di tulis oleh al ustadz Abu Utsman Kharisman
✅Pertemuan Umar dengan Abu Lu’lu’ah Sebelumnya
Siapa Abu Lu’lu’ah? Mengapa ia bisa masuk Madinah? Apa yang membuatnya membunuh Umar?
Abu Lu’lu’ah adalah seorang Majusi dari Persia. Saat penaklukan Persia di masa pemerintahan Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu ia tertawan sebagai budak (hamba sahaya). Selanjutnya ia menjadi budak milik al-Mughiroh bin Syu’bah.
Abu Lu’lu’ah mahir membuat kerajinan tangan seperti pisau dan senjata lainnya, kemudian menjualnya. Al-Mughiroh bin Syu’bah meminta kepada Umar agar diizinkan hamba sahayanya itu bekerja di Madinah mencari penghasilan di sana.
Pada awalnya Umar berat hati untuk memberikan akses kepada orang-orang kafir non Arab memasuki Madinah. Namun, akhirnya permintaan al-Mughiroh bin Syu’bah tersebut dituruti oleh beliau.
Abu Lu’lu’ah bisa mencari penghasilan di Madinah memanfaatkan keahliannya menghasilkan kerajinan tangan. Namun, sebagai budak tentunya ia tidak memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang dimilikinya. Karena harta yang dimilikinya adalah juga milik tuannya, al-Mughiroh bin Syu’bah.
Sebenarnya, al-Mughiroh bin Syu’bah radhiyallahu anhu yang merupakan Sahabat Nabi juga, bukanlah seorang yang dzhalim. Beliau paham hak-hak orang lain, walaupun itu budak yang di bawah kekuasaannya. Meski beliau tahu bahwa budaknya mampu mencari penghasilan dengan menjual kerajinan tangannya, beliau tidak membebani setoran yang banyak untuk budaknya itu. Beliau tidak semena-mena. Beliau hanya meminta 120 dirham tiap bulan atau 4 dirham tiap hari. Itu bukanlah nominal yang besar jika melihat penghasilan yang bisa didapatkan oleh Abu Lu’lu’ah. Akan tetapi Abu Lu’lu’ah ini selalu mengeluh.
Suatu ketika, Abu Lu’luah mengadukan hal itu kepada Umar. Ia merasa al-Mughiroh bin Syu’bah telah membebaninya dengan beban yang berat. Namun, setelah Umar tahu berapa penghasilan Abu Lu’lu’ah dan berapa setoran yang harus diberikan kepada tuannya, Umar melihat bahwa itu masih ringan. Apalagi, Abu Lu’lu’ah ketika mengadu kepada Umar itu hanya menceritakan penghasilan ia dari menjual alat penggilingan saja. Ia tidak menceritakan pendapatan dari kerajinan lain yang dihasilkannya.
Umar bin al-Khoththob pun memberi nasihat kepada Abu Lu’lu’ah:
لَقَدْ كَلَّفَكَ يَسِيْراً، انْطَلِقْ فَاعْطِ مَوْلَاكَ مَا سَأَلَكَ
Sebenarnya al-Mughiroh bin Syu’bah hanya membebanimu dengan suatu yang sedikit. Pergilah, berikan kepada tuanmu seperti yang dia minta (riwayat Ibnu Sa’ad dalam atThobaqoot)
Umar telah benar dalam nasihatnya tersebut.
Perasaan tidak terima dalam diri Abu Lu’lu’ah bisa jadi merupakan motivasi tambahan baginya untuk membunuh Umar. Selain bisa jadi karena dia adalah seorang Majusi yang membenci Islam, sangat benci pada Umar karena di masa kepemimpinan beliaulah Persia takluk hingga Abu Lu’lu’ah menjadi budak. Wallaahu A’lam
Saat tahu bahwa yang membunuhnya adalah Abu Lu’lu’ah, Umar menyatakan:
قَاتَلَهُ اللَّهُ لَقَدْ أَمَرْتُ بِهِ مَعْرُوفًا
Semoga Allah membinasakan dia, sungguh aku telah memerintahkan hal yang ma’ruf (baik) kepadanya (H.R al-Bukhari)
✅Nasihat Umar untuk Pemuda yang Menjenguknya
Saat Umar terluka menjelang meninggal dunia, kaum muslimin datang silih berganti menjenguk beliau. Salah satunya adalah seorang pemuda yang menghibur Umar dengan menyebutkan sebagian dari keutamaan beliau yang sangat banyak. Setidaknya ada 4 hal utama yang disebutkan oleh pemuda itu sebagai kebaikan Umar, yaitu menjadi Sahabat Nabi, termasuk terdepan masuk Islam, kemudian menjadi pemimpin yang adil, dan yang terakhir adalah beliau di ambang mendapatkan mati syahid. Pemuda itu berkata:
أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدَمٍ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ ثُمَّ شَهَادَةٌ
Bergembiralah wahai Amirul Mu’minin dengan kabar gembira dari Allah untuk anda. Anda sebagai Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan menjadi (salah satu yang) terdepan dalam Islam sebagaimana anda ketahui. Kemudian anda menjadi pemimpin yang adil. Kemudian (di hadapan anda akan terjadi) mati syahid (H.R al-Bukhari).
