بسم الله الرحمن الرحيم
MENEPIS TIPU DAYA FIRANDA, MEMBELA ULAMA SUNNAH
Oleh : Luqman bin Muhammad Ba’abduh
Bagian ke-6 : Benarkah Manhaj asy-Syaikh Rabi’ Mutasyaddid? (lanjutan)
Menyambung tulisan bagian ke-5 tentang persaksian beberapa tokoh senior Ikhwanul Muslimin yang mempersaksikan paham takfir (pengkafiran) terhadap masyarakat muslim pada diri Sayyid Quthb, dan bahwasanya kalimat “Jahiliyah” dalam berbagai ucapan Sayyid Quthb yang tersebar di beberapa karyanya bermakna “kafir”, sebagaimana kesimpulan asy-Syaikh al-’Allamah Rabi bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah.
Berikut ini, kita akan membaca bersama pengakuan salah satu tokoh senior Ikhwanul Muslimin lainnya yang bernama Farid ‘Abdul Khaliq. Dalam karyanya berjudul “al-Ikhwanul Muslimun fi Mizanil Haq” dia berkata,
((أمعنا فيما سبق إلى أنَّ نشأة فكر التكفير بدأت بين شباب بعض الإخوان في سجن القناطر في أواخر الخمسينات وأوائل الستينات، وأنهم تأثروا بفكر الشهيد سيد قطب وكتاباته، وأخذوا منها أنَّ المجتمع في جاهلية، وأنه قد كفَّر حكامه الذين تنكَّروا لحاكمية الله بعدم الحكم بما أنزل الله، ومحكوميه إذا رضوا بذلك )).
“Setelah kami perhatikan berbagai hal yang telah lalu, hingga munculnya pemikiran takfir (pengkafiran terhadap muslimin) yang mulai muncul di tengah-tengah sebagian pemuda al-Ikhwan (IM) di penjara al-Qanathir pada akhir tahun 50-an hingga awal 60-an, dan bahwasanya mereka (para pemuda yang berpaham takfir) telah terpengaruhi oleh pemikiran asy-Syahid (!) Sayyid Quthb dan berbagai kitab karyanya. Mereka mengadobsi dari berbagai karya Sayyid Quthb tersebut (kesimpulan/pemikiran) bahwa masyarakat berada dalam Jahiliyah, dan bahwa dia (Sayyid Quthb) telah mengkafirkan pemerintahnya yang telah mengintervensi hak otoritas hukum Allah dengan tidak berhukum kepada hukum yang Allah turunkan, demikian pula dia (Sayyid Quthb memvonis kafir) terhadap rakyatnya jika mereka ridha terhadap (sikap pemerintah)nya itu.”
Dalam pernyataannya di atas, Farid ‘Abdul Khaliq telah menegaskan bahwa pada Sayyid Quthb ada paham takfir terhadap masyarakat muslim, yang sering diungkapkan dengan ungkapan “Jahiliyah”. Jadi kesimpulannya, kalimat “Jahiliyah” bermakna “kafir” dalam pandangannya.
Sekali lagi, hal ini membuktikan bahwa kesimpulan asy-Syaikh Rabi’ yang dijadikan bahan kritikan utama oleh saudara Firanda adalah kesimpulan yang benar. Dan justru saudara Firanda-lah yang jatuh kepada taklid, sehingga menghalangi dia untuk membahas permasalahan ini dengan penuh keilmiahan dan sportifitas.
