Di Tulis Oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah menjelaskan syarat-syarat dan ketentuan amar ma’ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran). Beliau menjabarkan 6 syarat. Sungguh penjelasan yang gamblang dan menyejukkan. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiq kepada kaum muslimin…
Berikut adalah terjemahan dari nukilan penjelasan beliau dalam Syarh al-‘Aqiidah al-Washithiyyah :
Syarat pertama : Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar itu harus mengetahui hukum syar’i terkait hal yang ia perintahkan atau ia larang tersebut. Tidaklah ia memerintahkan kecuali karena ia mengetahui bahwa syariat memerintahkan hal itu. Dan tidaklah ia melarang kecuali dari hal-hal yang ia ketahui bahwa syariat melarangnya. Janganlah ia menyandarkan hal itu pada perasaan atau adat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :
{ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ } [المائدة: 48].
Maka tetapkanlah hukum di antara mereka sesuai dengan yang Allah turunkan. Dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga meninggalkan) kebenaran yang datang kepadamu (Q.S al-Maaidah ayat 48).
dan firman Allah :
{ وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا } [الإسراء: 36].
Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya akan ditanya (untuk dipertanggungjawabkan pada hari kiamat)(Q.S al-Israa’ ayat 36)
dan firman Allah:
{ وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ } [النحل: 116]
dan janganlah mengucapkan kedustaan yang diungkapkan oleh lisan kalian bahwa ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kedustaan atas nama Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kedustaan atas nama Allah tidaklah beruntung (Q.S anNahl ayat 116)
Kalau seandainya ia melihat seseorang mengerjakan sesuatu, secara asal adalah halal. Tidak boleh bagi dia melarangnya hingga ia mengetahui bahwa itu (memang) haram atau terlarang (secara syariat, pent). Kalau seandainya ia melihat seseorang meninggalkan sesuatu, dan orang yang melihat ini menyangkanya sebagai suatu ibadah (yang ditinggalkan). Maka sesungguhnya tidak halal bagi dia untuk menyuruh orang itu beribadah, hingga ia (benar-benar) tahu bahwa syariat memang memerintahkannya.
Syarat kedua: Mengetahui keadaan orang yang diperintah. Apakah memang orang tersebut menjadi sasaran perintah atau larangan (dari syariat) atau tidak? Jika ia melihat seseorang dan ragu apakah orang ini mukallaf (terkena beban syariat) atau tidak, maka ia tidak memerintahkan kepada orang itu seperti kepada orang yang semisalnya, hingga ia memperjelas (apakah orang itu benar mukallaf atau tidak, pent).
Syarat ketiga: Mengetahui keadaan pihak yang diperintahkan pada saat pembebanan syariat itu. Apakah ia telah mengerjakannya atau tidak? Kalau dia melihat seseorang masuk masjid kemudian duduk, dan ragu apakah orang itu telah sholat dua rokaat atau tidak, maka jangan mengingkarinya dan jangan memerintahkan pada sholat dua rokaat itu hingga ia meminta penjelasan kepadanya.
Dalilnya adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam suatu ketika berkhutbah Jumat kemudian masuklah seorang laki-laki dan duduk. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bertanya: Apakah engkau telah sholat? Orang itu menyatakan: Tidak. Maka Nabi menyatakan: Bangkitlah sholatlah dua rokaat dan lakukan dengan ringkas (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Jabir).
Telah sampai berita kepada saya bahwa sebagian manusia berkata:
Haram merekam (bacaan) alQuran dengan kaset-kaset. Karena hal itu menghinakan al-Quran menurut persangkaan mereka! Maka orang itu melarang manusia merekam al-Quran pada kaset-kaset ini, dengan persangkaan bahwa itu munkar!! Maka kami katakan kepadanya: Sesungguhnya kemunkaran adalah engkau melarang mereka dari sesuatu yang tidak engkau ketahui bahwa itu kemunkaran. Harusnya engkau ketahui (dulu) bahwa ini munkar dalam agama Allah. Ini dalam hal yang bukan ibadah.
