Hukum otopsi jenazah muslim untuk belajar ilmu kedokteran Islam sebagai agama yang sempurna menetapkan beberapa kaedah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada zaman Rosululloh. Diantara kaedah tersebut adalah:
Apabila bertentatangan antara dua kemaslahatan maka diambil maslahat yang terbesar demikian juga bila bertentangan antara dua mafsadah maka diambil yang paling ringan. (Al Qowaidul Fiqhiyah karya Asy Syaikh As Sa’di) Masalah otopsi dan bedah mayat muslim atau dzimmi masuk dalam kaedah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindakan kriminalitas mendeteksi sedini
mungkin adanya wabah menular sehingga cepat bisa diatasi dan beberapa manfaat lainnya. Juga apa yang lakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar banyak mengandung manfaat untuk ummat. Semua ini walaupun bertentangan dengan maslahat menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih besar masalahatnya sehingga bisa dihukumi boleh ataukah tidak?
Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka prektek bedah dengan tujuan seperti ini diperbolehkan. Wallahu A’lam. Jika ada yang bertanya : Kenapa tidak digunakan jasad binatang saja ?
Jawab : Ada perbedaan yang besar antara
organ tubuh manusia dengan organ tubuh binatang yang dengannya tidak mungkin dijadikan dasar dalam belajar kedokteran.Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran.Namun kalau jasad yang di bedah itu mayat yang tidak ma’shum, maka itulah yang lebih selamat.
Ada baiknya kita nukilkan teks fatwa Haiah kibarul Ulama’ no 47 tanggal 20/8/1396 H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemaslahatan medis.
Jawab :
Setelah ditelaah ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu : Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindakan kriminalitas, Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit agar bisa diambil tindakan preventif secara dini, Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran, Setelah di bahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majlis memutuskan sebagai berikut : Untuk masalah pertama dan kedua, majlis berpendapat tentang diperbolehkannya untuk mewujudkan banyak kemaslahatan dalam bidang keamanan, keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsadah merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi kalau dibandingkan dengan kemaslahatannya yang sangat banyak. Maka majlis sepakat menetapkan diperbolehkan melakukan otopsi mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat itu ma’shum ataukah tidak.
Adapun yang ketiga yaitu yang berhubungan dengan tujuan pendidikan medis, maka memandang bahwa syariat islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemaslahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadah dengan cara melakukan mafsadah yang paling ringan serta maslahat yang paling besar, juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang, dan karena pembedahan ini banyak mengandung maslahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majlis berpendapat bahwa secara umum diperbolehkan untuk membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu majah dari Aisyah bahwa Rosululloh bersabda :
Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkanya ketika hidup. Juga melihat bahwa bedah itu mengihanakan kehormatan jenazah muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap jasad orang yang tidak ma’shum, maka majlis berpendapat bahwa bedah tersebut boleh. Hanya saja dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum bukan terhadap mayat orang yang ma’shum. Wallahul Muwaffiq.
Faidah dari Ustadz Abu Sufyan Sedayu Gresik
WhatsApp Salafy Indonesia