Telah dikemukakan di awal pembahasan ini tentang sikap yang benar terhadap munculnya Al-Mahdi. Namun demikian, ada saja yang salah dalam menyikapi berita akan munculnya Al-Imam Al-Mahdi. Secara garis besar, kesalahan sikap tersebut dapat kita bagi menjadi tiga:
Pertama: mereka yang menggantungkan segala harapan akan munculnya Al-Mahdi, sehingga menimbulkan keyakinan bahwa daulah Islam tidak akan tegak kecuali dengan kemunculannya. Dan ini berdampak kepada kemalasan untuk berbuat.
Kedua: mereka yang mengingkari munculnya Al-Mahdi atau meragukannya.
Ketiga: mereka yang memanfaatkan keyakinan ini demi kepentingan tertentu. Sehingga menjadikan kemunculannya sebagai momentum untuk meraih apa yang diinginkan, dengan cara mengaku-ngaku dirinya sebagai Al-Mahdi, atau menciptakan Al-Mahdi palsu.
Berikut ini perincian dari ketiganya:
Golongan pertama, di antara mereka adalah orang-orang Shufi (Sufi). Menjelaskan hal ini, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Ketahuilah wahai saudaraku muslim, banyak dari kaum muslimin telah menyeleweng dari kebenaran dalam masalah ini (Al-Mahdi). Sehingga di antara mereka ada yang keyakinannya telah tetap dalam dirinya bahwa daulah Islam tidak akan tegak kecuali dengan munculnya Al-Mahdi. (Keyakinan) ini adalah khurafat dan kesesatan yang dilontarkan oleh setan dalam banyak kalbu orang-orang awam, lebih khusus orang-orang Shufi di antara mereka. Padahal tidak ada sedikitpun dari hadits-hadits tentang Al-Mahdi yang menunjukkan demikian secara mutlak.…” (Ash-Shahihah, 4/42)
Golongan kedua, yang mengingkari munculnya Al-Imam Al-Mahdi. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Di antara mereka ada yang bersama-sama kami dalam menentang orang yang mengaku-ngaku Mahdi. Akan tetapi begitu cepat ia mengingkari hadits-hadits shahih yang menerangkan akan munculnya Al-Mahdi di akhir zaman. Dengan penuh ‘keberanian’, dia menganggap bahwa hadits-haditsnya palsu dan hanya khurafat, serta menganggap bodoh para ulama yang menshahihkan hadits-haditsnya. Ia anggap bahwa dengan itu ia telah memangkas ekor para pengaku Mahdi yang jahat tersebut. Padahal dia dan yang semacamnya tidak tahu bahwa dengan cara semacam ini, terkadang bisa menjerumuskan kepada pengingkaran terhadap hadits-hadits tentang turunnya ‘Isa ‘alaihissalam juga, sementara hadits itu mutawatir. Dan inilah yang terjadi pada sebagian orang seperti Ustadz Farid Wajdi dan Syaikh Rasyid Ridha, serta selainnya. Kita memohon keselamatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari fitnah para pengaku Mahdi dan para pengingkar hadits-hadits shahih dari Sayyidul Mursalin –untuk beliau seutama-utama shalawat dan sesempurna-sempurna salam–.” (Ash-Shahihah, 5/278)
Dalam kesempatan yang lain, beliau menjelaskan bahwa di antara yang mengingkarinya juga adalah Dr. Muhammad Al-Ghazali. Bahkan yang sampai mengingkari turunnya ‘Isa ‘alaihissalam juga adalah guru besar Universitas Al-Azhar Mesir, Mahmud Syaltut (Ash-Shahihah, 4/43). Ini tentu cukup berbahaya bagi diri mereka sendiri serta bagi umat yang taqlid kepada mereka karena mereka dipandang sebagai tokoh Islam. Itu berarti mereka telah menolak berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana tidak samar lagi bagi kita ancaman terhadap orang yang semacam itu. Pengingkaran semacam ini di antaranya muncul sebagai reaksi terhadap golongan ketiga, yaitu mereka yang memanfaatkan berita munculnya Al-Mahdi sebagai celah untuk mencapai kepentingan mereka, atau sebagai reaksi terhadap keyakinan Syi’ah terhadap Al-Mahdi mereka yang penuh teka-teki. Tentu ini artinya menanggapi kebatilan dengan kebatilan.
