You are currently viewing Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  Abu Bakr Shiddiq radhiyallahu’anhu

Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam Abu Bakr Shiddiq radhiyallahu’anhu

  • Post author:
  • Post category:Kisah

 Oleh  Al-Ustadz Abu Muhammad Harits

 Nasab dan Masa Kelahirannya

Dilahirkan dengan nama ‘Abdullah bin Abi Quhafah ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Taym bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib al-Qurasyi at-Taymi. Abu Bakr lebih dikenal dengan kuniahnya, dari albakr (unta muda).

‘Abdullah bin Abi Quhafah dilahirkan sesudah Tahun Gajah, selang dua tahun sesudah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lahir. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada kakek keenam, Murrah bin Ka’b bin Luay.

Pada masa dewasanya, dalam Islam, Abu Bakr menerima berbagai julukan yang menunjukkan ketinggian pribadi beliau, di antaranya:

1. Al-‘atiq

Beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau dijuluki sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha, yang menyebutkan bahwa suatu ketika Abu Bakr masuk menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya:

أَبْشِرْ ، فَأَنْتَ عَتِيْقُ اللهِ مِنَ النَّارِ

Gembiralah, engkau adalah orang yang dibebaskan Allah dari neraka.[1]

Sebagian ahli sejarah ada yang berpendapat lain. Menurut mereka, gelar ‘atiq adalah karena keelokan wajahnya, ada pula yang mengatakan karena terdepan dalam kebaikan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa asalnya adalah karena ibunda Abu Bakr tidak pernah melahirkan anak laki-laki dalam keadaan hidup. Setelah Abu Bakr lahir, sang ibu membawa putranya ke Ka’bah dan berkata, “Ya Allah, sesungguhnya inilah orang yang Engkau bebaskan dari kematian, maka hadiahkanlah dia kepadaku.”[2]

2. Ash-Shiddiq

Gelar ini diberikan oleh Nabi n juga. Anas pernah menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendaki bukit Uhud bersama Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. Tiba-tiba gunung itu bergetar, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ وَشَهِيدَانِ

Tenanglah, wahai Uhud! Sesungguhnya di atas punggungmu adalah seorang Nabi, Shiddiq, dan dua orang syuhada.[3]

Bunda ‘Aisyah, ash-Shiddiqah bintu Shiddiq radhiyallahu’anha, bercerita:

Pada waktu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam diisra’kan (dari Masjidil Haram) ke Masjidil Aqsha, keesokan paginya orang banyak mulai membicarakannya. Lalu murtadlah sebagian orang yang sebelumnya telah beriman dan membenarkan Nabi n. Beberapa orang datang menemui Abu Bakr dan bertanya, “Maukah engkau menemui sahabatmu itu? Dia mengatakan bahwa dia telah diperjalankan (isra’) tadi malam ke Baitil Maqdis.”

Abu Bakr menjawab, “Apakah beliau mengatakan hal itu?”

“Ya,” jawab mereka.

Abu Bakr segera berkata, “Kalau beliau sudah mengatakannya, maka beliau pasti benar.”

Orang-orang yang datang kaget, “Engkau malah menganggapnya benar? Padahal dia berangkat tadi malam ke Baitil Maqdis dan pulang sebelum subuh?”

Abu Bakr menjawab dengan tegas, “Ya. Saya memang mengakui beliau benar dalam setiap persoalan, bahkan lebih dari itu. Saya yakin akan kebenaran dan kejujuran beliau membawa berita dari langit setiap pagi dan petang.”

Sejak saat itulah Abu Bakr dijuluki ash-Shiddiq,[4] semoga Allah l meridhainya dan membuatnya ridha.

Dengan pastinya julukan ini, menegaskan bahwa beliau z tidak mungkin pernah terjatuh dalam kehinaan sama sekali.[5]

3. Ash-Shahib (sahabat, teman)

Allah l berfirman (at-Taubah: 40):

إِلاَّ تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لاَ تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, Janganlah kamu berdukacita, sesungguhnya Allah beserta kita. Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.

Para ulama sepakat bahwa shahib (teman) yang dimaksud dalam ayat ini adalah Abu Bakr, dan tidak seorang pun menyamai beliau z dalam kedudukan mulia ini.

4. Al-Atqa (orang yang paling bertakwa)

Allah k berfirman (al-Lail: 17):

Kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu.

Itulah beberapa julukan yang beliau sandang, dan jelas menunjukkan betapa mulia kedudukan beliau z.

Beberapa ahli sejarah menerangkan sebagian ciri fisik beliau, bahwa tubuhnya agak kurus, kulitnya putih kekuningan, bagus posturnya, wajahnya cekung, dahinya menonjol, janggut dan ubannya diberi inai, pahanya mamhush, betisnya hamsy.

