ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau n bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.”
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi t dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Al-Imam At-Tirmidzi berkata:“Dalam bab ini ada hadits dari riwayat Abu Dzar, Abu Said, Zaid bin Arqam dan Hudzaifah bin Asid. Dan hadits ini dari sisi ini hasan gharib. Asy-Syaikh Al-Albani t menshahihkan hadits ini dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6143, dan Ash-Shahihah no. 1761.
Adapun Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam , keduanya membawakan hadits Rasulullah n yang semakna dengan hadits di atas dengan lafadz:
“Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi1. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku2 di haudl3. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Misykatul Mashabih no. 6144, dan Ash-Shahihah 4/356-357)
Al-‘Itrah dan Keutamaan Ahlul Bait
At-Taurabasyti dalam Al-Mirqaah (5/600) berkata: “’Itrah seseorang adalah ahlul baitnya dan kelompok/ golongannya yang paling dekat dengannya. Karena kata ‘itrah ini dipakai untuk banyak segi, Rasulullah n menjelaskannya dengan pernyataan beliau ‘ahlul baitku’, agar diketahui bahwa yang beliau maksudkan dengan kata tersebut adalah keturunan beliau, keluarga beliau yang paling dekat, dan istri-istri beliau.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196, Ash-Shahihah 4/360)
Dalam hadits yang mulia di atas, di samping Rasulullah n memerintahkan umatnya untuk berpegang teguh dengan Al-Qur’an dalam bentuk ilmu dan amal, beliau pun memerintahkan berpegang dengan ‘itrah beliau yakni Ahlu Bait beliau. Dalam Tuhfatul Ahwadzi, dibawakan ucapan Ibnu Malik bahwa yang dimaksud berpegang teguh dengan Al-Qur’an adalah mengamalkan apa yang ada di dalamnya yaitu melaksanakan perintah-perintah Allah dan berhenti (tidak mengerjakan) dari larangan-larangan-Nya. Sedangkan makna berpegang dengan ‘itrah Rasulullah n adalah mencintai mereka dan mengambil petunjuk/ bimbingan dengan petunjuk mereka dan perjalanan hidup mereka. As-Sayyid Jamaluddin menambahkan: “Selama hal itu tidak menyelisihi agama.” Al-Qari berkata: “Yang dimaksud berpegang dengan ahlul bait adalah berpegang teguh dengan kecintaan terhadap mereka, menjaga kehormatan mereka, mengamalkan riwayat mereka dan bersandar dengan perkataan mereka (selama tidak menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah, pent.). Dan hal ini bukan berarti meniadakan pengambilan As-Sunnah dari shahabat selain mereka.”
Ath-Thibi berkata: “Dalam ucapan Rasulullah n (()) ada isyarat bahwa keduanya (Al-Qur`an dan Al-’Itrah) seperti saudara kembar yang ditinggalkan Rasulullah n . Beliau mewasiatkan kepada umat beliau untuk membaikkan penjagaan dan perhatian kepada keduanya dan mengutamakan hak keduanya di atas hak diri mereka sendiri, sebagaimana wasiat seorang ayah yang dicintai oleh manusia tentang hak anak-anaknya.” (Tuhfatul Ahwadzi 1/196,197)
Dalam hadits dan keterangan di atas terdapat isyarat akan keutamaan dan hak Ahlu Bait Rasulullah n serta kewajiban umat ini terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang yang harus diperhatikan haknya, diutamakan dari selain mereka, dimuliakan dan dijadikan teladan sepanjang mereka meneladani qudwah dan uswah umat ini, Rasulullah n. Besarnya urusan dan perkara mereka, ahlul bait Rasulullah n, ditunjukkan dalam pesan-pesan Rasulullah n kepada umat beliau. Salah satunya yang senada dengan hadits yang telah disebutkan di atas, adalah riwayat Yazid bin Hayyan berikut ini.