Adapun yang meragukan kemunculan Al-Mahdi di antaranya adalah pakar sejarah yang cukup tersohor, yaitu Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya. Namun demikian, ia sempat mengatakan: “Ketahuilah bahwa telah dikenal di antara seluruh pemeluk Islam sepanjang masa bahwa pasti di akhir zaman nanti akan muncul seorang dari ahlul bait membela agama menebar keadilan… disebut Al-Mahdi.” Dan mau tidak mau ia harus mengakui keshahihan sebagian hadits-hadits tentang Al-Mahdi. Ia mengatakan: “Seperti yang engkau lihat, (hadits-hadits itu) tidak ada yang selamat dari kritik melainkan sedikit atau lebih sedikit dari itu….”
Menjawab pengaburan Ibnu Khaldun tersebut, Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad, mantan rektor Universitas Islam Madinah dan pengajar di Masjid Nabawi, melalui bukunya ‘Aqidatu Ahlis Sunnah wal Atsar fil Mahdi Al-Muntazhar (hal 153), mengatakan: “Seandainya terjadi keraguan dalam perkara Al-Mahdi ini dari seseorang yang punya pengalaman dalam bidang hadits, tentu itu akan dianggap ketergelinciran darinya. Lalu bagaimana bila itu terjadi pada ahli sejarah yang bukan ahlinya (ilmu hadits)? Dan sungguh bagus apa yang dikatakan oleh Ahmad Syakir rahimahullahu dalam takhrij hadits-hadits Musnad Ahmad: ‘Adapun Ibnu Khaldun, ia telah mengikuti sesuatu yang dia tidak punya ilmu padanya dan menerobos sesuatu yang ia bukan ahlinya…’.”
Beliau juga mengatakan (hal.155): “Sesungguhnya yang sedikit (dari hadits) yang selamat dari kritik itu cukup untuk dijadikan hujjah dalam hal ini, dan (hadits) yang banyak yang tidak selamat dari kritik itu sebagai penguatnya. Padahal, (hadits) yang selamat dari kritik justru banyak.”
Beliau juga menukilkan ucapan ulama besar Shiddiq Hasan Khan rahimahullahu dalam bukunya Al-Idza’ah: “Tiada artinya meragukan perkara (Al-Mahdi) keturunan Fathimah yang dijanjikan dan ditunggu itu, yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil. Bahkan mengingkarinya merupakan ‘keberanian’ yang besar dalam menghadapi nash-nash yang banyak dan masyhur yang telah mencapai derajat mutawatir.”
Golongan ketiga, adalah orang-orang yang memanfaatkan berita kemunculan Al-Mahdi demi kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka, seperti dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu dalam Minhajus Sunnah (8/259), tentu banyak jumlahnya.
Di antara mereka adalah:
1. Abdullah bin Maimun Al-Qaddah (meninggal 324 H), pendiri Daulah Fathimiyah di Maroko, dan meluas hingga ke Mesir dan lainnya. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Namanya dan nama ayahnya tidak sesuai dengan Nabi. Dan dia beserta keluarganya adalah orang-orang yang tidak percaya Tuhan, para pemimpin sekte Isma’iliyyah yang dikatakan oleh para ulama: ‘Penampilan mereka Syi’ah, tapi batin mereka kekafiran yang murni’.” (Minhajus Sunnah, 4/100, lihat juga 8/258, lihat juga Al-Manarul Munif)
2. Abu Abdillah Muhammad bin At-Taumurt, yang dijuluki dengan Al-Mahdi, muncul di Maroko juga tahun limaratus sekian dan meninggal tahun 524 H. Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan: “Dia tidak memenuhi bumi semuanya dengan keadilan. Bahkan ia terjerumus dalam perkara-perkara yang mungkar, meski juga melakukan sebagian perkara yang baik.” (Minhajus Sunnah, 4/99, lihat juga 8/258)
Bahkan lebih dari itu, menurut Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Manarul Munif, ia adalah seorang pendusta dan lebih dzalim dari Al-Hajjaj bin Yusuf (salah seorang penguasa di akhir zaman shahabat).
