Oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
Allah Subhanahuwata’ala telah memenuhi janji-Nya dengan memilih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kembali ke sisi-Nya.
Kematian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kesedihan, kepedihan, dan kehilangan besar yang dirasakan oleh kaum muslimin. Gunung-gunung seakan-akan runtuh, bumi pun bergoncang, bahkan matahari pun padam karena terputusnya berita langit. Sebuah kehilangan yang tak tergantikan dengan apapun. Sudut-sudut kota Madinah seakan diselimuti oleh gelap. Hilang sudah cahaya yang menerangi sejak datangnya beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali di kota suci ini.
Siapapun yang memasuki kota Madinah waktu itu akan mendengar suara pilu kepedihan yang dirasakan oleh penduduk Madinah yang kehilangan kekasih dan junjungan mereka. Isak tangis sayup-sayup terdengar dari balik dinding-dinding rumah kaum mukminin. Sangat pantas keadaan mereka demikian, begitu pula orang-orang yang datang sesudah mereka.
Ketika itu sebagian sahabat ada yang belum yakin tentang wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Umar bin al-Khaththab radhiyallahu’anhu berkeliling dengan pedangnya sembari berkata, “Sebagian orang munafik menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat. Sungguh, beliau tidak wafat, tetapi pergi menemui Rabbnya seperti Musa bin ‘Imran yang meninggalkan Bani Israil selama empat puluh hari, kemudian kembali sesudah beliau diberitakan wafat. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pasti akan kembali sebagaimana halnya Musa. Pasti akan ditebas kaki dan tangan orang-orang munafik yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat.”
Tak lama, datanglah Abu Bakr Ash Shiddiq Shallallahu ‘alaihi wasallam setelah dia mendengar berita wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Abu Bakr menuju masjid, sementara Umar masih berbicara di hadapan kaum muslimin. Tanpa menoleh, Abu Bakr menuju kamar putrinya ‘Aisyah radhiyallahu’anha tempat jasad yang suci itu terbaring.
Abu Bakr langsung menuju jasad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sudah diselimuti oleh keluarganya. Tanpa berbicara sepatah pun, Abu Bakr membuka kain penutup wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan menciumnya seraya berkata, “Alangkah harumnya engkau ketika masih hidup dan setelah wafat. Bapak dan ibuku jadi tebusanmu, adapun kematian yang telah Allah tetapkan bagimu, sungguh telah engkau rasakan. Setelah ini engkau tidak akan pernah merasakannya lagi.”
Kemudian, perlahan Abu Bakr menutupkan kain itu ke wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu melangkah ke masjid dan berkata, “Berhentilah, hai Umar.’ Akan tetapi Umar tetap berbicara, tidak mau berhenti.
Akhirnya, Abu Bakr menuju mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berbicara. Serempak kaum muslimin menoleh ke arah Abu Bakr dan meninggalkan Umar yang masih belum mau berhenti.
Setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya, Abu Bakr radhiyallahu’anhu berkata, “Hai sekalian muslimin. Siapa yang menyembah Muhammad (Shallallahu ‘alaihi wasallam) maka sungguh, beliau sudah wafat dan siapa yang menyembah Rabb Muhammad (Allah Subhanahuwata’ala), maka Dia Mahahidup dan tidak akan mati.”
Kemudian Abu Bakr membacakan ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَىٰ أَعْقَابِكُمْ ۚ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا ۗ وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Ali ‘Imran: 144)
Para sahabat tersentak, seolah-olah baru saat itulah mereka mendengar ayat itu dibacakan. Umar pun jatuh terduduk dan pedangnya terlepas. Sadarlah ia bahwa memang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat.
Seandainya bukan karena Allah Subhanahuwata’ala telah menurunkan ketenangan kepada kaum mukminin, menyalakan pelita cahaya dalam hati mereka, dan melapangkan dada mereka untuk memahami Kitab-Nya yang menerangkan, niscaya patahlah punggung-punggung mereka. Sempit pula dada mereka. Pasti mereka ditelan oleh duka cita dalam menghadapi urusan ini.