Yazid bin Hayyan berkata: “Aku bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim pergi menemui shahabat Rasulullah n yang bernama Zaid bin Arqam z. Tatkala kami telah duduk bersamanya, Hushain berkata kepadanya: “Wahai Zaid, sungguh engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Engkau pernah melihat Rasulullah n. Engkau pernah mendengar hadits beliau. Engkau pernah berjihad bersama beliau dan pernah pula shalat di belakang beliau. Sungguh wahai Zaid, engkau telah menemui kebaikan yang banyak. Sampaikanlah hadits kepada kami, wahai Zaid, dari apa yang pernah engkau dengar dari Rasulullah n. Zaid menjawab: “Wahai anak saudaraku, demi Allah, sungguh usiaku telah senja dan telah lewat masaku hingga aku telah lupa sebagian yang dulunya pernah aku ingat (hapal) dari Rasulullah n . Maka apa yang nantinya aku sampaikan kepada kalian, terimalah. Sedangkan apa yang tidak kusampaikan maka janganlah kalian membebani aku untuk menyampaikannya. Kemudian Zaid berkata:
“
“Suatu hari Rasulullah berdiri di antara kami untuk menyampaikan khutbah, di (dekat) anak sungai bernama Khum, terletak di antara Makkah dan Madinah. Beliau n memuji dan menyanjung Allah, lalu memberikan nasehat dan peringatan. Kemudian beliau n bersabda: ‘Amma ba’du. Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah seorang manusia, hampir-hampir akan datang menemuiku utusan Rabbku (untuk mencabut ruhku), maka aku akan memenuhi panggilan tersebut.
Dan aku tinggalkan di antara kalian dua perkara yang agung. Yang pertama kitabullah, di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Maka ambillah oleh kalian kitabullah dan berpegang teguhlah dengannya.’ Beliau n lalu menganjurkan untuk berpegang dengan kitabullah, memberikan dorongan, anjuran dan kabar gembira (bila berpegang dengan kitabullah). Kemudian beliau bersabda lagi: “Ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.”
Hushain bertanya kepada Zaid: “Siapakah Ahlu Bait beliau, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau termasuk Ahlu Bait beliau?”
Zaid menjawab: “Istri-istri beliau memang termasuk Ahlu Bait beliau. Akan tetapi yang dimaksudkan dengan Ahlu Bait beliau adalah orang yang diharamkan memakan/ menerima harta sedekah (zakat) sepeninggal beliau.”
Hushain bertanya lagi: “Siapakah mereka itu?”
Zaid menjawab: “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja`far, dan keluarga Abbas.”
Hushain berkata: “Mereka semua itu diharamkan mengambil harta sedekah (zakat)?”
“Iya,” jawab Zaid. (HR. Muslim no. 2408 dalam Shahih-nya, kitab Fadha`ilush Shahabah, bab Min Fadhail Ali bin Abi Thalib )
Dalam riwayat lain di Shahih Muslim juga, ketika Zaid ditanya, apakah istri-istri beliau n termasuk Ahlu Bait beliau, Zaid menjawab: “Tidak”. Kemudian Zaid menyatakan: “Ahlu Bait beliau adalah keturunan beliau dan keluarga beliau (`ashabah) yang diharamkan memakan sedekah sepeninggal beliau.”
Al-Imam An-Nawawi t menempatkan kedua riwayat yang terlihat bertentangan ini dengan menyatakan: “Istri-istri Rasulullah n termasuk Ahlu Bait beliau yang tinggal bersama beliau, beliau menafkahi mereka dan memerintahkan untuk menghormati serta memuliakan mereka. Beliau mengistilahkan mereka dengan tsaqalan (perkara yang berat/besar/agung), menasehati dan mengingatkan untuk memperhatikan hak-hak mereka. Istri-istri beliau termasuk dalam semua perkara ini namun tidak termasuk yang diharamkan memakan zakat/ sedekah.” (Syarhu Shahih Muslim 15/180)
Asy-Syaikh Abdul Haq dalam Al-Lum‘aat berkata: “Ketahuilah telah datang keterangan yang menyebutkan bahwa makna ahlul bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima sedekah/ zakat, mereka adalah Bani Hasyim yang mencakup Alu (keluarga) Abbas, Alu Ali, Alu Ja‘far, Alu Aqil dan Alu Harits. Mereka semua ini diharamkan menerima sedekah/ zakat. Ahlul bait juga datang dengan makna keluarga Rasulullah n yang mencakup istri-istri beliau yang disucikan. Mengeluarkan istri-istri beliau n dari ahlul bait yang disebutkan dalam firman Allah I:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