Sedangkan dalam hal ibadah, jika kita melihat seseorang beribadah tertentu yang kita tidak mengetahui bahwa itu diperintahkan oleh Allah, maka kita melarangnya. Karena secara asal melakukan ibadah itu terlarang (hingga ada dalil yang memerintahkannya, pent).
Syarat yang keempat: Ia memiliki kemampuan untuk menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar tanpa ada kemudharatan yang mengenainya. Jika bisa menyebabkan kemudharatan baginya, maka tidak wajib baginya (melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar). Akan tetapi jika ia bersabar dan menegakkannya, maka ini adalah lebih utama. Karena seluruh kewajiban dipersyaratkan adanya kemampuan dan kesanggupan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
{ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ } [التغابن: 16]
Maka bertakwalah kepada Allah sesuai (batas) kemampuan kalian (Q.S atTaghobuun ayat 16). dan firman Allah:
{ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا } [البقرة: 286]
Allah tidaklah membebani jiwa kecuali sesuai kemampuannya (Q.S al-Baqoroh ayat 286)
Jika ia takut kalau memerintahkan seseorang kepada hal yang ma’ruf menyebabkan ia dibunuh, maka dalam hal itu tidak wajib baginya untuk memerintahkannya. Karena ia tidak mampu melakukan itu. Bahkan menjadi haram baginya dalam kondisi seperti itu.
Sebagian Ulama berkata: (Tetap) wajib beramar ma’ruf nahi munkar dan bersabar jika ia akan mendapatkan mudharat selama tidak sampai tahap pembunuhan. Akan tetapi pendapat pertama (yang menyatakan tidak wajib baginya) adalah lebih utama. Karena jika sampai terkena mudharat seperti dipenjara atau semisalnya, maka orang lain akan meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar karena takut mendapatkan hal yang sama dengan dia. Sampai (hal itu merembet) dalam hal yang tidak dikhawatirkan adanya kemudharatan. Ini selama perkaranya tidak sampai pada batas bahwa memerintahkan kepada hal yang ma’ruf adalah termasuk Jihad.
Sebagaimana seseorang yang memerintahkan kepada Sunnah dan melarang dari kebid’ahan yang kalau seandainya ia diam, niscaya Ahlul Bid’ah akan bersikap sewenang-wenang terhadap Ahlussunnah. Dalam kondisi semacam ini wajib menampakkan Sunnah dan menjelaskan bid’ah. Karena ini termasuk jihad di jalan Allah. Dan tidaklah ada udzur bagi orang yang wajib baginya (jihad tersebut) ketika ia mengkhawatirkan (keselamatan) untuk dirinya.
Syarat kelima: Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukannya tidak sampai menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar dibandingkan jika dia diam. Kalau menimbulkan hal semacam itu, maka tidak wajib bagi dia (beramar ma’ruf nahi munkar). Bahkan tidak boleh bagi dia melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Karena itu, para Ulama menyatakan: Sesungguhnya mengingkari kemunkaran mengakibatkan 4 hal:
Pertama: Kemunkaran hilang, atau
Kedua: Kemunkarannya berubah menjadi lebih ringan,
Ketiga: Kemunkarannya berubah kadarnya menjadi kemunkaran lain tapi seimbang. Keempat: Kemunkarannya berubah menjadi lebih besar.
Dalam kondisi yang pertama dan kedua, mengingkari kemungkaran adalah wajib. Pada kondisi ketiga, ini perlu dikaji lagi. Pada kondisi keempat, tidak boleh melakukan pengingkaran kemunkaran, karena tujuan mengingkari kemunkaran adalah menghilangkan atau menguranginya. Contoh: Jika dia ingin memerintahkan kepada seseorang berbuat kebaikan, tapi hal itu menyebabkan melakukan perbuatan baik ini menyebabkan ia tidak sholat berjamaah, maka dalam hal ini tidak boleh memerintahkan kepada hal tersebut. Karena hal itu mengakibatkan meninggalkan hal yang wajib untuk melakukan hal yang mustahab (disukai).
