diterjemahkan oleh :Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh (Ibn Utsaimin) ditanya:
Apakah boleh meniatkan lebih dari 1 ibadah pada satu ibadah. Contoh, jika seorang masuk masjid ketika adzan Dzhuhur ia sholat dua rokaat diniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, sunnah rotibah Dzhuhur, apakah sah yang demikian?
Jawaban : Syaikh Ibn Utsaimin menjawab: Ini adalah kaidah yang penting. Yaitu: tatadaakhal al-Ibadaat (apakah suatu ibadah bisa saling masuk pada ibadah-ibadah lain). Maka kami katakan: (Pertama): Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka keduanya tidak bisa saling masuk.
Ini adalah kaidah. Contoh: Sholat fajar (sholat fardlu Subuh) dua rokaat. Sunnahnya dua rokaat (sebelumnya). Ini adalah sunnah yang tersendiri. Akan tetapi ia mengikuti. Yaitu, rotibah (sunnah sebelum) Fajar sebagai penyempurna baginya. Maka tidaklah bisa sholat sunnah berkedudukan sebagai sholat Fajar (sholat Subuh wajib). Tidak pula bisa sholat Subuh berkedudukan sebagai sholat sunnah.
Karena sholat sunnah rotibah itu mengikuti sholat wajib. Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka ia tidak bisa berkedudukan sebagai ibadah itu. Tidak bisa mengambil kedudukannya, baik yang mengikuti maupun yang menjadi asal. Contoh lain, Jumat memiliki sholat rotibah (sunnah) setelahnya.
Apakah seseorang mencukupkan diri untuk melakukan sholat Jumat saja hingga merasa tidak perlu sholat rotibah setelahnya?
Jawabannya adalah: Tidak. Kenapa? Karena sholat sunnah Jumat mengikuti (sholat wajib Jumat). Kedua, jika dua ibadah berdiri sendiri, tiap ibadah terpisah dari yang lain, dan ibadah itu memang dimaksudkan secara dzatnya, maka dua ibadah ini tidak bisa saling masuk.
Contoh: Jika ada yang berkata: Saya akan sholat dua rokaat sebelum Dzhuhur dengan niat 4 rokaat, karena sholat rotibah Dzhuhur sebelum sholat Dzhuhur adalah 4 rokaat dengan dua salam. Jika dia mengatakan: Saya akan sholat dua rokaat dengan niat 4 rokaat, ini tidak boleh. Karena dua ibadah ini terpisah dan berdiri sendiri. Masing-masing tidak bisa mencukupi yang lain.
Contoh lain: setelah Isya adalah sholat sunnah rotibah. Dan setelah sholat sunnah rotibah Isya ada witir. Witir boleh sholat tiga rokaat dengan dua salam. Maka ia sholat dua rokaat kemudian sholat witir. Kalau seandainya ia berkata: Saya ingin menjadikan sholat sunnah rotibah Isya untuk sholat yang genap, witir, dan rotibah Isya (digabung, pent) ? Ini tidak boleh. Ketiga, jika salah satu dari dua ibadah tidaklah dimaksudkan secara dzatnya, sedangkan maksudnya adalah mengerjakan macam ibadahnya, maka yang demikian salah satunya bisa mencukupi dari yang lain. Akan tetapi (ibadah) yang asal yang mencukupi dari cabangnya.
Contoh: Seseorang masuk masjid sebelum sholat Fajar (Subuh) dan setelah adzan. Dalam hal ini ia dituntut mengerjakan dua hal: tahiyyatul masjid (dan sholat sunnah sebelum Subuh, pent). Tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya. Yang dimaksudkan hanyalah agar jangan duduk hingga sholat dua rokaat. Jika engkau sholat sunnah rotibah (sebelum) Subuh, tepat engkau telah melaksanakan keadaan tidak duduk hingga sholat dua rokaat. Maka tercapailah maksud. Tapi jika engkau meniatkan cabangnya, yaitu tahiyyatul masjid bukan rotibahnya, maka ini tidak mencukupi dari rotibah sebelum Subuh. Karena rotibah Subuh itu dimaksudkan secara dzatnya, dan tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya.
Sedangkan pertanyaan dari penanya: Jika seorang masuk masjid saat adzan Dzhuhur dia sholat dua rokaat meniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, dan sunnah rotibah dzhuhur? Jika dia meniatkan tahiyyatul masjid dan rotibah, ini mencukupi. Sedangkan sunnah wudhu kita lihat, apakah sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian sholat dua rokaat tidak muncul was-was dan bisikan dunia pada dirinya, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
Apakah maksud Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa bisa didapati dua rokaat setelah wudhu, atau maksud beliau jika engkau berwudhu sholatlah dua rokaat. Kita lihat. Jika maksudnya adalah: jika engkau berwudhu maka sholatlah dua rokaat, maka dua rokaat ini dimaksudkan (secara dzatnya). Jika maksudnya adalah barangsiapa yang sholat dua rokaat setelah berwudhu dengan sifat apa saja, asalkan dua rokaat, maka dua rokaat sholat ini akan mencukupi dari sholat sunnah wudhu, tahiyyatul masjid, dan rotibah Dzhuhur.
Yang nampak pada saya, dan ilmunya di sisi Allah, bahwa sabda Rasulullah shollalahu alaihi wasallam “ kemudian sholat dua rokaat” tidaklah memaksudkan dua rokaat secara dzatnya. Beliau hanya memaksudkan bisa dilakukan dua rokaat meski itu adalah sholat wajib. Berdasarkan itu, kita katakan pada contoh yang disebutkan penanya: sesungguhnya dua rokaat tersebut mencukupi dari tahiyyatul masjid, rotibah Dzhuhur, dan sunnah wudhu’.
Contoh lainnya: Seseorang yang mandi janabah para hari Jumat, apakah mencukupi dari mandi Jumat? Jika ia berniat dengan mandi janabahnya itu mandi Jumat, maka ini akan tercapai. Berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya segala sesuatu tergantung apa yang dianiatkan. Akan tetapi jika ia berniat mandi janabah, apakah itu telah mencukupi dari mandi Jumat? Kita lihat: apakah mandi Jumat dimaksudkan secara dzatnya atau maksudnya adalah agar manusia bersuci di hari itu? Maksudnya adalah bersuci. Sesuai dengan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:
“kalau seandainya kalian bersuci pada hari kalian ini”.
Karena itu, maksud mandi ini adalah agar manusia bersih pada hari Jumat. Ini bisa tercapai dengan mandi janabah. Berdasarkan hal ini, jika seseorang mandi janabah pada hari Jumat, maka itu mencukupinya dari mandi Jumat. Meskipun ia tidak berniat. Jika ia berniat, perkaranya jelas. Maka kita sekarang memiliki 3 kaidah (Majmu’ Fataawa Ibn Utsaimin (14/205)).