padahal sasaran pembicaraan dalam ayat ditujukan kepada mereka, demikian yang tampak pada ayat sebelum dan sesudahnya, berarti mengeluarkan kalam (ucapan) dari konteksnya dan susunannya.” (Tuhfatul Ahwadzi 10/195)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini termasuk yang dijadikan hujjah oleh orang-orang Syi’ah dan mereka banyak menekuninya sehingga sebagian Ahlus Sunnah menyangka dengan keliru bahwa mereka ditimpa musibah dengan perkara ini. Padahal mereka semuanya salah sangka. Keterangannya dari dua sisi berikuti ini:
Pertama: “Yang dimaukan dalam hadits dengan sabda Nabi “’itrati”, mayoritasnya mendukung apa yang dimaukan oleh Syi`ah dan tidak ditolak oleh Ahlus Sunnah, bahkan mereka berpegang teguh dengannya, yaitu Al-’Itrah dalam hadits ini adalah Ahlu Bait Rasulullah n. Keterangan ini datang secara jelas pada sebagian jalan hadits ini seperti hadits dalam tarjumah (judul bab/ pembahasan): “’Itrati ahlu baiti”. Ahlu Bait beliau pada asalnya adalah istri-istri beliau, di antara mereka ada Ash-Shiddiqah Aisyah , sebagaimana hal ini disebutkan secara jelas dalam firman Allah I dalam surah Al-Ahzab:
dengan dalil ayat yang sebelumnya dan setelahnya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidaklah sama seperti wanita yang lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian merendahkan suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Dan tinggallah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang dahulu. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Al-Ahzab: 32-34)
Pengkhususan Syi‘ah terhadap ahlul bait dalam ayat hanya sebatas pada Ali, Fathimah, Al-Hasan, dan Al-Husain tanpa menyertakan istri-istri Nabi n merupakan tahrif (penyimpangan/ pembelokan) mereka terhadap ayat-ayat Allah dalam rangka membantu hawa nafsu mereka sebagaimana hal ini dijelaskan nantinya. Adapun hadits Al-Kisa`4 (hadits tentang mereka yang ditutupi oleh Rasulullah n dengan selimut, pent.) dan yang semakna dengannya5, tujuan yang ada di dalamnya adalah perluasan penunjukkan ayat6 dan untuk menunjukkan Ali dan keluarganya juga masuk ke dalam ayat tersebut, sebagaimana hal ini diterangkan Al-Hafizh Ibnu Katsir dan selainnya. Demikian pula hadits Al-‘Itrah, Nabi n telah menerangkan bahwa yang dimaksud ahlul bait beliau n dengan makna yang sempurna mencakup istri-istri beliau, Ali dan keluarganya”. Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani t membawakan ucapan At-Taurabasyti tentang Al-‘Itrah.
Setelahnya Syaikh menyebutkan sisi kedua dari maksud ahlul bait, bahwasanya yang tercakup di dalamnya hanyalah ulama yang shalih dari kalangan mereka, yang berpegang dengan Al Kitab dan As-Sunnah. Kata Asy-Syaikh Al-Albani: “Al-Imam Abu Ja`far Ath-Thahawi t berkata: “Al-’Itrah adalah Ahlul Bait Rasulullah n yang mereka itu di atas agamanya dan berpegang teguh dengan perintahnya”. Asy-Syaikh Ali Al-Qari juga menyebutkan yang semisal ini. Kemudian dari ucapan Al-Qari berikut ini menjadi jelas mengapa ahlul bait disebutkan secara khusus (bergandengan dengan Al Qur`an, pent.): “Secara umum ahlul bait lebih tahu tentang pemilik rumah dan keadaan-keadaannya. Maka yang dimaksud dengan ahlul bait di sini adalah ahlu ilmi dari kalangan mereka, yang menelaah sirah beliau, yang berdiri di atas jalan beliau, yang mengetahui hukum dan hikmahnya. Dengan penjelasan seperti ini ahlul bait pantas berdampingan dengan kitabullah sebagaimana Allah I berfirman:
“Dia mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.”
Aku (Asy-Syaikh Al-Albani) katakan: Dan yang semisal ayat di atas adalah firman Allah yang ditujukan kepada istri-istri Nabi dalam ayat ath-tath-hir yang telah lewat:
“Ingatlah apa yang dibacakan di rumah-rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan Al-Hikmah.”
Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa yang dimaksudkan dengan ahlul bait adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah Rasulullah n dari kalangan mereka. Inilah yang menjadi maksud dalam hadits, karena itulah ia dijadikan salah satu dari ats-tsaqalain dalam hadits Zaid bin Arqam yang berhadapan/ berdampingan dengan ats-tsaqal yang pertama yaitu Al Qur`an, demikian yang diisyaratkan oleh Ibnul Atsir dalam An-Nihayah: “Keduanya dinamakan tsaqalain, karena orang yang mengambil keduanya (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah) dan mengamalkannya itu berat. Dan semua perkara yang mulia, tinggi lagi bernilai diistilahkan tsaqal. Keduanya dinamakan tsaqalain dalam rangka mengagungkan kadar keduanya dan membesarkan urusan keduanya.”
Aku katakan: Kesimpulan, disebutkannya ahlul bait berdampingan dengan Al-Qur`an dalam hadits ini seperti disebutkannya sunnah Al-Khulafa` Ar Rasyidun berdampingan dengan sunnah Rasulullah n dalam sabda beliau n:
“Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al Khulafa` Ar Rasyidin….” (Ash-Shahihah, 4/359-361)
Sikap Ahlus Sunnah terhadap Ahlul Bait
Ahlus Sunnah mencintai Ahlu Bait Rasulullah , berloyalitas kepada mereka dan menjaga wasiat Rasulullah n dalam perkara mereka, di mana beliau n bersabda: “Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku. Aku mengingatkan kalian kepada Allah dalam perkara ahlu baitku.”
Ahlus Sunnah berloyalitas kepada Al-Hasan, Al-Husain, dan orang-orang yang masyhur dari kalangan cucu-cucu Rasulullah n seperti Al-Hasan bin Al-Hasan, Abdullah bin Al-Hasan, Ali bin Al-Husain Zainul Abidin, Muhammad bin Ali bin Al-Husain yang digelari Al-Baqir, Ja‘far bin Muhammad Ash-Shadiq, Musa bin Ja‘far, dan Ali bin Musa Ar-Ridla. Demikian pula sikap Ahlus Sunnah terhadap seluruh anak turunan Ali dari tulang sulbinya seperti Al-Abbas, Umar, Muhammad bin Al-Hanafiyyah dan seluruh yang berjalan di atas jalan yang dilalui oleh bapak-bapak mereka yang bersih, namun mereka yang condong kepada pemahaman Mu‘tazilah ataupun Rafidlah tidaklah termasuk di dalamnya. (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi‘ah, 1/106)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Ahlu Bait Rasulullah n memiliki hak-hak yang wajib untuk dijaga/ diperhatikan, karena Allah I menjadikan hak untuk mereka dalam mendapatkan bagian dari harta khumus dan fai’ (pampasan perang). Allah perintahkan untuk memberikan shalawat kepada mereka sebagaimana bershalawat untuk Rasulullah n. Rasulullah n mengajari kita untuk mengatakan:
“Ya Allah, berikanlah shalawat kepada Rasulullah n dan kepada keluarga beliau sebagaimana Engkau memberikan shalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Berikanlah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberikan keberkahan kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.” (Majmu`ah Ar-Rasail Al-Kubra 1/297-298)
Stempel Ma’shum7 yang Diberikan Syi‘ah Rafidhah kepada Ahlul Bait dan Para Imam dari Kalangan Ahlul Bait8
Kita telah memaklumi keutamaan Ahlu Bait Rasulullah n dan bagaimana perhatian Rasulullah terhadap mereka. Namun atas nama cinta kepada Ahlu Bait Rasulullah n, kelompok yang menyempal dari Ash-Shirathal Mustaqim yang bernama Syi‘ah Rafidhah telah berbuat ghuluw/ melampaui batas terhadap mereka, antara lain dengan stempel ma’shum, suci dari dosa dan kesalahan, yang mereka berikan kepada ahlul bait. Mereka menyeret ayat Allah I dalam surah Al-Ahzab ayat 33:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” untuk mendukung selera hawa nafsu mereka yang kotor, seperti dinyatakan oleh seorang Syi‘i (pengikut Syi‘ah) dalam mukaddimah bukunya “Keluarga Suci Nabi n, Tafsir Surat Al-Ahzab ayat 33”: ayat ini dalam pandangan para pengikut setia Ahlulbait memiliki posisi yang khas dan cukup istimewa, dikarenakan merupakan dalil yang menerangkan kema’shuman ahlulbait.” (hal. 9)
Orang ini juga berkata setelah menerangkan makna (rijs/ kejelekan, kekejian, dosa) dalam ayat di atas: “Semua bentuk rijs dan kekotoran telah dihilangkan dari mereka (ahlul bait), baik sebelum mereka baligh apalagi setelah baligh, dalam hal penyampaian hukum Illahi maupun hal-hal lain, dalam keadaan sengaja maupun lalai dan lupa. Sebab semuanya adalah rijs, dan Allah telah menghilangkannya dari ahlul bait”. Ia melanjutkan bualannya mengikuti para pendahulunya: “Penafian (peniadaan) rijs yang diikuti dengan penetapan kesucian berkonsekuensi keterjagaan total, yang disebut dengan istilah: ‘ishmah (kema’shuman).
