Kecerobohan Abduh —ma’af kalau tidak mau dikatakan kedustaan— dalam hal fakta yang sudah jelas
Dalam bukunya, Abduh mengetengahkan sebuah pembahasan yang berjudul : Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh Adalah Ulama dan Mujahid. Apa maksud dari pembahasan ini?
Dijelaskan oleh Drs. Fauzan Anshari, MM —salah satu tokoh besar MMI, dia ini termasuk diantara tokoh “aktivis” yang selama ini tersinggung dan gerah dengan keberadaan MAT — dalam salah satu acara bedah buku STSK : bahwa pembahasan ini sengaja untuk menyanjung Luqman Ba’abduh setinggi langit dulu, untuk kemudian dijatuhkan. Sehingga ketika jatuh benar-benar tidak bisa bangun lagi. Abduh hanya diam dan tersenyum mendengar pernyataan ini, tanda setuju.
Demikianlah kiranya gaya “sopan dan santun” yang ditunjukkan oleh saudara Abduh.
Dalam bab ini, Abduh membawakan biografi Al-Ustadz Luqman Ba’abduh yang ia nukil dari situs www.merekaadalahteroris.com. Namun jujurkah Abduh dalam masalah ini?
Dalam footnote no. 54, halaman 40 Abduh ZA mengatakan :
“Tulisan tentang biografi Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh ini sebagian besar kami nukil dari www.merekaadalahteroris.com/penulis.htm dengan sedikit perubahan redaksi.”
Pembaca, perhatikan kata-kata yang kami beri cetak tebal. Ada dua point yang perlu diperhatikan :
Sebagian besar alias mayoritas tulisan biografi adalah nukilan dari sumber yang telah tersebut.
Ada sedikit perubahan redaksi.
Jujurkah saudara Abduh dalam hal ini?
Untuk membuktikan kejujuran saudara Abduh ZA ini, pembaca bisa melihat langsung biografi Al-Ustadz Luqman Ba’abduh pada sumber yang disebutkan di atas, kemudian bandingkan dengan yang dibawakan oleh Saudara Abduh ZA. Subhanallah… ternyata sangat jauh berbeda antara yang dibawakan oleh Abduh dengan aslinya. Abduh menyatakan bahwa sebagian besar dinukil dari sumber tersebut dengan sedikit perubahan redaksi. Ternyata bukan hanya perubahan, tapi tambahan yang jumlahnya tidak sedikit bahkan sangat banyak.
Dalam biografi yang ia bawakan tersebut, Abduh membawakan panjang lebar perjalanan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh ketika bersama Laskar Jihad. Padahal di sumber aslinya sama sekali tidak ada. Bahkan Abduh menunjukkan beberapa isi ceramah yang disampaikan Al-Ustadz Luqman ketika di Ambon dulu, padahal dalam www.merekaadalahteroris.com/penulis.htm tidak ada.
Padahal sudah menjadi sikap “santun” dan “ilmiah” yang senantiasa ditampilkan oleh Abduh adalah senantiasa “izin” pada setiap tempat yang terjadi perubahan dalam penukilan yang ia bawakan, walaupun hanya sekedar cetak tebal, cetak miring, ataupun garis bawah! Ini ia lakukan dalam sekian tempat di bukunya. Diantaranya bisa dilihat dalam footnote no. 61, 63, 65, 67, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 101, 279, 640, 641, 663, 664, 665 dan masih banyak lagi. Namun untuk penukilan biografi ini, Abduh ZA sama sekali tidak “izin” untuk menyebutkan mana yang tambahan dari dia, mana yang benar-benar asli.
