masalah ini, dicantumkan para ulama pada bab-bab fitnah dalam karya-karya mereka. di mana yang paling buruk adalah tidak adanya suatu penguasa (kepala pemerintahan) yang ditaati di suatu tempat. dan akhirnya menyebabkan hilangnya rasa aman –naudzubillah dari keadaan buruk tersebut-. termasuk dalam masalah ini adalah kelompok minoritas mislim yang tinggal di Negara-negara kafir, sebagaimana akan dijelaskan nanti, Insya Allah.
- yang tidak diragukan lagi, bahwa adanya penguasa menyatukan sejumlah urusan, antara lain:
- yang khusus bagi dakwah, seperti amar ma’ruf nahi munkar.
- selain dakwah, penegakan hukum, menjaga perbatasan, akad atau kesepakatan, aturan perundang-undangan, keamanan dan sebagainya.
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menerangkan:
“Allah telah menetapkan wajibnya amar ma’ruf nahi munkar dan tidak akan mungkin terlaksana sempurna kecuali dengan adanya kekuatan penguasa. demikian juga semua kewajiban yang Allah tetapkan seperti jihad, keadilan, pelaksanaan jum’at dan hari raya ‘ied, membela yang teraniaya, dan menegakkan hukum. di mana semua itu tidak akan terlaksana sempurna kecuali dengan adanya kekuatan dan kekuasaan.”
dari sini kita pahami betapa pentingnya keberadaan seorang hakim (penguasa) dalam sebuah Negara muslim. begitu juga dampak yang terjadi dengan keputusannya, baik itu kewajiban-kewajiban yang ada serta hak-hak yang dikaitkan dengannya. demikian pula kebaikan dan keamanan bagi ummat karena ketaatan serta bersatunya rakyat di bawah kepemimpinannya. sementara fitnah senantiasa mengintai di tempat-tempat yang kosong dari pemimpin yang ditaati. kita berlindung kepada Allah dari keadaan seperti ini.
maka seorang muslim harus bermuamalah dalam setiap keadaan yang sesuai dengan tuntunan As Sunnah. di mana yang menjadi landasan pokok bermuamalah tersebut adalah hadits Hudzaifah yang masyhur, ketika bertanya kepada Nabi tentang kebaikan dan kejahatan. Rasulullah menerangkan kepadanya setelah menjelaskan kejahatan yang terjadi di akhir zaman, kata beliau:
“Tetaplah kau bersama jama’ah muslimin dan imam (pemimpin, penguasa) mereka.” saya (Hudzaifah) berkata: “Kalau mereka tidak mempunyai jama’ah apalagi imam?” Kata Beliau: “Tinggalkan semua golongan yang ada meskipun engkau harus menggigit akar pohon sampai mati dan engkau tetap dalam keadaan demikian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- dari hadits ini muncul satu pertanyaan cukup penting yang mesti dicermati dan dijawab. pertanyaan tersebut mempunyai dua arah:
- yang pertama: siapakah jama’ah muslimin yang disebut dalam hadits ini?
- yang kedua: siapakah imam (pemimpin) jama’ah tersebut?
untuk pertanyaan yang pertama, kita uraikan keterangan yang dipilih oleh imam At Thabari, bahwa jama’ah (dalam hadits tersebut) ialah jama’ah kaum muslimin apabila mereka berkumpul atau bersatu dibawah seorang amir (penguasa). di sini, Rasulullah member perintah untuk tetap bergabung bersama mereka dan melarang menyempal (memisahkan diri) dari ummat ini dalam perkara yang mereka sepakati (bersatu padanya). karena memisahkan diri dari mereka tidak akan keluar dari salah satu di antara dua keadaan berikut:
a) mungkin sebagai pengingkaran terhadap mereka dalam ketaatan kepada penguasanya, dan mengecam tindakannya yang diridlai tanpa alas an yang haq, tapi hanya dengan takwil untuk memunculkan perkara yang diada-adakan di dalam agama. seperti yang dilakukan golongan Haruriyah (khawarij) yang diperintahkan agar diperangi oleh ummat ini. dan Rasulullah menjuluki mereka sebagai Mariqah (yang lepas) dari agama.
b) karena menginginkan kekuasaan dengan mengikat bai’at kepada pemimpin (amir) jama’ah. ini berarti pelanggaran dan pembatalan atas sumpah setia dan ikatan setelah nyata kewajibannya. Rasulullah telah menegaskan :
“ Barangsiapa yang ingin memecah belah urusan ummat ini, padahal dia dalam keadaan bersatu, maka tebaslah dia dengan pedang siapapun adanya dia.” (HR. Muslim)
di dalam uraian ini kita lihat penjelasan tentang pengertian jama’ah. yaitu bersatunya sekelompok manusia di bawah kepemimpinan seorang amir yang ditaati. berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya memecahkan persatuan tersebut dengan melepaskan diri dari ketaatan berarti menyelisihi petunjuk Nabi.
setelah memahami pengertian jama’ah dari beberapa keterangan para imam ini, saya katakana sebagai ungkapan syukur atas nikmat Allah; “Bahwasanya Tanah Haramain Kerajaan Sa’udi ‘Arabia, tersebar naungan hukumnya, di mana seluruh kaum muslimin, umum dan khusus bersatu di bawah seorang pemimpin yang terpilih dan sempurna bai’at terhadapnya berdasarkan Kitabullah dan sunnah Rasulullah. dia menghukumi hamba-hamba Allah sesuai dengan syari’at Allah, walhamdulillah (segala puji bagi Allah). sebab itu, maka sesungguhnya sangatlah tepat criteria tentang apa yang dikatakan jama’ah itu bagi kami.”
( Dikutip dari buku Manhaj Dakwah Salafiyah, Pustaka Al HAURA)