Jadi ahlulbait adalah pribadi-pribadi agung yang ma’shum”. (hal. 43). Sekali lagi dengan membebek para pendahulunya, orang ini membatasi ahlul bait yang disebutkan dalam ayat di atas hanya untuk lima pribadi yang disebutkan dalam hadits kisa` yaitu Rasulullah n, Ali bin Abi Thalib, Fathimah bintu Rasulullah, Al-Hasan dan Al-Husain g dan menolak dimasukkannya istri-istri Rasulullah n dalam golongan ahlul bait dengan membawakan argumennya yang mandul. (hal. 62-123).
Lalu dengan kebodohan dan kedzalimannya, ia mencerca para ulama seperti Ikrimah dan Urwah bin Az-Zubair karena memasukkan istri-istri Rasulullah n ke dalam ahlul bait (hal. 117-122). Dengan kalapnya, ia pun menjelekkan, mencerca, dan mencaci Ummul Mukminin ‘Aisyah x karena pernyataan Al-Hafizh Ibnu Katsir bahwa ‘Aisyah paling layak dengan kenikmatan yang tersebut dalam ayat dan paling banyak mendapatkan anugerah, setelah sebelumnya ia mem”bodoh”kan Al-Hafizh Ibnu Katsir9 (hal. 124-125). Walhasil, penulis buku “Keluarga Suci Nabi n” bukanlah orang Syi‘ah pertama yang mendendangkan kema’shuman ahlul bait. Orang-orang Syi‘ah sebelum dia dan lebih mumpuni kesyi‘ahannya telah mendahuluinya.
Di sisi orang-orang Syi‘ah, stempel kema’shuman ini mereka berikan tidak sebatas pada ahlul kisa` (mereka yang ditutupi oleh Rasulullah n dengan kisa`/ selimut) namun juga mencakup keturunan mereka yang diangkat oleh orang-orang Syi‘ah sebagai imam (tokoh pemimpin mereka). Kema’shuman ini bagi orang-orang Syi‘ah merupakan kaidah pokok dalam masalah imamah (kepemimpinan). Mereka sepakat bahwa para imam mereka terjaga dari dosa-dosa kecil maupun besar sehingga mereka tidak pernah berbuat dosa sama sekali, baik secara sengaja ataupun lupa dan mereka tidak pernah salah dalam takwil.
Bila Ahlus Sunnah berpandangan bahwa umat ini ma’shum dengan berpegang kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya , maka Syi‘ah berpandangan umat ini ma’shum dari kesesatan dengan imam mereka karena imam itu seperti Nabi dan imamah itu merupakan pelanjut nubuwwah. Mereka menolak Al Qur`an, As-Sunnah dan Ijma (kesepakatan kaum muslimin) sebagai penjaga umat dari kesesatan tapi imam merekalah penjaga umat dari kesesatan. Pandangan mereka ini jelas menyelisihi hikmah Allah yang menjadikan Rasulullah n sebagai penutup para nabi dan rasul . (Masailut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi‘ah, 1/323)
Kandungan Hadits Kisa` Tidak Menunjukkan Kema’shuman Ahlul Bait
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata tentang kandungan hadits kisa`: “Nabi n mendoakan agar Allah menghilangkan dosa/ kejelekan mereka dan mensucikan mereka dengan sesuci-sucinya. Tujuannya adalah mendoakan kebaikan bagi mereka agar mereka menjadi orang-orang yang bertakwa yang dihilangkan dosa/ kejelekan mereka oleh Allah dan disucikan. Menjauhi dosa/ kejelekan ini wajib bagi setiap mukmin dan thaharah (mensucikan/ membersihkan diri) diperintahkan kepada seluruh mukmin. Allah I berfirman:
“Allah tidak hendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak mensucikan/ membersihkan diri kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya bagi kalian agar kalian mau bersyukur.” (Al-Maidah: 6)
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu akan membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah: 222)
Puncak dari perkara ini adalah doa bagi mereka untuk mengerjakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang.