Yang lebih mengherankan lagi, bahkan saudara Abduh ZA ini tidak segan-segan untuk “berdusta” —atau mungkin kalau ini dianggap memvonis atau su’udzan atau minimalnya dianggap kurang santun— setidaknya membuktikan bahwa saudara Abduh ZA ini tidak tahu fakta dan kejadian yang sebenarnya tapi berani berbicara,
Perhatikan perkataan saudara Abduh ZA pada halaman 34 :
“Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh yang sebetulnya baru pulang ke Indonesia pada akhir tahun 2000 M, segera mendapatkan tempat terhormat di kalangan Salafi Yamani. Beliau diangkat sebagai Wakil Panglima Laskar Jihad. Dan, beliau pun berangkat ke medan jihad di Ambon…” [cetak tebal dari kami]
Paragraf di atas menunjukkan bahwa diangkatnya Al-Ustadz Luqman Ba’abduh sebagai Wakil Panglima Laskar Jihad adalah sebelum berangkatnya beliau ke medan jihad di Ambon. Jelas ini merupakan sikap sok tahu —ma’af kalau kurang santun, namun demikianlah adanya— yang ditunjukkan oleh saudara Abduh ZA, namun tanpa malu bahkan penuh pe-de (percaya diri, red) dia berani menyatakan demikian. Padahal setelah sebulan setibanya dari Yaman beliau terus berangkat ke Ambon. Setibanya di Ambon beliau ditempatkan di salah satu sektor Laskar Jihad, dan tidak langsung beliau diposisikan sebagai wakil panglima. Setelah kurang lebih delapan bulan berada di Ambon, barulah beliau diposisikan sebagai Wakil Panglima. Jadi pengangkatan tersebut terjadi di Ambon. Bukan sebelum keberangkatan beliau ke Ambon sebagaimana dikesankan oleh saudara Abduh ZA.
Kemudian sikap sok tahu berikutnya —yang ternyata cukup memalukan— ketika dengan yakin dan pe-de saudara Abduh ZA ini menyatakan :
“Setelah Laskar Jihad dan Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dibubarkan pada tanggal 12 Februari 1), …” (hal.37)
Padahal suatu fakta yang sudah diketahui oleh publik bahwa Laskar Jihad dan FKAWJ itu dibubarkan pada tanggal 7 Oktober 2002, bukan 12 Februari
Entah kenapa dalam perkara yang sudah menjadi data publik seperti ini Abduh ZA bisa salah. Kalau mau dinyatakan dia berdusta, sulit rasanya, lagian keuntungan apa yang ia dapatkan dari dusta dalam perkara ini? Untuk menyatakan dia tidak tahu pun juga sangat sulit, karena dalam bukunya ini Abduh ZA selalu menggembar-gemborkan “objektivitas” dan “keilmiahan”.
Kemudian kesalahan lainnya —kalau tidak mau dikatakan dusta— yang juga cukup fatal adalah ketika Abduh ZA menyatakan :
“Dan, diantara tulisan beliau yang bisa dijumpai di internet, diantaranya berjudul “Membongkar Kesesatan Hizbut Tahrir: Pemberontakan” dan “Sikap yang Benar Terhadap Ahli Bid’ah” (STSK hal. 39-40) [cetak tebal dari kami]
Perlu diketahui bahwa Al Ustadz Luqman Ba’abduh sama sekali tidak pernah memiliki tulisan dengan judul di atas. Darimana saudara Abduh ZA mendapatkan ini, yang kemudian dengan pe-denya menyatakan bahwa itu tulisan Al Ustadz Luqman Ba’abduh? Sungguh ini merupakan bentuk pembodohan terhadap pembaca!
Pembaca yang budiman…, dari beberapa contoh “kecil” di atas, kita bisa melihat nilai dan bobot buku STSK ini. Ternyata dalam perkara-perkara yang sudah jelas, yang semestinya tidak perlu sampai terjadi kesalahan, ternyata Abduh ZA terjatuh dalam kesalahan ––sekali lagi kalau tidak mau dikatakan dusta—- yang sangat memalukan. Itupun baru merupakan pemaparan data tentang Al-Ustadz Luqman yang tidak ada kaitannya dengan sesuatu yang dikritik, yang semestinya dia tidak boleh salah dalam hal ini, serta tidak ada untungnya bagi dia untuk berdusta dalam perkara data dan fakta seperti tersebut di atas. Lalu bagaimanakah kiranya dengan data-data yang terkait langsung dengan sesuatu yang dikritik, yang tak jarang kadang dibumbui kebencian, emosi, dan kemarahan, serta permainan kata-kata yang dapat membodohi dan menggiring para pembaca kepada apa yang dia maukan dalam mendiskreditkan pihak yang dikritik. Akankah kita masih percaya dengan pernyataan Abduh ZA dalam manhaj penulisan bukunya ini :
“Berusaha obyektif dan proporsionalitas dalam membahas suatu permasalahan tanpa melebihkan ataupun mengurangi.” (hal.28)
Atau pernyataan Abduh ZA :
“Jadi, karena kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk memperhatikan kriteria “ilmiah” dalam menulis buku ini,…” (hal. xix)
atau pujian setinggi langit dari Pustaka Al-Kautsar terhadap buku STSK ini :
“Selain itu, penulis juga sangat memperhatikan metode ilmiah dalam penulisan sebuah buku, dimana penulis berusaha selalu menyebutkan sumber kutipannya dalam catatan kaki.Untuk itu, Insya Allah buku ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.” (hal. xiv).