Jika dengan keterangan di atas saudara Firanda masih tetap mempertahankan ambisinya untuk menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh Rabi’, maka ikutilah pernyataan Farid ‘Abdul Khaliq berikut ini, masih dalam kitabnya yang sama,
((إنَّ أصحاب هذا الفكر وإن تعددت جماعاتهم، يعتقدون بكفر المجتمعات الإسلامية القائمة، وجاهليتها جاهلية الكفار قبل أن يدخلوا في الإسلام في عهد الرسول عليه السلام، ))
“Sesungguhnya para penganut paham ini walau berbilang jumlah kelompoknya, mereka meyakini kekufuran berbagai masyarakat Islam yang ada, sertameyakini kejahiliyahan (masyarakat Islam) tersebut seperti Jahiliyah kaum kafir sebelum mereka masuk ke dalam agama Islam pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Jadi, berdasarkan keterangan Farid ‘Abdul Khaliq di atas, makna ungkapan “jahiliyah” yang sering digunakan oleh Sayyid Quthb adalah bermakna “kafir” sama seperti jahiliyah kaum kafir/musyrikin sebelum Islam. Sangat tidak benar kalau kejahiliyahan dalam konteks ucapan-ucapan Sayyid Quthb diartikan jahiliyah dalam bidang akhlak, atau sistem muamalah di antara mereka. Dengan ini kita tahu, bahwa ungkapan Jahiliyah menurut Sayyid Quthb bukanlah seperti ungkapan Jahiliyah dalam beberapa hadits, yang telah saya sebutkan pada bagian ke-5.Sengaja kami ingatkan hal ini berulang kali, agar jangan ada seorang pembaca pun yang menyamakan dua hal tersebut
Berikut ini, mari ikuti sebuah kisah yang dibawakan oleh ‘Ali ‘Asymawi – juga tokoh senior IM sekaligus pengikut paham Sayyid Quthb – dalam kitabnya yang berjudul “at-Tarikh as-Sirri li al-Ikhwani al-Muslimin”
((جاءني أحد الإخوان وقال لي: بأنه سوف يرفض أكل ذبيحة المسلمين الموجودة حالياً!، فذهبت إلى سيد قطب وسألته عن ذلك؟ فقال: دعهم يأكلونها فيعتبرونها ذبيحة أهل الكتاب!؛ فعلى الأقل المسلمون الآن هم أهل كتاب ))
“Telah datang kepadaku salah seorang al-Ikhwan (pengikut IM) dan dia berkata kepadaku, bahwa dirinya akan menolak memakan sembelihan kaum muslimin yang ada di masa ini! Maka aku (‘Ali ‘Asymawi) pergi menemui Sayyid Quthb dan aku bertanya kepadanya tentang hal itu? Maka dia (Sayyid Quthb) berkata, “Biarkanlah mereka (pengikut IM) memakan sembelihan tersebut dengan menganggapnya sebagai sembelihan ahlul kitab (Yahudi atau Nashara)! Setidaknya kaum muslimin sekarang adalah ahlu kitab.”
Jadi, Sayyid Quthb – menurut salah satu pengikutnya ini, yaitu ‘Ali ‘Asymawi – telah berkeyakinan bahwa masyarakat muslim yang ada sekarang ini adalah kafir setidaknya seperti ahlul kitab (Yahudi atau Nashara).
Itulah beberapa nukilan singkat dari para tokoh senior al-Ikhwanul Muslimin (IM) dan pengikut paham Sayyid Quthb yang mempersaksikan keberadaan paham takfir pada diri Sayyid Quthb terhadap masyarakat muslim dengan ungkapan “jahiliyah”. Apakah saudara Firanda, atau bahkan ‘Ali al-Halabi, Abul Hasan, dan para pengikutnya, mereka masih akan mempertahankan kesombongannya dalam upaya mereka untuk tetap menjatuhkan kredibilitas asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, serta menjauhkan umat dari beliau dan karya-karyanya? La haula wa la quwwata illa billah!! Jika hal ini yang terjadi, sungguh ini meyakinkan saya bahwa saudara Firanda adalah termasuk pengekor hawa nafsu, sebagaimana pendahulunya ‘Ali Hasan al-Halabi. Hal ini mengingatkan saya pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
{أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ (23)} [الجاثية: 23]
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kalian tidak mengambil pelajaran?”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وَقَوْلُهُ: {وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ} يَحْتَمِلُ قَوْلَيْنِ:
أحدها وَأَضَلَّهُ اللَّهُ لِعِلْمِهِ أَنَّهُ يَسْتَحِقُّ ذَلِكَ. وَالْآخَرُ: وَأَضَلَّهُ اللَّهُ بَعْدَ بُلُوغِ الْعِلْمِ إِلَيْهِ، وَقِيَامِ الْحُجَّةِ عَلَيْهِ. وَالثَّانِي يَسْتَلْزِمُ الْأَوَّلَ، وَلَا يَنْعَكِسُ.