3. Mirza Ghulam Ahmad Al-Qadiyani, pencetus aliran Ahmadiyyah atau Al-Qadiyaniyyah yang telah dikafirkan oleh para ulama dan lembaga-lembaga Islam resmi, semisal Al-Majma’ Fiqhi yang menginduk kepada Rabithah ‘Alam Islami, Majma’ Fiqhi Al-Islami yang menginduk kepada Munazhamah Al-Mu’tamar Al-Islami, dan Hai`ah Kibar Ulama Saudi Arabia, selain yang telah muncul dari fatwa ulama Mesir, Syam, Maroko, India, dan lainnya. (At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih hal. 2, karya Shalih bin Abdul Aziz As-Sindi, Dosen Aqidah di Universitas Islam Madinah).
Para pengikut aliran ini menganggap Mirza adalah sebagai Al-Mahdi yang dijanjikan. Dikatakan dalam salah satu buku mereka: “Maka yang dimaksud turunnya ‘Isa ibnu Maryam adalah diutusnya orang lain dari umat Muhammad yang menyerupai ‘Isa ibnu Maryam dalam sifat, aktivitas, dan keadaannya. Dan orang yang dijanjikan ini telah muncul di daerah Qadiyan, India, dengan nama Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai Imam yang Mahdi (mendapat petunjuk). Allah menjadikannya seperti Al-Masih putra Maryam. Maka dialah yang dijanjikan, dan dialah Al-Imam Al-Mahdi untuk umat Muhammad yang telah dijanjikan Rasulullah untuk diutusnya dengan mengatakan: ‘Tiada Mahdi kecuali ‘Isa.’ (Ibnu Majah Kitabul Fitan).” (Wafatul Masih Ibni Maryam wal Murad min Nuzulihi. Kami nukil dari kitab At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih hal. 3. Lihat pula Ash-Shahihah, 5/278)
Sudah barang tentu, ini keyakinan yang batil dan dusta belaka. Sifat-sifat Mahdi dalam hadits-hadits yang shahih tidak ada pada dirinya. Lalu ia membangun keyakinannya ini di atas keyakinan kematian ‘Isa, yang ini jelas batil menyelisihi Al-Qur`an, hadits, dan ijma’ muslimin. Adapun hadits yang terakhir mereka sebutkan, itu adalah hadits yang mungkar, dha’if. Hadits itu telah di-dha’if-kan oleh Al-Imam An-Nasa`i, Adz-Dzahabi, Al-Albani, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Al-Qurthubi, dan Ibnu Taimiyyah serta Ash-Shaghani. Lihat Minhajus Sunnah (8/256), Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah karya Al-Haitami (2/476), As-Silsilah Adh-Dha’ifah no. 77). [dinukil dari At-Taudhih li Ifki Al-Ahmadiyyah fi Za’mihim Wafatil Masih, hal. 3. Lihat juga Minhajus Sunnah, 4/101)
4. Muhammad bin Abdillah Al-Qahthani, muncul dari hasil provokasi Juhaiman bin Saif Al-‘Utaibi, dan ia sekaligus menjadi juru bicaranya.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharram tahun 1400 H. Mereka masuk ke Al-Masjidil Haram dengan bersenjata dan meminta secara paksa orang-orang untuk membai’atnya sehingga menyebabkan kekacauan dan ketakutan, sampai-sampai menumpahkan darah sekian banyak orang. Bukan keadilan dan kasih sayang yang mereka tebar, melainkan kekerasan dan rasa takut serta darah mereka tumpahkan. Dan alhamdulillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala padamkan api fitnah mereka melalui tangan-tangan ahli tauhid di kerajaan Saudi Arabia dalam waktu yang singkat. (Al-Irhab, Zaid Al-Madkhali, hal. 15-16)
5. Lia Aminuddin, dengan sektenya God’s Kingdom of Eden (Kerajaan Tuhan) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Salamullah, mengaku, pada tahun 1998, Malaikat Jibril telah menyampaikan wahyu dari Tuhan dan membaiatnya sebagai Imam Mahdi. Ia juga mengklaim, anaknya yang bernama Ahmad Mukti adalah penjelmaan Nabi Isa. Tak cukup hingga di sini. Pada tahun 2003, ia
mengaku telah diangkat dan ditunjuk sebagai Jibril Ruhul Kudus.