Pembaca…demikiankah metode ilmiah itu? Demikiankah definisi “ilmiah” menurut Abduh dan Pustaka Al-Kautsar? Demikiankah objektivitas dan proposionalitas yang selalu ia jadikan slogan itu? Bahkan pembaca sekalian bisa menyaksikan, ketika menyebutkan tentang pem-posisi-an Al-Ustadz Luqman Ba’abduh sebagai Wakil Panglima dan dibubarkannya Laskar Jihad, Abduh ZA sama sekali tidak menyebutkan sumber rujukan. Catatan kaki memang ada, namun isinya sekedar komentar-komentar (maaf) murahan dari Abduh, bukan sumber rujukan!! Innalillahi wa Inna Ilahi Raji’un…
Pemakaian Kata yang Tidak Santun dan Tak Beretika
Diantara penilaian saudara Abduh ZA terhadap MAT adalah pemakaian kata yang tidak santun dan tak beretika.
Abduh ZA kemudian menyatakan : “Sesungguhnya, seorang muslim tidak sepatutnya mengeluarkan kata-kata tidak santun seperti ini, baik dalam berbicara ataupun dalam tulisan. Apalagi jika yang mengatakannya adalah seorang yang dianggap ustadz oleh jama’ahnya,…” (hal. 50)
Pada halaman-halaman sebelumnya, Abduh ZA juga menyatakan : “…belum lagi, kata-kata yang dipergunakan pun cenderung kasar dan tidak santun. Sama sekali tidak mencerminkan akhlaq seorang muslim yang mengaku mengikuti jejak para ulama salafush-shalih.” (hal. xvii)
Abduh ZA juga mempersoalkan cara da’wah yang dilakukan dengan keras. Dia menyatakan : “…bagaimana halnya dengan berdakwah yang sampai menyakiti hati orang lain?” (hal. 12) [cetak tebal pada penukilan-penukilan di atas dari kami]
Abduh ZA menilai bahwa sikap keras dan tegas yang dilakukan oleh Al-Ustadz Luqman terhadap kebatilan dan para pengusungnya dalam buku MAT sebagai caci maki, pembeberan kesalahan orang lain, main tuduh, dan menyesat-nyesatkan orang lain, mengoleksi kesalahan ulama, dll. Abduh meyakini bahwa amar ma’ruf nahi munkar itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan bahasa dan kata-kata yang lembut dan santun. Bahkan Abduh juga meyakini bahwa sikap keras dan tegas itu sama sekali tidak dicontohkan salafush-shalih.
Perhatikan pernyataan-pernyataan Abduh ZA berikut :
“Al Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh hafizhahullah juga menggunakan kata-kata tidak santun dalam bukunya. Hal ini benar-benar tidak sesuai dengan syariat dan tidak selayaknya dilakukan oleh seorang muslim, apalagi seorang ulama.” (hal. 48)
“Buku Al Ustadz Luqman tersebut, isinya banyak sekali yang berupa tuduhan tidak berdasar, ketidakbenaran, dan pembeberan kesalahan para ulama yang terkesan dicari-cari dan tendensius. Belum lagi, kata-kata yang dipergunakan pun cenderung kasar dan tidak santun. Sama sekali tidak mencerminkan akhlaq seorang muslim yang mengaku mengikuti jejak para ulama salafush-shalih.” (hal. xvii)
“Untuk itu, sebagai saudara sesama muslim, adalah kewajiban kita semua untuk saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain dalam kebenaran dan kesabaran, yang tentu saja dengan cara yang baik dan santun. Bukan dengan cara mencari-cari dan mengoleksi kesalahan orang atau ulama yang tidak disukai untuk kemudian disebar-luaskan dengan disertai bumbu-bumbu penyedap bahwa si fulan sesat, si fulan ahlul bid’ah, si fulan Khawarij, dan sebagainya. Apalagi dengan menafikan segala kebenaran yang ada pada diri seseorang yang didiskreditkan. Sungguh, yang demikian ini sama sekali tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita generasi salafus-shalih.” (hal. xxiii).