“Firman Allah, ‘dan Allah menyesatkannya berdasarkan ilmu‘ mengandung dua kemungkinan makna,
Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala sesatkan dia (pengekor hawa nafsu tersebut) berdasarkan ilmu-Nya bahwa orang tersebut memang berhak mendapatkan kesesatan.
Kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala sesatkan dia (pengekor hawa nafsu tersebut) setelah sampai kepadanya ilmu dan telah tegak hujjah atasnya.
makna kedua ini mengandung konsekuensi adanya makna yang pertama, dan tidak sebaliknya.”
Maksud pernyataan al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah adalah: Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha luas, meliputi segala sesuatu, yang tampak maupun tersembunyi, yang terjadi maupun belum terjadi, telah mengetahui dengan pasti bahwa pengekor hawa nafsu tersebut berhak mendapatkan kesesatan, sehingga Allah sesatkan dia. Atau karena pengekor hawa nafsu tersebut tetap tidak mau mengikuti kebenaran, walaupun telah sampai ilmu dan hujjah kepadanya, maka Allah sesatkan dia akibat dari kesombongannya tersebut. Sudah barang tentu, seorang yang kondisinya lebih mengedepankan hawa nafsunya, Allah telah mengetahui dengan segala keilmuan-Nya yang maha luas, bahwa orang tersebut tidak berhak mendapatkan hidayah, sehingga Allah tidak berikan hidayah kepadanya. Hal ini juga mengingatkan kita semua pada salah satu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
«لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ … الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ»
“Tidak akan masuk al-Jannah (surga) orang yang di dalam hatinya terdapat al-Kibr (kesombongan) seberat atom … al-Kibr (kesombongan) adalah menolak al-Haq (kebenaran) dan meremehkan manusia.” (Muslim 147 dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Kalau ada yang mengatakan, percuma saja kita menasehati saudara Firanda ini jika kondisinya seperti itu. Maka jawabannya adalah, tulisan ini saya tulis dengan beberapa tujuan dan harapan,
Sebagai upaya Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang diperintahkan dalam syari’at Islam. Sehingga saya berharap Allah menilainya sebagai amal shalih yang dapat menaikkan derajat dan menghapuskan dosa-dosa.
Sebagai nasehat dan bekal ilmu bagi saudara-saudara saya yang memang menginginkan kebenaran, dan berupaya mencarinya, serta beramal dengannya.
Bantahan terhadap kebatilan dan tipu daya saudara Firanda yang telah ia tebarkan di tengah-tengah umat, agar dia mau rujuk dan bertaubat kepada Allah darinya.
Jika ternyata harapan ketiga di atas tidak terwujud dan saudara Firanda tetap mengikuti hawa nafsunya, maka saya sangat berharap tujuan pertama dan kedua dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, berikut ini saya akan mencoba menampilkan persaksian ‘Ali Hasan al-Halabi (sang panutan manhaj saudara Firanda) [1] tentang adanya akidah takfir pada Sayyid Quthb, dan bahwasanya dia mengkafirkan masyarakat-masyarakat muslim. Tentunya persaksian ‘Ali Hasan al-Halabi yang akan saya nukil ini, dia ucapkan ketika belum ditimpa penyakit bid’ah pada manhaj dan aqidahnya. Dengan kata lain, ini adalah ‘Ali Hasan “era lama” sebelum dia sendiri mereformasi manhaj dan aqidahnya menuju ‘Ali Hasan “era reformasi”. Semoga Allah melindungi kita semua dari kesesatan setelah kita berada di atas hidayah.