Inti ajaran Lia Eden ini adalah campuran ajaran berbagai agama yang ada, yang dikemas atau berkedok Islam.
6. Kelompok Qiyadah Islamiyah. Ini juga merupakan aliran “model campuran” sebagaimana komunitas Eden. Aliran yang banyak menggunakan simbol dan bahasa Islam itu kini banyak tersebar di sejumlah kota di Indonesia.
“Rasul” mereka adalah Michael Muhdats yang diklaim sebagai Al-Masih Al-Maw’ud (Al-Masih yang dijanjikan). Mengaku mendapat wahyu di Gunung Bunder, Desa Pamijahan, Bogor pada tahun 2006.
Inti ajarannya, Islam yang telah dibangun Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah rusak sehingga dia diutus untuk memperbaikinya.
7. Kelompok Syi’ah atau Rafidhah. Termasuk penyimpangan yang sangat menggelikan sekaligus menyedihkan adalah keyakinan Syi’ah Rafidhah terhadap Mahdi versi mereka.
Mahdi versi Syi’ah demikian fenomenal sekaligus penuh misteri. Di antara inti aqidah mereka adalah meyakini 12 imam, yang terakhir dari mereka adalah Mahdi yang muncul di akhir zaman. Mahdi versi mereka ini bernama Muhammad bin Al-Hasan Al-‘Askari, yang mereka juluki juga dengan Al-Hujjah atau Al-Qa`im (yang bangkit). Menurut mereka, ia lahir pada tahun 255 H lalu bersembunyi di sirdab1 (gua) di daerah Surra man ra`a/Samarra`. Tak jemu-jemu orang Syi’ah menunggu keluarnya. Sejak saat itu hingga kini, bahkan mungkin nanti mereka akan terus menunggunya. Namun sungguh nahas, penantian yang tak kunjung tuntas, karena itu hanya khurafat yang tak berdasar. Padahal, bagi pengikut Syi’ah Rafidhah, keluarnya Mahdi adalah segala-galanya. Pelaksanaan syariat mereka tergantung padanya. Ya, sekali lagi, memang penuh fenomena dan misteri. Apalagi bila anda mengetahui sifat-sifat Mahdi versi mereka seperti disebut dalam buku-buku kepercayaan mereka sendiri sebagaimana berikut ini:
Mahdi Syi’ah dari Keturunan Husain
Tokoh Syi’ah, Ath-Thusi, meriwayatkan dalam bukunya Al-Ghaibah (hal. 115), dari Zaid bin ‘Ali bahwa ia mengatakan: “Al-Muntazhar (yang ditunggu) ini adalah dari anak turun Husain bin ‘Ali, dalam keturunan Husain bin ‘Ali.”
