Kaum muslimin kembali berduka dengan kehilangan pemimpin yang sangat dicintai rakyatnya. Pemimpin terbaik setelah Nabi dan Abu Bakr. Pemimpin zuhud, adil, dan berbagai berderet pujian yang mungkin sulit terangkum dalam kata-kata.
Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu, dibunuh dengan tikaman curang saat beliau sholat Subuh. Sebenarnya, Umar telah berfirasat akan dekatnya masa kematian beliau melalui mimpi yang dialaminya.
Dalam suatu khutbah Jumat, Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu menyatakan:
إِنِّي رَأَيْتُ كَأَنَّ دِيكًا نَقَرَنِي ثَلَاثَ نَقَرَاتٍ وَإِنِّي لَا أُرَاهُ إِلَّا حُضُورَ أَجَلِي
Sesungguhnya aku melihat, seakan-akan ayam jantan mematukku tiga kali. Sesungguhnya tidaklah aku melihat hal itu kecuali menandakan sudah dekatnya ajalku (H.R Muslim)
Empat hari sebelum kematian, Umar masih bermusyawarah dan memberikan arahan kepada Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman dan Utsman bin Hunaif tentang masalah jizyah untuk penduduk Iraq, apakah terlalu berat bagi mereka atau sudah sesuai. Umar sangat perhatian dalam hal itu. Karena jizyah adalah bagian dari perintah Allah, harus ditunaikan bagi pihak-pihak yang sesuai dengan ketentuan. Namun, beliau tidak ingin memberatkan rakyatnya. Beliau musyawarahkan kadarnya. Beliau benar-benar tidak ingin ada kedzhaliman di tengah-tengah mereka.
Begitu perhatiannya Umar kepada penduduk Iraq, sampai-sampai beliau berkata:
لَئِنْ سَلَّمَنِي اللَّهُ لَأَدَعَنَّ أَرَامِلَ أَهْلِ الْعِرَاقِ لَا يَحْتَجْنَ إِلَى رَجُلٍ بَعْدِي أَبَدًا
Sungguh jika Allah masih memberikan keselamatan kepadaku, aku akan tinggalkan para janda penduduk Iraq (berkecukupan) hingga tidak membutuhkan seorang laki-laki pun sepeninggalku (H.R al-Bukhari)
Tibalah pagi hari peristiwa yang telah ditakdirkan Allah, Umar tertikam saat memimpin sholat. Subhanallah, benar-benar pengecut sang pelaku. Tidak mungkin ia berani menantang Umar terang-terangan duel meski usia Umar telah lanjut. Karena ia sadar, dalam kondisi demikian ia tidak akan menang. Maka ditempuhlah cara culas, curang, berbungkus pengkhianatan.
Sang pelaku mengendap di pojok masjid. Di masa itu, saat Subuh berarti gelap gulita masih menerjang. Belum ada penerangan yang memadai untuk memperluas jarak pandang. Umar sebelumnya masih sempat membangunkan orang-orang untuk bersiap sholat saat Fajar menjelang.
Kebiasaan Umar sebagai pemimpin, menjadi imam sholat Subuh mengumandangkan Kalam Ilahi memecah keheningan, merasukkan kesejukan dalam sanubari. Cukup panjang ayat-ayat al-Quran yang beliau baca dalam sholat Subuh. Dalam satu rokaat seukuran surat Yusuf atau surat anNahl sampai akhir surat.
Ketika takbiratul ihram berkumandang, sang pengkhianat bergerak cepat. Ia menyergap menikamkan pisau bermata dua. Dihunjamkannya pisau itu 3 kali tusukan, yang menyebabkan 6 luka tikaman di bawah pusar. Umar pun sempat berucap: “Aku telah dibunuh atau dimakan oleh seekor anjing”. Ini juga isyarat bahwa beliau membatalkan sholat, tidak bisa meneruskan tugas sebagai Imam. Tapi tidak semua makmum mendengar suara Umar tersebut.
Jangan bayangkan seperti di masa kita bacaan imam terdengar dengan bantuan pengeras suara sampai pada makmum di shof terakhir. Di saat itu, para makmum di deretan belakang tidak mengetahui apa yang terjadi. Mereka hanya kehilangan bacaan surat yang dibaca Sang imam. Mengapa imam tidak meneruskan bacaan? Sehingga merekapun mengumandangkan tasbih untuk mengingatkan imam: Subhanallah…subhanallah.
Kejadian di shaf pertama dekat imam berlanjut dengan kengerian. Setelah menusuk Umar, sang pengkhianat ini menikamkan pisaunya ke kanan dan ke kiri, hingga 13 orang makmum yang hadir di shof pertama saat itu menjadi korban. Dari 13 orang makmum tersebut, 7 orang meninggal.
Saat-saat genting yang dikhawatirkan bertambahnya korban, ada satu orang makmum yang menjerat sang pelaku dengan burnus (sejenis pakaian bertudung, pen). Terperangkap dalam kain itu, sang pelaku sadar bahwa ia akan tertangkap, ia pun melakukan bunuh diri.