Dalam karyanya yang bernama ad-Durar al-Mutala’li’ah (hal. 34-36) dalam sebuah judul pembahasan, “Sayyid Quthb wa Takfir al-Mujtama’at” (Sayyid Quthb dan Pengkafiran terhadap Berbagai Masyarakat) – cetakan pertama tahun 1423 H/2002 M, ‘Ali Hasan “era lama” berkata,
((أقول: وهذا مع ذاك مضافان إلى ذيَّاك كله يؤكِّد كلام الدكتور يوسف القرضاوي الحركي المشهور غفر الله له في كتابه “أولويات الحركة الإسلامية” (ص 101) حيث قال: “ظهرت كتب الشهيد سيد قطب وهي تمثل المرحلة الأخيرة من تفكيره والتي تنضح بتكفير المجتمعات“، وهو به خبير فهي الخارجية المستترة، بل (الظاهرة) المعلنة، وفي مصنفات ومؤلفات أستاذنا العلامة الشيخ ربيع بن هادي – جعله الله شوكة في حلوق المبتدعة والأعادي – النافعة المتعددة – ما يوضِّح حقيقة ذلك، ويكشفه ويظهره بما لا يدع مجالاً لمُتشككٍ طَلَّابٍ للحق، … ))
“Aku berkata, yang ini bersama dengan yang itu, ditambahkan kepada yang di sana, semuanya menguatkan pernyataan DR. Yusuf al-Qaradhawi, orang pergerakan yang terkenal – semoga Allah mengampuninya – dalam karyanya (yang berjudul) Aulawiyat al-Harakah al-Islamiyyah, hal 101 ketika dia berkata, ‘telah tampak karya asy-Syahid Sayyid Quthb yang menggambarkan tahapan akhir pemikirannya, dan yang menuangkan paham pengkafiran terhadap masyarakat.‘
Orang ini (Yusuf al-Qaradhawi) adalah orang yang sangat tahu tentang Sayyid Quthb. Maka ini merupakan paham khawarij yang terselubung, bahkan telah tampak secara terang-terangan. Dan dalam berbagai karya tulis ustadz (guru) kami al-’Allamah Rabi’ bin Hadi yang bermanfaat dan banyak – semoga Allah menjadikan beliau sebagai duri dalam tenggorokan ahlul bid’ah dan para musuh [2] – menjelaskan hakekat permasalahan tersebut [3] sekaligus membongkar dan menampakkannya, yang tidak menyisakan peluang untuk orang yang ragu yang mencari kebenaran. … . “
Tidak cukup sampai di situ, al-Halabi memberikan catatan kaki ketika menyebutkan karya-karya tulis asy-Syaikh Rabi’,
((انظر مثلاً كتابه “أضواء إسلامية على عقيدة سيد قطب وفكره” ص 71-107 ، تحت عنوان [سيد قطب وتكفير المجتمعات]، وفي كتابه النافع “العواصم مما في كتب سيد قطب من القواصم” بيان كثير من المآخذ العلمية بعامة والعقائدية بخاصة عليه!!.