Pujian-pujian itu tidak membuat Umar besar kepala dan lupa diri. Sungguh jauh sifat itu dari Umar. Beliau menjawab:
وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافٌ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي
Aku sudah sangat senang jika (kebaikan-kebaikan itu) impas (dengan dosa-dosaku)(H.R al-Bukhari)
Subhanallah…Demikianlah jiwa seorang beriman. Ia akan banyak berbuat kebaikan dan berupaya optimal dalam mempersembahkan ibadah terbaik kepada Allah. Namun ia tidak ujub dan bangga diri. Justru merasa khawatir dosa-dosanya lebih banyak dari kebaikannya. Ia khawatir Allah tidak menerima amal ibadahnya. Sebagaimana Allah Ta’ala sifatkan keadaan mereka:
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
Dan orang-orang melakukan kebaikan, namun hati mereka takut (tidak diterima) dan (mereka meyakini) bahwa mereka akan dikembalikan kepada Rabb mereka (Q.S al-Mu’minuun ayat 60)
Pada saat pemuda itu berbalik pergi, Umar melihat kain sarung yang dikenakan pemuda ini melampaui mata kaki bahkan terseret olehnya.
فَلَمَّا أَدْبَرَ إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ الْأَرْضَ
Ketika pemuda itu berbalik akan pergi, ternyata (kain) sarungnya menyentuh tanah (H.R al-Bukhari)
Melihat hal itu, Umar menyuruh agar pemuda itu dipanggil kembali untuk dinasihati, karena ia telah menjulurkan kain, mengenakannya dari atas hingga melampaui mata kaki (isbal). Ketika pemuda itu telah berada di hadapan Umar, Umar memberikan nasihat:
يَا ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
Wahai putra saudaraku, angkatlah pakaianmu (hingga di atas mata kaki) karena itu lebih menjaga pakaianmu dan lebih bertakwa kepada Rabbmu (H.R al-Bukhari)
Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu dalam kondisi luka parah yang menyebabkannya meninggal, masih menyempatkan diri untuk mengingkari kemunkaran. Tidak ada perasaan segan atau sungkan dalam menyampaikan kebenaran, meski sang pemuda tadi baru saja memuji-muji beliau dengan beberapa kebaikan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa masalah isbal, yaitu mengenakan pakaian dari atas dijulurkan hingga melampaui mata kaki bagi para lelaki adalah dosa besar, bukan suatu hal yang bisa dipandang remeh. Jika itu hanyalah dosa kecil, Umar tidak akan repot-repot memanggil pemuda itu kembali untuk dinasihati. Karena Umar sendiri dalam kondisi kritis menjelang meninggal dunia.
Memang benar bahwa isbal itu termasuk dosa besar. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Bagian kain dari sarung yang lebih rendah dari mata kaki, itu berada di Neraka (H.R al-Bukhari dari Abu Hurairah)
Apakah isbal hanya berlaku untuk sarung saja? Al-Imam adz-Dzahabiy –seorang Ulama Syafiiyyah- berpendapat bahwa hal itu berlaku juga untuk sirwal (celana), gamis, maupun jubah. Beliau menjelaskan hal itu dalam kitab al-Kabaair ketika menyebutkan dosa besar nomor 55.
Nasihat Umar kepada pemuda itu juga menunjukkan bahwa sekedar perbuatan isbal itu saja sudah merupakan dosa. Meskipun tidak diniatkan sebagai kesombongan. Karena Umar tidak menasihati pemuda itu dengan menanyakan: Apakah engkau melakukannya karena sombong? Atau Umar memberikan perkecualian kepadanya dengan menyatakan: Kecuali jika engkau melakukannya bukan karena kesombongan. Umar tidak bersikap demikian.
Bahkan dalam hadits Nabi, disebutkan bahwa perbuatan isbal itu sendiri sudah merupakan bagian dari kesombongan. Baik seseorang meniatkannya atau tidak.
وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
Jauhilah perbuatan isbal pada sarung, karena hal itu termasuk bagian dari kesombongan, dan sesungguhnya Allah tidaklah menyukai kesombongan (H.R Abu Dawud)
Apabila isbal juga diiringi dengan kesombongan dalam hati, ini adalah dosa yang lebih besar lagi. Seseorang yang berbuat demikian terancam tidak dilihat, diajak bicara, dan disucikan oleh Allah Ta’ala, serta baginya siksaan yang pedih.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمْ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثَ مِرَارًا قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
Dari Abu Dzar radhiyallahu anhu dari Nabi shollallahu alaihi wasallam beliau bersabda: Ada 3 golongan yang Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat dan mensucikan mereka, dan bagi mereka siksaan yang pedih. (Abu Dzar berkata) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyebutkan hal itu tiga kali. Abu Dzar berkata: Sungguh celaka dan merugi mereka. Siapakah mereka itu wahai Rasulullah? Nabi menyatakan: (yaitu) seorang (laki-laki) yang isbal, orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu (H.R Muslim).
(Draft Buku “Pelajaran Berharga dalam Kehidupan 10 Sahabat Nabi Pemetik Janji Surga”, Abu Utsman Kharisman, Penerbit atTuqa Yogyakarta)