Barulah terasa dalam hati mereka kehilangan dan kedukaan yang mendalam. Para sahabat kembali ke rumah mereka masing-masing membawa hati yang sarat dengan duka. Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, beberapa sahabat Anshar berkumpul di Saqifah bani Sa’idah, sementara ‘Ali, Thalhah, dan Zubair berkumpul di rumah Fathimah bintu Rasulullah n. Beberapa sahabat Muhajirin berkumpul bersama Abu Bakr, termasuk Usaid bin Hudhair di perkampungan Bani Abdil Asyhal.
Tak lama, datang seseorang mengabarkan, “Sebagian kaum Anshar sudah berkumpul di Saqifah bani Sa’idah bersama Sa’d bin ‘Ubadah. Susullah mereka sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, sementara jasad suci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam belum diselesaikan dan pintu rumah beliau sudah ditutup oleh keluarganya.”
Umar berkata kepada Abu Bakr, “Marilah kita temui mereka, lalu kita lihat apa yang mereka inginkan.”
Dalam perjalanan itu, mereka bertemu dua orang sahabat yang saleh. Keduanya bertanya, “Mau ke mana kalian, hai orang-orang Muhajirin?”
“Kami hendak menemui saudara-saudara kami orang-orang Anshar,” jawab Umar.
“Tidak perlu menemui mereka, selesaikan saja urusan kalian,” kata dua orang tadi.
Umar menegaskan, “Demi Allah, kami pasti akan menemui mereka.”
Setibanya di Saqifah bani Sa’idah, sebagian kaum Anshar telah mengelilingi Sa’d bin ‘Ubadah yang sedang sakit.
Kemudian, berdirilah salah seorang juru bicara Anshar lalu memuji Allah, dan berkata, “Kami adalah Penolong-penolong Allah, tentara Islam, sedangkan kalian hai Muhajirin adalah lebih sedikit daripada kami….”
Setelah dia berhenti, Umar ingin segera tampil berbicara, tetapi dicegah oleh Abu Bakr, “Tahanlah, hai Umar.”
Dengan patuh Umar tidak jadi mengeluarkan kata-kata yang dirasakan sangat tepat pada saat itu. Akhirnya, Abu Bakr mulai berbicara. Ternyata kata-kata yang disampaikan Abu Bakr adalah kalimat yang ingin disampaikan Umar, tetapi lebih baik dan tepat.
Setelah itu Abu Bakr melanjutkan, “Adapun kebaikan yang kalian sebutkan tadi, kalian memang layak menerimanya. Tetapi, urusan ini tidak pernah dikenal selain berada di tangan orang-orang Quraisy. Mereka paling mulia nasabnya. Saya ridha, salah satu dari dua orang ini—sambil memegang tangan Umar dan Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah—menjadi pemimpin kalian.”
Umar menarik tangannya sambil berseru, “Demi Allah, leherku ditebas tetapi tidak membawaku kepada dosa lebih aku sukai daripada menjadi pemimpin sementara Abu Bakr ada di situ.”
Salah seorang sahabat Anshar menengahi, “Dari kami seorang amir dan dari kalian juga seorang amir, wahai orang-orang Quraisy.”
Akhirnya, ributlah para sahabat. Masing-masing mengeluarkan dan mempertahankan pendapatnya. Kaum Muhajirin mengingatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berasal dari Muhajirin, tentu saja pengganti beliau adalah dari Muhajirin juga. Kaum Anshar menolak.
Setelah agak reda, Abu Bakr mengatakan, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Pemimpin (imam) itu dari Quraisy.”
Mendengar hadits ini, para sahabat pun terdiam. Selesailah perselisihan, hilanglah pertikaian itu dalam sekejap. Semua adalah taufik dan rahmat dari Allah Subhanahuwata’ala. Hanya dengan satu hadits, mereka segera menghentikan keributan dan perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka.
Dengan cepat, Umar menyambar tangan Abu Bakr sambil menyatakan baiatnya, lalu disusul oleh beberapa kaum Muhajirin dan Anshar. Akhirnya mereka menjauhi tempat Sa’d bin ‘Ubadah.
Adapun dua orang saleh yang ditemui sahabat Muhajirin ketika menuju Saqifah bani Sa’idah adalah ‘Uwaim bin Sa’idah dan Ma’n ‘Adi radhiyallahu’anhuma.
