata: “Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan Muhammad itu utusan Allah.” Mereka shalat 5 kali dalam sehari, mereka mengadakan shalat Jum`at, mereka berhaji dan umroh ke rumah suci Allah. Tidak ada beda antara kita dengan mereka mereka seperti halnya muslim. Tetapi, mereka berbeda dengan kita dalam banyak perkara aqidah, seperti kepercayaan mereka bahwa kenabian tidak berakhir. Mereka percaya bahwa nabi-nabi akan datang setelah Muhammad dan mereka mengklain bahwa seorang dari mereka telah datang ke Qadiyan, suatu negeri di India. Sehingga (mereka berkata bahwa) seseorang yang tidak percaya pada nabi ini yang datang pada mereka, maka dia adalah seorang kafir. Bagaimana mereka bisa berkata begini, sedangkan ayatnya jelas: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) dan penutup nabi-nabi.” [Al-Ahzab: 40]
Bagaimana mereka mengatakannya, sementara hadits-hadits telah mencapai tingkatan tawatir, (menyatakan): “tidak ada nabi setelahku.” Jadi mereka mengubah makna Al-Qur`an dan As-Sunnah dan mereka tidak menafsirkan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagaimana para Salafus Shalih menafsirkan keduanya.
Maka muslimin juga mengikuti mereka dalam perkara itu tanpa ketaksetujuan apapun yang terjadi di antara mereka, sampai datang orang menyimpang dan sesat ini, bernama Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyany yang mengaku sebagai nabi. Dan dia memiliki kisah yang panjang, yang bukan merupakan fokus dari subjek kita sekarang. Sehingga dia menipu banyak orang yang tidak berilmu terhadap fakta-fakta ini, yang melindungi muslimin dari tersesat, sebagaimana Qadiyany ini menyimpang dengan Dajjal ini yang mengakui kenabian untuknya.
Apa yang mereka lakukan dengan firman Allah: “tetapi dia adalah Rasulullah (Shalallahu ‘alaihi wasallam) dan penutup nabi-nabi.” Mereka berkata bahwa ini bukan berarti tidak ada nabi setelah beliau, melainkan ucapan khatam merujuk pada perhiasan nabi.
Seperti halnya khatam ini (segel atau cincin) adalah hiasan jari, maka seperti itu pula, Muhammad adalah perhiasan para nabi. Maka dengan begitu mereka tidak mengkufuri ayat tersebut. Mereka tidak berkata bahwa Allah tidak mewahyukan ayat ini ke dalam hati Muhammad. Melainkan mereka kufur terhadap makna aslinya. Jadi apa yang baik adalah beriman dalam perkataan jika tidak ada keimanan dalam makna aslinya.
Jika kamu tidak ragu terhadap fakta ini, maka apa jalan untuk mengetahui makna Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kalian telah tahu jalannya. Bukanlah bagi kita untuk bersandar pada pengetahuan bahasa Arab, atau untuk menafsirkan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan keinginan kita atau tradisi kita, atau taklid kita, atau madzhab kita, atau perintah (Sufy) kita, melainkan, satu-satunya jalan adalah sebagaimana dikatakan secara umum, dan aku akan menutup ceramahku dengan ini: “Dan setiap kebaikan adalah dalam mengikuti Salaf. Sedangkan setiap keburukan adalah bid`ahnya khalaf.”
Kami harap ini sebagai suatu pengingat terhadap mereka yang memiliki hati atau yang menggunakan pendengarannya sementara mereka menyaksikan. [Qaf: 37]
Sumber: Sebuah Kaset yang berjudul Hadzihi Da`watuna (Inilah da`wah kami), yang direkam dalam bahasa Arab dan didistribusi oleh Syuur Lil Intaaj Al-Islamy dan kemudian diterjemahkan dan ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh al-manhaj.com.
Artikel ini merupakan terjemahan yang telah diedit dari kaset sebenarnya untuk bacaan yang lebih baik. Diterjemahkan ke dalam format artikel (bahasa Inggris) oleh Abu Maryam. Diproduksi oleh al-manhaj.com.
(Diterjemahkan ke bahasan Indonesia oleh Rasyid. PERINGATAN : Website al-manhaj.com kini menjadi penjejak Abul Hasan mubtadi’)