[cetak tebal pada penukilan-penukilan di atas berasal dari kami]
Jadi sikap tegas dan keras terhadap kebatilan dan para pengusungnya dinilai oleh Abduh ZA sebagai :
1.Kata-kata yang kasar dan tidak santun
2.Mencari-cari dan mengoleksi kesalahan orang atau ulama
3.Pembeberan kesalahan para ulama
4.Tidak mencerminkan akhlaq seorang muslim
5.Sama sekali tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh generasi salafush-shalih.
Demikianlah Abduh ZA mengulang-ulang penilaian ini dalam sekian tempat pada bukunya. Sampai-sampai dia sendiri menjadikan salah satu manhaj penulisan bukunya ini : menggunakan kata-kata lembut dan santun.
Pembaca yang budiman,…
Masalah sikap lembut, santun, tegas, kasar, dan keras dalam berda’wah telah diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak selamanya da’wah yang dilakukan dengan tegas dan keras itu salah, sebagaimana tidak selamanya pula da’wah dengan lembut dan santun itu benar. Semuanya harus ditempatkan pada tempatnya. Barometernya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman as-salafush-shalih. Bukan dengan ukuran perasaan, emosi, maupun adat istiadat setempat. Bisa jadi pada suatu daerah sebuah kata dan sikap dinilai kasar dan tidak santun, namun di daerah lain hal itu suatu yang biasa saja. Sekali lagi, kita mengembalikan semua itu kepada Al-Qur’an dan bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam hadits-hadits beliau, yang telah diaplikasikan dengan sangat baik dan tepat oleh generasi salaful ummah.
Sebenarnya permasalahan ini telah kami jelaskan kepada para pembaca sekalian di situs http://www.merekaadalahteroris.com/bicara-kasar.htm dalam artikel yang berjudul Kenapa kok Bicara Kasar… ?
Pembaca yang budiman……
Tentunya kita sepakat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling mulia akhlaqnya. manusia yang paling santun tutur katanya dan paling sopan prilakunya. Tak seorang pun yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang menolak atau pun menyangsikan hal ini.
Menurut para pembaca, santun dan sopankah kata-kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berikut? Mohon ditimbang berdasarkan kacamata ilmu, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah :
1.Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Khawarij :
“Jika aku sempat mendapati mereka, akan aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan terhadap kaum ‘Ad [HR. Al Bukhari; Muslim; Abu Dawud]
Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka! Mereka ini sejelek-jelek orang yang dibunuh di bahwa kolong langit ini… [HR. Ahmad, Ibnu Majah]
2. Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tentang Qadariyyah :
Al-Qadariyyah itu majusinya umat ini. Jika mereka sakit, maka jangan dijenguk, jika mereka mati, jangan disaksikan (dihadiri) jenazah mereka. [HR. Ibnu Abi ‘Ashim]
Padahal Khawarij itu adalah kaum yang sangat rajin dan sangat kuat ibadahnya, bahkan, sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah sendiri, ibadahnya para shahabat jauh lebih rendah daripada mereka ini. Demikian juga halnya dengan Qadariyyah, mereka itu —sebagaimana digambarkan oleh para tabi’in—adalah kaum yang sangat besar antusiasnya terhadap ilmu dan ibadah…Namun ternyata Rasulullah berbicara dan menyikapi mereka dengan sangat kasar dan sangat tidak santun (ma’af, ini tentunya jika ditinjau menurut cara pandang Abduh ZA dan IM).