Perkara pensucian dari dosa ini bukanlah khusus bagi ahlul kisa` karena dalam nash-nash lain kita dapatkan para shahabat selain mereka juga mendapatkan keistimewaan tersebut. Seperti Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dia adalah orang yang Allah puji dalam firman-Nya:
“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang memberikan hartanya (di jalan Allah) guna mensucikan dirinya, padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi ia memberikan harta itu semata-mata karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha Tinggi. Dan kelak ia benar-benar akan ridha.” (Al-Lail: 17-21)
Demikian juga keberadaan As-Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan –semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha pada-Nya–, Allah nyatakan janji-Nya untuk mereka:
“Allah telah menyediakan untuk mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam keadaan mereka kekal selama-lamanya di dalamnya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Mereka yang mendapat janji surga ini mesti telah melakukan perkara yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang karena yang namanya keridhaan dan balasan itu hanyalah diperoleh dengan cara demikian. Sehingga dengan begitu jadilah hilangnya kejelekan dan sucinya mereka dari dosa merupakan sebagian sifat mereka. Maka apa yang didoakan Nabi untuk ahlul kisa` merupakan sebagian dari apa yang Allah sifatkan untuk As Sabiqunal Awwalun.
Dan kita dapatkan di antara para shahabat selain ahlul kisa` ada yang didoakan Nabi agar Allah memberikan shalawat untuk mereka dan beliau pernah mendoakan untuk kaum yang banyak agar dimasukkan ke dalam surga, mendapatkan pengampunan dan selainnya dari doa-doa yang lebih besar/agung, namun bukan merupakan kemestian bahwa orang yang didoakan tersebut lebih afdhal daripada As-Sabiqunal Awwalun.
Akan tetapi karena ahlul kisa` ini telah diwajibkan Allah untuk menjauhi kejelekan dan melakukan amalan yang dapat membersihkan/ mensucikan diri mereka (karena mereka adalah kerabat dekat dari Nabi n, pent.), maka Nabi n mendoakan mereka untuk dapat membantu mereka mengerjakan apa yang diperintahkan, sehingga mereka tidak menjadi orang-orang yang pantas mendapatkan cercaan/ celaan dan hukuman, sebaliknya agar mereka dapat beroleh pujian dan pahala.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 5/10)
Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah t tentang hadits kisa` di atas tampak sekali tidak adanya perkara yang menunjukkan kema’shuman ahlul bait Rasulullah n khususnya ahlul kisa` sebagaimana dakwaan Rafidhah. Yang haq dalam hal ini adalah apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwasanya tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah n dan seluruh para Nabi dan Rasul sebelum beliau.
Tentang kema’shuman para Nabi dan Rasul ini, Ibnu Taimiyyah t berkata: “Ahlus Sunnah sepakat bahwasanya para nabi itu ma’shum dalam apa yang mereka sampaikan dari Allah I. Ini adalah maksud dari risalah karena seorang rasul dialah yang menjadi penyampai perintah, larangan dan berita dari Allah I. Dan dalam penyampaian risalah tersebut mereka ma’shum dengan kesepakatan kaum muslimin, di mana dalam perkara ini tidak boleh adanya satu kesalahan pun.