Ayahnya, ‘Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr, diberi kuniah Abu Quhafah, masuk Islam sesudah Fathu Makkah dan berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Adapun ibunya, Salma bin Shakhr bin ‘Amr bin Ka’b, kuniahnya Ummul Khair, masuk Islam lebih dahulu.

Abu Bakr menikahi empat orang wanita pada masa hidupnya;

– Qutailah bintul ‘Abdil uzza, yang diperselisihkan keislamannya. Dari wanita ini lahir ‘Abdullah dan Asma’. Wanita ini dicerai oleh Abu Bakr di masa jahiliah dan pernah datang ke Madinah memberi hadiah kepada Asma’.

– Ummu Ruman bintu ‘Amir bin ‘Uwaimir. Dari wanita ini, lahir ‘Abdurrahman dan ‘Aisyah. Wanita ini wafat di Madinah pada tahun keenam hijrah, radhiyallahu’anha.

– Asma’ bintu ‘Umais bin Ma’bad bin al-Harits. Dari wanita ini, lahir Muhammad bin Abi Bakr, pada saat kaum muslimin sedang menunaikan ibadah haji (Haji Wada’).

– Habibah bintu Kharijah bin Zaid bin Abi Zuhair al-Anshariyah. Dari wanita ini lahir Ummu Kaltsum, setelah Abu Bakr wafat.

Itulah sekilas tentang keluarga Abu Bakr yang dimuliakan oleh Allah l dengan Islam. Mulai dari ayahnya hingga anak-anaknya—selain Ummu Kaltsum yang masuk generasi tabi’in—adalah orang-orang yang menjadi sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.[6]

Di Masa Jahiliah

Abu Bakr dikenal sebagai seorang ahli dalam bidang nasab dan ihwal bangsa Arab. Pedagang yang dermawan. Beliau dikenal sebagai orang yang ramah, menyenangkan teman duduknya, dan dicintai oleh masyarakat Quraisy.

Keadaan beliau persis seperti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan oleh Khadijah radhiyallahu’anha, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan apa yang dilihatnya di Hira’. Khadijah menghibur beliau dengan menyebutkan kebaikan dan ketinggian budi pekerti beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Seperti itu pula yang diterima oleh Abu Bakr. Ibnu Daghinah pernah bertemu dengan Abu Bakr yang hendak berangkat hijrah, maka dia mengatakan, “Anda adalah orang yang benar-benar baik kepada kerabat, membantu orang yang kesulitan, dan suka berbuat baik,”

Tidak seperti para pemuda Quraisy lainnya, Abu Bakr jauh dari kebiasaan mereka yang buruk: meminum minuman keras, berjudi, bahkan yang paling buruk, menyembah berhala pun tidak pernah sekalipun beliau lakukan. Beliau juga dikenal dengan kedermawanannya, suka memuliakan tamu dan akhlak yang mulia lainnya.

Suatu ketika, setelah beranjak dewasa, Abu Quhafah membawanya ke sebuah tempat yang ada berhalanya di sana, lalu berkata, “Inilah tuhanmu yang mulia,” dan meninggalkan Abu Bakr sendirian.

Abu Bakr mendekati berhala itu dan meminta makan dan pakaian tetapi tidak dijawab oleh benda-benda bisu dan tuli itu. Akhirnya Abu Bakr mengambil sebuah batu dan melemparkannya ke muka patung itu hingga patung itu jatuh tersungkur. Agaknya, inilah salah satu sebab, ketika di masa Islam beliau termasuk pemikul dakwah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Melalui tangan beliau, masuk Islam sebagian besar tokoh Quraisy yang diberitakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab.

Mereka ialah Thalhah bin ‘Ubaidillah, Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ‘Utsman bin ‘Affan, Sa’d bin Abi Waqqash, dan Zubair bin Awwam .

Di masa jahiliah, beliau termasuk tokoh utama Quraisy dan pembesar mereka yang disegani. Sebelum Islam lahir, kepemimpinan Quraisy berada di tangan sepuluh kabilah mulia.

–          ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dari Bani Hasyim, yang biasa memberi minum para jamaah haji di masa jahiliah sampai di masa Islam.

–          Abu Sufyan bin Harb, dari Bani Umayyah, pemegang bendera Quraisy.

–          Al-Harits bin ‘Amir, dari Bani Naufal, yang bertugas mengatur rifadah, harta Quraisy untuk membantu orang-orang yang kehabisan bekal.

–          ‘Utsman bin Thalhah, dari Bani Asad, pemegang kunci Ka’bah, dan sebagai konsultan masyarakat Quraisy; setiap persoalan yang ada, diajukan kepadanya. Kalau dia setuju, dia akan mendorong mereka menjalankannya, kalau tidak, dia memberikan pilihan.

–          Abu Bakr ash-Shiddiq, dari Bani Taym, di tangannyalah tugas menebus dan utang-piutang. Kalau beliau menanggung sesuatu, lalu meminta Quraisy, mereka membenarkannya.

