Apabila kita telah tahu perbedaan nukilan dengan riwayat, juga beberapa kitab karya Ulama yang memuat nukilan maupun riwayat hadits, berikut ini akan diberikan contoh penyebutan nukilan dalam kitab Bulughul Maram karya al-Hafidz Ibnu Hajar, kemudian dibandingkan dengan riwayat dalam kitab rujukannya.
Dalam kitab Bulughul Maram (Kitaabut Thohaaroh, Baabul Wudhu’) dinyatakan:
وَعَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ قَالَ: – رَأَيْتُ رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَفْصِلُ بَيْنَ اَلْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادِ ضَعِيفٍ
Dan dari Tholhah bin Mushorrif dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memisahkan antara berkumur dengan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung). Diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang lemah (Bulughul Maram karya Ibnu Hajar al-Asqolaaniy)
Jika merujuk pada kitab riwayat yang dimaksudkan, yaitu pada Sunan Abi Dawud, riwayatnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ لَيْثًا يَذْكُرُ عَنْ طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ دَخَلْتُ يَعْنِي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ وَالْمَاءُ يَسِيلُ مِنْ وَجْهِهِ وَلِحْيَتِهِ عَلَى صَدْرِهِ فَرَأَيْتُهُ يَفْصِلُ بَيْنَ الْمَضْمَضَةِ وَالِاسْتِنْشَاقِ
(Abu Dawud menyatakan) telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Mu’tamir ia berkata: aku mendengar Laits menyebutkan (hadits) dari Tholhah dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Aku pernah masuk (menemui) Nabi shollallahu alaihi wasallam pada saat beliau berwudhu’, dan air mengalir dari wajah dan jenggot beliau pada dada beliau. Aku melihat beliau memisahkan antara berkumur dengan istinsyaaq (memasukkan air ke hidung)(H.R Abu Dawud dalam Sunannya pada Kitabut Thoharoh Bab Fil Farqi Baynal Madhmadhoh wal Istinsyaaq)
Dengan merujuk pada kitab rujukan riwayatnya, kita bisa mendalami lebih jauh penyebab kelemahan riwayat itu. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram telah mengisyaratkan bahwa sanad riwayat Abu Dawud itu lemah.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menjelaskan sebab kelemahan riwayat itu dalam syarh Sunan Abi Dawud. Riwayat itu lemah setidaknya karena perawi yang lemah dan perawi yang majhul (tidak dikenal). Perawi yang lemah adalah Laits, yaitu Laits bin Abi Sulaim. Perawi yang majhul adalah ayah Tholhah bin Mushorrif.
Apabila ada suatu nukilan hadits, namun tidak bisa dipertanggungjawabkan berasal dari sumber riwayat mana, tidak bisa ditunjukkan sumber mata rantai sanadnya, itu adalah indikasi hadits itu tidak shahih, atau bisa saja tidak ada asalnya (Laa Ashla Lahu).
(dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah)”, Abu Utsman Kharisman)