Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib
Banyak penggal kisah Isra’ Mi’raj yang telah terdistorsi. Sebagian ada yang menolak karena sulit dicerna oleh logika manusia. Sebagian lain justru membumbuinya dengan deskripsi dan tafsir yang tidak ada sumbernya sama sekali dari Al Qur’an dan As Sunnah. Bagaimana kisah sesungguhnya dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj? Simak bahasan berikut! Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلىَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَا الَّذِيْ بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آياَتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ “
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Isra: 1)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 453) menerangkan bahwa dalam ayat ini, Allah ta’ala mensucikan dan mengagungkan diri-Nya Yang Maha Suci, karena Dia memiliki aktivitas dan kenikmatan yang demikian besar dan mulia. Di antara aktivitas dan kenikmatan itu, Dia memperjalankan hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari Masjidil Haram di Makkah (Saudi Arabia), yang merupakan masjid (baca: tempat ibadah) paling mulia, menuju ke Masjidil Aqsha di Palestina yang juga sarat dengan berbagai keutamaan dan kemuliaan, di antaranya sebagai tempat para Nabi ‘alaihimussalam.
Beliau diperjalankan dalam satu malam menempuh jarak yang demikian jauhnya. Dan kembali pada malam itu juga. Dalam rihlah (perjalanan) ‘super cepat’ itu, Allah ta’ala memperlihatkan kepada kekasih-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya. Sehingga menambah petunjuk, bashirah, keteguhan, dan furqan pada diri beliau. Semua itu merupakan salah satu bentuk perhatian dan menunjukkan betapa lemah lembutnya Allah ta’ala terhadap kekasih-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Allah ta’ala memberikan kemudahan kepadanya dalam setiap urusannya. Mencurahkan berbagai nikmat kepadanya sehingga melebihi orang-orang yang terdahulu maupun yang belakangan.
Lahiriahnya, ayat ini menyatakan beliau di isra`kan dari Masjidil Haram itu sendiri. Namun hadits-hadits yang shahih menyebutkan bahwa beliau diberangkatkan dari rumah Ummu Hani` radhiyallahu ‘anha. Berarti dengan demikian, keutamaan Masjidil Haram itu meliputi pula seluruh wilayah Al-Haram (Mekkah), sehingga pahala ibadah yang dilakukan di wilayah ini sama seperti di Masjid itu sendiri. Wallahu a’lam.
Adapun perjalanan malam itu, terjadi pada pribadi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, dengan ruh dan jasadnya, dalam keadaan terjaga dan bukan mimpi. Sehingga hal ini menjadi tanda kebesaran Allah, serta mu’jizat bagi diri beliau serta menaikkan kedudukan beliau. Hal ini sebagaimana ditunjukkan ayat ini. Di dalam ayat ini, juga ayat tentang turunnya Al Qur’an (Al-Furqan: 1), dan ayat tantangan yang Allah ta’ala lontarkan ke hadapan orang-orang kafir (Al-Baqarah: 23), juga ditegaskan bahwa beliau hanyalah seorang hamba. Kedudukan yang justru sangat mulia ini beliau dapatkan karena Allah ta’ala telah menyempurnakannya untuk mengabdikan diri kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sendiri dalam sebuah riwayat menyatakan:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ, فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ “
Janganlah kamu memujiku dengan berlebihan sebagaimana orang-orang Nashara memuji ‘Isa bin Maryam. Dan sesungguhnya aku ini seorang hamba, maka katakanlah: ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah menerangkan (Al-Fath, 1/460) bahwa hadits Isra` Mi’raj ini diriwayatkan dari beberapa orang shahabat, namun diisyaratkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, semua periwayatan itu bersumber dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dengan beberapa perbedaan di antara rawi-rawi yang mengambil hadits ini dari beliau. Misalnya, Az-Zuhri (Ibnu Syihab) meriwayatkan dari beliau dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Qatadah dari Anas dari Malik bin Sha’sha’ah radhiallahu ‘anhu, Syarik bin Abi Namr, dan Tsabit Al-Bunani meriwayatkan dari Anas langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tanpa perantara.Bahkan masing-masing jalan periwayatan itu memuat redaksi hadits yang tidak ada pada jalan yang lain. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan:
“Suatu kali Abu Dzar radhiallahu ‘anhu menyampaikan sebuah hadits bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam berkata:
‘Suatu ketika atap tempat tinggalku di Makkah terbuka lalu turunlah Jibril. Dia membelah dadaku dan mencucinya dengan air zamzam. Kemudian dia membawa sebuah mangkok besar dari emas, penuh dengan hikmah dan iman lalu menumpahkannya ke dalam dadaku. Setelah itu dia menutupnya kembali. Lalu dibawakan ke hadapanku seekor Buraq –lebih besar dari keledai tapi lebih kecil dari bighal (DIJELASKAN)-,
dia meletakkan kakinya sejauh mata memandang. Aku pun menungganginya hingga tiba di Baitul Maqdis. Kemudian aku tambatkan di tempat para Nabi menambatkan kendaraan mereka. Aku memasuki Masjid dan shalat dua raka’at. Setelah selesai aku keluar, tiba-tiba Jibril datang membawa semangkok susu dan semangkok khamr. Aku memilih susu. Kata Jibril:”Engkau telah memilih fitrah.”