“Lihat – sebagai contoh – kitab beliau (asy-Syaikh Rabi’) “Adhwa Islamiyyah ‘ala ‘Aqidati Sayyid Quthb wa Fikrihi” hal. 71-107 di bawah judul “Sayyid Quthb wa Takfir al-Mujtama’at” (Sayyid Quthb dan pengkafiran terhadap masyarakat), dan karya beliau (asy-Syaikh Rabi’) yang bermanfaat yaitu “Al-’Awashim mimma fi Kutub Sayyid Quthb min al-Qawashim” keterangan yang banyak tentang berbagai kritikan ilmiah terhadapnya secara umum, dan aqidah secara khusus. “
“era lama”
ولقد نقلتُ بنفسي من خط أستاذنا الوالد الإمام الشيخ محمد ناصر الدين الألباني رحمة الله عليه في آخر صفحة من نسخته الخاصة من الكتاب المذكور قوله: “كل ما رددتَه على سيد قطب حق وصواب، ومنه يتبين لكل قارئ مسلم على شيء من الثقافة الإسلامية: أنَّ سيد قطب لم يكن على معرفة بالإسلام بأصوله وفروعه، فجزاك الله خير الجزاء أيها الأخ الربيع على قيامك بواجب البيان، والكشف عن جهله وانحرافه عن الإسلام” ناصر. ))
“Sungguh aku telah menukil dari tulisan tangan ustadz (guru) kami, ayahanda al-Imam asy-Syaikh Nashiruddin al-Albani – rahmatullahi ‘alaih – di akhir halaman naskah khusus beliau dari kitab yang bersangkutan (yaitu kitab al-’Awashim … ) pernyataan beliau (asy-Syaikh al-Albani) : ‘Seluruh yang kau bantahkan kepada Sayyid Quthb adalah benar dan tepat, dan darinya akan menjadi jelas bagi setiap pembaca muslim yang memiliki pengetahuan tentang Islam bahwa Sayyid Quthb tidak berada di atas pengetahuan Islam, baik pokok-pokok dasar Islam maupun cabang-cabangnya. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan wahai al-Akh Rabi’ atas upayamu melakukan kewajiban penjelasan dan membongkar kebodohan dia (Sayyid Quthb) serta penyimpangannya dari agama Islam.’ – (tertanda) Nashir – [4] “
Tak luput pula komentar ‘Ali al-Halabi “era lama” terhadap salah satu ucapan Sayyid Quthb dalam kitab “Fi Zhilal al-Qur`an”,
((لقد استدار الزمان كهيئته يوم جاء هذا الدين إلى البشرية بـ (لا إله إلا الله)؛ فقد ارتدت البشرية إلى عبادة العباد، وإلى جور الأديان، ونكصت عن لا إله إلا الله، وإن ظل فريق منها يردد على المآذن: لا إله إلا الله؛ ))
“Sungguh roda zaman telah kembali berputar seperti hari ketika (awal) datangnya agama (Islam) ini kepada manusia dengan (membawa) Laa ilaha illallah. Maka sungguh telah murtad umat manusia kepada peribadatan terhadap makhluk dan kezhaliman agama-agama (selain Islam) dan berpaling dari Laa ilaha illallah, walaupun sebagian manusia tersebut mengumandangkan (kalimat) Laa ilaha illallah melalui corong-corong (tempat-tempat) adzan
‘Ali al-Halabi “era lama” menegaskan, dengan perkataannya,
((وهل ثمة قولٌ تكفيريٌ (أصرح) من قوله في ظلاله ( 2/1057) ))
“Apakah di sana ada sebuah pernyataan takfir yang lebih jelas dari pernyataan dia (Sayyid Quthb) dalam (kitab) Zhilal (al-Qur’an)-nya (II/1057)”
Subhanallah yang Maha Berkehendak dan Menentukan nasib hamba-hamba-Nya. Begitu tegas ‘Ali al-Halabi menyimpulkan pernyataan Sayyid Quthb di atas sebagai bentuk paham takfir (terhadap masyarakat muslim) yang ada padanya. [5]
Dari pernyataan ‘Ali al-Halabi “era lama” di atas, ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:
Al-Halabi mendukung persaksian Yusuf al-Qaradhawi bahwa ada paham takfir pada aqidah Sayyid Quthb, bahkan menegaskannya sebagai paham khawarij yang telah tampak nyata.
‘Ali al-Halabi menegaskan bahwa Yusuf al-Qaradhawi adalah orang yang banyak tahu tentang Sayyid Quthb. Tentu hal ini menunjukkan bahwa persaksian al-Qaradhawi merupakan salah satu sandaran utama dalam menyimpulkan aqidah takfir pada Sayyid Quthb.
‘Ali al-Halabi merujuk kepada karya-karya asy-Syaikh Rabi’ untuk menyimpulkan adanya paham takfir terhadap masyarakat muslim pada aqidah Sayyid Quthb.
‘Ali al-Halabi memuji berbagai karya asy-Syaikh Rabi’ tersebut sebagai karya yang banyak dan bermanfaat, yang telah membongkar hakekat takfir Sayyid Quthb, yang tidak menyisakan keraguan sedikitpun.