Mahdi Syi’ah Dikandung dan Dilahirkan dalam Waktu Semalam
Dalam riwayat mereka, bahwa Hakimah –bibi Al-Hasan Al-‘Askari (ayah Al-Mahdi)– mengatakan: Abu Muhammad Al-Hasan bin ‘Ali2 (ayah Mahdi mereka, pent.) mengutus seseorang kepadaku dengan pesan: “Wahai bibi, jadikan buka puasamu malam ini di rumah kami. Karena ini adalah malam pertengahan bulan Sya’ban. Dan Allah pada malam hari ini akan menampakkan Al-Hujjah. Dia merupakan hujjah Allah di muka bumi.”
Akupun mengatakan: “Siapakah ibunya?”
Ia menjawab: “Narjis.”
Kukatakan kepadanya: “Semoga Allah jadikan aku tebusanmu, tidak ada tanda-tanda padanya (tidak hamil, pent.).”
Ia menjawab: “Itu (seperti) yang kukatakan padamu.”
Aku pun datang, maka ketika kuberi salam dan aku duduk datanglah dia (Narjis) melepaskan khuf (semacam kaos kaki)ku dan mengatakan kepadaku: “Wahai tuanku, bagaimana keadaanmu sore ini?”
“Bahkan engkaulah tuanku dan tuan keluargaku,” tukasku.
Dia pun mengingkari ucapanku itu seraya mengucapan: “Apa ini?!”
Aku menjawab: “Wahai ananda, sesungguhnya pada malam ini Allah akan memberimu seorang anak yang menjadi pemimpin di dunia dan akhirat.”
Kemudian aku berbaring dan aku tidur. Lalu aku keluar melihat fajar, tiba-tiba aku sudah berada di waktu fajar (yang sinarnya) bagaikan ekor serigala, sementara (Narjis) masih saja tidur.
Hakimah mengatakan lagi: “Maka aku terasuki keraguan. Abu Muhammad (Al-Hasan -ayah Mahdi mereka, pent.) pun berteriak dari majelisnya: ‘Jangan buru-buru, wahai bibiku, sesungguhnya urusannya sudah dekat.’.”
Hakimah mengatakan: “Lalu aku terjangkiti rasa letih. Demikian juga dia (Narjis). Lalu ia tersadarkan ketika (Al-Hasan) menyingkap bajunya darinya. Ternyata (jabang bayi) Al-Mahdi sudah dalam keadaan sujud menempel bumi dengan anggota sujudnya.” (Kamaluddin wa Tamamul Minnah hal. 424-425, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/240)
Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili mengatakan: “Dongeng ini tidak lain adalah salah satu dari serentetan dongeng-dongeng yang banyak dalam buku-buku Syi’ah Rafidhah, yang menggambarkan kelahiran Al-Mahdi yang diklaim mereka. Aku sebutkan sekedar untuk contoh, dan lainnya masih banyak.”
Saat Munculnya Mahdi Syi’ah, Semua Pegikutnya Datang dari Seluruh Tempat
Jangan dikira yang hidup saat itu saja, bahkan yang matipun akan hidup lagi untuk menyambut seruannya!!
Dalam riwayat mereka disebutkan dari Abu Abdillah ‘alaihissalam, bahwa ia ditanya: “Berapa lama Al-Qa`im (Al-Mahdi) berkuasa?”
Ia menjawab: “Tujuh tahun. Hari-hari dan malamnya memanjang sehingga bagi kelompoknya satu tahun seukuran 10 tahun kalian. Dan bila datang waktu bangkitnya, orang-orang tertimpa hujan pada bulan Jumadil Akhir dan 10 hari dari Rajab dengan hujan yang para makhluk tidak pernah melihat sepertinya. Lalu Allah tumbuhkan dengannya daging-daging dan badan kaum mukminin dari kubur mereka, seolah aku melihat mereka datang dari arah Juhainah mengibas rambut mereka dari tanah.” (Al-Iqhadh minal Haj’ah hal. 249, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/241)
Mahdi Syi’ah Mengeluarkan Para Sahabat dari Kubur Mereka dan Menyiksa Mereka
Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa Al-Majlisi meriwayatkan dari Basyir An-Nabbal, dari Abu Abdillah, bahwa ia mengatakan: “Apakah kamu tahu apa yang pertama kali dilakukan oleh Al-Qa`im (Al-Mahdi) ‘alaihissalam?”
