Pertanyaan 8-10: Bagaimana cara mengatasi pemuda yang dibingungkan dan tak berdaya, berkenaan dengan para Ulama yang berbeda, dan bagaimana cara berhadapan dengan Ahlul Bid’ah, disaat mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan
Pertanyaan 8: Apa yang merupakan cara yang paling memberikan contoh dalam berhadapan dengan pemuda yang telah dibuat bingung, ditipu oleh Ahlul Bid’ah, demi untuk mengarahkan mereka kepada jalan yang selamat ?
Syaikh Muhammad bin Hadi: Cara yang paling tepat dalam memberikan contoh adalah bahwa mereka diajak rujuk kepada Ahlul Ilmi tentang siapa-siapa orang-orang (mubtadi’) yang mereka (pemuda, red) sudah dibuat bingung, ditipu, (sementara) para Ahlul Ilmi sudah berbicara mengenai dia (Ahlul Bid’ah). Bagaimana?!! Sebagai contoh, ketika Ulama fulan membicarakan Zaid di antara orang-orang, dan kemudian mereka dikacaukan, ditipu mengenai dia (yaitu mengenai orang yang telah terlebih dahulu berbicara dan bertentangan), kemudian dikatakan, “Tanyalah fulan, sebab ia telah membicarakannya, dan ia adalah di antara orang-orang yang paling mengetahui tentangnya”. Maka ia merujuk kembali kepadanya (Ulama itu). Sebab bagi orang-orang yang demikian itu, Allaah – dengan Kemurahan dan KasihNya – membongkar talbis (pengkaburan) yang dibuat terhadap orang-orang tersebut (Ulama’).
Pertanyaan 9: Mengenai adanya da’i, dimana para Ulama sudah berbeda menyikapinya, dengan tautsiq mereka dan tajrih, atau ta’dil dan tajrih, apa wajib atas orang-orang yang umum di kalangan Salafiyyin memperhatikan mereka (yaitu. perbedaan yang ada pada mereka)?
Syaikh Muhammad bin Hadi: Adalah wajib atas orang-orang yang umum di antara Salafiyyin untuk melihat perkataan seseorang disertai pendalilan dan kesaksian mengenai seseorang yang para Ulama sudah berbeda bersikap, dalam jarh dan ta’dil. Seperti halnya situasi mengenai mereka yang para Ulama berbeda baik dalam Jarh (mencela) atau Ta’dil (memuji) di masa periwayatan (hadits-hadits). Karena kita temukan bahwa Abu Haatim, Ahmad, Al-Bukhaari, Abu Dawud, An-Nasaa’I dan yang selevel dengan mereka, semoga Allaah merahmati mereka, berbeda pendapat terhadap seorang periwayat, dan yang lain menentang mereka. Maka seseorang datang dan ia memuji salah satu dari mereka, dan yang lain datang dan meremehkan. Maka Ahmad, Abu Haatim, dan al-Bukhaari memuji, dan Abu Daawud mengabaikan, dan an-Nasaa’i mengabaikan, dan Abu Zur’ah mengabaikan, dan seperti ini… Maka kemudian kita memperhatikan pernyataan mereka dan kita tergantung pada pendalilan, maka siapapun membawa dalil, kemudian ia diberi hak yang lebih tinggi. Ketika orang yang membuat peremehan (jarh), menyampaikan jarhnya secara lengkap, maka kasus jarh tadi diberi hak kedudukan yang lebih tinggi, sebab seseorang yang mengabaikan (jarh), mempunyai pengetahuan lebih tentangnya, dan kemudian perkataannya dijadikan tempat bergantung. Dan ta’dil di hadapan jarh mufassar tidaklah diterima, sekalipun itu adalah dari seorang yang besar/mulia. Ini adalah apa yang wajib, adalah wajib bahwa ia lihat di sisi pendalilan tiap kelompok, dan siapapun membawa dalil, kemudian ia telah menempuh alur (kepada tujuan yang benar), dan adalah wajib untuk berittiba’ (mengikuti) dia.
Pertanyaan: Tetapi syaikh, orang yang umum (awam, red) tidak mengetahui dalil (hujjah)!!!
Syaikh Muhammad bin Hadi: pembicaraan mengenai orang tersebut (yang sedang dibicarakan) adalah untuk satu yang mempunyai kemampuan! Perihal orang-orang yang umum (awam, red) yang tidak mempunyai pengetahuan apapun, kemudian tidak ada apapun untuk mereka kecuali taqlid pada para Ulama, dan berittiba’ kepada para Ulama mengenai hal ini.
Pertanyaan: Para Ulama dapat kadang-kadang berbeda dalam at-ta’dil dan at-tajrih…
Syaikh Muhammad bin Hadi: [menyela]… orang-orang yang umum berittiba’ kepada mereka, mereka mengikuti para Ulama tersebut.
Pertanyaan: Para Ulama berbeda mengenai ta’dil seseorang, dan tajrih terhadapnya!
Syaikh Muhammad bin Hadi: Siapa yang akan menunjuki orang-orang yang umum? Itu adalah kalian, para thalabul Ilmi, kalian perhatikan pada siapa orang yang berdalil, dan kemudian kalian arahkan orang-orang, anda katakan “yang benar, perkataan benar adalah perkataan begini dan begitu, bukti yang ada padanya”, ya, orang-orang yang umum tidaklah ditinggalkan untuk disia-siakan!
Pertanyaan 10: Ketika Ahlul Bid’ah mempunyai kekuatan di daratan/wilayah, dan mereka mempunyai kekuasaan, kemampuan untuk melawan dakwah, apakah mereka diboikot?!!!
Syaikh Muhammad bin Hadi: Tidak… Tidak… hati-hati, hati-hati, waspada terhadap mereka, ya, Berhati-hati adalah sikap yang diambil terhadap Ahlul Ahwa dan bid’ah ketika Ahlus Sunnah lemah. Untuk itu adalah wajib atas Ahlus Sunnah untuk berhati-hati, waspada tentang Ahlul Bid’ah dan bahwa Ahlu Bid’ah adalah murka terhadap mereka (ahlussunnah). Karena apabila mengambil jalan ini (memboikot) menimbulkan pemberantasan garis keturunan (yaitu. kelanjutan) Ahlus Sunnah, maka tidaklah diperbolehkan bagi mereka untuk mengambil cara ini. Wajib atas ahlussunnah berhati-hati, waspada terhadap ahli bid’ah yang murka, waspada, dan bagi mereka untuk bertahan, semaksimal yang mereka bisa, karena mereka adalah lemah.
Bersambung ke Manhaj “Sana-Sini” dalam sorotan Ulama’ (IV)
(Sumber URL http://www.salafitalk.net/st/viewmessages.cfm?Forum=9&Topic=2970. Alih bahasa ke Inggris oleh Abu Iyaad, da’i Salafy dari Inggris dan pengelola Maktabah As Salafiyyah (Salafipublications.com). URL asli dalam bahasa Arab http://www.sahab.net/sahab/showthread.php?threadid=299633)