Untuk menegaskan kesimpulannya tersebut, ‘Ali al-Halabi menukil rekomendasi asy-Syaikh al-Albani terhadap berbagai bantahan asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali terhadap Sayyid Quthb, bahwa semuanya benar dan tepat. Sekaligus ucapan terima kasih asy-Syaikh al-Albani untuk beliau atas perjuangannya.
‘Ali al-Halabi mengomentari salah satu ucapan Sayyid Quthb dengan ucapannya, “Apakah di sana ada sebuah pernyataan takfir yang lebih jelas dari pernyataan dia (Sayyid Quthb) dalam (kitab) Zhilal (al-Qur’an)-nya (II/1057)”
Sengaja kami buat beberapa kesimpulan tersebut untuk membantu para pembaca sekalian mengenali ‘Ali al-Halabi “era lama” dan ‘Ali al-Halabi “era reformasi”. Untuk itu ikutilah keterangan berikut ini,
Dalam situs para Halabiyyin yang banyak menyerang asy-Syaikh Rabi’ – dan beberapa ‘ulama Ahlus Sunnah lainnya – telah dimuat sebuah tulisan yang mencoba menafikan keberadaan aqidah takfir terhadap berbagai masyarakat muslim pada manhaj Sayyid Qutb dengan ungkapannya “jahiliyah”. Dalam hal itu mereka bersandar kepada pernyataan asy-Syaikh al-Albani dalam dialognya sebagaimana telah lalu penjelasannya.
‘Ali al-Halabi “era reformasi” sebagai musyrif (pengasuh) situs tersebut memberikan dukungan penuhnya terhadap tulisan tersebut, dengan mengatakan,
((ولو فكَّر الدكتور ربيع – وأتباع منهجه الشنيع – في هذا الكلام العلميّ البديع: لرجعوا عما هم فيه من منهج مسخ!، ولتابوا وأنابوا!!، ولرقعوا الفتق الذي خرقوه في الدعوة السلفية العصرية!!!، فكلام شيخنا الإمام المبرور: يقضي – من الجذور – على ذاك السبيل الهدّام ذي الفُجور ))
“Kalau seandainya DR. Rabi’ – dan para pengikut manhaj jeleknya – mau merenungi pernyataan (asy-Syaikh al-Albani) yang ilmiah dan menakjubkan ini pasti mereka akan rujuk dari manhaj pemburukkan yang mereka anut itu! Pasti mereka akan bertaubat dan kembali!! serta sungguh pasti mereka akan menutupi celah/lobang yang telah mereka buat dalam Dakwah Salafiyyah masa kini!!! Maka pernyataan syaikh kami (asy-Syaikh al-Albani) al-Imam al-Mabrur meluluhlantakkan metode penghancur yang mengandung kezhaliman tersebut hingga ke akar-akarnya.”
Subhanallah, betapa cepatnya qalbu manusia itu berbalik. ‘Ali al-Halabi “era reformasi” ini sudah jauh berbeda dengan ‘Ali al-Halabi “era lama”. Kali ini dia mencela asy-Syaikh Rabi’ dan manhajnya dengan memberikan julukan-julukan batil dan penuh kezhaliman.
“Era lama” membenarkan keberadaan pemikiran takfir Sayyid Quthb terhadap berbagai masyarakat muslim, sementara pada “era reformasi” menafikannya.
“Era lama” mendukung kesimpulan asy-Syaikh Rabi’ bahwa Sayyid Quthb menganut paham takfir terhadap masyarakat muslim, sementara pada “era reformasi” memposisikan kesimpulan tersebut sebagai kesimpulan yang salah, yang semestinya – kata dia – asy-Syaikh harus Rabi’ rujuk dan bertaubat darinya .
“Era lama” memposisikan karya-karya asy-Syaikh Rabi’ sebagai rujukan ilmiah dan penuh manfaat, sementara pada “era reformasi” berupaya menjatuhkannya, dan menjauhkan ummat darinya.