“Tidak,” jawabku. Ia mengatakan: “Ia akan mengeluarkan dua orang ini (Abu Bakr dan ‘Umar, pent.) dalam keadaan segar, lalu membakar keduanya dan menebarkan (abu keduanya) pada tiupan angin, dan ia akan menghancurkan masjid.” (Biharul Anwar, 52/386, Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/242)
Dalam riwayat yang lain, juga akan mencambuk ‘Aisyah, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (idem, hal. 314)
Mahdi Syi’ah Memberangus Bangsa Arab, Lebih-lebih Quraisy
Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa Abu Ja’far mengatakan: “Seandainya orang-orang tahu apa yang dilakukan oleh Al-Qa`im ketika munculnya, tentu kebanyakan mereka lebih suka bila tidak menyaksikannya, karena pembunuhannya terhadap manusia. Adapun dia, tidak memulai itu kecuali dengan Quraisy. Tidak ia ambil dari mereka kecuali pedang, dan tidak dia berikan kecuali pedang. Sehingga kebanyakan manusia mengatakan: ‘Dia bukan dari keluarga Muhammad. Seandainya dia dari keluarga Muhammad tentu akan memberi kasih sayang’.” (An-Nu’mani, Al-Ghaibah hal. 154, Biharul Anwar 52/354, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili,1/244)
Mahdi Syi’ah Menghancurkan Ka’bah, Al-Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Seluruh Masjid
Dalam riwayat mereka, dari Al-Mufadhal bin ‘Umar, ia bertanya kepada Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq beberapa pertanyaan tentang Al-Mahdi dan hal ihwalnya. Di antaranya: “Wahai tuanku, apa yang ia akan perbuat dengan Al-Bait (Ka’bah)?”
Dijawab: “Ia akan membongkarnya sehingga tidak menyisakan kecuali fondasi yang itulah awalnya diletakkan untuk manusia di Makkah di masa Adam, dan yang darinya dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il.” (Ar-Raj’ah karya Al-Ahsa`i, hal. 184, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/245)
Dalam riwayat mereka juga disebutkan dari Abu Bashir, dari Abu Abdillah, ia mengatakan: “Sesungguhnya bila Al-Qa`im bangkit, ia mengembalikan Al-Baitul Haram kepada fondasinya, dan Masjid Rasullulah kepada fondasinya, serta masjid Kufah kepada fondasinya.” (idem)
Dari Abu Ja’far juga, ia berkata: “Bila Al-Qa`im bangkit, ia akan menuju ke kota Kufah. Di sana ia akan menghancurkan empat masjid, dan tidak ada satu masjid pun di muka bumi yang punya kemuliaan kecuali ia akan hancurkan dan akan ia jadikan sebagai gundukan bebatuan.” (Al-Irsyad karya Al-Mufid hal. 365, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/246)
Mahdi Syi’ah Mengajak kepada Agama Baru, Kitab Baru, dan Keputusan yang Baru
Dalam riwayat mereka disebutkan bahwa An-Nu’mani meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia mengatakan: “Al-Qa`im bangkit dengan agama yang baru, kitab yang baru, dan keputusan yang baru. Keras terhadap bangsa Arab, tidak ada urusan dengan mereka kecuali dengan pedang, tidak memberi kesempatan seorang pun untuk bertobat, dan ia tidak peduli di jalan Allah terhadap celaan orang yang mencela.” (Al-Ghaibah hal. 154, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/244)
Mahdi Syi’ah Berhukum dengan Hukum Keluarga Nabi Dawud
Dalam riwayat mereka disebutkan melalui kitab Basha`ir Ad-Darajat dari Abu Abdillah bahwa ia mengatakan: “Bila Al-Qa`im dari keluarga Muhammad bangkit, dia akan berhukum dengan hukum Dawud dan Sulaiman. Ia tidak akan bertanya tentang bukti kepada manusia.” (hal. 278, karya Ash-Shaffar, Al-Kulaini menyebutkan juga dalam kitabnya, 1/398, dinukil dari Badzlul Majhud karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Jumaili, 1/249)
Tidak Ada Kaitan Sama Sekali Antara Mahdi Ahlussunah dengan Mahdi Syi’ah Rafidhah
Nampak sudah dengan jelas walau sekilas, perbedaan antara sifat-sifat Mahdi Ahlus Sunnah dengan Syi’ah. Karena itulah para ulama menegaskan kenyataan ini.
