Biarlah kisah ini telah masyhur. Biarpun cerita ini telah banyak yang tahu. Namun penulis, sebagai makhluk yang penuh dengan noktah kelabu, hanya ingin mengenang momen-momen indah saat Rabbul Izzah menegur dengan penuh sayang kaum muslimin. Mengenang jatuh bangunnya Rasululloh mempertahankan kekuatan Islam. Dan juga mengenang perjuangan para shohabat menebus kesalahan-kesalahan mereka.
Semoga dengan tergoresnya kisah ini, mencuatlah tekad untuk memperbaiki cacat dan aib dalam diri.
________ooOoo________
Jauh kearah selatan bukit uhud, dendam terus membara dalam dada-dada kaum kafir Quroisy. Kekalahan telak di perang Badr membuat kalbu terasa sesak, pedih dan benar-benar menyakitkan. Terlebih jika mengingat korban yang terbunuh, oh.. kalbu bagaikan tersayat-sayat.
Bagaimana tidak ? Kebanyakan yang terbunuh adalah orang-orang terpandang. Sebutlah Abu Jahl, Umayyah bin Kholaf dan 24 tokoh lainnya.
Syawwal tahun ketiga hijriyah, atau setahun lebih beberapa hari pasca perang Badr, dendam benar-benar sampai pada puncaknya. Hanya tinggal menunggu pemantiknya saja. Dan Abu Sufyan-lah pemantiknya.
Dalam sekejap, 3000 pasukan menyambutnya. Termasuk 200 kavaleri di dalamnya. Strategi disusun dan taktik dimatangkan.
Dipilihlah Abu Sufyan sebagai jendral tertinggi dan Kholid bin Walid sebagai komandan kavaleri dengan Ikrimah bin Abi Jahl sebagai wakilnya. Adapun bendera perang diserahkan kepada salah seorang dari Bani Abdid Daar.
Tekad mereka satu, bunuh Muhammad dan hancurkan Islam.
Bahkan, saking seriusnya untuk meluluh lantakkan Islam, mereka ikut sertakan para wanita di belakang mereka. Agar setiap prajurit bersemangat melindungi keluarganya dan tidak bergampang hati mundur kebelakang.
Madinah kini ditatap. Beribu pasang kaki bergerak menuju kesana. Terus menyusuri sahara hingga tiba di ‘Ainain, sebuah tempat dekat Uhud.
Sementara di Madinah, aura kecongkakan Quroisy telah terasa. Segera Rasululloh menggelar musyawarah dengan para petinggi shohabat.
“Aku bermimpi sedang mengenakan baju besi yang begitu kuat. Aku juga melihat seekor lembu tersembelih.
Sepertinya baju besi itu berarti Madinah. Adapun lembu, wallohi lembu lebih baik, ” Rasululloh memulai musyawarah.
“Bagaimana kalau kita bertahan di Madinah. Jika benar mereka berani masuk, kita serang habis-habisan, ” lanjut Rasululloh -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
“Rasululloh, demi Allah tidak ada yang bisa menyerang kami sampai ke Madinah di masa jahiliyah. Lalu bagaimana kita biarkan mereka memasuki kota ini padahal kami telah berislam,” kata salah seorang petinggi Anshor mengutarakan pendapatnya.
“Baik. Kita ambil pendapat kalian,” Rasululloh memberi keputusan.
Beliau masuk rumah. Keputusan menyongsong kuffar telah tertancap dalam kalbu beliau. Srek.. sepasang baju besi beliau kenakan. Tangan menggenggam senjata sembari kalbu menggenggam doa.
Lain halnya dengan Nabi yang tekadnya sekokoh Uhud, rasa sesal malah menyapa petinggi Anshor.
“Mengapa kita menolak pendapat Rasululloh !?” bisik-bisik diantara mereka.
Bersegera mereka mendatangi Rasul, “maafkan kami, Nabiyyulloh. Tentu pendapatmu lebih tepat.”
Mendengarnya, jiwa pembimbing Nabi muncul. Beliau tak rela shohabatnya memiliki prinsip yang mudah goyah. Beliau tak ingin shohabatnya mudah merubah keputusan yang telah terikat. Bukankah Allah berfirman
فإذا عزمت فتوكل على الله
“Jika kamu telah berazam, maka bertawakkallah kepada Allah”
Nabi pun mencoba merangkai kata, berharap tekad mereka kembali membaja.
“Tidaklah pantas seorang Nabi meletakkan baju besi yang telah ia sandang sampai selesai pertempuran.”
Benar saja. Seketika tekad shohabat yang hampir lebur padat kembali. Membaja dan membatu. Mereka segera menyusul Rasululloh yang terlebih dahulu bersiap diri.
Akhirnya 1000 prajurit berkumpul membentuk formasi. Strategi disusun matang dan semangat prajurit beliau lecutkan.
Walaupun dengan senjata seadanya dan serba pas-pasan, tak membuat pasukan islam takut, gentar atau istilah pengecut lainnya.
Allahu ma’ana. Allah bersama kita. Allahu Akbar !! Sekali layar berkembang, pantang mundur ke belakang !!
Itulah moto yang selalu menggema dalam kalbu setiap prajurit Islam. Benar-benar tekad membaja. Derap langkah diayunkan, menyongsong kuffar Quroisy yang telah menunggu di luar sana.
oleh Al-akh yahya al-windany (salah satu thulab di Darul Hadist fuyus,Yaman)