Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah
Pertanyaan: Salah seorang ikhwah di negeri kami (Indonesia) bertanya kepada Anda; apakah seorang suami boleh berjanji kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, dan jika dia melanggar janjinya apakah dia bersalah?
Jawab: Ada yang bertanya tentang seseorang yang berjanji kepada istrinya untuk tidak menikah lagi, kemudian dia melanggarnya dengan menikah lagi, jawabannya: jika janji tersebut terjadi ketika akad nikah dan akad itu dibangun di atas syarat ini –yaitu dia menikahi wanita tersebut dengan syarat tidak akan menikah lagi– maka wajib atas suami untuk memenuhinya, karena akad tersebut terjadi dengan syarat ini, dan kaum Muslimin itu terikat dengan syarat mereka. Rasulullah shallallahu alaihi was sallam bersabda:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلَالًا.
“Kaum Muslimin itu terikat dengan syarat mereka, kecuali syarat yang menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.” (Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah menilainya shahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1303 –pent)
Hadits ini dibicarakan (diperselisihkan) keshahihannya, tetapi maknanya benar dan merupakan kaedah yang agung. Jika dia mengatakan janjinya tersebut setelah akad karena sebuah sebab atau yang lainnya, kemudian dia berubah pikiran dan merasa perlu untuk menikah lagi, maka dari satu sisi hal itu boleh baginya dan dia tidak teranggap melanggar syarat. Kemudian hendaknya dia menimbang maslahat, apakah maslahatnya dengan memenuhi janji ataukah maslahatnya dengan menikah lagi. Jadi benar-benar diperhatikan mana yang maslahat. Sebagian manusia terkadang padanya ada hal-hal yang datangnya belakangan (yang menjadi pertimbangan baru untuk memutuskan –pent). Jadi perlu diperhatikan masalahat pada perkara ini.
Ditanyakan dan diterjemahkan oleh Abu Almass bin Jaman Al-Austahy Pada pelajaran kitab Shahih Al-Adab Al-Mufrad Setelah maghrib pada hari Jum’at, 24 Rabi’ul Awwal 1435 H Di Daarul Hadits – Ma’bar – Yaman