Kemudian dia menarik tanganku dan membawaku naik ke langit dunia. Ketika sampai di langit dunia, Jibril berkata kepada penjaganya, “Bukalah!” Penjaga itu berkata, “Siapa ini?” “Jibril.”
Penjaga itu bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?”
Jibril menjawab, “Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Penjaga itu bertanya lagi, “Apakah dia sudah diutus?” Kata Jibril, “Ya.” Setelah pintu itu dibuka, kami naik ke langit dunia.
Dan tiba-tiba di sana ada seseorang yang sedang duduk, di sebelah kanan dan kirinya ada sosok bayangan hitam-hitam. Jika menoleh ke kanan dia tertawa, tapi kalau menengok ke kiri dia menangis. Kemudian dia berkata: “Selamat datang Nabi yang shalih, dan putera yang shalih.” Saya bertanya kepada Jibril, “Siapa dia?”
Kata Jibril, “Dia Adam ‘alaihissalam. Adapun yang di sebelah kanan dan kirinya itu adalah ruh anak-anak cucunya. Yang di sebelah kanan adalah ahlul jannah (penduduk surga), sedangkan yang di sebelah kiri adalah penduduk neraka. Kalau dia melihat ke kanan dia tertawa, dan bila melihat ke kiri dia menangis.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam naik melewati langit demi langit, bertemu dengan sebagian para Nabi ‘alaihimussalam. Di langit ke-2, beliau bertemu dengan Nabi Yahya dan ‘Isa, di langit ke-3 dengan Nabi Yusuf, di langit ke-4 dengan Nabi Idris, ke-5 dengan Nabi Harun, dan ke-6 dengan Nabi Musa ‘alaihimussalam. Di langit ke-7, Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bertemu dengan Nabi Ibrahim yang bersandar di Baitul Ma’mur, di mana setiap harinya sekitar 70.000 malaikat memasukinya.Bila mereka keluar darinya, maka tidak akan masuk lagi selamanya.
Setelah itu beliau dibawa ke Sidratul Muntaha yang tak satupun makhluk Allah dapat menerangkan keindahannya. Sesampainya di Sidratul Muntaha, Allah mewahyukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam apa yang Dia kehendaki. Kemudian menetapkan kewajiban shalat 50 kali sehari semalam. Setelah menerima perintah ini, beliau kembali turun. Di langit ke-6, beliau bertemu dengan Nabi Musa ‘alaihissalam dan bertanya: “Apa yang Allah perintahkan terhadap umatmu?” Beliau mengatakan: “50 kali shalat.”
Nabi Musa menyarankan: “Kembalilah, mintalah keringanan! Karena umatmu tidak akan sanggup. Aku sudah pernah menguji Bani Israil.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kembali menghadap Allah dan meminta keringanan sampai beberapa kali. Kemudian Allah menyatakan: “Wahai Muhammad. Itulah lima shalat fardhu sehari semalam, masing-masing shalat pahalanya 10 kali lipat, maka sama dengan 50 kali shalat. Siapa yang berniat mengerjakan kebaikan namun tidak mengerjakannya, ditulis untuknya satu kebaikan. Bila dia kerjakan, ditulis untuknya sepuluh kebaikan.Sebaliknya, siapa yang berniat mengerjakan kejelekan dan tidak dikerjakannya, maka tidak dicatat. Bila dia kerjakan, maka ditulis satu kejelekan.”
Demikian sekelumit kisah ini. Selengkapnya tentu dapat dirujuk dalam kitab-kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan memang ada beberapa pebedaan satu dengan lainnya dari beberapa riwayat itu, ada yang menambah dan ada yang kurang dan sebagainya. Ibnu Hajar menyebutkan (Fathul Bari, 1/460) bahwa beliau diberangkatkan (Isra`) dalam keadaan terjaga sebagaimana ditunjukkan oleh lahiriah ayat Al Qur’an ini. Apalagi orang-orang Quraisy mendustakan beliau ketika pada pagi harinya beliau menyampaikan berita tersebut. Seandainya memang hal itu terjadi dalam mimpi, tentu mereka tidak akan menganggap aneh yang demikian.
Ibnu Hajar menyebutkan pula hikmah diwajibkannya shalat lima waktu pada malam Isra` Mi’raj ini, kata beliau: “Ketika itu beliau disucikan lahir batin dengan air zamzam dan dipenuhi dengan keimanan dan hikmah. Demikian juga dengan urusan shalat, hendaknya didahului dengan bersuci. Maka, sangat sesuai ditetapkannya kewajiban shalat ketika itu. Di samping itu, juga untuk menampakkan kedudukan beliau yang mulia di hadapan para penduduk langit dari kalangan Malaikat dan para Nabi.” Hadits Isra` Mi’raj ini juga menunjukkan bahwa shalat diwajibkan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam masih berada di Makkah. Dalam hadits Isra` Mi’raj ini terkandung pula dalil yang menunjukkan bahwa Allah ta’ala mempunyai sifat Maha Tinggi di atas sekalian makhluk-Nya. Wallahu a’lam.