You are currently viewing Ghuluw Nashara Terhadap Isa bin Maryam ‘alaihissalam

Ghuluw Nashara Terhadap Isa bin Maryam ‘alaihissalam

  • Post author:
  • Post category:Aqidah

Akar penyimpangan, selain kebodohan, adalah sikap ghuluw (berlebihan) dalam beragama. Sikap ini pulalah yang mengantarkan Nasrani keluar dari wilayah keimanan.

Umat Islam telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya untuk menjauhi jalan dan amalan ahlul kitab, Yahudi dan Nashara1. Di antara amalan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di mana ahlul kitab telah terjatuh padanya adalah ghuluw dalam agama mereka. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan mereka tentang kesesatan mereka ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ

“Katakanlah: ‘Hai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kalian) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia). Serta mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (Al-Ma`idah: 77)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

“Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An-Nisa`:171)
Asy-Syaikh Abdurrahman Alusy Syaikh rahimahullahu berkata: “Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, walaupun ditujukan kepada ahlul kitab tapi kandungannya umum mencakup seluruh umat, sebagai peringatan kepada mereka agar tidak berbuat kepada nabi mereka seperti yang dilakukan Nashara kepada ‘Isa dan Yahudi kepada ‘Uzair.” (Fathul Majid, hal. 195)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata memperingatkan umatnya dari perbuatan ghuluw:

“Wahai manusia, hati-hati kalian dari perbuatan ghuluw dalam agama, karena sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah ghuluw dalam beragama.” (HR. Ahmad dan An-Nasa`i)
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “(Peringatan) ini umum mencakup segala jenis ghuluw, baik dalam masalah keyakinan ataupun amalan.”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya dari ghuluw dan menjelaskan bahwa ghuluw adalah sebab kebinasaan. Karena ghuluw adalah perbuatan yang menyelisihi syariat dan telah membinasakan umat terdahulu. Sehingga diambil faedah dari hadits ini tentang haramnya ghuluw dari dua sisi:
1. Peringatan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Ghuluw adalah sebab kebinasaan umat sebagaimana umat sebelum kita.
(Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, hal. 379)

Pengertian Ghuluw
Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata: “Ghuluw adalah melampaui batas, yakni berlebihan dalam memuji atau mencerca dari yang sepantasnya.”
Asy-Syaikh Abdurahman Alusy Syaikh rahimahullahu berkata: “Ghuluw adalah berlebihan dalam mengagungkan (seseorang) baik dengan ucapan ataupun dengan keyakinan.”
Asy-Syaikh Muhamad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ghuluw adalah melampaui batas dalam memuji dan mencela.”

Kerusakan-Kerusakan yang Terkandung dalam Ghuluw
1. Mendudukkan seorang manusia di atas kedudukan yang seharusnya, yaitu ketika ghuluw terjadi dalam pujian, atau merendahkannya lebih dari kedudukan yang semestinya jika dalam celaan.
2. Menyeret kepada peribadatan manusia terhadap orang yang dighuluwi tersebut.
3. Menghalangi manusia untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Orang yang dighuluwi tersebut akan merasa besar dan ujub dengan dirinya.
(Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/370)

Di Antara Kesesatan Nashara adalah Ghuluw terhadap Nabi ‘Isa ‘alaihissalam
Di antara sekian kesesatan Nashara adalah ghuluw dalam beragama, khususnya ghuluw mereka terhadap Nabi ‘Isa ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انتَهُوا خَيْرًا لَّكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا

“Wahai ahli kitab, janganlah kalian melampaui batas dalam agama kalian, dan janganlah kalian mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al-Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan merupakan salah satu ruh yang diciptakan-Nya. Maka berimanlah kalian kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kalian mengatakan: ‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagi kalian. Sesungguhnya Allah adalah Ilah yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (An-Nisa`:171)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab dari berbuat ghuluw dan memuji secara berlebihan. Ini banyak dilakukan orang Nashara, karena mereka melampaui batas terhadap Isa hingga mengangkatnya ke derajat yang lebih tinggi dari derajat yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadanya. Mereka mengangkatnya dari derajat kenabian hingga menjadikannya sesembahan selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka menyembahnya layaknya menyembah Allah Subhanahu wa Ta’ala….” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/ )

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata: “(Ayat ini merupakan) larangan bagi ahlul kitab dari perbuatan ifrath dan tafrith. Di antara perbuatan ifrath adalah ghuluw Nashara terhadap Isa hingga menjadikannya sebagai Rabb….” (Fathul Qadir, 1/ )
Asy-Syaikh Abdurahman As Sa’di rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang ahlul kitab berbuat ghuluw dalam agama, yaitu melampaui batasan yang syar’i kepada yang tidak syar’i. Seperti perkataan Nashara dalam berbuat ghuluw terhadap Isa dengan mengangkatnya dari kedudukan nubuwah dan risalah kepada kedudukan rububiyah, yang tidak pantas kecuali bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 224)

Allah Subhanahu wa Ta’ala memvonis mereka dengan kekafiran ketika mereka menyatakan adanya trinitas. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwasanya Allah adalah salah satu dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang haq kecuali Ilah yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (Al-Ma`idah: 73)

Isa ibnu Maryam dalam Aqidah Islam
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan gamblang tentang kedudukan Isa yang sebenarnya. Dia adalah seorang manusia, hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dipilih menjadi Rasul.

