Syaikh Suhaib Hasan Abdul Ghafar, ketua Jum’iyatul Qur’an Karim di London, mengajukan pertanyaan kepada Hai’ah Kibaril Ulama’ di kerajaan Saudi Arabia.
Diantara pertanyaannya yaitu : “Beberapa juru dakwah mulai memperhatikan dan menganggap penting sebutan ‘Tauhid Hakimiyah’ sebagai tambahan dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal. Apakah Tauhid Ini termasuk dalam pembagian
Tauhid yang tiga tersebut (Rububiyah, Uluhiyyah, Asma wa Sifat ALLAH) ? Haruskah kita menjadikannya bagian tersendiri, sehingga kita wajib mengutamakannya ?
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengutamakan Tauhid Uluhiyah pada masanya, ketika beliau melihat manusia
sangat kurang dalam tauhid ini.
Imam Ahmad pada masanya juga mengutamakanTauhid Asma wa Sifat saat beliau melihat kenyataan bahwa manusia sangat kurang dalam sisi tauhid ini. Adapun sekarang, manusia mulai kurang dalam mengamalkan Tauhid Hakimiyah. Oleh karena itu wajibkah kita utamakan sisi
tauhid ini. Benarkah ucapan seperti ini ?
Hai’ah Kibaril Ulama menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut : Tauhiditu ada tiga macam yaitu ; Tauhid Rububiyah, Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Tidak dijumpai di sana macam yang keempat.
Adapun berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan itu termasuk di dalam Tauhid Uluhiyah. Karena hal itu termasuk salah satu macam ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Setiap macam ibadah termasuk dalam Tauhid
Uluhiyah. Oleh karena itu, menjadikan Hakimiyah sebagai macam tauhid tersendiri adalah perbuatan muhdats (bid’ah) yang tidak pernah diucapkanoleh seorang pun dari para imam (Ahlusunnah) sepengetahuan kami.
Bahkan (-dari tiga macam pembagian tauhid di atas, red-) ada di antara para imam tersebut meringkas pembagian tauhid menjadi dua macamm, yaitu Tauhid Al-Ilmi Al-I’Tiqadi
(Tauhid dalam Pengenalan dan Penetapan) yaitu Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat dan yang kedua Tauhid Al-Iradi Ath-Thalabi (Tauhid dalam Meminta dan Menunjukkan) yaitu Tauhid Uluhiyah.
Dan sebagian mereka ada yang merincinya menjadi tiga macam sebagaimana telah lewat. Wallahu a’lam.
Kita seluruhnya wajib mengutamakan Tauhid Uluhiyah dan memulai dengan melarang perbuatan syirik. Karena hal itu adalah dosa yang paling besar dan menggugurkan seluruh amal serta pelakunya kekal di dalam neraka. Seluruh para Nabi memulai dakwah mereka dengan memerintahkan agar ibadah kepada Allah semata dan melarang perbuatan syirik.
Sedangkan Allah memerintahkan kita mengikuti dan berjalan di atas manhaj mereka dalam berdakwah kepada Allah dalam semua perkara agama.
Mementingkan ketiga tauhid tersebut wajib di setiap masa. Karena kesyirikan dan penolakan terhadap Asma wa Sifat tetap terjadi, bahkan bertambah banyak dan dahsyat bahaya keduanya di akhir zaman ini.
Akan tetapi perkara ini samar bagi mayoritas kaum Muslimin, sedangkan para da’i yang menyeru pada kedua penyelewangan tersebut banyak dan sangat giat. Kesyirikan tidak hanya terjadi pada zaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Penyelewengan Asma wa Sifat pun tidak hanya terjadi pada masa Imam Ahmad sebagaiman dikatakan oleh si penanya.
Bahkan pada masyarakat muslim hari ini bertambah besar bahayanya dan bertambah banyak terjadi. Sehingga mereka lebih sangat membutuhkan adanya orang-orang yang melarang kedua penyelewengan tersebut dan menjelaskan bahaya keduanya dengan pengetahun bahwa ‘istiqamah’ dalam menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya dan mempraktekkan hukum-hukum syariat-Nya adalah termasuk dalam perwujudan tauhid dan keselamatan dari syirik.
(Fatwa Hai’ah Kibaril Ulama’ Saudi Arabia)
(Dikutip dari majalah Salafy, Edisi XXI/1418/1997 hal. 17-18]