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam bukunya Al-Manarul Munif, setelah menyebutkan tiga pendapat tentang Mahdi: “Adapun Ar-Rafidhah Al-Imamiyyah (Syi’ah) punya pendapat yang keempat, yaitu bahwa Mahdi itu adalah Muhammad bin Hasan Al-‘Askari Al-Muntazhar (yang ditunggu), dari putra Husain bin ‘Ali, bukan dari Al-Hasan, yang hadir di berbagai negeri (menurut anggapan mereka, pent.) tapi tidak kasatmata, yang mewariskan tongkat (kekerasan, pent.) dan menutup padang sahara. Dia masuk ke gua Samarra` semasa kanak-kanak sejak lebih dari 500 tahun3. Setelah itu, tidak satu mata pun melihatnya. Tidak pernah pula didengar beritanya atau tandanya. Sementara mereka terus menunggu setiap hari berdiri dengan kuda di mulut gua serta berteriak memanggilnya agar keluar menuju kepada mereka: ‘Keluarlah wahai tuan kami.’ Lalu mereka kembali dengan hampa. Inilah tingkah mereka. Sungguh, mereka telah menjadi aib bagi Bani Adam dan lelucon yang setiap orang berakal mencemoohnya.”
Ibnu Katsir rahimahullahu, ketika hendak menjelaskan Mahdi Ahlus Sunnah, beliau mengingatkan seraya mengatakan: “Dia bukanlah yang ditunggu-tunggu dan diklaim oleh Rafidhah dan diharapkan oleh mereka untuk muncul dari gua Samarra`. Karena hal itu tidak ada kenyataannya, tidak ada orangnya dan bekasnya.” (An-Nihayah Fil Fitan, 1/15, Program Maktabah Syamilah)
Beliau juga mengatakan (1/17): “Sehingga keluarlah Mahdi dari negeri timur, bukan dari sirdab Samarra`, sebagaimana sangkaan orang-orang bodoh Rafidhah bahwa ia ada di dalamnya sekarang, dan mereka menunggu keluarnya di akhir zaman. Karena sesungguhnya ini adalah sejenis igauan dan kehinaan yang besar, kegilaan yang parah dari setan. Karena tidak ada dalil dan buktinya, baik dari Al-Qur`an atau As-Sunnah, atau akal yang sehat dan nalar yang baik.”
Wallahu a’lam.
1 Sirdab adalah sebuah tempat tinggal atau bangunan dalam tanah, biasa dipakai untuk berteduh di saat cuaca panas. Namun di sini kami terjemahkan dengan gua untuk mempermudah dan menyingkat.
2 …bin Muhammad Al-Jawwad bin Ali Ali Ar-Ridha bin Musa Al-Kadhim bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin Husain bin Ali bin Abu Thalib. Tambahan nasab ini dari kami, untuk memperjelas nasabnya. (Lihat Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah, 2/71-72)
3 Ini di masa beliau. Adapun sekarang, sudah lewat lebih dari 1.150 tahun.
Sumber:
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=509