Tata cara berbai’at
Tata cara berbai’at kepada Imam adalah sebagaimana dijelaskan oleh al Ubbi dalam bukunya Syarah Muslim: 4/44, katanya: Barangsiapa yang termasuk anggota ahlul halli wal Aqd dan yang masyhur maka bai’atnya dengan ucapan dan bersalaman dengan tangannya jika dia hadir, atau dengan ucapan saja serta dipersaksikan jika dia tidak hadir. Dan cukup bagi yang tidak dikenal dan tidak diketahui hanya dengan meyakini bahwa ia berkewajiban untuk mentaati pimpinan tersebut serta tunduk dan taat padanya baik dalam keadaan tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya (yakni lawan dari keyakinan yang disebutkan,pent), kalau ia menyembunyikan keyakinan itu (tidak berbai’at) lalu mati, maka matinya seperti keadaan jahiliyyah, karena ia tidak menjadikan pada lehernya bai’at. [dinukil dari fiqih siasah syariyyah:157]
Kepada Siapa Kita Berbai’at
Ini yang sangat perlu kita ketahui karena banyak terjadi kesalahpahaman sehingga demikian banyak bai’at-bai’at di dunia ini, banyak kelompok-kelompok menjadikan pimpinannya sebagai amir lalu membai’atnya dengan berdalil hadtis-hadits nabi tentang bai’at. Oleh karenanya akan kami nukilkan disini penjelasan sebagian ulama dalam hal ini.
Syekh Shaleh al Fauzan ditanya tentang bai’at, jawabnya: Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin adapun bai’at-baiat yang ada ini adalah bid’ah itu akibat dari adanya ikhtilaf, yang wajib dilakukan oleh kaum muslimin yang mereka berada di satu negara atau satu kerajaan hendaknya bai’at mereka cuma satu dan untuk satu pimpinan …[Fiqh as Siyasah as Syar’iyyah:281]
Syekh Abu Zaid mengatakan: Bahwa bai’at dalam Islam hanya satu, yaitu dari orang-orang yang memiliki kekuatan (ahlul hali wal ‘aqdi) untuk waliyul amr/pimpinan dan penguasa kaum muslimin [Hukmul intima:163]
Nah, bagaimana jika kaum muslimin tidak punya khalifah yang menguasai mereka diseluruh dunia ini, lantas kepada siapa mereka berbai’at?
Jawabnya bahwa bai’at itu diberikan kepada pimpinan kaum muslimin yang muslim di masing-masing negara atau kerajaan mereka, yakni kita sebagai rakyat bisa berbai’at dengan cara meyakini berkewajiban untuk mentaati pemimpin tersebut serta mendengar dan taat padanya baik dalam keadaan tersembunyi atau terang-terangan serta tidak meyakini sebaliknya, semampu kita pada perkara yang baik menurut syari’at dan tidak mengandung maksiat.
Yang demikian ini dibenarkan karena ini keadaan darurat. Memang pada asalnya kaum muslimin mestinya punya satu pimpinan tapi jika itu tidak bisa terwujud di suatu saat maka hukumnya lain, sebagaimana keterangan para ulama berikut ini:
Ibnu Taimiyyah (wafat: 728 H) menjelaskan: Sunnahnya kaum muslimin itu memiliki satu imam (Yakni –Wallahu a’lam- khalifah yang memimpin kaum muslimin sedunia – pen) dan yang lain itu adalah para wakilnya. Seandainya jika sebuah umat keluar/memisah darinya karena perbuatan maksiat dari sebagian umat itu atau karena adaya kelemahan dari yang lain sehingga umat itu memiliki beberapa imam. (Sehingga kaum muslimin terpisah-pisah, masing-masing dengan pimpinan negaranya atau kerajaannya di negeri-negeri mereka. Wallahu a’lam. – pen) Maka wajib atas setiap imam (pimpinan negara) untuk menegakkan hukum-hukum had dan memenuhi hak-hak…ini di saat para amir/imam (pimpinan negara) itu berpecah dan berbilang. [Majmu’ Fatawa :34/175]
As Shan’ani (wafat: 1182 H) mengatakan ketika menerangkan hadits: “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah lalu mati maka matinya seperti mati jahiliyyah.” [HR Muslim]
‘keluar dari ketaatan’ : Maksudnya ketaatan kepada khalifah yang disepakati, seolah-olah (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) maksudkan khalifah/pimpinan daerah manapun dari daerah-daerah yang ada, karena manusia (sejak) di masa daulah Abbasiyyah tidak bersepakat pada satu orang khalifah diseluruh negeri-negeri Islam bahkan penduduk setiap daerah menyendiri dengan pimpinan yang mengurusi urusan mereka. Dimana kalau hadits itu dibawa/difahami kepada satu orang khalifah yang telah disepakati orang Islam (seluruhnya, pent) maka faedah hadits itu tentu menjadi kecil. [Subulussalam:3/499 dinukil dari buku Mu’amalatul hukkam:35]
Asy Syaukani (wafat: 1255 H) mengatakan: Adapun setelah tersebarnya Islam dan meluasnya daerahnya serta ujungnya berjauhan, maka dimaklumi bahwa jadilah kekuasaan di tiap daerah dari daerah-daerah untuk seorang Imam atau penguasa, demikian pula pada daerah yang lain. Dimana perintah dan larangan sebagian pimpinan itu tidak terlaksana pada selain wilayahnya atau beberapa wilayah yang dibawah kepemimpinannya. Oleh karenanya tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa (bukan hanya satu pimpinan). Dan atas penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan-pent) pimpinan tersebut, wajib mentaati pimpinannya. Demikian pula keadaannya pada daerah yang lain. Serta tidak wajib bagi penduduk daerah lain untuk mentaatinya (selain pimpinannya) dan tidak pula (wajib) masuk dalam kepemimpinannya…ketahuilah hal ini! karena itulah yang sesuai dengan kaedah-kaedah syari’at dan sesuai dengan dalil-dalil [As Sailul Jarror:4/512 dinukil dari Mu’amalatul hukkam:37 dan ar Raudhatun Nadiyyah: 2/774-775]
Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat:1206 H) juga mengatakan: Para Imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka penguasa itu memperoleh hukum imam dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak karena manusia sejak waktu yang lama sebelum Imam Ahmad sampai hari ini mereka tidak sepakat pada seorang imam/pimpinan. Demikian pula mereka tidak mengetahui seorangpun dari ulama menyatakan bahwa sesuatu dari sebuah hukum tidak akan sah kecuali dengan imam terbesar (khalifah seluruh kaum muslimin). [Ad Durar as Saniyyah:7/239 dinukil dari mu’amalatul hukkam:34 lihat pula dalam masalah ini iklilul karamah:127]
(Bersambung ke Ba’iat dalam timbangan Syariat Islam – Imam & kondisi-kondisinya)
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar Su’aidi, Lc, judul asli “Bai’at”, yang diberikan via disket oleh al Akh Abu Muhammad Syu’bah)