Islam adalah agama yang adil, tidak mengultuskan Isa seperti yang dilakukan Nashara, juga tidak melecehkannya seperti yang dilakukan Yahudi. Isa adalah manusia biasa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih menjadi salah seorang rasul yang diutus kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah tiada sekutu baginya, Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Isa adalah hamba dan utusan-Nya kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta merupakan salah satu ruh ciptaan-Nya, surga adalah haq dan neraka adalah haq, maka akan Allah masukkan dia ke dalam surga sesuai dengan amalannya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu berkata:
“Ada dua kelompok yang berbuat ghuluw terhadap Isa ‘alaihissalam:
1. Yahudi mendustakannya. Mereka menyatakan dia adalah anak zina, ibunya adalah pelacur, dia bukanlah seorang nabi, membunuhnya adalah kewajiban dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada mereka sesuai dengan syariat mereka. Perbuatan mereka (berusaha membunuh Isa) dipandang dari kacamata syar’i teranggap sebagai pembunuhan, walaupun dari sisi hukum taqdir mereka telah berdusta dalam ucapannya. Mereka tidaklah membunuhnya dengan yakin. Sebetulnya Nabi Isa telah diangkat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada-Nya, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala tampakkan (kepada mereka) orang yang mirip dengan Isa. Akhirnya mereka membunuh orang yang mirip dengannya tersebut dan menyalibnya.
2. Nashara. Mereka berkata bahwa Isa adalah anak Allah, tuhan trinitas mereka. Mereka menjadikannya sesembahan bersama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka telah berdusta dalam ucapannya.
Adapun aqidah kita (sebagai seorang muslim), kita bersaksi bahwa Isa adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan utusan-Nya. Ibunya adalah seorang shiddiqah (yang jujur) sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkannya demikian. Dia adalah seorang wanita yang menjaga kehormatannya, dia seorang gadis. Permisalan Isa di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah seperti Adam ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan Adam ‘alaihissalam dari tanah kemudian berkata kepadanya ßõäú maka jadilah.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/68-69)

Asy-Syaikh Abdurrahman Alusy Syaikh rahimahullahu berkata: “Seorang muslim harus bersaksi bahwa Isa ‘alaihissalam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan utusan-Nya, dengan ilmu dan keyakinan bahwa dia adalah (hamba) milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan dari seorang wanita tanpa laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّ مَثَلَ عِيسَىٰ عِندَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ ۖ خَلَقَهُ مِن تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُن فَيَكُونُ

“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah. Kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah (seorang manusia).’ Maka jadilah ia.” (Ali ‘Imran: 59)
(Isa adalah makhluk) bukan Rabb dan bukan pula sesembahan. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sekutukan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ ۖ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَن كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا

“Maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?’ Isa berkata: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan dia menjadikan aku seorang nabi’.” (Maryam: 29-30)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi hamba bagi Allah, dan tidak (pula) malaikat-malaikat yang terdekat (kepada Allah). Bلَّن يَسْتَنكِفَ الْمَسِيحُ أَن يَكُونَ عَبْدًا لِّلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ ۚ وَمَن يَسْتَنكِفْ عَنْ عِبَادَتِهِ وَيَسْتَكْبِرْ فَسَيَحْشُرُهُمْ إِلَيْهِ جَمِيعًاarangsiapa yang enggan dari menyembah-Nya dan menyombongkan diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya.” (An-Nisa`: 172)

Seorang mukmin juga bersaksi akan batilnya ucapan musuhnya dari kalangan Yahudi –laknat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka– yang menyatakan bahwa Isa adalah anak pelacur. Tidaklah benar keislaman seseorang sampai dia berlepas diri dari ucapan dua kelompok ini terhadap Isa serta meyakini apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan, bahwa Isa adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan utusan-Nya.” (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid, hal. 40)

Peringatan Nabi Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewanti-wanti umatnya agar jangan berbuat seperti Nashara. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku seperti dilakukan Nashara terhadap Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah oleh kalian: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al-Bukhari)
Yakni janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana Nashara telah berbuat ghuluw kepada Isa, kemudian menyematkan ilahiyah (ketuhanan) kepadanya. Aku adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sifatilah aku sebagaimana disifatkan oleh Rabbku. Ucapkanlah oleh kalian: “Hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.” (Fathul Majid, hal. 201)

Dari sini kita mengetahui sesatnya aqidah Shufi (Sufi) yang mengultuskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga mendudukkan beliau di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara bukti ghuluw kaum Shufi adalah ucapan Al­-Bushiri:
Wahai makhluk yang paling mulia (maksudnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen.)
Siapa selain engkau tempat aku berlindung
Ketika terjadi bencana yang merata
-sampai ucapan dia-
Sesungguhnya di antara kedermawananmu adalah dunia dan madunya (yakni akhirat, ed)
Dan termasuk ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfudz dan pena (takdir)

Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Dia tidak meninggalkan sesuatu sedikit pun bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, jika menyatakan dunia dan akhirat adalah dari kedermawanan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kami bersaksi bahwa orang yang menyatakan demikian belumlah bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dia telah bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana ghuluw sampai membawa mereka dalam batasan seperti ini? Ghuluw mereka ini melebihi ghuluw Nashara yang menyatakan Isa adalah anak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka berkata: ‘Allah adalah satu dari yang tiga’.” (Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid)

Pembaca yang budiman, dari sini kita pun paham akan pentingnya mengetahui tauhid dan aqidah yang benar, agar kita selamat dari sekian keyakinan yang menyimpang dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti terjatuhnya kaum Shufi dalam perbuatan ghuluw kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mudah-mudahan kita senantiasa diberi taufiq dan hidayah-Nya untuk menapaki ash-shirath al-mustaqim. Walhamdulillah.

Footnote :
1 Nashara adalah bentuk jamak dari kata Nashrani

(Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=558)