Keesokan harinya, setelah proses baiat di Saqifah bani Sa’idah, Abu Bakr duduk di mimbar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian Umar berdiri menyampaikan pidatonya, setelah memuji Allah, “Hai kaum muslimin, saya pernah mengatakan kepada kalian ucapan saya yang lalu, padahal itu tidak ada dalam Kitab Allah dan ketetapan Rasulullah n. Akan tetapi, saya dahulu menyangka bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menyempurnakan urusan kita ini….”
Kemudian beliau melanjutkan, “Sungguh Allah telah menyatukan urusan kalian pada orang terbaik di antara kita, yaitu sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang paling dekat, orang kedua di dalam gua. Berbaiatlah kalian kepadanya.”
Akhirnya, berturut-turut, kaum muslimin secara umum menyatakan baiatnya. Walaupun terlambat, ‘Ali dan Zubair menyatakan pula baiatnya kepada Abu Bakr. Semoga Allah meridhai mereka semua.
Setelah itu, Abu Bakr berdiri menyampaikan pidatonya. Setelah memuji Allah beliau berkata, “Hai kaum muslimin, sesungguhnya saya telah diangkat menjadi wali kalian, padahal saya bukan yang terbaik di antara kalian. Kalau saya berbuat baik, bantulah saya. Kalau saya berbuat buruk, luruskanlah saya. Kejujuran itu adalah amanah, sedangkan kedustaan itu adalah khianat. Yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisi saya sampai saya tenangkan dia dengan menyerahkan haknya, insya Allah. Adapun yang kuat di antara kalian adalah lemah dalam pandangan saya, sampai saya mengambil hak (orang lain) darinya, insya Allah. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah melainkan Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidak pula tersebar kekejian di sebuah masyarakat melainkan Allah akan menimpakan kepada mereka malapetaka secara merata. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban kalian taat kepadaku. Dirikanlah shalat. Semoga Allah merahmati kalian.”
Sejak itu, mulailah keadaan kaum muslimin menjadi tenang dan penduduk Madinah merasa aman. Mereka pun segera menyelenggarakan jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia.
Sesuai dengan pesan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang memandikan adalah dari keluarga dekatnya. Yang menggosok tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Ali, dengan menyandarkan tubuh mulia itu ke pangkuannya. Adapun yang membantu membolak-balikkan tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Abbas bersama kedua putranya, Qutsam dan Fadhl, sedangkan yang menyiramkan air adalah Usamah bin Zaid dan Syaqran maula Rasulullah. Ikut pula bersama mereka Aus bin Khauli dari Bani ‘Auf bin Khazraj, seorang sahabat Anshar.
Mulanya mereka bingung, apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dimandikan dengan melepaskan pakaiannya atau bagaimana? Di saat mereka dalam keadaan berbeda pendapat itu, mereka diserang kantuk hingga kepala mereka tertunduk ke dagu mereka. Tiba-tiba, dari sudut rumah itu terdengar suara, tetapi tidak terlihat orangnya, “Mandikanlah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan pakaiannya.”
Akhirnya, mereka memandikan beliau dengan pakaian yang masih menutupi tubuh suci beliau. Ali dan yang lain menggosok tubuh beliau dari atas pakaian tersebut. Beliau dimandikan dengan air dari sumur Gharas milik Sa’d bin Khaitsamah di Quba.
Selesai dimandikan, jasad mulia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dikafani dengan kain putih sahuliah???? Yamani dari kursuf??? tanpa gamis dan sorban. Setelah itu mereka ragu-ragu, di mana beliau akan dikebumikan?
Ketika itu Abu Bakr radhiyallahu’anhu sudah berada di sana, dia pun berkata, “Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا قُبِضَ نَبِيٌّ إِلاَّ دُفِنَ حَيْثُ يُقْبَضُ
“Tidaklah eorang nabi dicabut ruhnya melainkan dia dikebumikan di tempat itu.”
Akhirnya, Abu Thalhah mengangkat ranjang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan mulai menggali tanah di bawahnya. Lalu dibuatlah lahad, lubang kecil di arah kiblat untuk meletakkan jenazah di sana.
Setelah itu, masuklah kaum muslimin ke kamar itu sepuluh-sepuluh untuk menyalatkan beliau. Tidak ada yang menjadi imam, semua shalat sendiri-sendiri.
Yang mula-mula menyalatkan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kerabat dekatnya, kemudian kaum Muhajirin, lalu Anshar, anak-anak, baru kaum wanita.
(insya Allah bersambung)