3. Bahkan dengan sangat “kasar” dan “tidak santun” pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menghardik para shahabatnya Radhiyallahu ‘anhum sendiri yang berbuat kesalahan —padahal para shahabat dalam posisi tidak tahu dan tidak sengaja, yang semestinya mendapat ma’af dan ‘udzur— : “Mereka telah membunuhnya (semoga) Allah binasakan mereka. Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak mengetahui…” [HR Abu Dawud]
Kejadian selengkapnya sebagai berikut :
Dikisahkan oleh Jabir bin ‘Abdillah : Suatu hari kami keluar dalam sebuah perjalanan. Tiba-tiba salah seorang diantara kami tertimpa batu, sehingga menyebabkan kepalanya robek. Kemudian orang tersebut ihtilam (sehingga mengharuskan dia untuk mandi janabah, pent), maka dia pun bertanya kepada teman-temannya dengan berkata : “Apakah kalian melihat ada rukhshah (dispensasi) untuk melakukan tayammum?” Para shahabatnya pun menjawab: “Kami tidak mendapatkan bagimu rukhshah, sementara engkau mampu untuk (mandi dengan, pent).” Maka orang itu pun kemudian mandi (dengan air, pent), dan ternyata orang itu kemudian meninggal dunia.
Ketika kami tiba kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , beliau pun dikabari tentang hal itu. Maka beliau pun berkata : “Mereka telah membunuhnya (semoga) Allah binasakan mereka. Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak mengetahui……” [HR Abu Dawud]
Demikianlah, dengan “keras” dan “kasar” beliau menghardik para shahabatnya sendiri yang telah mengeluarkan fatwa tanpa ilmu yang mengakibatkan wafatnya satu jiwa. Lalu bagaimana kiranya dengan “fatwa” yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan jiwa? Lalu bagaimana pula jika yang “berfatwa” itu adalah termasuk diantara para pengusung kebatilan?
Benarkah sikap “kasar” dan “tidak santun” itu tidak pernah dicontohkan oleh generasi as-salafush shalih?
‘Santun dan sopankah’ sikap seorang shahabat Nabi berikut :
– ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata, ketika beliau berbicara tentang Al-Qadariyyah, “Mereka itu adalah sejelek-jelek umat ini, jangan kalian jenguk orang yang sakit diantara mereka, jangan kalian shalati orang yang mati dari kalangan mereka. Bila aku melihat salah seorang dari mereka, NISCAYA AKU AKAN MENCUNGKIL KEDUA MATANYA DENGAN DUA JARIKU INI.”
Betapa “kasarnya” seorang shahabat Rasulullah yang mulia ini, kepada suatu kaum yang cinta terhadap ilmu dan gemar beribadah, mengaku sebagai muslim dan mengucapkan kalimat syahadat… akankah kita menilai demikian?
Apakah akhlaq para ‘ulama generasi as-salafush shalih ini juga tidak santun?
Berkata Al-Imam Hisyam bin Hassan Al-Azdi rahimahullah bahwa Al-Imam Ayyub As-Sakhtiyani rahimahullah dipanggil untuk memandikan jenazah. Maka beliau datang bersama rombongan. Ketika beliau membuka wajah jenazah tersebut ternyata beliau mengenalinya. Maka beliau berkata :
“Silahkan kalian maju untuk mengurus jenazah teman kalian ini. Sesungguhnya aku tidak akan memandikannya, karena aku pernah melihat dia berkawan dengan seorang pengusung bid’ah.”
Inilah seorang imam besar yang terkenal dengan keilmuan dan keteguhannya dalam beribadah, serta kezuhudan dan akhlaqnya yang mulia, yang tak seorang pun di zaman ini yang bisa dibandingkan dengan keilmuan, ketaqwaan, dan kemuliaan akhlaq beliau. Apakah Abduh ZA hendak menyatakan bahwa Al-Imam Ayyub tidak santun dan tidak memiliki sikap dan akhlaq seorang muslim?
Bagaimana kiranya sikap dan perkataan Al-Imam Ayyub jika menemui tokoh-tokoh IM yang bermesraan dengan kelompok Syi’ah Rafidhah?
Benarkah yang demikian itu merupakan perbuatan mencari-cari dan mengoleksi kesalahan ‘ulama?