Kalau “era lama” dia menukil pernyataan asy-Syaikh al-Albani yang memuji karya asy-Syaikh Rabi’ dan mendukung perjuangannya, maka pada “era reformasi” dia mengatakan bahwa manhaj asy-Syaikh Rabi’ sebagai manhaj yang buruk dan penghancur yang mengandung kezhaliman yang telah diluluhlantakkan oleh pernyataan asy-Syaikh al-Albani hingga ke akar-akarnya!!
Mengakhiri tulisan ke-6 ini, saya akan menukilkan salah satu wasiat shahabat mulia Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu yang beliau sampaikan menjelang wafatnya,
اعْلَمْ أَنَّ مِنْ أَعْمَى الضَّلَالَةِ أَنْ تَعْرِفَ مَا كُنْتَ تُنْكِرُ أَوْ أَنْ تُنْكِرَ مَا كُنْتَ تَعْرِفُ وَإِيَّاكَ وَالتَّلَوُّنَ فِي دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ دِينَ اللَّهِ وَاحِد
“Ketahuilah, bahwa di antara kesesatan yang paling gelap adalah kamu menganggap ma’ruf (haq) sesuatu yang dulu kamu yakini sebagai kemungkaran, atau kamu menganggap munkar sesuatu yang dulu kamu yakini sebagai ma’ruf (haq). Berhati-hatilah kamu dari sikap berubah-rubah warna (plin-plan) dalam agama, karena sesungguhnya agama Allah itu satu.” (diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf)
Kesimpulan dari berbagai keterangan di atas, mulai dari tulisan ke-5 hingga tulisan ke-6 ini, adalah :
1. Penafsiran asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ bin Hadi al-Madkhali terhadap ungkapan “jahiliyah” oleh Sayyid Quthb dengan makna “kafir” adalah penafsiran yang benar. Karena didukung oleh :
– Berbagai pernyataan Sayyid Quthb sendiri dalam banyak karyanya yang dia sendiri menafsirkan ungkapan “jahiliyah” tersebut, yang telah saya nukilkan sebagian kecilnya.
– Penafsiran dan persaksian para tokoh senior IM sendiri, dengan kesimpulan yang sama seperti kesimpulan dan penafsiran asy-Syaikh Rabi’.
– Pengakuan ‘Ali Hasan al-Halabi “era lama” yang membenarkan keberadaan aqidah takfir terhadap masyarakat muslim pada diri Sayyid Quthb.
2. Dengan ini, terjawablah pertanyaan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam dialognya, “lantas dari mana kita bisa menafsirkan dan menisbahkan kepada Sayyid Quthb bahwasanya ia telah mengkafirkan masyarakat ini??” (lihat kembali tulisan bagian ke-5)
3. Sehingga dengan itu tidak benar apabila dikatakan asy-Syaikh Rabi’ adalah seorang yang mutasyaddid (seorang yang keras) dalam uslub (cara) beliau dalam membantah ahlul bid’ah dan hizbiyyah. Apalagi akan dikatakan bahwa manhaj beliau mutasyaddid.
4. ‘Ali al-Halabi telah meninggalkan manhajnya yang lama dan menggantinya dengan manhaj yang baru seperti sekarang ini.
5. Berbagai tulisan saudara Firanda dalam mengkritisi asy-Syaikh Rabi’ dan menjatuhkan kredibilitas beliau, sebenarnya telah banyak diwarnai oleh manhaj ‘Ali al-Halabi dan tulisan-tulisan di situs para Halabiyyin.