–          Khalid bin Walid, dari Bani Makhzum, pengatur urusan perang dan persiapannya.

–          ‘Umar bin al-Khaththab, memegang urusan safarah, duta, utusan.

–          Shafwan bin Umayyah, dari Bani Jumhi, pemegang urusan undian dengan panah (azlam).

–          Al-Harits bin Qais dari Bani Sahm, urusan hukum dan harta berhala.

Salah satu keindahan ajaran Islam, agama ini tidak meruntuhkan keutamaan yang telah disandang pemeluknya di masa lalu (sebelum memeluk Islam), tetapi justru memberi dorongan agar tetap di atas kemuliaan itu, dan mengembangkannya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

خِيَارُكُمْ في الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ في الإِسْلاَمِ إذَا فَقِهُوا

Orang terbaik di antara kalian di masa jahiliah adalah yang terbaik pula di dalam Islam jika dia memahami (agama).[7]

Itulah kemuliaan yang diraih oleh ash-Shiddiq al-Akbar, orang terbaik di tubuh umat ini sesudah nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada masa jahiliah tak sedikit kebaikan yang diperbuatnya, terlebih lagi setelah beliau masuk Islam, bahkan pria dewasa yang “merdeka” satu-satunya ketika itu.

Pria yang hidup di sekeliling berhala, tanpa ada agama yang memperingatkan agar menjauhi berhala itu, tidak pula ada aturan syariat yang menuntun jiwa, namun fitrahnya yang suci dari kekotoran jahiliah itu akhirnya bertemu dan menjalin hubungan mesra dengan bimbingan wahyu, hingga menjadi orang pertama memeluk Islam. Radhiyallahu anhu.

Tak berlebihan, bila kita katakan tak seorang pun dari umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallamn yang dapat mengejar keutamaan beliau apalagi melampauinya. Tak seorang pula di kalangan bangsa Quraisy dapat menjatuhkan kemuliaan Abu Bakr dengan menyebutkan satu cacat atau kekurangan pribadinya. Tidak pula ada dosa dan kesalahan Abu Bakr terhadap mereka selain hanya karena dia beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya.

Masuk Islam

Boleh dikatakan, bisikan hati kecil Abu Bakr yang jengah melihat kenyataan yang terjadi dalam kehidupan masyarakatnya, mendorong Abu Bakr berusaha mencari kebenaran hidup yang hakiki. Fitrah yang masih bersih, itulah modal utamanya menelusuri sisi-sisi kehidupan, memikirkan apa hakikat di balik ini semua?

Perniagaannya yang cukup maju, menjelajahi belahan utara dan selatan, timur dan barat membuatnya bersentuhan dengan beragam pemikiran dan pola hidup yang berbeda dengan keadaan bangsa Quraisy.

Abu Bakr terkenang di saat dia masih belia, bergaul erat dengan Muhammad yang kemudian menjadi rasul, pemimpin seluruh manusia di alam semesta ini. Dia melihat kepribadian Muhammad yang agung telah mulai mencuatkan auranya.

Aneh memang, di saat sebagian teman-teman sebaya mereka, begitu bahagia dengan keadaan masyarakat mereka, sosok Muhammad lebih suka menggembala kambing milik keluarganya. Tak pernah sekalipun beliau ikut turun berpesta bersama mereka.

Begitulah Muhammad sampai mereka sama-sama dewasa. Muhammad tetap dengan keagungan pribadinya, lebih suka menyendiri, mencari kesejatian hidup, menjauhi batu-batu yang diberi nama dengan nama-nama orang saleh yang pernah hidup di masyarakat mereka atau nama lainnya.

Abu Bakr masih teringat, bagaimana dia duduk di halaman Ka’bah, saat-saat Zaid bin ‘Amr bin Nufail juga duduk di sebelah sana. Tiba-tiba datang Ibnu Abi ash-Shalt, dan berkata, “Bagaimana keadaanmu, wahai pencari kebenaran?”

“Baik,” jawab Zaid.

“Sudahkah kau dapatkan?” tanya Ibnu Abi ash-Shalt.

“Belum,” jawab Zaid, “… Semua agama hari kiamat selain ajaran lurus di masa lalu, tentu binasa….”

(bersambung)

 


[1] HR. at-Tirmidzi (3679) ada penguatnya dalam Shahih Ibnu Hibban (6864) dari ‘Abdullah bin Zubair .

[2] Abu Bakr, Pribadi dan Zamannya, ‘Ali asy-Syibli.

[3] HR. al-Bukhari (3675).

[4] Kisah ini dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dengan beberapa penguat. Lihat ash-Shahihah (1/305 no. 306).

[5] Lihat Abu Bakr ash-Shiddiq, ‘Ali asy-Syibli.

[6] Adapun Muhammad bin Abi Bakr diperselisihkan apakah termasuk sahabat atau bukan? Wallahu a’lam.

[7] HR. al-Bukhari (4/117—118).