Abu Zur’ah Ad-Dimasyqi rahimahullah berkata : “Aku mendengar Abu Mus-hir ditanya tentang seseorang yang salah, lupa, dan keliru (dalam meriwayatkan, pent). Maka beliau menjawab : “Jelaskan kondisi dia yang demikian itu.”
Saya bertanya kepada Abu Zur’ah : “Apakah Engkau memandang yang demikian itu termasuk perbuatan ghibah?”
Beliau menjawab : “Tidak!” 2)
Demikian tauladan yang ditunjukkan oleh as-salafush-shalih terhadap orang yang berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits, lalu bagaimana jika orang tersebut sengaja menyebarkan kebatilan yang dihiasi dengan istilah-istilah yang “dicanggih-canggihkan” sehingga disangka oleh umat sebagai al-haq?!
Berkata ‘Abdullah bin Al-Imam Ahmad : “Abu Turab An-Nakhsyabi datang kepada ayahku (yaitu Al-Imam Ahmad, pent), ketika itu ayahku sedang menyatakan : “Fulan dha’if (lemah), fulan tsiqah (terpercaya). Maka berkatalah Abu Turab : ‘Wahai Syaikh, jangan meng-ghibahi para ‘ulama.’.
Maka ayahku pun menoleh kepadanya dan berkata : “Celaka engkau, ini adalah nasehat, bukan ghibah!” 3)
Sekali lagi, inilah tauladan yang ditunjukkan oleh as-salafush-shalih. Maka sungguh sangat salah besar ketika tuan Abduh ZA menyatakan tentang sikap tegas dan keras : “…Sungguh, yang demikian ini sama sekali tidak sesuai dengan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu kita generasi salafus-shalih.”
Yang kami sebutkan sebagai contoh di atas hanya sekelumit saja dari atsar para ‘ulama salaf. Sebenarnya masih terlalu sangat banyak lagi contoh-contoh yang lainnya, kalau mau disebutkan maka akan membutuhkan berjilid-jilid buku. Insya Allah permasalahan ini akan dipaparkan lebih lengkap lagi oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh… nantikan terbitnya buku beliau tersebut.
Sekali lagi, perhatikan jawaban para ‘ulama besar dari generasi as-salafush-shalih di atas. Sungguh sangat beda dengan anggapan saudara Abduh ZA : “…dengan disertai bumbu-bumbu penyedap bahwa si fulan sesat, si fulan ahlul bid’ah, si fulan Khawarij…”
Tentang Al-Ikhwanul Muslimun
Sesungguhnya diantara “misi utama” penulisan STSK adalah pembelaan terhadap para aktivitis dan pegiat da’wah yang merasa gerah dan tersinggung akibat ‘diserang’ oleh MAT. Yang terutama dan terdepan adalah Al-Ikhwanul Muslimun (IM) dan para tokohnya.
Dalam bukunya, hal. 83, Abduh ZA menyebutkan bahwa diantara tuduhan tanpa bukti dan fakta yang dilontarkan Al-Ustadz Luqman Ba’abduh adalah tuduhan terhadap IM. Abduh ZA menyatakan :
“Ada beberapa tuduhan dalam paragraf di atas, Pertama; Tuduhan Al Ustadz Luqman terhadap Ikhwanul Muslimin bahwa gerakan IM banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran Khawarij. Kedua; IM sering menentang pemerintah setempat. Ketiga; IM sering melakukan tindakan-tindakan teror. Keempat; IM sering memprovokasi kaum muslimin untuk menentang dan memberontak terhadap penguasa. Dan kelima; Tuduhan Al Ustadz Luqman bahwa aqidah Ikhwanul Muslimin tidak bermanhaj salaf.” (hal. 83).
Saudara Abduh…
Apakah dikatakan bermanhaj salaf suatu pergerakan atau kelompok yang hendak menggabungkan semua aliran-aliran sesat, bahkan menggabungkan Islam dengan Kafir dan menghapuskan permusuhan antara Islam dan Kafir?