6. Saya meyakini bahwa berbagai keterangan yang telah lalu, dari tulisan bagian-1 hingga ke-6 ini, sudah sangat gamblang untuk menjadikan seseorang yang menginginkan kebenaran bagi dirinya dan umat ini, untuk memiliki penilaian positif terhadap asy-Syaikh al-’Allamah Rabi’ al-Madkhali, juga berbagai karya dan perjuangannya dalam menjelaskan al-Haq serta membantah ahlul bid’ah dan hizbiyyah, sebagaimana penilaian para ‘ulama kibar terhadap beliau dan berbagai karyanya. Oleh karena itu, sebelum saya melanjutkan tulisan ini pada bagian-bagian berikutnya, saya menunggu sikap atau tanggapan saudara Firanda setelah membacanya. Apakah dia,
– mau rujuk dan meninggalkan kesombongan serta akhlak jeleknya terhadap asy-Syaikh Rabi’ dan beberapa ‘ulama sunnah lainnya,
– mau rujuk dan meninggalkan tipu dayanya terhadap umat dengan memanfaatkan ijtihad asy-Syaikh al-Albani, untuk membenturkan para ‘ulama sunnah satu dengan lainnya.
– mau rujuk dan mengakui bahwa kesimpulan asy-Syaikh Rabi’ tentang ungkapan “jahiliyah” oleh Sayyid Quthb yang bermakna takfir terhadap masyarakat muslim adalah kesimpulan yang benar.
– mau rujuk dan mengakui kesalahan kesimpulannya yang dia hembuskan di tengah umat bahwa asy-Syaikh Rabi’ mutasyaddid.
– mau mengakui bahwa ‘Ali al-Halabi sang panutannya itu telah menyimpang dari manhajnya yang lama.
Jika saudara Firanda mau rujuk dan mengakui itu semua, maka itulah harapan kami. Jika teryata sebaliknya, dia tetap bersikeras mempertahankan sikap-sikapnya dalam permasalahan yang sebenarnya sudah sangat jelas dan gamblang ini, maka kita semua melihat bahwa saudara Firanda adalah pengekor hawa nafsu yang telah menolak kebenaran dengan penuh kesombongan. Sekaligus dari sini para pembaca sekalian akan tahu bagaimana sikap saudara Firanda dalam permasalahan-permasalahan lainnya.
Semoga Allah melindungi kita semua dari kesesatan. Amin
(bersambung insya Allah)
al-Faqir ila ‘afwi wa ‘auni rabbihi
Luqman Muhammad Ba’abduh
Jember, 28 Dzulhijjah 1434 H / 2 November 2013 M
[1] Saya katakan demikian karena pembelaannya yang sangat gigih terhadap ‘Ali Hasan al-Halabi. Di samping juga karena berbagai tulisan dan sikap manhaj saudara Firanda banyak diwarnai oleh manhaj ‘Ali Hasan al-Halabi. Oleh karena itu, dia banyak merujuk kepada situs kebanggaan Halabiyyun (para pengikut al-Halabi) yang langsung di bawah pantauan ‘Ali Hasan al-Halabi.
[2] Subhanallah, doa ‘Ali Hasan “era lama” ini tampaknya telah terkabulkan dan ternyata mengenai dirinya sendiri. Sebagimana menimpa kepada Abul Hasan al-Ma’ribi dalam dialognya dengan asy-Syaikh al-Albani. (lihat tulisan bag-1 dan bag-3). Terbukti, asy-Syaikh Rabi’ – yang dia akui sebagai ustadznya –benar-benar telah menjadi duri pada tenggorokan ahlul bid’ah dan hizbiyah, termasuk pada tenggorokan ‘Ali Hasan al-Halabi sendiri, Abul Hasan al-Ma’ribi, dan para pengikutnya.
{رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ (8)} [آل عمران: 8]
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)”. (QS. ali ‘Imran : 8)
«يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ»
“Wahai Yang Membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (at-Tirmidzi 2140)
[3] yaitu hakekat aqidah takfir (pengkafiran) terhadap masyarakat muslim yang ada pada diri Sayyid Quthb.
[4] Maksudnya adalah : “Tertanda Muhammad Nashiruddin al-Albani”
[5] Catatan : tulisan bagian ke-5 dan ke-6 saya banyak mengambil faidah dari salah satu artikel karya asy-Syaikh Thahir alu Ra’id hafizhahullah.
http://dammajhabibah.net/2013/11/02/menepis-tipu-daya-firanda-membela-ulama-sunnah-6/