Ibnu Taimiyah juga menyatakan: “Mayoritas jumhur yang menganggap mungkin adanya dosa-dosa kecil pada para nabi dan rasul menyatakan bahwa mereka ma’shum dari menetapi dosa-dosa tersebut (terus berada dalam dosa) sehingga tidaklah muncul dari mereka perkara yang memudharatkan mereka. Sebagaimana datang keterangan dalam sebuah atsar: “Adalah Nabi Dawud setelah taubatnya beliau lebih baik daripada sebelum melakukan kesalahan.” Allah berfirman:
“Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai orang-orang yang mensucikan/ membersihkan dirinya.” (Al-Baqarah: 222)
Adapun lupa dalam shalat maka hal itu terjadi pada mereka dan terjadinya kelupaan ini ada hikmah yang bisa diambil oleh kaum muslimin (yakni kaum muslimin dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan bila mereka lupa dalam shalat dengan mencontoh apa yang diperbuat oleh Rasulullah n, pent.) (Minhajus Sunnah 1/267)
Di sisi lain, dalam masalah ‘ishmah ini, Ahlus Sunnah memandang bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan. Dan umat seluruhnya ini secara umum dengan Al-Qur`an dan sunnah Nabi I ma’shum (terjaga) dari kesesatan. Hal ini jelas menyelisihi pendapat orang yang menetapkan kema’shuman untuk orang per orang dari kalangan muslimin sementara keseluruhan kaum muslimin mesti salah tidak ma’shum. Umat ini terjaga dari ditimpa kesesatan secara merata dan menyeluruh sebagaimana keterangan yang ada dalam nash-nash syar‘iyyah.
Rasulullah n sendiri mengabarkan dalam sabdanya (yang artinya):
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang zhahir di atas al-haq sampai datang kepada mereka perkara Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim) (Masa`ilut Taqrib Baina Ahlis Sunnah wasy Syi`ah, 1/110)
Wallahu a’lam.
1 Al-Qur’an adalah tali yang membentang dari langit ke bumi yang akan menyampaikan hamba kepada Rabbnya dan menjadi wasilah/ perantara bagi si hamba untuk dekat kepada Rabbnya (Tuhfatul Ahwazi 1/197)
2 Maka kelak di sisiku, keduanya mensyukuri apa yang kalian lakukan (Tuhfatul Ahwadzi 1/197)
3 Telaga dari Al-Kautsar milik Rasulullah n di akhirat
4 Hadits kisa` adalah hadits shahih diirwayatkan Al-Imam Ahmad dan At-Tirmidzi dari hadits Ummu Salamah x dan diriwayatkan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 2424, kitab Fadha`ilus Shahabah, bab Fadha`il Ahli Baitin Nabi n) dari hadits Aisyah x, ia berkata:
“Pada suatu pagi, Rasulullah n keluar dengan mengenakan selimut dari kain tebal berwarna hitam yang berlukis pelana unta. Maka datanglah Al-Hasan bin Ali, beliau pun memasukkannya ke dalam selimut. Datang pula Al-Husain, beliau juga memasukkannya bersama Al-Hasan. Kemudian datang Fathimah, beliau masukkan pula ke dalam selimut tersebut. Demikian pula ketika Ali datang, beliau lakukan yang sama. Kemudian beliau membaca ayat yang maknanya:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
5 Tidaklah Rasulullah n memaksudkan untuk membatasi ahlul bait hanya mereka yang beliau tutupi dengan kisa` sementara istri-istri beliau dikeluarkan dari Ahlul Bait
6 Yaitu surah Al-Ahzab:
Bila kita lihat ayat sebelum dan sesudahnya maka kita dapati bahwa yang menjadi khithab (yang diajak bicara) dalam ayat adalah istri-istri Rasulullah n, sehingga yang dimaksud ahlul bait di sini adalah istri-istri beliau. Adapun hadits kisa` untuk memperluas cakupan ayat di atas, sehingga mereka yang ditutupi dengan kisa` juga termasuk ahlul bait yang ingin dibersihkan Allah dari kejelekan dan disucikan dari dosa.
7 Terjaga dari kesalahan dan dosa
8 Rafidhah menetapkan adanya 12 imam sepeninggal Rasulullah n dari kalangan Ahlul Bait, yaitu:
Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan dan Al-Husain bin Ali, Ali bin Al-Husain, Muhammad Al-Baqir, Ja‘far Ash-Shadiq, Musa Al-
Kazhim, Ali Ar-Ridha, Muhammad Al-Jawwad, Ali Al-Hadi, Al-Hasan Al-‘Askari dan Al-Mahdi Al-Muntazhar
9 Padahal siapa dia dan siapa Ibnu Katsir, sampai sejauh mana ilmu dia dengan ilmu Ibnu Katsir?
sumber http://asysyariah.com/apakah-ahlul-bait-mashum.html