Apakah hendak dikatakan bermanhaj salaf suatu pergerakan yang dihuni dan dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang aqidahnya berwarna-warni? Hasan Al Banna sendiri, pendiri sekaligus Al-Mursyidul ‘Am IM yang pertama, adalah penganut aliran sesat Tarekat Al-Hushafiyyah. Demikian juga ‘Umar At-Tilmisani dan Mushthafa As-Siba’i, dua tokoh besar gerakan ini juga beraqidah sufi. Demikian juga hidup di tengah-tengah pergerakan sesat ini Sayyid Quthb dan Muhammad Quthb yang mengusung pemikiran-pemikiran takfir (pengkafiran terhadap kaum muslimin) yang kemudian sangat populer dan terkenal di kalangan dunia hizbiyyun. Dan masih banyak lagi sederet tokoh-tokoh ‘besar’ mereka yang masing-masing mengusung pemikiran-pemikiran sesat yang mereka adopsi dari aliran-aliran sesat, baik Khawarij, Mu’tazilah, Syi’ah, Shufiyyah, dll. Sebut saja disana : Hasan At-Turabi, Sa’id Hawwa, Yusuf Al-Qaradhawi, Muhammad Al Ghazali, …dll, yang masing-masing memiliki pemikiran dan aqidah yang bermacam-macam. Beberapa contoh pernyataan-pernyataan “aneh” tokoh-tokoh IM telah disebutkan dalam MAT hal. 465-467 (cet. II).
IM baik secara kelompok atau struktur keorganisasiannya telah melahirkan tokoh-tokoh teras kelompok tersebut yang terkait secara langsung dalam struktur keorganisasiannya. Namun kelompok ini juga telah melahirkan beberapa tokoh lain yang mungkin secara struktur bisa saja dia tidak terkait, namun secara pemikiran, ideologi, dan pemahamannya sangat memiliki keterkaitan yang erat. Sehingga dengan ini apa yang diistilahkan dalam buku Mereka Adalah Teroris sebagai seorang IM, tidak harus dia itu sebagai anggota atau tokoh secara struktur keorganisasian. Namun pada sebagiannya adalah tokoh-tokoh yang beraqidah atau berpemikiran sejalan dengan paham kelompok IM.
Dengan kata lain, kami tidak memposisikan kelompok ini sebatas kelompok secara struktur keorganisasian, namun kami telah memposisikannya sebagai salah satu bentuk paham atau isme tertentu, yang telah banyak mempengaruhi pemikiran dan ideologi berbagai kalangan, bahkan mau diakui atau pun tidak, kelompok IM adalah induk kelompok-kelompok Islam yang lainnya.
Untuk mengetahui keterangan dan informasi lengkap dan terperinci tentang IM, disertai dengan data-data dan fakta-fakta yang lengkap dan terpercaya, berikut juga fatwa-fatwa dari para ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa ini, nantikan uraian lengkap dan tuntas dalam buku yang tengah disiapkan oleh Al-Ustadz Luqman Ba’abduh —semoga Allah memberikan taufiq dan kemudahan kepada beliau—. Termasuk juga bantahan tuntas atas lima point tuduhan yang dituduhkan oleh Saudara Abduh ZA di atas. Selamat menantikan…
Darimana gelar Al-Mursyidul Kamil?
Abduh ZA berang ketika Al-Ustadz Luqman Ba’abduh menyebutkan gelar Al-Mursyidul Kamil untuk Hasan Al-Banna. Perhatikan pernyataan Abduh ZA, yang menunjukkan betapa dia “tidak sabar” untuk mau membuka-buka referensi. Padahal di Daftar Pustaka dia menyebutkan 193 sumber rujukan! Namun sayang, untuk yang satu ini dia tidak mendapatkannya.