Demikian juga dalam mengingkari kemunkaran. Jika akan menyebabkan pelakunya melakukan perbuatan kemunkaran yang lebih besar, dalam kondisi semacam ini tidak boleh baginya untuk mengingkari kemunkaran tersebut dalam rangka mencegah datangnya kerusakan yang lebih besar dengan kerusakan yang lebih kecil. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman Allah Ta’ala:
{ وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ } [الأنعام: 108]
Dan janganlah kalian mencela pihak-pihak yang disembah selain Allah yang akibatnya mereka akan mencela Allah secara dzhalim tanpa ilmu. Demikianlah Kami perindah (gambaran) amalan yang diperbuat setiap umat, kemudian kepada Rabb merekalah mereka kembali. Kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat (Q.S al-An’aam ayat 108).
Sesungguhnya mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin, tidak diragukan lagi itu adalah perbuatan yang diharapkan. Akan tetapi, jika hal itu menyebabkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan maslahat akibat mencela sesembahan kaum musyrikin, yaitu menyebabkan mereka mencela Allah Ta’ala secara dzhalim tanpa ilmu, maka Allah melarang dari mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin itu dalam kondisi tersebut.
Kalau kita mendapati seseorang meminum khamr, dan meminum khamr adalah kemunkaran, yang jika kita larang dia dari meminumnya menyebabkan ia mencuri harta manusia dan melanggar kehormatan mereka, maka dalam hal ini kita tidak melarangnya dari meminum khamr. Karena hal itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) yang lebih besar.
Syarat yang keenam: Orang yang memerintahkan kepada yang baik atau yang melarang (dari kemunkaran) menjadi orang yang menjalankan perintah itu dan menjauhi larangan itu. Ini menurut pendapat sebagian Ulama. Jika orang itu tidak mengerjakan yang diperintah atau tidak meninggalkan yang dilarangnya, maka ia tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar tersebut. Karena Allah berfirman kepada Bani Israil:
{ أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ } [البقرة: 44]
Apakah kalian memerintahkan manusia pada kebaikan dan kalian melupakan diri kalian sendiri padahal kalian membaca Kitab. Tidakkah kalian berakal? (Q.S al-Baqoroh ayat 44)
Jika orang itu tidak sholat, maka jangan memerintahkan orang lain untuk sholat. Jika ia minum khamr, maka jangan larang orang lain darinya. Karena itu seorang penyair berkata:
لا تنه عن خلق وتأتي مثله … عار عليك إذا فعلت عظيم
Janganlah engkau melarang dari suatu akhlak padahal engkau melakukan yang semisalnya….Aib besar bagimu jika melakukan hal itu Ulama yang berpendapat demikian berdalil dengan atsar dan pandangan. Akan tetapi Jumhur Ulama berpendapat beda dengan pendapat itu.
Mereka menyatakan: Wajib beramar ma’ruf meski engkau tidak melakukannya. Wajib mencegah kemunkaran meski engkau melakukannya. Allah mencela Bani Israil bukan karena mereka memerintahkan pada kebaikan, tetapi karena mereka menggabungkan antara memerintahkan pada kebaikan dan melupakan diri mereka sendiri. Pendapat ini adalah yang benar. Maka kita katakan: Anda sekarang diperintah pada dua hal, pertama: mengerjakan kebaikan. Kedua: memerintahkan pada kebaikan. Anda dilarang dari dua hal: Pertama: mengerjakan kemunkaran, kedua: meninggalkan sikap melarang dari kemunkaran. Maka jangan menggabungkan antara meninggalkan yang diperintah dan mengerjakan yang dilarang. Karena meninggalkan salah satu darinya tidaklah mengharuskan gugurnya kewajiban yang lain.
(Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam Syarh al-Aqiidah al-Wasithiyyah (2/330-335))