Umar menarik tangan Abdurrahman bin Auf untuk menggantikannya sebagai imam. Demikianlah semestinya. Jika imam berhalangan untuk meneruskan, ia pilih makmum di belakangnya untuk menggantikan. Karena itu orang-orang terdekat dengan imam adalah orang-orang yang paling layak menggantikan imam. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى
Hendaknya yang posisinya dekat denganku adalah orang-orang berilmu di antara kalian (H.R Muslim dari Abdullah bin Mas’ud)
Abdurrahman bin Auf sadar bahwa beliau menggantikan posisi sebagai imam dalam kondisi yang tidak normal. Sholat tetap berlanjut, namun lebih ringkas dari biasanya. Dalam sebagian riwayat, Abdurrahman bin Auf membaca surat al-Kautsar dan anNashr.
Umar pun sempat tak sadarkan diri. Selepas sholat, Umar dibawa menuju rumahnya. Pagi sudah agak terang sebelum terbit matahari saat Umar terbangun siuman. Umar memandang ke arah wajah orang-orang. Beliau bertanya: Apakah manusia sudah sholat? Orang-orang berkata: Ya. Umar pun berkata:
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ
Tidak ada keislaman bagi orang yang meninggalkan sholat (riwayat Ibnu Sa’ad dalam atThobaqootul Kubroo)
Umar pun berwudhu’ dan segera sholat. Dalam riwayat Ibnu Sa’ad dari Ibnu Umar, pada saat sholat Subuh tersebut dalam kondisi terluka parah, di rokaat pertama Umar membaca surat al-Ashr dan di rokaat kedua membaca surat al-Kaafiruun.
Darahnya masih terus mengucur. Bagian luka menganga terlalu lebar untuk sekedar dibendung jari tengah dan telunjuk.
Selepas sholat, Umar memanggil Ibnu Abbas. Umar berpikir apakah beliau memiliki dosa terhadap orang-orang sehingga layak mendapatkan perlakuan ditusuk seperti itu. Beliau juga menyuruh Ibnu Abbas untuk menyelidiki siapakah yang telah menusuk beliau.
Ibnu Abbas berkeliling pada sekumpulan orang-orang, mayoritasnya bersedih menangis mengetahui kondisi Umar. Bahkan sebagian mereka berkata:
لَوَدِدْنَا أَنَّ اللهَ زَادَ فِي عُمُرِكَ مِنْ أَعْمَارِنَا
Sungguh kami berharap agar Allah ambil usia kami untuk ditambahkan pada usia anda (wahai Umar)(riwayat Ibnu Sa’ad dalam atThobaqootul Kubroo)
Duhai demikian besar kecintaan rakyat kepada Umar, sang Amirul Mukminin.
Didapat informasi bahwa pembunuh Umar adalah Abu Lu’lu-ah seorang Majusi, hamba sahaya milik al-Mughiroh bin Syu’bah. Sebelumnya, Umar tidak mengetahui hal itu dan sempat berpesan kepada Ibnu Abbas: Janganlah kalian tergesa-gesa bertindak terhadap pembunuhku. Umar diberi tahu bahwasanya orang itu telah bunuh diri. Mendengar hal itu Umar mengucapkan Innaa lillaahi wa innaa ilayhi rooji’un. Setelah diberi tahu bahwasanya pembunuhnya adalah Abu Lu’lu’ah seorang Majusi, Umar pun bertakbir: Allaahu Akbar.
Umar bersyukur bahwa pembunuh beliau bukan seorang muslim. Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ مِيتَتِي بِيَدِ رَجُلٍ يَدَّعِي الْإِسْلَامَ
Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan seorang laki-laki yang mengaku sebagai muslim (H.R al-Bukhari)
Diriwayatkan juga bahwa Umar berkata:
الْحَمْدُ لله الَّذِي لَمْ يَجْعَلْ قَاتِلِي يُحَاجَّنِي عِنْدَ اللهِ بِسَجْدَةٍ سَجَدَهَا قَطُّ
Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan pembunuhku nanti akan berhujjah di hadapan Allah karena (setidaknya) ia pernah satu kali sujud untuk Allah (riwayat Ibnu Syihab)
Sebagian Ulama berdalil dengan atsar Umar ini bahwa seorang muslim yang membunuh secara sengaja masih bisa diharapkan ampunan Allah untuknya (disarikan dari Fathul Baari syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar (7/64)). Artinya, ia masih bisa berhujjah untuk mengharap ampunan dengan keislamannya yang mengandung ibadah sholat.
Siapa Abu Lu’lu’ah? Mengapa ia bisa masuk Madinah? Apa yang membuatnya membunuh Umar?
(Draf Buku “PELAJARAN BERHARGA DALAM KEHIDUPAN 10 SAHABAT NABI PEMETIK JANJI SURGA”, Abu Utsman Kharisman, insyaallah akan diterbitkan Penerbit atTuqo Yogyakarta)
<< Insyaallah bersambung…>>