Abduh ZA menyatakan :
“Darimana Al Ustadz Luqman menemukan adanya gelar Al-Mursyid Al- Kamil (Pembimbing yang Sempurna) untuk Hasan Al-Banna? Kalau memang ada sebutan untuk Hasan Al-Banna, kenapa tidak disebutkan sumbernya darimana dan siapa yang mengatakannya?…” (hal. 106-107)
Kemudian untuk menunjukkan dia telah menggunakan teknologi modern untuk mencari hal ini, Abduh memberikan catatan kaki sebagai berikut :
“Beberapa kali kami search di google dan yahoo! Untuk kata “Al-Mursyid Al-Kamil,” (sebaiknya diketik dengan huruf Arab), namun kami tidak mendapatkan gelar ini disebutkan oleh orang Ikhwanul Muslimin. Silahkan Anda mencari sendiri di internet, maka Anda akan mendapatkan gelar tersebut dalam artikel atau komentar di forum/milis terbuka yang isinya mendiskreditkan Hasan Al-Banna, yang ditulis oleh mereka yang memang telah memusuhi dan membenci beliau dan Ikhwanul Muslimin. Dan, tampaknya gelar tersebut memang sengaja disandangkan untuk Hasan Al-Banna, untuk kemudian beliau dipojokkan dengan gelar tersebut.” (hal. 107/fn. 189, cetak tebal dan garis bawah dari kami).
Perhatikan permainan kata dari saudara Abduh ZA ini. Memang benar, gelar tersebut ada dalam artikel atau komentar di forum/milis terbuka yang ditulis mereka yang memang telah memusuhi dan membenci Hasan Al-Banna dan IM karena kesesatan-kesesatan yang ada pada Hasan A-Banna dan pada IM, dengan menukil langsung dari salah seorang tokoh besar IM, yaitu Sa’id Hawwa’. Dia ini bukan hanya orang IM, tapi tokoh besar IM.
Berikut persaksian dari Sa’id Hawwa, dalam bukunya Tarbiyyatuhum Ar-Ruhiyyah, yang menyatakan bahwa Hasan Al-Banna adalah seorang Al-Mursyidul Kamil,:
Sesungguhnya shufiyyah memiliki istilah Al-Mursyidul Kamil. Dan sesungguhnya Al-Ustadz Al Banna adalah Mursyid Kamil dengan persaksian para tokoh shufiyyah sendiri… [Tarbiyyatuhum Ar-Ruhiyyah hal. 21. Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 70-71]
Apa itu Al-Mursyidul Kamil ? Dijelaskan oleh Sa’id Hawwa sendiri, dengan perkataannya :
ÇáãÑÔÏ ÇáßÇãá Ãí ÇáæÇÑË ÇáäÈæí ÇáßÇãá
Al-Mursyidul Kamil adalah : Pewaris Nabi yang sempurna [Tarbiyyatuhum Ar-Ruhiyyah hal. 159. Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 70]
Bagi pembaca yang tidak memiliki kitab Tarbiyyatuhum Ar-Ruhiyyah atau pun Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam, hal. 70-71 bisa menyimak teks ucapan Sa’id Hawwa tersebut pada http://www.misrsalaf.com/vb/showthread.php?t=803
Perhatikan juga pernyataan Abduh ZA, yang hendak mengibuli para pembaca :
“Demikian pula yang dilakukan para ‘ulama Ikhwan dalam menyebut Hasan Al-Banna; Asy-Syahid Sayyid Quthb, DR. Yusuf Al-Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al-Ghazali, DR. Musthafa As-Sibai, Ustadz Makmun Al-Hudhaibi, Ustadz Musthafa Masyhur, dan lain-lain; mereka tidak menyebut Hasan Al-Banna sang pendiri jama’ah Ikhwanul Muslimin dengan gelar Al-Mursyid Al-Kamil.” (hal. 108) [cetak tebal dari kami]
Wahai saudara Abduh ZA, ternyata ada ‘ulama ikhwan yang menyebut Hasan Al-Banna dengan gelar Al-Mursyidul Kamil, yaitu Sa’id Hawwa dalam karyanya yang berjudul Tarbiyyatuhum Ar-Ruhiyyah!.
Sekali lagi ini merupakan salah satu bukti –dari sekian bukti—yang menunjukkan ketidakilmiahan buku STSK; sekaligus sebagai salah satu bukti juga, bahwa buku STSK penuh dengan tuduhan-tuduhan keji.
Bersambung ke artikel Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA – Ketiga
(Dikutip dari tulisan Al Akh Abu ‘Amr Ahmad Alfian, Bingkisan Ringkas untuk Abduh ZA. Url sumber : http://www.merekaadalahteroris.com/abduh.pdf).